Dihadapan-Nya Semata

Posted: Rabu, 20 Januari 2010 by Divan Semesta in
0

Sudah seharusnya demikian bukan? Seseorang menghisap kuat, menikmati benar putik sari kehidupan, menikmati segala sesuatu yang atomk dalam hidup dan menganalisanya?

Ini pembelajaranku.

Nyawa, anakku memiliki perbedaan konsumsi informasi dengan zamanku. Aku tahu, zaman hilangnya khurafat, pun, belum tentu hilang dari zamannya. Se-luarbiasanya, segigantiknya kekuatan teknologi, manusia akan tetap tergoda untuk berpaling pada hal-hal yang konyol.

Pada satu waktu, sambil menggunakan kopeah, menyelempangkan kain sarung, aku berlari kencang melintasi pohon matoa. Menderu, deru mengigit mulutku kuat-kuat. Kuayun, kulempar kaki sejauh-jauhnya: berlari super kencang karena kekhawatiran akan hantu pocong.
Kalian pun pernah demikian bukan? Satu dua kali, atau bahkan tak terhitung berlari, memejamkan mata, kesulitan tidur hanya karena cerita jerangkong, genduruwo atau buto ijo yang menjadi penghuni pohon, jembatan, rumah kosong, atau danau. Kita semua, pernah merasakan hal itu.

Pramudia Ananta Toer, menceritakan dengan baik tentang hal ini dalam Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (kalau tidak salah). Ia menceritakan ketakutan, ketakutan yang mengakibatkan kita tidak mempercayai diri kita sendiri. Membuat kita tidak taat terhadap filosofi dasar yang menjadi basis antropologi.

Sedikit banyaknya demikian. Ketakutan itu pada akhirnya menjadi tanaman rambat. Tanpa kita sadari ketakutan itu memperpanjang, membesarkan diri.

Kita menjadi takut berdiri mengemukakan pendapat di depan kelas. Ada tujuh macam pergulatan, keragu-raguan, keringat dingin di permukaan tangan sebelum kita berhadapan dengan dosen atau seseorang yang nama dan tindak tanduknya tidak berkesesuaian atau bertubrukan dengan perilaku dan cara pandang diri kita.

Eksistensi kita, tercerabut, mitos menguasai: menyimpulkan sesuatu yang saharusnya tidak disimpulkan sebelum kita benar-benar menemukan faktanya. Lantas kita menjadi gentar hanya karena seorang menulis makian di blog yang mengatakan orang lain anjing dan ngentot sembarangan atau hanya karena tato dan dandanannya menjadi mesin foto kopi punk rock norak macam band Kominas. Kita menjadi ragu pada seseorang yang konon katanya, pernah melempar molotov cocktail, pernah digebuk sekaligus melawan aparat saat demo, pernah berkelahi, membadik seseorang. Dan kita menjadi kerdil dihadapan informasi yang disajikannya. Padahal, di dalam blog, di dalam zine, di Myspace orang bisa berbual tentang apa saja.

Kehidupan kita, masa lalu kita, dikuasai oleh mitos-mitos keseharian yang membuat kepribadian kita tidak kuat seperti seharusnya. Larislah, buku-buku pengembangan untuk menjadi rujukan, bukan sebagai perbandingan.

Aku dan kamu, saat ini mungkin tengah dan berkutat, membasmi ketakutan-ketakutan tak berdasar yang masih ada. Itu bagus. Dan aku tidak ingin hal ini berlaku pada anak-anakku. Anak-anak kita juga.

Hingga beberapa bulan yang lalu, anakku Nyawa, tidak pernah takut menghadapi gelap. Baginya gelap hanyalah gelap saja. Tidak lebih dari itu.

Ia tidak pernah mengenal kata-kata untuk mengidentifikasi mahluk-mahluk yang tak jelas.
Tanyakanlah padanya apa itu arwah gentayangan. Tanyakanlah pada dia apa itu genderuwo. Ia takkan tahu.

Memang, dulu, kami pernah memergoki seorang pengasuh menakut-nakuti anak kami dengan mengatakan, “nanti ada pocong! Nanti ada pocong!” karena Nyawa tidak mau menelan oat sarapannya.

Aku tak pernah ingin, Nyawa mengenal hal-hal --yang kalaupun ada-- tak pernah berguna itu. Kami segera mengisolasi ingatannya, menegur sang pengasuh dan semenjak itu aku tak pernah mendengar ketakutan-ketakutan yang tak berdasar muncul dari mulut mungilnya.

Tak pernah, dengan sengaja kami menyetel sinetron. Melihat sinetron pun hanya sekilas ketika memindah-mindahkan saluran televisi untuk mencari channel yang memang berguna. Dan hancurlah semua ketika Nyawa melihat orang-orang menggunakan seragam hantu. Meski hanya sekilas (beberapa menit), jangan tanya imbasnya.

Nyawa menjadi sulit tidur malam hari. Lama-kelamaan ia menjadi takut terhadap gelap, selalu meminta ditemani ke kamar mandi dan mengambil buku bacaan di perpustakaan kecil tempat kami. Ia menjadi begitu penakut, jika harus sendiri.

Hingga saat ini tayangan terkutuk itu mungkin masih ada di kepala Nyawa, tetapi, semenjak melakukan dialog dengannya, perlahan Nyawa mulai melupakan ketakutannya. Bila tak sengaja Nyawa melihat tayangan sinetron-sinetron sialan itu, kami acapkali mengatakan figuran-figuran yang diposisikan sebagai mahluk halus sebagai badut.

“Nyawa,” ujarku pada satu ketika, “badut-badut yang Nyawa liat tingginya segimana? Cuma segini kan? (aku membuat ukuran), cuma setinggi televisi kan?”
Nyawa berpikir.
“Sekarang, coba berdiri.”
Ia mengikuti saranku.
Aku lalu membandingkan tinggi badannya dengan ukuran tinggi televisi.
“Nah,” aku memandang matanya. “Sekarang, lebih tinggi mana, badut atau Nyawa?”
Nyawa tersenyum.
“Tinggi Nyawa,” katanya hampir berteriak.

Dan sejak dialog itu Nyawa mulai menemukan keberaniannya.

Aku sungguh ingin membebaskan dia dari kekhawatiran yang tak beralasan. Membebaskan anak-anakku dari kekhawatiran yang pernah aku dan kamu alami.

Aku tahu, sepenuhnya tak mungkin bisa karena ketakutan itu sebenarnya fitrah. Tetapi, setidaknya aku bisa meminimalisir untuk membangun akar yang menghunjam, membangun sebuah system yang memiliki pertahanan dan kemampuan untuk memperbaiki informasi dan membersihkan diri dari kejahatan yang nantinya akan ia hadapi.

Sebagai orangtuanya, kami hanya ingin --di masa depan--, Nyawa dan adiknya, dan sahabat-sahabat hanya boleh khawatir karena kekahawatiran itu adalah fakta, bukan isapan jempol belaka.

Nyawa, dan adiknya tidak berhak menjadikan kekuatan manusia sebagai mitos, melebih-lebihkan kekuatan teknologi musuh-musuh dien-nya, hingga menimbulkan ketakutan yang berkarat seperti orang-orang yang akhirnya menghamba pada Negara dan isme kepanjangan zionisme dan freemason.

Mereka hanya boleh khawatir secara wajar, dan untuk kemudian, mengkonversi kekhawatiran itu menjadi sebuah strategi dan aksi.

Mereka hanya boleh takut jika berhadapan dengan kesalahan diri di hadapan Tuhan-nya.

Di hadapan Allah semata.

0 komentar:

be responsible with your comment