Miyabi dan Qory
Posted: Selasa, 13 Oktober 2009 by Divan Semesta in Raditya Dika dan Qory telah menjadi buah bibir di seluruh Nusantara belakangan ini. Yang satu adalah blogger yang telah mengembangkan karirnya menjadi penulis naskah film, sedangkan yang satunya lagi baru saja terpilih sebagai Putri Indonesia 2009. Akan tetapi, yang menyedot perhatian banyak orang bukanlah karir mereka, melainkan cara mereka menjalaninya. Raditya menulis naskah untuk sebuah film yang diberi judul Menculik Miyabi, sedangkan Qory mengorbankan jilbabnya demi kompetisi.
Apa yang terjadi pada mereka, atau pilihan yang mereka buat, bukanlah sebuah gejala semalam. Pemikiran tidaklah dibangun secara tiba-tiba, melainkan dengan melalui beberapa tahapan fundamental. Apalagi jika seorang blogger memutuskan untuk mempromosikan seorang bintang film porno – baik itu tujuan utamanya atau tidak – dan seorang putri Aceh sampai memutuskan untuk menanggalkan identitas keislamannya, bahkan kemudian mengumumkannya di atas panggung. Sesuatu telah terjadi pada mereka, dan kita akan sangat rugi jika tidak menjadikannya sebagai bahan pemikiran, tentunya dengan menjadikan kontruksi pemikiran Islam sebagai pembandingnya.
DualismeKedua kasus menunjukkan masalah dualisme yang sangat berat, sebagaimana kerap terjadi dalam peradaban Barat. Ust. Hamid Fahmi Zarkasyi telah menjelaskan fenomena ini dengan sangat menarik. Kepercayaan Zoroaster memandang dunia sebagai pergulatan abadi antara kebaikan dan kejahatan. Orang Mesir kuno menjadikan Ra sebagai simbol kehidupan dan kebenaran, berlawanan dengan Apophis yang merupakan simbol kegelapan dan kejahatan. Mitologi Yunani juga selalu menampilkan pertarungan antara Zeus dengan para Titan. Jiwa dan raga dipandang sebagai dua hal yang terpisah.
Sebagai kritik atas dualisme, ada pula paham monisme. Zeus dan Titan ternyata berasal dari nenek moyang yang sama. Dalam kepercayaan Zoroaster, kebaikan inisbatkan kepada Ahura Mazda, sedangkan kejahatan disifatkan kepada Ahriman. Akan tetapi, keduanya adalah saudara kembar. Jiwa adalah pasangan raga, sedangkan keduanya adalah satu kesatuan. Akan tetapi, karena dominasi pemikiran sekuler yang mengobarkan arogansi akal tanpa wahyu, maka monisme tersingkir dan dualisme pun berkibar.
Masalah ini sebenarnya sudah terpecahkan oleh konsep tauhidullaah. Semuanya adalah ciptaan Allah SWT. Pendukung kebenaran dan kejahatan memang senantiasa bertarung, namun yang haq sudah dipastikan kemenangannya, sedangkan yang bathil sudah pasti akan kalah.
Seorang dualis, menurut ust. Hamid, memandang fakta secara mendua. Akal dan materi adalah dua substansi yang secara ontologis terpisah. Jiwa dan raga tidak saling terkait karena beda komposisi. Akal bisa jahat dan materi bersifat suci, atau akal selalu baik dan raga dianggap jahat. Kebenaran pun menjadi dua: obyektif dan subyektif. Di era post-modern, kebenaran bahkan ada yang absolut, ada pula yang relatif. Karena itu, manusia pun berandai-andai mengenai ‘pelacur berhati suci’, ‘penjahat yang santun’, ‘pahlawan yang mesum’, ‘ateis yang baik’ dan seterusnya. Dalam akhir uraiannya, ust. Hamid menjelaskan bahwa dualisme ini akhirnya menjadi semacam perselingkuhan intelektual. Hati ber-dzikir pada Allah SWT, tapi pikirannya menghujat-Nya.
Cara berpikir dualis juga yang telah digunakan oleh Raditya dan Qory dalam memilih jalan hidupnya. Raditya mengakui bahwa Miyabi telah menjalani hidupnya dengan sangat hina, namun kapasitasnya dalam film yang digarapnya hanya sebagai bintang film biasa. Karena itu, Miyabi dalam hal ini tak perlu diperlakukan seperti bintang film porno, melainkan sebagai bintang film biasa. Qory pun mengalami masalah yang sama ketika ia menganggap bahwa melepas jilbab – dengan ijin siapa pun, entah benar atau tidak – untuk memenangkan sebuah kontes kecantikan tidak membuatnya menjadi Muslimah yang buruk. Sebagaimana kaum dualis lainnya, Qory mengaku lebih mementingkan ‘menjilbabi hati’ daripada ‘menjilbabi kepala’, karena hati dan tubuh memang dianggap sebagai dua hal yang terpisah. Raditya mengira bahwa Miyabi bisa menjadi bintang film porno yang tidak merusak, sedangkan Qory menyangka bahwa dirinya bisa menjadi Muslimah yang baik tanpa harus menutup auratnya.
RelativismeDalam kasus Raditya, penyakit relativisme sangat menonjol. Dalam sebuah acara di sebuah stasiun televisi swasta, ia mengatakan bahwa penolakan orang terhadap film Menculik Miyabi itu biasa-biasa saja, kurang lebih sama seperti ketidaksukaannya pada sinetron yang jalan ceritanya absurd. Alasan ini biasa digunakan oleh kaum relativis untuk menghindari perdebatan. Semuanya dianggap relatif, tergantung siapa yang menilai. Maka menolak bintang film porno pun dianggap sama bobotnya dengan menolak sinetron yang digarap dengan buruk.
Dulu, umat Islam takut menonton film porno. Kemudian film porno beredar di mana-mana, termasuk di tempat-tempat terbuka yang sudah pasti diketahui juga oleh polisi. Orang menonton film porno dengan sembunyi-sembunyi dan sendiri-sendiri. Kemudian yang menonton merasa terasing karena ‘kesendiriannya’, lalu ia mengajak teman-temannya, dan mereka pun menonton bersama. Setelah itu, yang tadinya dianggap memalukan kini malah dianggap lumrah. Kalau tidak menonton film porno, tidak dianggap laki-laki. Sekarang, akibat kontroversi Menculik Miyabi, orang tidak malu lagi mengaku sebagai penikmat film porno. Kalau bintang film porno pun diapresiasi, maka bintang-bintang panas lokal seperti Julia Perez, Kiki Fatmala, Sarah Azhari dan semacamnya akan ‘mendapat angin’, karena Miyabi jelas lebih bejat. Beberapa dasawarsa ke depan, Indonesia mungkin bukan lagi sekedar pasar besar untuk industri pornografi, melainkan juga produsennya. Sebenarnya hal ini sudah dirintis dengan menjamurnya teknologi ponsel yang memiliki kamera dan perekam video. Raditya dan Qory, baik mereka mengakuinya atau tidak, memiliki andil besar dalam meruntuhkan moral bangsa ini.
Boikot Sosial
maaf..
seperti dualisme pemikiran yang anda tuangkan dengan foto yang terpampang. adakah itu bernama dualisme? foto itu bukankah putri anda si Nyawa? dengan siapakah? sepupunya?
mungkin, bisa jadi terlihat sepele bagi anda. namun dengan pose foto yang seperti itu bisa terbaca pola pembentukan karakter anak oleh orang tuanya. Anak menyerap apapun sampai hal yang terkecil yang bisa jadi sengaja/tidak sengaja dilakukan oleh orang terdekatnya (terutama orang tua)..
bagaimana qta bisa menyiapkan generasi penerus qta sebagai pengisi peradaban jika dalam hal terkecil saja qta sudah lalai?