Dunia O' Dunia
Posted: Minggu, 05 Agustus 2012 by Divan Semesta in

Rise The Humanities Flag under your islamic consciousness sky
Assalamu 'alaikum
1. Saya setuju, jangan pernah percaya sama trainer. Apalagi trainer motivasi. Di pabrik saya bekerja, kita sudah kapok cari ustadz yang jadi motivator. Kita cari ustadz yang zuhud, padat ilmunya kalau pun tertawa masih ada hubungannya dengan isi ceramahnya.
-------------------------------------------------------------------
1. Sebenernya kata-kata Ustad Abdurrahman itu nonjok juga untuk saya, karena saya pernah narif untuk isi training di tempat teman bekerja. Meski nggak jadi, tapi pernah melakukan itu (narip) meskipun nggak jadi (alhamdulillah), menghantui dan menghakimi saya. Saya sadar benar bahwa apa yang saya bawakan itu kebanyakannya kutap kutip ayat quran atau hadist, meski di mix sama materi keduniawian tetep aja ya Kang. Quran dan Hadist nggak bisa dihargain. Transaksinya langsung sama Allah. Para sahabat Rasulullah nggak pernah menjadikan upaya mereka memotivasi menggunakan ayat quran, hadist dan pengalaman pribadinya sebagai sumber nafkah. Mereka punya profesi untuk ngebulin dapur pribadinya, entah jadi kuli batu, tukang kayu bakar, bisnis man.
Eh, tapi untuk masalah narip itu pernah saya lakukan untuk isi training ya bukan kajian keislaman. Kalau kajian keislaman sampe narip, najis banget saya. :D
Dan pernah memberikan tarip training itu, pembelajaran buat saya juga. Saya tobat deh. Ampun-ampunan.
----------------------------------------------------------------
2. Impian saya cuma jadi orang baik, selamat dunia akhirat, jadi penulis dan bekerja dari rumah.
3. Mungkin kita perlu diskusi lagi. Bekerja "mati - matian" pun bisa bernilai ibadah asalkan tidak hanya "berani membela yang bayar saja." Ada seorang pengusaha yang ingin terus mengembangkan usahanya. Semua untungnya dikembalikan menjadi modal. Sebagian untungnya diberikan untuk SPP anak - anak karyawannya, membuat pabrik baru agar semakin banyak orang yang bekerja, memberi beasiswa untuk para mahasiswa, dll. Dan pada titik itu saya bekerja sampai larut malam, semata - mata saya setuju dengan ide ide di atas.
-------------------------------------------------------------------
Saya sepakat dengan pemilik-pemilik usaha yang Kang Hasan sampaikan. Subhanallah, memang seperti itu seharusnya Kang. Dan menjadi pekerja pun sebenarnya bisa saja menjadi ibadah, tapi harus benar-benar paham hukum syara, benar-benar ikhlas dan diniatkan untuk ibadah memenuhi kebutuhan keluarga, dan tentunya membayar zakat dan tidak lupa sedekah. Tapi ada orang yang tidak menyadari hal itu.
Mungkin lebih jelasnya begini kali Kang.
Bekerja yang halal adalah ibadah asalkan ikhlas juga, tapi saya tetep nggak mau menghabiskan hidup untuk mengejar karier meski dengan ibadah semacam itu. Dan orang-orang pun --mungkin nggak sadar-- bahwa sangat tipis batasan antara ibadah dengan hasrat tersembunyi mengejar jabatan dan karier.
Waktu ibadah kerja itu saya cukupkan dari jam 9-5 saja. Sisanya bisa saya perbuat untuk memperbaiki banyak hal. Yah, kalau sekali-kali kerja di luar jam kerja sih oke-oke aja, nggak apa-apa. Itu mah pengecualian.
Dan itu rumusan saya, bukan rumusan untuk kebanyakan orang, makanya nice juga kalau Kang Hasan kasih tanggapan bahwa saat ini bekerja sampai malam untuk mengejar sesuatu yang mulia.
Kang Hasan, insya Allah masuk dalam pengecualian.... :)Insya Allah. Hayo atuh sy dukung.
--------------------------------
Hatur nuhun
--------------------------------
Sami-sami
DS
saya masih iri dengan apa yang saya baca di media dakwah...
berikut ini kutipannya...
Dakwah adalah pilihan hidup. Berkaitan dengan masalah ini, saya punya pengalaman pribadi yang tidak terlupakan. Pernah saya mengisi sebuah acara temu tokoh di Sulawesi Tengah. Banyak yang hadir ketika itu, sekitar 100 orang. Yang menarik, ada seorang tokoh yang hadir dalam pertemuan tersebut. Padahal beliau dalam keadaan sakit cukup parah. Jalannya pun harus dipapah. Hal ini mengundang ketertarikan saya sehingga saya ikut mengantarkan beliau sampai ke rumahnya. Dalam perjalanan, saya bertanya kepada beliau. “Pak Kiai, bolehkah saya bertanya tentang sesuatu yang sangat pribadi?” tanya saya.
Beliau menjawab pendek, “Silakan!”
Saya melanjutkan, “Kalau boleh saya tahu, apakah gerangan yang mendorong Pak Kiai hadir dalam acara ini sekalipun dalam kondisi sakit cukup parah seperti ini?”
Jawab beliau, “Saya melihat pertemuan ini penting. Jarang sekali pertemuan tokoh semacam ini.”
“Saya yakin ada dorongan tertentu yang membimbing pak Kiai datang,” ujar saya.
Beliau diam sejenak. Tidak lama kemudian beliau berkata lagi, “Saya terpanggil untuk terus membangkitkan umat Islam. Saya sudah berjual-beli dengan Allah SWT.”
Begitu perkataan beliau. Lalu sambil mata berkaca-kaca beliau membaca ayat yang maknanya: Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang Mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil, dan al-Quran. Siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka dari itu, bergembiralah dengan jual-beli yang telah kamu lakukan itu. Itulah kemenangan yang besar (TQS at-Taubah [9]: 111).
Anonim: terimakasih nasehatnya, entah kenapa belakangan ini saya gampang tersentuh sekali ayat-ayat Quran, apalagi jika dikaitkan dengan bagaimana ayat Quran menghidupi banyak jiwa, termasuk kiai tua yang kamu ceritakan. Terimakasih nasihatnya, sangat berharga.
DS
“Jangan serta merta kita merasa sudah menunaikan kewajiban, mencurahkan diri untuk menyampaikan.”
mencurahkan jelas berbeda dari menyempatkan.
bulan lalu saya di PHK tempat ngajar saya bang. bukan, bukan karena saya aktif gerakan dakwah (karena emang tu institusi benci banget ama gerakan dakwah), tapi karena prestasi. kini terkadang saya merenung, kenapa dulu gak dakwah aja sekalian, menyampaikan semua-muanya toh ujung2nya dipecat juga. inilah yg masih membuat dada ini nyesek, qt lebih sering hanya sekedar "menyempatkan" bukan "mencurahkan"
Kok karena prestasi dipecat? mungkin prestasi nt nggilani? seengganya kita udah nggak buat pembenaran. Kalaupun nanti masih bekerja seengganya kita, nt, saya gampang rogoh kantong untuk infak. Kalau sahabat saya bilang, udah kalah sama dunia, nggak dakwah, nggak jihad, nggak infak, jadi batu aja sekalian. :D
klo kata ust.Faqih orang model gituan mending ditakbirkan 4 kali rame2
para ustadz abal abal yang mematok tarif 30juta / 15menit dan ngga mau ceramah kalo bayarannya kurang bagi saya amat sangat f*cking sh*t!
Ya Allah, janganlah kau berikan
nikmat dunia terlalu banyak......hingga aku terlena.
Jangan juga terlalu sedikit
hingga aku melupakannya.
Sesungguhnya yang sedikit lagi
cukup lebih baik untukku.
-Umar bin Khatab-
Assalamu 'alaikum
1. Saya setuju, jangan pernah percaya sama trainer. Apalagi trainer motivasi. Di pabrik saya bekerja, kita sudah kapok cari ustadz yang jadi motivator. Kita cari ustadz yang zuhud, padat ilmunya kalau pun tertawa masih ada hubungannya dengan isi ceramahnya.
2. Impian saya cuma jadi orang baik, selamat dunia akhirat, jadi penulis dan bekerja dari rumah.
3. Mungkin kita perlu diskusi lagi. Bekerja "mati - matian" pun bisa bernilai ibadah asalkan tidak hanya "berani membela yang bayar saja." Ada seorang pengusaha yang ingin terus mengembangkan usahanya. Semua untungnya dikembalikan menjadi modal. Sebagian untungnya diberikan untuk SPP anak - anak karyawannya, membuat pabrik baru agar semakin banyak orang yang bekerja, memberi beasiswa untuk para mahasiswa, dll. Dan pada titik itu saya bekerja sampai larut malam, semata - mata saya setuju dengan ide ide di atas.
Hatur nuhun
hasan