Cara Menghancurkan Islam
Posted: Rabu, 20 Januari 2010 by Divan Semesta inDalam pertempuran, di samping menggunakan tameng, para ksatria masa lalu melindungi diri dengan baju zirahnya. Teologi abad kegelapan, hingga Heggelian jika diibaratkan, bisa demikian.
Teologi dibangun atas logika-logika filsafat yang terkesan sophisticated dan dalam konteks ke-Indonesiaa kita bisa melihat bagaimana Sindunatha, Frans Magnis meramunya. Tetapi, apakah memang sesuatu yang menjadi inti yang dilindungi bisa melindungi dirinya? Apakah inti yang dilindungi memiliki kesehatan paripurna ataukah seperti keong, yang memiliki cangkang kuat tetapi lemah di dalam?
Para penyerang, yang mengetahui substansi ini tidak akan silap oleh tameng dan baju zirah yang dikenakan. Mereka hanya mementingkan substansi, menyerang hanya pada yang inti karena mereka paham tameng-tameng itu hanyalah besi-besi rapuh itu hanya pengalih. Di hadapan filologi dan hermeuneutika, Bible remuk menjadi remah-remah.
Anand Khrisna, Ghandi, dan para penyeru Pluralisme berlindung di balik baju zirah, menebar-nebarkan pancingan agar manusia sibuk memakan dan berargumen bukan tentang yang inti. Berdialog bukan tentang sesuatu yang asasi dan runut (lihat tulisan Mutlaknya Relativitas di Blog ini). Kebenaran kemudian bergeser: keindahan retorika menjadi kebenaran yang kuat, padahal di dunia ini ada banyak yang memproteksi diri: mengecoh pemangsa dengan menampilkan warna atau mimik wajah yang seram, dan melalui National Geographic atau ensiklopedia biologi, orang awam mengetahui bahwa binatang-binatang itu tidak memiliki kekuatan yang nyata.
Filsafat materialisme sepenuhnya hampir sama. Lemah di awal pembentukan ide fundamentalnya hingga kemudian aliran-aliran berfikirnya melakukan penyerangan-penyerangan terhadap Islam seperti halnya susunan baji dalam manuver orang-orang German awal saat mereka menyerang legion perang Romawi. Menyerang, kiri kanan, kanan kiri, bukan pada runutan logika berpikirnya.
Teologi dibangun atas logika-logika filsafat yang terkesan sophisticated dan dalam konteks ke-Indonesiaa kita bisa melihat bagaimana Sindunatha, Frans Magnis meramunya. Tetapi, apakah memang sesuatu yang menjadi inti yang dilindungi bisa melindungi dirinya? Apakah inti yang dilindungi memiliki kesehatan paripurna ataukah seperti keong, yang memiliki cangkang kuat tetapi lemah di dalam?
Para penyerang, yang mengetahui substansi ini tidak akan silap oleh tameng dan baju zirah yang dikenakan. Mereka hanya mementingkan substansi, menyerang hanya pada yang inti karena mereka paham tameng-tameng itu hanyalah besi-besi rapuh itu hanya pengalih. Di hadapan filologi dan hermeuneutika, Bible remuk menjadi remah-remah.
Anand Khrisna, Ghandi, dan para penyeru Pluralisme berlindung di balik baju zirah, menebar-nebarkan pancingan agar manusia sibuk memakan dan berargumen bukan tentang yang inti. Berdialog bukan tentang sesuatu yang asasi dan runut (lihat tulisan Mutlaknya Relativitas di Blog ini). Kebenaran kemudian bergeser: keindahan retorika menjadi kebenaran yang kuat, padahal di dunia ini ada banyak yang memproteksi diri: mengecoh pemangsa dengan menampilkan warna atau mimik wajah yang seram, dan melalui National Geographic atau ensiklopedia biologi, orang awam mengetahui bahwa binatang-binatang itu tidak memiliki kekuatan yang nyata.
Filsafat materialisme sepenuhnya hampir sama. Lemah di awal pembentukan ide fundamentalnya hingga kemudian aliran-aliran berfikirnya melakukan penyerangan-penyerangan terhadap Islam seperti halnya susunan baji dalam manuver orang-orang German awal saat mereka menyerang legion perang Romawi. Menyerang, kiri kanan, kanan kiri, bukan pada runutan logika berpikirnya.
Kuberi nasihat pada agen-agen Komunis, Free Mason, atau Anarko: Hancurkanlah kepercayaan terhadap keberadaan Tuhan, patahkan argumentasi Al Quran dengan keajaiban-keajaiban di dalamnya, maka jika bisa demikian, kita akan menyaksikan kehancuran agama samawi tersebut.
Tanpa hal itu, penyerangan-hanyalah penyerangan kecil tak berarti karena kepercayaan inti Islam hampir mirip dengan susunan ilmu yang dibangun secara sistematis dan holistic. Tanpa hal itu, penyerangan-penyerangan kecil tidak harus ditanggapi, bahkan dengan Quran.
Turunkan saja, pasukan baji yang sama untuk membuat kacau suasana.
Para mujtahid melakukan hal itu, para penulis –mungkin kamu-- membuat lapisan perlindungan kedua, membakar besi analogi, menempa bijih baja argumentasi yang berasal dari logika sosiologi, antropologi, filsafat dan keadaan natural manusia serta alam semesta.
Kita bisa melihat An Nabhani dengan konsep Naluri dan Kebutuhan Pokok Manusianya, kita bisa melihat bagaimana Thabattaba’Idan pemikir-pemikir Iran mencuri saripati filsafat untuk mengembangkan kekuatan tameng itu dengan menguliti mitos Promotean ataupun buah keabadian. Kita bisa melihat bagaimana Harun Yahya melakukan penelaahan terhadap eksistensi manusia dan simpul kehidupan yang telah terajut dan harus kita uraikan. Kita bisa mengamati ribuan, bahkan belasan ribu, atau mungkin jutaan orang dimasa lalu dan masa yang akan datang menguatkan Islam yang sesungguhnya tidak usah dikuatkan.
Karena apa?
Karena sudah kukatakan, keyakinanku tidak memerlukan diriku untuk melakukan pembelaan-pembelaan. Quran sanggup berdiri dengan sendiri dan melakukan pembenaran. Kanon itu hadir seperti seorang lelaki yang dikisahkan dalam sejarah: melemparkan tamengnya karena keyakinannya tidak ditunjang oleh tameng atau baju zirah melainkan ditunjang oleh kemampuan diri.
Hal ini menumbuhkan kekaguman banyak pengelana, menyebabkan diriku mengagumi, dan tunduk dihadapan pencipta-Nya. Menyatakan kepercayaan mutlak seperti ketika Abu Bakar mengatakan persaksian tanpa cacat saat Rasul menyatakan bahwa ia telah melakukan perjalanan mengarungi sebuah alam yang hingga saat ini sulit diukur dengan jarak cahaya.
Bagaimanapun demikian, manusia tetap memerlukan tameng dan baju zirah, karena kita, manusia, selalu mendambakan jembatan-jembatan logika yang di dalam agama disebut hikmah atau irfan. Logika hanyalah armor atau baju zirahnya.
Para mujtahid melakukan hal itu, para penulis –mungkin kamu-- membuat lapisan perlindungan kedua, membakar besi analogi, menempa bijih baja argumentasi yang berasal dari logika sosiologi, antropologi, filsafat dan keadaan natural manusia serta alam semesta.
Kita bisa melihat An Nabhani dengan konsep Naluri dan Kebutuhan Pokok Manusianya, kita bisa melihat bagaimana Thabattaba’Idan pemikir-pemikir Iran mencuri saripati filsafat untuk mengembangkan kekuatan tameng itu dengan menguliti mitos Promotean ataupun buah keabadian. Kita bisa melihat bagaimana Harun Yahya melakukan penelaahan terhadap eksistensi manusia dan simpul kehidupan yang telah terajut dan harus kita uraikan. Kita bisa mengamati ribuan, bahkan belasan ribu, atau mungkin jutaan orang dimasa lalu dan masa yang akan datang menguatkan Islam yang sesungguhnya tidak usah dikuatkan.
Karena apa?
Karena sudah kukatakan, keyakinanku tidak memerlukan diriku untuk melakukan pembelaan-pembelaan. Quran sanggup berdiri dengan sendiri dan melakukan pembenaran. Kanon itu hadir seperti seorang lelaki yang dikisahkan dalam sejarah: melemparkan tamengnya karena keyakinannya tidak ditunjang oleh tameng atau baju zirah melainkan ditunjang oleh kemampuan diri.
Hal ini menumbuhkan kekaguman banyak pengelana, menyebabkan diriku mengagumi, dan tunduk dihadapan pencipta-Nya. Menyatakan kepercayaan mutlak seperti ketika Abu Bakar mengatakan persaksian tanpa cacat saat Rasul menyatakan bahwa ia telah melakukan perjalanan mengarungi sebuah alam yang hingga saat ini sulit diukur dengan jarak cahaya.
Bagaimanapun demikian, manusia tetap memerlukan tameng dan baju zirah, karena kita, manusia, selalu mendambakan jembatan-jembatan logika yang di dalam agama disebut hikmah atau irfan. Logika hanyalah armor atau baju zirahnya.
gila!
retorika rangkaian kata yang kang divan susun kayak membrondong logika berfikir!
gak bosan-bosannya saya berkunjung terus ke blog ente kang..
http://guekhomeini.wordpress.com