TAAT

Posted: Rabu, 21 Juli 2010 by Divan Semesta in
4

Didit namanya. Karakternya jelas bukan karakter seorang sales yang mencintai pantai ketimbang pegunungan. Ia tidak menyukai hiruk pikuk. Ia jelas tipe melankolis, bukannya sanguine yang karakternya diidentikkan berbicara penuh semangat, energy yang meluap-luap tetapi tidak persisten.

Dalam sharring session yang kami adakan, atasan saya menodong. Masing-masing sales ditanya mengenai optimisme yang mereka miliki.

Tentu, apakah keyakinan itu seratus persen atau tidak, dengan suara rendah dan tertata, dengan tatapan mata yang sungguh sangat beda tipis antara pemalas dan orang bijak, Didit mengatakan.

“Saya yakin pada Allah Bu. Entah bagaimana saya yakin.”

Saya pernah mengalami hal yang sama. Kalian pun mungkin pernah ketika keyakinan kita seolah-olah tidak bisa ditawar, padahal injury time sudah dihadapan mata. Ya, hanya dalam dua minggu lagi, seandainya target dia tidak tercapai maka kontrak kerja pun di putus.

“Bagaimana bisa yakin? Keyakinan itu kan harus ditopang? Dengan apa penopangnya?”

Urusan topan menopang ini, tentu tidak ada kaitannya dengan kayu penyanggah atau tongkat rotan yang acapkali digunakan oleh kakek nenek kita di masa lampau, tetapi kaidah kausalitas apa yang menjadi sumber kekuatan, sumber keyakinan tersebut.

“Saya hanya berusaha taat, ujar Didit.”

Taat, hm taat? Dalam ekstrim tertentu yang dibesarkan oleh abad pencerahan, ketaatan adalah buta. Ketaatan adalah lawan dari determinisme. Keyakinan buta adalah lawan dari ilmu. Tapi dalam dunia timur khususnya, ketaatan bukanlah semata-mata mengerjakan ritual shalat sampai kening kita biru karena menahan beban pinggang tubuh dan bahu, dzikir beribu-ribu kali, atau sekedar zakat, puasa atau potong domba pas Iedul Adha.

“Taat. Saya berusaha taat kepada Allah. Menguatkan ibadah, shalat tahajud, shaum dan… berusaha konsisten, disiplin dalam melakukan follow up (konsumen), datang di pagi hari, juga berusaha melayani sepenuh hati.”

Allah maha melihat. Allah maha mendengar mana hamba yang benar benar taat atau berpura-pura taat karena ketaatan tidak hanya menyerahkan diri tetapi melakukan usaha untuk kemudian menyerahkan segalanya pada yang diatas.

“Kalau seandainya saya ternyata tidak berhasil juga di waktu yang sudah ditentukan. Tidak apa-apa. Saya tidak menyesal karena saya sudah berusaha.”

Ketika Islam memancangkan keyakinan bahwa tidak ada yang kalah ketika tidak mencapai sebuah tujuan, karena usaha hanya milik manusia sedangkan hasil adalah milik Allah yang maha kaya, maka disanalah keyakinan, kepasrahan, penyerahan diri, ketaatan menjadi sebuah kekuatan.

Allah Tahu tetapi Allah menunggu, demikianlah Tolstoi mengarang sebuah cerita pendek.

Tanamlah pohon, demikianlah Rasulullah berkata, meski pun esok hari manusia akan punah (kiamat),

Dan kemudian… satu hari selang sharing session tersebut, dan kemudian ketika hari itu saya sedang menempelkan selebaran di madding perusahaan, Didit menghampiri saya.

“Alhamdulillah Mas. Hari ini saya closing.”

Tahukah jumlahnya?
Seratus? Duaratus? Limaratus juta?
Tidak.
Rp. 2000.000,000,- dua milyar rupiah.

4 komentar:

  1. Anonim says:

    rasanya saya seperti minum campuran jus : terharu, kagum, tersindir sekaligus terinspirasi.

    makanya saya selalu bilang, saya mah gak mau minta naik gaji ke atasan, tapi yang Maha Atasan!

    hasan abadi kamil
    www.thenangkalandak.wordpress.com

  1. Anonim says:

    Ah yaa... Sederhana, namun cukup berenergi! [Ahsan H]

  1. The Nangkalandaks:

    Yang jelas kita pede dengan kualitas kita Kang (somse). Tapi tetep aja minta gaji itu gengsi. Kalau kata almarhum Dono: mana tahan .... haha. Sama.

    Ahsan:

    Aha! Seperti geledek toh!

  1. Terima kasih mas utk artikel yang ini. Saya sangat suka.

    Ada satu yang saya lupa dalam hidup, berpasrah diri kepada Allah :) sekaligus tidak lupa berusaha.

be responsible with your comment