Mendahulukan Golongan yang Memusuhi Para Sahabat Rasul Ketimbang Mendahulukan Golongan yang Melakukan Pembelaan Atas-nya
Posted: Kamis, 06 November 2014 by Divan Semesta in
Bismillahirrahmaanirrahim ...
Dimasa itu, bahkan
engkau akan mengetahui dari tulisan-tulisanku entah berapa essai dan novel, aku
mencantumkan tokoh tokoh revolusi Iran seperti Murtadha Muthhari, Khomainy atau
Ali Syariaty.
Buku buku mereka kumamah
dengan baik, kudiskusikan dengan hangat di selasar masjid Universitas
Padjadjaran. Di kos-kosan atau di tempat kami menyantap makan pagi, siang atau
malam. Aku juga mempelajari retorika dari tokoh Syiah Indonesia Jalaludin
Rakhmat. Bahkan aku memiliki beberapa orang teman yang mengambil Syiah sebagai
keyakinan yang dulu kuanggap sebagai madzhab seperti halnya madzhab Syafie,
Hambali, Hanafi dan lain sebagainya.
Dalam perdebatan itu
kusampaikan pendapatku mengenai Syiah, kubagi-bagi Syiah itu ada berapa dan
lain sebagainya. Bahkan kukatakan bahwa jihad yang terjadi di Suriah, jika aku
diberi kesempatan oleh Allah, maka jihad-ku akan kuniatkan bukan untuk memusuhi
Syiah melainkan memusuhi tiran, ketidak adilan Bashar al Assad.
Aku
masih mengingat pada saat itu sahabat-sahabat di band-ku, bassis GunXrose dan
seorang temannya sedikit terkejut dengan cara pandangku. Mereka,
sahabat-sahabatku itu kebingungan. Mungkin –karena mereka menganggap—bahwa aku memiliki
pandangan tauhid yang dianggap cukup baik, tetapi absurd-nya tidak memahami
Syiah itu seperti apa, tak memahami
taqiyah itu bagaimana. Mungkin itu yang ada dalam pikiran mereka.
Kemudian
Allah memperjalankanku ...
Aku menambah kenalan
lagi dengan beberapa orang Syiah di Indonesia dan melakukan perbincangan hangat
mengenai banyak hal: mengenai 12 imam, mengenai Ali dan mengenai para sahabat
Rasulullah.
Pada umumnya orang yang
kukenal ini tidak menyudutkan Abu Bakar, Umar, Utsman dan sahabat lainnya.
Mereka semua –hampir-- mengatakan hal yang sama. “Jika ada seorang yang mengaku
Syiah kemudian menjelekkan ketiga orang Khalifah tersebut maka bakarlah
mimbarnya, seandainya ia tengah berkhotbah!”
Lantas,
perkataan itu kusimpan didalam memoriku dan terus mengikuti beberapa page Syiah dan perdebatannya, hingga
kemudian menemukan sesuatu yang aneh. Aku menemukan orang-orang yang acapkali
kuajak berbincang di media sosial kehilangan integritas tatkala beberapa orang
Syiah lainnya menampakkan kebencian menyala-nyala, kebencian yang berada di
luar nalar terhadap sahabat-sahabat Rasulullah.
Diantara mereka --yang
akunnya kalau tidak salah--, Abu Bakar Gosong (atau apalah) mengatakan bahwa
Abu Bakar berada di kerak neraka, Aisyah adalah pelacur, pezinah, sementara Utsman
adalah biangnya nepotisme sekaligus akar benalu munculnya dinasti/kerajaan di
dalam pemerintahan Islam.
Lain lagi yang ekstrim
lainnya. Diantara mereka ada yang menyatakan. “Umar itu punya penyakit di kelaminnya,
gonorhoe, dan cara untuk menyembuhkan
gonorhoe-nya adalah dengan menyodom
anak anak remaja! Umar gemar melakukan hal itu!”
Aku
tentu marah dengan omongan semacam itu, tetapi aku lebih marah kepada
kenalanku. Orang-orang yang mengatakan bakarlah mimbarnya itu berdiam diri,
bahkan dari pesan-pesan, komentar komentarnya terkesan mengizinkan dan tidak
mempermasalahkan. Mereka saling berkomentar, saling berpagutan kata-kata seolah
mereka adalah teman mesra di dunia nyata. Aku mulai kehilangan kepercayaan.
Inikah yang dinamakan taqiyah?
Ada lagi kisah lainnya.
Di tempat kerja aku
memiliki rekan yang shalatnya sangat khas Syiah. Ia dan beberapa teman kerjaku
lainnya (ada dua orang) jarang mengikuti shalat Jumat. Kalaupun shalat Jumat
mereka selalu shalat lagi setelah shalat Jumat selesai ditunaikan.
Gaya mereka shalat tidak
bersidekap (ada madzhab ahlusunnah lain pula yang shalatnya seperti ini).
Ketika berbicara dengan mereka, ada beberapa yang santun, namun ada satu yang
agresip tapi sepanjang pergaulanku dengannya, aku tidak pernah menemuinya
melecehkan tiga sahabat Rasulullah. Yang masih ku ingat ia hanya pernah
menyampaikan, bahwa Khalid bin Walid pernah menikahi orang yang sudah bersuami.
Yang masih ku ingat, ia hanya menyampaikan pertanyaan-pertanyaan --yang kini
kurasa-- dikeluarkan untuk menggoyangkan kredibilitas mereka yang di hormati
oleh orang-orang Sunni sepertiku. Hingga kemudian Allah menyibakan hijab.
Pada satu ketika, pada saat
kami makan siang sebuah perbincangan terjadi. Kami membicarakan pembantaian
yang dilakukan oleh Sisi terhadap Ikhwanul Muslimin. Aku tidak menyukai IM saat
ini (IM Hasan al Banna dan Sayyid Quthb aku menyukainya) karena pendapat mereka
tentang Demokrasi dan percampuran mereka dengan sistem kufur hingga ada begitu
banyak syubhat yang mereka tebarkan, akan tetapi hal ini tidak menyurutkanku
untuk membela (Neo) Ikhwanul Muslimin saat di bantai Sisi. Aku kemudian
menghangatkan obrolan dengan sebuah pertanyaan. “Bagaimana mungkin Sisi
mengkudeta pemerintahan berdasarkan kesepakatan yang sudah dipilih mayoritas
masyarakat Mesir, kemudian ketika masyarakat dan aktivis IM menuntut keadilan
dengan berdemonstrasi maka apa yang mereka lakukan dianggap sebagai bughat, sebagai pengkhianatan? Siapa
yang berkhianat? Siapa yang mengkhianati siapa? Bukankah presiden sebelumnya
adalah presiden sah yang kemudian digulingkan, dikudeta oleh pihak Sisi? Yang
mengkudeta balik mengatakan dikudeta!”
Aku
gunakan logika seperti itu –sekali lagi-- bukan karena aku menyetujui akan
tetapi untuk memberikan tempat pada sikap fair. Lalu teman kantorku yang selalu
mengingatkanku pada karakter lawyer
ILC itu membantah habis-habisan dengan menekankan bahwa semua yang terjadi
adalah kesalahan IM. Tak disangka perbincangan kemudian menghangat, dan menjadi
panas manakala kami mengetengahkan kasus Suriah. Ia mengatakan bahwa yang
terjadi di Suriah dipelintir oleh media massa. Bahwa yang melakukan pembelaan
disana bukanlah jihad.
Aku katakan tentang
pembunuhan yang dilakukan rezim Bashar, digunakannya senjata kimia di Ghouta
yang mengakibatkan ribuan anak-anak mati, dibongkarnya keberadaan kuburan masal
pembunuhan yang dilakukan rezim Bashar, adanya milisi Syiah Shabiha yang
menyiksa muslim Ahlusunnah tanpa batas peri kemanusiaan menggunakan gergaji,
mencongkeli mata, menyayat-nyayat, memperkosa dan membunuh anak-anak tak
berdosa aku sampaikan semua.
Ia berkata sumberku
bermasalah. Aku pun mengatakan sumber mu pun bermasalah. Ia mengutip Reuters,
Kompas, CNN, BBC. Aku tertawa dan aku katakan aku tak mempercayai media macam
itu. Ia kebingungan, hingga aku tak ingat lagi memperbincangkan apa selain kami
kemudian memperbincangkan mengenai sahabat Rasulullah. Kami berdebat mengenai
muslim Ahlusunnah dan Syiah.
Ia
bersikeras “Itu masalah politik!”
“Iya
ini masalah politik tetapi masalah kezaliman juga yang dilakukan oleh orang-orang
yang menghina sahabat Rasulullah. Menghina Abu Bakar, Umar dan Utsman.”
Wajahnya
mulai berubah.
“Abu
Bakar itu mengambil kekuasaan dari Ali Ra. Demikian halnya dengan Umar dan
Utsman.” Ia menyampaikan pendapatnya, dan tiba tiba aku menemukan sesuatu.
Mengapa ia tidak pernah
menyematkan radiallahuanhu (ra.) doa
semoga Allah me-ridhai-nya terhadap Abu Bakar Umar dan sementara ia menyematkan
ra. untuk Ali bin Abi Thalib, seorang
sahabat Rasul yang juga kucintai.
Aku
kemudian menyudutkannya tiba-tiba.
“Abu
Bakar itu muslim atau bukan?”
Dia
terpekur. Kebingungan dengan pertanyaan mendadak itu. Matanya tak berani
menatap mataku.
“Abu
Bakar itu muslim atau bukan?” Aku mengulanginya.
“Abu
Bakar itu Khalifah dan..” terbata.
“Gua
gak nanya Abu Bakar itu Khalifah! Gua nanya Abu Bakar itu muslim atau bukan?”
“Dia
itu Khalifah, Mas...” nadanya mulai merendah. Ia sepertinya menyusun sesuatu.
Tapi tetap kutanyakan kembali, kutatap matanya tajam.
“Abu
Bakar itu muslim atau bukan?!”
Ia
mengalihkan pandangan matanya seperti putus asa. “Dia Khalifah.”
Aku
tak ingin melanjutkan. Aku bukan hanya kecewa, tetapi merasa jijik. Kemudian
kukatakan padanya. “Sekali aja elu ngejelekin sahabat yang mulia, hm...”
kupandangi matanya.
Aku tak meneruskan
kalimatku. Biar ia yang menginterpretasikannya.
Maka semenjak saat itu
aku mulai kehilangan kepercayaan kepada kebaikan kebaikan orang-orang Syiah. Aku
mulai berpikir ulang mengenai taqiyah. Apa
mungkin apa yang dikatakan orang-orang bahwa orang Syiah gemar taqiyah atau berdusta demi
menyembunyikan keyakinannya benar adanya?
Berulang-ulang aku
menemukan penandanya. Maka, kemudian kuputuskan berhenti ber-husnudzan. Cukup sudah aku menelaah buku
buku mereka. Cukup sudah –hampir satu dekade--aku mengagumi cara berutur mereka
--yang memabukan secara bahasa karena mereka memang mempelajari filsafat. Cukuplah
kini aku mendengarkan ucapan Salafussalih,
para imam Madzhab mengenai Syiah itu seperti apa.
Kamu,
ya Kamu yang kini tengah membaca tulisanku. Kini giliran kalian aku memperbincangkan hal yang penting
ini.
Kalian, ya ... diantara kalian ada pula sahabat-sahabatku,
yang sama sekali tidak mengenal Syiah.
Ya, tulisan ini aku tujukan
untuk kalian. Tulisan ini kutujukan untuk mencari ridho Allah dengan menyampaikan
salah satu risalah Ahlussnnah mengenai Syiah.
Engkau sahabatku, engkau
kawan kawanku. Aku mengetahui dari berbagai media sosial dari berabagai
postingan yang aku ikut menjadi bagiannya, bahwa saat ini kalian berusaha
menjauhkan kepercayaan orang terhadap Islamic State yang saat ini tegak di
belahan bumi Syam.
Aku mengetahui bahwa apa
yang kalian lakukan itu merupakan perpanjangan seruan seruan seruan dari orang yang
kalian percayai mengenai Syiah, ya Syiah.
Melalui seruan atau yang
kita kenal sebagai bayan itu kalian
menyampaikan bahwa IS melakukan pembunuhan keji terhadap kaum muslimin,
karenanya hal itu merupakan salah satu hal yang kalian ajukan untuk menolak IS.
Kalian menyampaikan
seruan untuk persatuan antara Suni dan Syiah. Kalian yang berusaha kucintai,
kalian sahabatku, kalian kawan-kawanku yang berusaha kukasihi lalu mengadakan
seminar seminar untuk menjatuhkan kredibilitas IS, membuat poster poster dengan
mengambil background pembunuhan yang
dilakukan oleh tentara IS terhadap militer dan milisi bersenjata Syiah Bashar
dan rezim Syiah Iraq sebagai tindakan barbar, sebagai tindakan yang tidak
Islami jauh dari gambaran Kekhilafahan Minhajjin
Nubuwwah.
Maka, perkenankan aku
untuk mempertanyakan seruan penyatuan itu. Maka kembalilah disini, berkumpul disini
untuk mendiskusikan kembali, untuk merenungkan kembali siapakah yang kalian
anggap muslim itu?
Siapa yang ingin kalian
persatukan itu?
Bagaimana imbas politis
ucapan itu?
Aku tak akan langsung
membahasnya. Aku akan mengajak kalian untuk berjalan masuk kedalam lorong
sejarah yang aku yakin kalian pun mengetahuinya.
Aku mengajak kalian,
untuk sedikit memahami mengapa pandanganku kini berubah mengenai Syiah.
Aku hanya akan menambahkan logika syar’i mengenai salah satu diantara hal
yang menyebabkan para imam Madzhab memusuhi Syiah.
Aku akan memulainya dari
serangkaian pertanyaan:
Sebuah Jembatan
Kepercayaan
Coba
renungkan pertanyaan ini:
Sahabatku,
kawan-kawanku... siapa yang dimintai Rasulullah Muhammad, untuk menyertai-nya
hijrah?
Engkau akan menjawabnya,
Abu Bakar.
Engkau benar.
Siapa yang memapah
Rasulullah Muhammmad saat tiba di gua Tsur, mengikatkan badan beliau dengan
badannya hingga sampai di mulut guanya?
Abu Bakar.
Sesampainya di gua, lalu
Abu Bakar berkata. “Demi Allah janganlah engkau masuk kedalamnya sebelum aku
masuk terlebih dahulu. Jika didalamnya ada sesuatu yang tidak beres biarlah aku
terkena asal tidak mengenai engkau. Lalu
Abu Bakar masuk kedalamnya, membersihkan segala, mempersilahkan Rasulullah untuk istirahat.
Lantas, dimanakah
Rasulullah menelekan kepalanya?
Batu?
Perbekalan?
Tidak. Rasulullah tidur
di pangkuan Abu Bakar seperti seorang anak yang tidur dipangkuan ibunya.
Pada saat tidur sebuah
peristiwa terjadi, Abu Bakar tersengat binatang. Ia menahan kesakitan itu
mati-matian. Ia menahan sakit karena tubuhnya yang bergoyang akan membangunkan
Rasulullah. Akan tetapi, air mata Abu Bakar menetes jatuh ke wajah Rasul.
Rasulullah terbangun dan menyaksikan wajah Abu Bakar merah menahan sakit.
Beliau lantas meludahi dan mengoleskan bagian tubuh Abu Bakar yang tersengat hingga
kemudian sakitnya hilang. Inilah persahabatan. Inilah cinta.
Dialah Abu Bakar, dialah
lelaki yang kemudian ayat Quran turun untuk menghibur-nya melalui lisan
Rasulullah yang mulia. Laa tahzan
innalaha maana. Jangan bersedih Allah bersama kita. Inilah ucapan yang
kemudian terkenal dan dijadikan judul buku spektakuler Aidh al Qarni yang
mungkin pernah kita baca.
Dialah Abu Bakar.
Sosok lelaki mulia ashabiqunal al awwalun. Salah satu tokoh
mulia yang masuk kedalam golongan, gelombang awal orang yang pertama kali masuk
Islam.
Dialah Abu Bakar,
seorang lelaki yang memberikan masukan mengenai tebusan tawanan perang hingga
ayat Quran turun berkenaan dengannya.
Dialah Abu Bakar, yang
ketika perjalanan Isra Mikraj dilakukan, dari Mekkah menuju Baitul Makdis lalu
melesat hingga ke langit ke tujuh, hingga ke alam yang tak bisa dibayangkan,
kemudian mengatakan. Aku mempercayai
Rasululullah bahkan jika ada peristiwa lain yang melebihi peristiwa itu, Aku
mengimaninya! Dialah orang yang keimanannya seteguh pegunungan granit
ketika ketika banyak orang yang semula muslim, berbalik kebelakang, dan murtad
dari keyakinannya. Peristiwa inilah yang menjadikan Abu Bakar diberi gelar As-Sidiq.
Orang yang membenarkan, orang yang mempercayai. Mempercayai siapa? Muhammad
Rasulullah.
Dialah Abu Bakar yang
memilih keimanannya, menempur anak yang dibesarkannya karena bergabung dengan
pasukan Musyrik. Dialah Abu Bakar yang memberikan pendapat mengenai nasib
orang-orang musyrik harus diapakan pasca kekalahan mereka di Badar dan
Rasulullah menjalankan pendapatnya bersama para sahabat. Dialah Abu Bakar yang senantiasa
makan hanya dengan roti dan minyak samin pada masa kepemimpinannya sebagai
Khalifah pasca wafatnya Rasulullah. Ada lagi kisah yang disampaikan dalam
sebuah riwayat yang penyeleksiannya sangat ketat melebihi kaidah jurnalistik
masa kini, bahwa sewaktu Abu Bakar wafat, beliau hanya meninggalkan sehelai
kain usang sebagai selimut dan unta (yang itupun merupakan milik negara).
Dialah Abu Bakar yang
Umar pun kemudian menangis saat melihat pemimpinnya (Abu Bakar) melakuakan
sesuatu yang menjadi tolak ukur seorang pemimpin yang populis, seorang pemimpin
yang konsisten mengikuti jejak yang dicintainya, yakni Rasulullah. Dialah Abu
Bakar.
Sahabatku-kawan-kawanku...
Ada 1001 kebajikan yang
dilakukan oleh Abu Bakar ra. pra ataupun pasca wafatnya Rasulullah hingga
beliau menjadi Khalifah.
Jika saja engkau membuka
sirah atau sejarah sahabat yang mulia ini, niscaya engkau akan melihatnya
laksana kisah-kisah kebajikan para penguasa yang sulit ditemukan di masa kita
saat ini.
***
Mari kita berpaling
kepada Umar bin Al Khattab ra. Siapakah dia? Adalah seorang lelaki berkepala
plontos yang jika orang berdiri ia beda sendiri. Tubuhnya menjulang sendiri diantara
kerumunan orang-orang yang tinggi.
Dialah lelaki yang
menjadi juara gulat di festival Ukadz dimana para penyair maupun petarung berkumpul
untuk berjibaku, berkelahi, tarung, membuktikan siapa yang terbaik. Dialah
lelaki yang sebelum dicelup oleh celupan Islam, --mungkin jika hidup dimasa
ini, ia akan masuk ke arena Unlimited Fighting Championship, masuk ke
gelanggang pertarungan brutal menantang Louis Gracie atau Sakuraba. Dialah
lelaki yang kemudian didoakan oleh Rasulullah secara langsung, agar Allah
menguatkan Islam dengan kekuatan dan kegagahannya.
Doa itu dikabulkan. Dan
seumur hidupnya Umar ra. kemudian menjadi pembela Islam. Bersikap keras
terhadap orang musyrik yang menzalimi muslim, dan bersikap santun, lembut
terhadap sesama muslim yang lurus.
Dalam diri Umar bin al
Khattab ra. Kita akan melihat keadilan, sikap kejujuran pada saat berhadapan
dengan sorang wanita yang memprotes sikap-nya (Umar) tatkala menentukan mahar
bagi wanita, sementara wanita tersebut mengingatkan bahwa Umar salah (wanita
mulia itu mengutip al Quran dan mengutip ucapan Rasulullah).
Makam dihadapan
kebenaran Umar tunduk.
Ia tidak memiliki sikap al kibr bathorul haq wa ghamtum naas,
menyombongkan diri dihadapan kebenaran (nash) ketika nash muncul dihadapan dan menafikannya juga merendahkan oranglain
sebagai sebuah bentuk kesombongan.
Melalui figur belia Umar
ra. Kita pun bisa melihat keagungan keadilan Islam.
Pada satu peristiwa
terdengar kabar, seorang anak gubernur Mesir (yang merupakan sahabatnya)
memukuli seorang Yahudi karena masalah sepele (anak gubernur tersebut kalah
lari). Karena tidak mau menerima perlakuan tidak adil tersebut, Yahudi dzimmi/yang baik dan mengikat dirinya
dengan perjanjian itu, kemudian melaporkan hal ini kepada Amirul Mukminin.
Setelah melakukan
serangkaian proses Umar memanggil sang Gubernur dan meminta Gubernur tersebut
untuk menghukumi anaknya dengan dilecut.
Hukuman dilaksanakan,
akan tetapi ternyata hukuman tersebut dilakukan diruangan tertutup.
Ini artinya hukuman itu
tidak akan menjadi ibrah/bahan
pelajaran, maka Umar meminta Gubernur itu untuk mengulangi hukumannya di
hadapan khalayak ramai.
Umar bukan saja ingin memberi
jera pada anaknya, dan ia pun berkata, bahwa ia (si pemuda) menjadi sombong
dikarenakan kedudukan ayahnya. Maka ayahnyapun dihukum.
Kemampuan leadership Umar ra. Lelaki mulia ini
bisa kita lihat dalam ungkapan walk the
talk atau ungkapan yang menjadi diktum pelatihan leadership, yakni lead by
example: jalani yang kamu katakan dan memimpinlah dengan contoh, bukan
dengan bacot.
Sekelumit kisah
mengetengahkan kuatnya leadership Umar
ra. pada saat kaum muslimin memenangkan peperangan di sebuah daerah. Harta yang
didapatkan dalam peperangan itu mengalir ke Madinah. Harta peperangan
dibagikan, salah satunya gulungan-gulungan kain.
Tak menunggu waktu Amirul Mukminin membagi rata
kain tersebut kepada seluruh penduduk. Masing-masing penduduk –taruhlah--
mendapatkan 2 meter kain untuk dijadikan sehelai baju/gamis.
Usai pembagian tersebut
khutbah dilangsungkan, maka pada saat itulah terjadi peristiwa yang tak
disangka. Seorang lelaki berdiri seraya mengatakan, aku tidak akan mendengarkan
ucapanmu, wahai Umar! Mengapa, tanya beliau. Lelaki itu kemudian memprotes
fenomena dan mempertanyakan keadilan. “Engkau tidak adil?”
“Mengapa bisa begitu?”
“Engkau membagikan
setiap penduduk kain berukuran dua meter. Sementara aku melihat engkau
mengambil kelebihan kain untuk engkau gunakan bagi kepentinganmu sendiri! Aku
tidak akan mendengarkan omonganmu!”
Lelaki bermain logika.
Ia melihat tubuh Umar yang tinggi tegap menjulang, sementara sehelai kain yang
dibagikan hanya cukup untuk membuat baju dengan tubuh lelaki kebanyakan.
Logika mengatakan bahwa
Umar yang tubuhnya lebih besar ketimbang lelaki lainnya, pasti mengambil
kelebihan kain untuk membuat baju yang dikenakannya.
Umar ra. tidak lantas
marah, ia tersenyum. Baginya hal itu baik --ketika rakyat berani mengajukan
keluh kesah langsung dihadapan pemimpinnya. Ia kemudian memanggil anaknya, Ibnu
Umar untuk menjelaskan bahwa baju yang dikenakan ayahnya adalah jatah kain
berukuran sama dengan yang didapatkan rakyat Daulah. Bedanya, kain itu
ditambahkan oleh kain yang dimiliki dirinya (anak Umar/Ibnu Umar menyedekahkan
kain jatahnya untuk Ayahnya, Umar bin al Khattab)
Akibat pengakuan itu, lelaki
yang semula mengajukan protes tersungkur. Ia kemudian mengatakan. “Jika begitu,
aku akan mengikuti Umar!”
Kisah ini tentu saya
modifikasi karena saya tidak menemukan buku Syalabi dalam perpustakaan kecil
saya. Kalian bisa mencari buku itu dan menelaah secara detail bagaimana
kehidupan Umar bin Khattab yang mulia. Kalian bisa menemukan begitu banyak
contoh sejarah yang begitu menakjubkan sehingga seorang non muslim bernama
Michael H. Heart, seorang sejarawan memasukan Umar ra. kedalam 100 tokoh yang
paling berpengaruh di dunia. Kalian bisa mencari banyak buku mengenai sejarah
kehidupan Amirul Mukminin ini dan cobalah untuk mencocokkan kisah-kisah dibuku
tersebut dengan film yang –mungkin—pernah kalian tonton bersama keluarga di
bulan Ramadhan (Omar). Jika saja kalian menyempatkan diri untuk menelaahnya, niscaya
kalian, niscaya kita akan merasa kecil dihadapan Umar ra. Niscaya kita akan
menggelengkan kepala melihat kualitas kepemimpinan, kualitas pribadi lelaki
didikan Rasulullah ini.
Itulah Umar ra. lelaki
yang Rasulullah akui kebaikannya kepada Islam. Lelaki yang perkataannya banyak
dibenarkan oleh al Quran *)
Note:
*) Salah satunya terkait usulan beliau agar
tawanan perang Badar dipenggal, lalu Al-Qur’an turun memberikan persetujuan. Ia
berpendapat agar istri-istri Nabi Muhammad berhijad, lalu Al-Qur’an turun
memberikan persetujuan. Ia berpendapat untuk menjadikan tempat Nabi Ibrahim
saat berdiri mendirikan Ka’bah sebagai tempat shalat, lalu Al-Qur’an turun
memberikan persetujuan dan lain sebagainya. Ada begitu banyak hadist yang memuji
kebaikan dan keagungan beliau pula.
***
Selanjutnya, setelah
menelaah sekelumit keagungan Abu Bakar ra, Umar ra. mari sahabatku,
kawan-kawan-ku, kita beralih pada salah satu istri Rasulullah yang bernama
Aisyah ra.
Siapakah beliau?
Ia adalah sosok wanita
cantik yang wajahnya bersemu kemerahan sehingga Rasulullah kemudian memberikannya
panggilan mesra, humaira.
Siapakah beliau?
Adalah Ibunda kaum
muslimin.
Dialah seorang wanita
terhormat yang dituduh olah orang-orang munafik melakukan zinah, hingga hampir
seluruh penduduk Madinah membicarakannya. Pembicaraan yang memalukan dan
menjijikkan ini kemudian sampai sampai di-telinga Rasulullah hingga beliau
bertanya:
“Hai ‘Aisyah, bagaimana pendapatmu tentang
ocehan orang mengenai dirimu?”
Aisyah ra. menjawab. “Aku tidak akan memberikan sanggahan
apapun hingga Allah menurunkan sanggahan dari langit.”
Aisyah ra.
berdiri dengan keyakinan dan dengan kebanggan. Benarlah. Tak berapa lama
kemudian, wahyu turun. Allah membebaskan tuduhan dengan menurunkan surat an-Nur
ayat 11-26, yang diantaranya adalah :
”Wanita-wanita yang keji adalah untuk
laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang
keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan
laki- laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). mereka (yang
dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu).
bagi mereka ampunan dan rezki yang mulia. (An-Nuur:
26)
Ayat-ayat yang turun ini
meneguhkan kehormatan Aisyah ra., mensucikan dirinya pada saat ia dirundung
malang.
Keagungan Aisyah ra. pun
tampak dari kutipan hadist yang menyatakan keputusan Rasulullah untuk menikahi
Aisyah ra. berdasarkan petunjuk wahyu yg datang dari langit. Rasulullah pernah
melihat Aisyah dalam mimpi selama tiga hari tiga malam. Dalam mimpinya Jibril
dtg dengan membawa gambar Aisyah ra. dalam sepotong kain sutera hijau seraya
berkata, " ini adalah isterimu di dunia dan akhirat." (Mutaffaq 'alaih dan HR. Tirmidzi)
Di dalam riwayat lainnya
Rasulullah terlihat begitu mesra, menyayangi Aisyah ra. Beliau memperumpamakan
bahwa Aisyah ra. istrinya itu melebihi kelebihan dari wanita wanita yang ada,
dengan menyatakan bahwa Aisyah ra. itu seperti halnya roti yang diberi kuah,
sementara wanita lainnya, seperti roti.
Nah,
sudah cukup. Saya mencukupkan untuk membahas kebajikan, keagungan, keadilan,
integritas ketiga sahabat itu, dan tidak membahas begitu banyak sahabat lainnya
yang agung, yang ikut berperang, menumpahkan darahnya, men-darma-baktikan
jiwa-nya, kekayaan yang dimilikinya untuk menjalankankan kaudah kausalitas agar
Islam –atas izin Allah—bisa tegak.
Saya mencukupkan karena
ruang tulis ini tidak akan cukup untuk membahasnya, dan karena saya pun –mengakui--
tidak memiliki kemampuan untuk menuliskan kebaikan-kebaikan mereka. Akan tetapi
marilah kita renungkan sebuah ayat Al Quran yang menyimpulkan keagungan mereka.
Bukalah Surat at Taubah 100. Dan kita akan menemukan teks seperti ini:
“Orang-Orang yang terdahulu lagi yang
pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan
orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan
merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang
mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.
Itulah kemenangan yang besar.”
Siapakah
orang yang dipuji oleh Allah di ayat tersebut?
Adalah orang
yang pertama-tama masuk Islam *) ... dan
Abu Bakar, Utsman adalah gelombang pertamanya. (Adapun mengenai Muhajirin dan Anshar
kalian bisa mengeksplorasinya sendiri. Ayat yang memuji sahabat/salaf ada
banyak di Al Quran dan hadist).
Mari
kita buat penekanan disini, dan kita kaitkan dengan apa yang ingin saya bagi
sejak awal. Kali ini, saya hanya akan memfokuskan pada ketiga sahabat, Abu
Bakar ra. Umar ra. Aisyah ra.
Apakah
Allah dan Rasul-Nya mengetahui pengorbanan mereka untuk dien-Islam ini?
Ya.
Apakah
Allah dan Rasul-Nya mengetahui integritas mereka untuk dien-Islam ini?
Ya.
Dan
kemudian, Allah memuji dan menjanjikan surga-surga yang mengalir sungai di
dalamnya, beserta pula hadis hadis jaminan Allah melalui Rasulullah bahwa
mereka termasuk 10 orang sahabat yang dijamin masuk Jannah-Nya.
Maka,
inilah titik kritisnya, point-terpentingnya. Perhatikan:
Ketika
Allah memuji mereka, Rasulullah menyayangi mereka .... kemudian ... orang Syiah mencela dan
menistakannya! menjelekkannya dengan keburukan yang sangat ekstrim!
Maka, bukankah
penafikan itu, penistaan itu, pencelaan itu berarti menafikan ayat Allah yang turun terkait mereka?
Maka
bukankah penafikan, penistaan, penyelaan Syiah terhadap ketiga sahabat dan
sahabiah itu berarti memburukkan perbuatan Allah ketika mengangkat derajat
mereka?
Bukankah
hal ini menunjukkan bahwa mereka mengkufuri ayat Allah dan mengkufuri hadist
Rasulullah?
Apakah
ini tidak kafir namanya?
Bagaimana
mungkin seseorang tidak kafir sementara dirinya menghinakan Aisyah ra. ibunda kaum
muslimin, istri Rasulullah?
Bukankah
wanita yang baik adalah untuk lelaki yang baik, dan lelaki yang buruk adalah
untuk wanita yang buruk, Quran menyatakan demikian. Sementara Aisyah, masya
Allah adalah istri Rasullah.
Jika orang Syiah itu menghinakan
Aisyar ra. maka niscaya secara tidak langsung mereka memvonis bahwa Rasulullah
adalah lelakiyang keji karena beristrikan wanita (Aisyah ra.) yang mereka tuduh
sebagai pezina, yang mereka katakan sebagai wanita pencemburu ekstrim, wanita
gede adat, wanita tukang adu domba, wanita golongan munafik yang akan berada di
kerak Jahannam.
Maka
akibat omongan --yang bahkan diterakan didalam kitab kitab doa untuk melaknat
ibunda Aisyah ra.-- kita dapat melihat bagaimana pejuang IS menendang mayat
tentara rezim Syiah Iraq seraya berkata.
“Inilah
bangkai-bangkai penghina ibu kita, ummul mukminin Aisyah.”
Maka
saya kembali pertanyakan bagaimana tidak kafir ketika Allah dan Rasulullah
meninggikan sementara mereka mencaci maki apa yang Allah tinggikan dan
Rasulullah cintai?
Maka pertanyaannya lagi,
... apa kalian, sahabatku, kawan-kawanku, apakah Kamu tidak marah mereka
dinistakan dalam buku buku doa yang kalangan Syiah buat?
Kamu
pasti menjawab, marah!
“Kami
marah!”
“Marah! Kami meranggas!”
Jika
kamu marah, lantas mengapa kalian ingin menyatukan antara muslim Sunni yang
mencintai para sahabat diatas dengan Syiah yang menghinakan para sahabat?
Saya ulangi sekali lagi
pertanyaan ini, pertanyaan yang –insya Allah-- akan membekas di hati dan
meninggalkan pertanyan besar dalam benak kalian:
Jika kamu marah, jika
kita marah mengapa kita ingin menyatukan antara muslim Sunni yang mencintai
para sahabat diatas dengan Syiah yang menghinakan para sahabat?
Apakah kalian menganggap
mereka adalah saudara kalian? Menganggap mereka
Muslim?
Mungkin kemudian kalian
akan menjawab.
“Engkau, Divan! Engkau
gagal paham terhadap seruan politis!”
Aku gagal paham? Maka
aku pertanyakan jika aku gagal paham, lalu mengapa Kamu menghendaki sesuatu
yang politis sementara politis-mu itu meninggikan Syiah yang menghina para
sahabat?
Jika itu sebuah manuver
maka mengapa manuver itu memberi nafas
pada Syiah kemudian gerakanmu, tempatmu berkecimpung itu merendahkan,
menistakan, memonsterisasikan, men-zombie-kan mujahidin yang berperang untuk
membela kehormatan para Sahabat, engkau menghororkan mujahidin IS yang berperang,
menumpahkan darah, mengorbankan jiwanya untuk menegakkan keadilan atas
diskriminasi Rezim Syiah terhadap muslim Ahlussunnah, dan menegakkan syariat Islam?
Mengapa kamu lebih
mengutamakan seruan persatuan itu, sementara kamu meninggalkan persatuan dengan
kaum yang mencintai para sahabat dengan alasan –kalaulah alasan itu
alasan—politis?
Apakah ini cinta?
Apakah ini cinta?
Apakah ini cinta?
“Jangan sembarang ambil
kesimpulan!” diantara Kalian sahabatku, mungkin akan menambahkan hal begini.
“Kami mengakui bahwa
Syiah itu bukan muslim! Dan seruan itu harap ditafsirkan bahwa di dalam
Khilafah Syiah dan Sunni bersatu. Bukankah non muslim seperti Kristen Yahudi,
Majusi bisa hidup di dalam Khilafah?”
Subhanallah, maha suci Allah.
Hingga kini, aku tidak
mendengar satupun perkataan petinggi-petinggimu yang menyatakan bahwa Syiah itu
non muslim/kafir (itu yang pertama).
Aku beranggapan itu
hanya interpretasimu sendiri atas seruan organisasi atau partai yang muncul.
Akan tetapi, baiklah, jika
seperti itu pendapatmu, jika engkau menganggap Syiah yang mencerca dan
menistakan sahabat yang dicintai Rasulullah dan sahabat-sahabat yang dipuji
Allah, sebagai pihak yang harus dilindungi dipersatukan, artinya disayang dan
dipersatukan dalam Khilafah, maka bagaimana pendapatmu dengan Ahmadiyah, sekte
Mosadeq? Akankah sekte sekte seperti itu
dibiarkan hidup di dalam Khilafah?
Mampukah Engkau mengatakan
bahwa sekte sekte yang:
mengambil ayat Quran,
menginterpretasikan sembarangan,
memutarbalikan hadist
dan menambah-nambahkannya akan diberi perlindungan,
sementara mereka
menghancurkan fondasi Islam?
Tidak.
Kukatakan engkau tidak
akan mampu menjawabnya.
Ahmadiyah berbeda dengan
Kristen, Yahudi dsb, mereka, Ahmadiyah dan Syiah menggunakan ayat Quran dan
hadist untuk mengaburkan pemahaman terhadap Islam.
Sekali lagi kuulangi: Kristen
tidak, melakukan itu. Yahudi tidak melakukan itu karena mereka memiliki
kitabnya sendiri yang berbeda dan tidak mengutip kitab suci kita, akan tetapi
Syiah sama seperti Ahmadiyah, sama seperti sekte Mosadeq. Syiah, Ahmadiyah,
Mosadeq menggerogoti Islam dari dari dalam.
Maka apakah akan engkau masih
bertahan dengan pembelaanmu kemudian mengatakan bahwa tidak semua Syiah kafir, bahwa
masih ada Zaidiyah.
Jika begitu, lihatlah,
perhatikanlah siapa Syiah yang diperangi di Suriah dan di Iraq.
Apakah mereka Zaidiah?
Bukan! Mereka rafidhah, mereka bahkan lebih ekstrim
dari itu dan melakukan pembunuhan dan diskiriminasi mengerikan yang terencana.
Mereka bahkan lebih
ekstrim lagi.
Lantas jika begitu lagi-lagi
kupertanyakan, mengapa engkau menyatakan persatuan Sunni dan Syiah di Suriah
dan Iraq, sementara Syiah yang di Iraq dan Suriah itu ghulat.”
Saudaraku,
kawan-kawanku, sahabatku,
kalian menilai menggeneralisasi
Syiah itu muslim hanya karena Zaidiah, sementara kalian tidak membuka mata,
bahwa Syiah Iraq dan Suriah adalah
Ghulat, Syiah ekstrim.
Kalian mengambil yang
satu untuk menggeneralisir, padahal yang lebih dekat dengan kebaikan adalah
menggeneralisir dan memisahkan yang satu. Semua Syiah kafir, dan Zaidiah bukan
Syiah.
Jika
kalian memahami bahwa Syiah kafir bukan hanya karena mereka menghina para
Sahabat, akan tetapi akidah mereka berbeda terutama masalah Imam Ke-12 dan
kegaiban-kegaiban para Imam serta kekuasaannya yang mengesankan kekuasaan
Ilahiyah, yang mirip dengan tradisi teologi Persia dan India maka kemudian
relevankah seruan penyatuan Syiah dan Sunni?
Maka kini saya akan pertanyakan
tindakan lain yang sudah kalian lakukan beberapa bulan kebelakangan. Maka,
Patutkah kalian mengupload
photo-photo pembunuhan yang kalian anggap dilakukan Islamic State/Daulah
Khilafah sebagai pembunuhan terhadap muslim, sementara kalian mengatakan bahwa
revolusi di Suriah adalah revolusi berkah, dan menyampaikan bahwa rezim syiah
Bashar dan rezim Nur Al Maliki harus ditumbangkan? Patutkah?
Sementara ... ketika
pejuang Islamic State melakukan pembunuhan milisi Syiah Nuhaisiriah, milisi
Syiah Bashar sang tiran, kalian kemudian membombardir publik dengan mengatakan bahwa IS membunuhi kaum muslimin.
Kalian
sahabat-sahabatku, teman-temanku, saudaraku, kemudian memposting photo-photo
pembunuhan terhadap militer Syiah, menyebarluaskannya di seminar-seminar
spanduk-spanduk dan mempolitisasinya untuk mengamankan posisi gerakanmu di
hadapan rezim saat ini dengan menjelekkan IS. Gerakanmu kemudian melangkah
dengan menyerukan PERSATUAN SYIAH & AHLUSUNNAH untuk menggalang dukungan
dan simpati atas –hanya untuk—gerakanmu saja. Maka, jika hal itu terus terjadi,
maka renungkanlah pertanyaan ini baik-baik:
Mengapa Kalian lebih
mendahulukan persatuan dengan golongan
yang memusuhi Sahabat
Rasul
Ketimbang
Mendahulukan persatuan dengan
golongan yang melakukan pembelaan atas-nya?
Mengapa?
Tidakkah kalian mempertanyakan itu?
Jazakallahu khairan