Merindukan Keberanian Itu

Posted: Rabu, 20 Januari 2010 by Divan Semesta in
1

Ruang persalinan itu terang. Suara Kotak dan lagu baru mereka yang kubenci sudah beberapakali diputar. Aku masih berada di ruangan itu sejak pukul 10 pagi. Sudah 12 jam lebih, mendengarkan erangan, melihat sedikit demi sedikit darah merembes di pangkal paha.

Sejarah peradaban manusia senantiasa menggambarkan perasalinan sebagai sesuatu yang agung. Seribu satu metafora untuk proses itu. Hancurnya poros Jepang-Italia-German pada perang dunia, merupakan siklus kelahiran. Siklus yang memakan korban, demi munculnya sebuah hegemoni yang kekuatannya merasuk hingga alam bawah sadar di bawah bisikan kartu kredit dan fiat money untuk memenuhi naluri materialistic.

Kelahiran-kelahiran peradaban, pun hampir selalu seperti itu. Seakan de-javu: tumpahnya darah menjadi tumbal munculnya klan-klan atau kerajaan. Munculnya dinasti Umayah setelah darah seorang lelaki ksatria tertumpah dan tercerabutnya kepala keturunan Ali di Karbala hingga berdiri dan eksisnya segitiga mistik piramida yang dibangun menggunakan erangan dan darah. Seorang pendeta Teotihuakan pun melakukan hal yang sama, menjadi bidan kelahiran musim semi dengan mewadalkan seorang putrid kepala suku, dan menggunakan kulit tubuhnya sebagai ritual persembahan.

Proses persalinan hampir selalu dimaknai oleh kesakitan. Asumsi Marx setidaknya dapat dipahami demikian. Untuk melihat pagi, manusia harus mengarungi malam, ujar penyair Lebanon. Manusia-manusia hebat pun tidak dilahirkan dari lautan yang tenang, tetapi lautan yang bergelora: lautan yang digulung oleh taufan. Dan gunung-gunung pun memuntahkan laharnya untuk menggemburkan tanah.

Di ruang itu aku melihat sebuah salib. Judas yang terpaku pada dinding rumah sakit itu terlihat menyeramkan. Ada syahadat kristiani terera di atasnya, INRI. Di rungan itu, istriku mengerang hampir setiap menit sekali. Tenaganya terkuras. Untuk yang kedua kalinya ia berhadapan dengan kontraksi yang ia alami, saat berupaya melahirkan Nyawa. Yang aku ketahui saat itu, aku tak mungkin merasakan kesakitan yang dirasakannya.
Aku kembali mengenang masa-masa di Malang, saat bukaan pertama terjadi, aku lantas menyalakan motor tahun tujuh puluh kebanggaanku.
Di tengah malam, ketika udara masih berembun,aku membawa istriku ke rumah sakit dan setelah kami menyadari bukaannya tidak beranjak naik melebihi bukaan tiga setelah ia melaluinya selama 18 jam dalam kesakitan, aku memutuskan untuk melakukan cesar. Dan kali ini pun demikian.

Persalinan adalah sebuah perenungan. Jika pada saat kritis istriku bergumam, membandingkan rasa dicabut nyawa yang sebenarnya tak bisa dibandingkan, seorang sahabat lantas bersimpuh pada ibundanya usai menyaksikan langsung bahwa persalinan adalah proses pertaruhan Nyawa. Sebuah pertarungan. Apa aku pernah melewati fase itu? Melibatkan diri dalam sebuah pertarungan?
Siklus hidup ku berbeda dengan orang yang biasa berangkat ke Jakarta ketika aku bangun. Setelah bangun, shalat, biasanya aku menyediakan waktu setengah jam untuk bermalas-malasan, entah mengganggu istri atau menjahili anakku, lantas pergi menyeduh kopi, menyalakan computer mendengarkan lagu-lagu bertempo cepat. Setelah itu, aku masih saja bermalas-malasan, mengambil bantal, mencari koran kemarin sambil menunggu Nyawa menyerangku dengan bau badannya yang khas.
Aku berangkat pukul 08.30. Bekerja hingga pukul 05.00 lalu pulang. Di waktu libur ikut kajian, menyewa vcd, nonton dibioskop dan makan bareng istriku atau tiga bulan sekali mengantar orang ke air terjun, atau melakukan hal-hal yang aneh.
Hidupku bukanlah hidup petarung. Benar, aku pernah menghajar lelaki sipit tepat di rahangnya hanya karena mengira ia melecehkanku. Aku menyukai benar bagaimana kegembiraan yang hampir menyerupai terbakarnya berahi ketika mendengar sekolahku diserang oleh sekolah lain. Aku lantas berteriak-teriak seperti gila karena senang kemudian mengambil balok kayu. Atau di malam-malam ketika orang masih tidur aku menikmati bagaimana suara kaca sekolah terdengar merdu kala kupecahkan dan keesokan harinya mengejar beberapa orang anak sekolah lain sambil mengancam dengan pisau lipat hingga salah membacok kaki anak STM, dikeroyok puluhan orang dan diselamatkan oleh seorang supir angkutan kota yang kalap, dihajar sampai jengkang oleh lelaki sebesar kingkong, hingga peristiwa terakhir yang pernah membuatku bangga, bahwa aku pernah mengalahkan dua orang dan membuat muka salah seorang yang melecehkanku mengeluarkan begitu banyak darah dari hidungnya.

Peristiwa-peristiwa itu cukup mengesankan --untuk diriku-- tapi itu perkelahian. Itu hanyalah peristiwa-peristiwa yang saat ini kubilang genit pula konyol dalam sudut pandangku. Haha. Itu bukan jihad, itu bukan melibatkan diri dalam perang yang sesungguhnya. Perang yang sungguh berarti, pertempuran yang sungguh bermakna. Tak pernah sekalipun aku melibatkan nyawaku untuk itu.

Aku, Kamu setidaknya yang hidup di negeri ini merasakan situasi yang secara general bisa dikatakan damai. Perang dunia ke dua, sudah jauh dibelakang, perang di Moro, Afghan, Gaza, sebagian besar kita belum pernah merasakannya. Situasi itu rasanya jauh di sana. Kita tidak benar-benar merasakan perang, dan tidak ada kepastian apakah kita akan terlibat di dalamnya, meski kita sudah meniatkannya. Dan, wanita berbeda.

Jam sudah menunjukkan pukul 21.23. Suara yang hampir serupa dengan suara blower yang katanya itu alat untuk menyedot darah yang berceceran di meja operasi. Selaris suara menyelinap dan aku tersenyum. Ia telah lahir. Anakku, yang bernama Nyala terlahir ke dunia. Dan aku masih berada di bangku panjang ini, usai Ira menunaikan jihadnya.

Di dunia yang damai ini, ketika lelaki tidak menjadi semestinya lelaki, maka apa yang bisa dibanggakan olehnya saat berada dihadapan seorang wanita yang setidaknya pernah satu kali dalam kehidupannya turun ke medan laga dan membiarkan alam untuk melakukan mekanismenya menyilet rahim perlahan-lahan?

Aku sungguh merindukan keberanian itu. Ya Allah ampunilah aku.

1 komentar:

  1. Barakallah..

    Selamat atas kelahiran anak ke-2.
    Semoga menjadi penolong dan pembela agama Alloh. amien.

be responsible with your comment