Tegap Menantang (Bab 39 Tamat)

Posted: Senin, 14 September 2009 by Divan Semesta in
2

Riang yang diharuskan untuk mengambil jalan lain melewati pondokan, tidak mengetahui jika pondokkan yang berada dibelakang tubuhnya sudah diobrak-abrik orang suruhan sang Bapak. Lima belas menit di depan Riang, Fred menjauhi Kardi yang tengah menggiring seekor pitbull, diantara puluhan tukang onar yang membawa dua jerigen bensin dan beberapa orang yang mempersenjatai diri mereka dengan pistol dan senjata tajam.

Riang terus berjalan. Rasa letih membuat pikirannya tak fokus. Langkahnya semerawut. Usai mengambil jalan potong melewati pondokkan, Riang membayangkan betapa jauhnya perjalanan. Ia masih harus memasuki hutan kopi, melewati air terjun beserta lorong-lorongnya lalu melewati perkebunan teh dan lahan pertanian yang luas.

Riang hampir-hampir putus asa. Ia benar-benar tak sanggup jika harus sampai saat ini juga. Fisiknya yang diforsir kemarin malam, memaksa dia mengistirahatkan dirinya di depan hutan kopi, tepat di bawah pohon tempat ia dan Taryan pernah mengumpulkan jambu.

Kericik air membuat istirahat yang diniatkan sebentar membuatnya menjadi lama. Angin membantu menghela kesadarannya. Riang tertidur. Pada awalnya ia tak memimpikan apa pun jua, namun di akhir-akhir tidurnya, ia terkenang kembali sahabat-sahabatnya. Taryan, Fidel, Bentar dan Eva, Antoni, bahkan Agus menyapanya. Informasi mengenai aksi, perihal kemungkinan pembalasan yang dilakukan penanam modal di Punclut, larangan beristirahat di pondokkan dan segala kemungkinan buruk lain yang diceritakan Waluh membuat alam pikirannya bergerak. Dalam mimpi bola mata Riang mengendut-endut cepat. Ia mimpi yang bukan-bukan.

Riang bangun. Mimpi buruk menjadikan pengisian energi tubuhnya tidak berlangsung baik. Tidur siang satu jam tidak mengaruniakan kebugaran sempurna. Ia baru merasa segar setelah air terjun memijat punggungnya. Setelah air terjun ia lewati Riang memasuki kawasan kebun teh, lalu menyaksikan menyaksikan bagaimana angkasa dicoreng morengi asap hitam.

Was-was melanda. Ia berjalan cepat seolah ikuti lomba. Tak jauh dari hamparan rumput Jepang, ia melihat rumah kayu Fidel terbakar api. Atap rumbianya sebagian habis menjadi abu lalu dihembuskan angin. Riang bersembunyi. Di lahan mentimun, ia melihat orang-orang menampakkan wajah tegang.

Orang-orang itu mencari rekaman tindak penembakan yang mereka lakukan dalam aksi warga Punclut yang pertama. Fred merasa dongkol rekaman yang ia informasikan kepada sang Bapak tidak ditemukan, baik di pondokan dan di rumah kayu Fidel.

Rencana lain harus dilaksanakan. Lelaki bertubuh atletis yang berada di luar rumah memberi isyarat. Ia berteriak agar Fred keluar. Bensin diguyur pada dinding rumah. Lelaki itu memerintahkan pria lainnya untuk mengelilingi rumah, memastikan tidak ada satu pun orang yang bisa keluar lalu menyebar informasi pembakaran rumah kayu dan –menyebarkan informasi— mengenai usaha melenyapkan barang bukti penembakan di Punclut.

Botol bensin dilemparkan ke atap rumah. Sebuah letusan terdengar. Botol bensin pecah diserempet peluru. Gesekan yang ditimbulkannya menyalakan api. Api muncrat turun di berbagai sisi atap rumbia. Api berlari cepat menuju dinding. Berlari mengagumkan mengelilingi tiang-tiang, jendela dan pintu lalu menggabungkan diri pada satu titik. Asap hitam mulai muncul, lalu di sapu angin. Api bertambah besar.

Lelaki bertubuh tegap bak perenang pekan olahraga nasional itu berteriak lagi. Ia memastikan agar Fred keluar rumah. Ia tak mengetahui jika di dalam rumah itu Fidel mengintai dari celah pintu bawah tanah. Fidel merangkak setelah mengetahui rumah kayu menjadi panas oleh api. Secepat gerilyawan pembebasan Fidel merangkak. Ia mengambil mulut Fred lalu membantingnya.

“Apa yang kau cari?!” bisik Fidel mengancam.

Fred diam.

“Apa yang kau cari itu memusnahkan nuranimu sendiri?!” Fidel mengingatkan.

Tapi Fred tetap diam. Ia lebih memilih memfokuskan konsentrasi untuk membebaskan diri. Fred bukan bukan orang sembarang. Ia mengetahui beberapa teknik keluar dari kuncian. Fred bukan orang biasa yang pernah dikalahkan Waluh usai mempraktikkan kekejian pada seekor ayam.

Keluar dari pitingan itu Fred segera menghantam kepala Fidel menggunakan tulang belakang tengkorak kepalanya. Beberapa kali daerah di wajah dihantam membuat hidung Fidel patah. Darah membuat mulutnya terasa asin. Alis Fidel koyak. Fred langsung berdiri, menendang tulang rusuk Fidel, tetapi tangan Fidel yang bergerak cepat membuat tubuh Fred kembali tidak seimbang.

Fred terjatuh. Ia dikurung oleh tubuh Fidel. Ia menggapai-gapai kaki kursi. Tangan Fred segera membentuk benteng pertahanan seperti yang dilakukan Chris Jhon sang petinju. Kursi mental ke samping, melenceng keluar jendela. Tak ada satu orang pun yang berani masuk ke dalam. Api semakin besar. Asapnya membuat sesak. Waktu semakin sempit. Fidel menubruk Fred. Kepalanya meleset menuju ulu hati, tetapi lengannya melingkar di kepala Fred. Setelah Fidel memastikan posisi tangannya, kakinya langsung menyambar perut Fidel menggunakan dengkul dan menghentak, membalikkan tubuh Fred sekuat tenaga menuju lantai. Punggung Fred membentur tiang. Tulang lehernya retak. Nyerinya tak terkira. Asap semakin tebal. Paru-paru ke dua lelaki itu sudah sampai pada batas yang tak dapat ditolerir.

Dengan sisa kekuatan Fidel meninggalkan Fred yang tergolek tak memiliki kemampuan. Fidel merayap menggunakan lengan dan dengkulnya. Ia membuka pintu bawah tanah lalu terjatuh. Pintu tertutup. Asap menyusup ke dalam. Fidel merangkak, menjauhi asap. Di tiga perempat lorong bawah tanah ia pingsan.

Di atas ruang bawah tanah, Fred menggelepar seperti ayam yang dulu pernah disiksa olehnya. Tangan Fred terlihat dari luar jendela, diubari api, menjadi gosong. Api mengamuk membuat atap rumah ambruk. Palang penyangga terjun bebas mengakhiri rasa sakit yang menjalar di tubuh lelaki itu.

DI LAHAN MENTIMUN, Riang yang sudah bisa menguasai dirinya mengendap-endap, memutar. Ia memiliki harapan, menuruni lereng bukit lalu berlari menuju tempat Fidel biasa membincangkan segala hal dengannya. Dalam keadaan itu ia tak mengingat jika sesuatu terjadi di luar kesadaran. Jemari tangannya menancap di tanah. Di lereng bukit itu ia merangkak cepat seperti binatang berkuku tajam. Bukit itu dengan mudah ia daki.

Riang menuju semak-semak. Asap terlihat meleleh dari pintu yang tersembunyi. Ia bergegas masuk ke dalam. Asap membuat Riang terganggu. Ia membuka baju dan menggunakannya untuk menyaring asap.

Lorong gelap. Lampu padam. Riang tak bisa menyaksikan apa-apa. Ia ragu untuk melanjutkan. Beberapa meter ke depan Riang memutuskan untuk berhenti, tetapi beberapa langkah kemudian ia sudah tidak tahan. Nafasnya serasa tercekik. Ia berbalik dan … sebuah tangan tiba-tiba memegang pergelangan kakinya. Riang jongkok meraba. Instingnya bermain. Ia menarik tangan Fidel, menyeret tubuhnya. Di tangga ia memanggul tubuh Fidel ke atas.

Saat pintu lorong terbuka ia merasa lega. Udara segar yang meski masih bercampur asap menolongnya. Riang membanting pintu dan melemparkan tubuh Fidel ke luar, namun … belum selesai ia mengatur nafasnya, sebuah laras senapan menempel di kepalanya.

“Di sini Bang!” seseorang berteriak antara tegang dan senang.

Pitbul menyalak. Riang mendengar langkah kaki mendekatinya. Ia mengangkat tangan tak memiliki kesempatan melawan. Riang diikat. Ia melihat wajah sahabatnya berjelaga, namun ia bersyukur masih bisa melihat gerakan halus di dada. Jantung Fidel masih memompa darahnya. Perutnya masih berdenyut konstan.

Riang bersyukur sahabatnya masih bisa bernafas. Kini, yang ia khawatirkan hanya dirinya. Orang-orang berkumpul mengelilingi Riang. Riang tak mampu menatap wajah mereka. Ia memilih berdamai. Lalu ketika salakan anjing terdengar didekatnya, Riang merasakan wajahnya berputar. Tulang pipinya berguncang disepak. Dalam pening ia melihat seseorang mengayunkan kembali kakinya. Orang itu hilang akal. Kaki mendarat di tubuh dan wajah Riang. Darah bertebaran di tanah. Lidah Riang tergigit. Gigi gerahamnya terasa nyeri.

“Siapa suruh menghabisi dia, goblog!” Lelaki bertubuh atletis memaki. Kardi yang memukuli Riang sampai habis disergap, sementara anjing yang ada di tangannya di alihkan. Sebelum kesadaran Riang pupus, ia melihat mulut yang benar-benar dikenalnya meludah. Ludahnya bau pasaran, bau mayat!

Setelah amukan api reda, beberapa lelaki diperintahkan untuk menuruni tangga, memasuki lorong bawah tanah. Berbekal senter mereka memeriksa buku-buku yang berwarna kecoklatan lalu membalikan risbang. Mereka tak menemukan rekaman yang dibicarakan Fred. Mereka hanya berharap pada dua orang yang tertangkap. Puluhan orang itu kemudian berjalan. Mereka bergantian menjinjing Fidel dan Riang seakan klan kanibal yang tengah menjinjing hewan buruan.

MALAM HARINYA, Waluh, Bentar dan Eva sampai di rumah kayu. Mereka hanya melihat reruntuhan. Diantara reruntuhan itu tercium bau daging matang. Ketiga orang itu mengais-ais arang. Ketakutan akan takdir seorang sahabat membuat mereka ketakutan.

Sebuah tangan mereka temukan terlihat hitam kaku dan meregang, di balik reruntuhan. Bentar dan Waluh membuka sisa bakaran perlahan dan memastikan bahwa mereka tidak mengenal tubuh yang hangus itu. Tinggi tubuh mayat tersebut lebih pendek ketimbang tubuh, Fidel sahabat mereka. Bentar kemudian mencari-cari pintu ruang bawah tanah. Ia menemukan dan membukanya, menyalakan senter lalu masuk memeriksa dan tak menemukan seorang pun juga di sana.

Ketiga orang itu segerameninggalkan rumah kayu dengan perasaan yang berkecamuk. Sampai di tempat seorang kawan mereka bergerak cepat, mengumpulkan teman yang tersisa. Tak ada yang hilang kecuali Fidel dan Riang. Dan pada saat seseorang memberitahukan Fred hilang, bulu kuduk ketiga orang yang telah menyaksikan jasad yang gosong terbakar itu meremang.

Orang-orang segera menyusun rencana. Draft kronologis peristiwa Punclut dan kemungkinan keterkaitan antara dirusaknya pondokkan dan dibakarnya rumah kayu serta penemuan mayat tak dikenal mereka susun. Jam sepuluh pagi draft digandakan lalu dibagikan pada beberapa lembaga advokasi yang mereka percaya dan media massa lainnya.

Aksi lanjutan disusun. Informasi berantai di tangkap seluruh jaringan gerakan sub culture di Bandung serta beberapa organisasi lainnya. Jam satu siang hari itu, Riuh rendah orang-orang menyemut, berkumpul di gedung sate Bandung.

Jalan di samping kiri gedung pemerintahan yang bersambung dengan Bandung Indah Plaza segera diriuh rendahi pekikan. Klakson digonggongkan. Kendaraan pribadi dan angkutan menyingkir. Yel-yel membakar. Dari arah Jatinangor ratusan orang berdatangan mengeluarkan bunyi begemuruh. Arus massa terbelah menjadi dua, saat bus kuning membelah jalan. Penumpang bus itu sesak. Di atasnya berdiri lima orang. Tiga menggunakan slayer dan ikat kepala yang lainya memegang megaphone. Di jalanan patroli polisi tampak terkejut. Empat orang polisi yang saat itu tengah istirahat belari memastikan pagar gedung dewan terkunci. Tak ada barikade berduri.

Surat yang baru disampaikan setengah jam lalu membuat aparat tak siap. Mereka membutuhkan waktu untuk mengkoordinasikan anggotanya di lapangan. Waktu jeda itu dimanfaatkan oleh rombongan lain yang berjumlah seratusan. Rombongan ini menentang arah ratusan orang yang berjalan menuju gedung pemerintahan. Mereka anak-anak muda pakaiannya di dominasi warna hitam. Rambut beberapa orang diantaranya ditegakkan lem uhu melawan grafitasi. Warna-warna menyala. Beberapa orang melilitkan rantai anjing di saku celana, beberapa lainnya mengenakan rantai di leher.

Wartawan terpilah menjadi dua. Mereka ragu-ragu untuk tetap bertahan di gedung pemerintahan atau mengikuti aksi lainnya. Beberapa wartawan yang akurasi informasinya bisa dipertanggungjawabkan mengambil sepeda motor, beberapa di antaranya berlari menuju RRI.

Rombongan seratusan orang ini menemukan gerbang RRI yang sudah ditutup satpam. Penjaga keamanan tampak kebingungan. Bentar yang berada di dalam rombongan melakukan negoisasi. Jumlah orang yang ada di belakangnya memuluskan jalan.

Auman! Pekikkan! Kemarahan menyala-nyala di udara. Mereka masuk, menduduki ruangan, dan beberapa orang lainnya menuju ruang siaran. Waluh dan Bentar mengambil mike. Beberapa orang kawan mencari operator radio, meminta mereka untuk menyiarkan apa yang ingin mereka sampaikan, on air!

Seorang operator menolak. “Bisanya hanya siaran tunda!” kata dia. Tetapi dari ruang siaran seorang teman berteriak. Ia mendapatkan operator yang bisa mengacak program RRI nasional. “Siang ini berita bisa kita bajak!” teriaknya.

Operator itu segera di paksa masuk ke dalam ruang siaran. Di bawah tekanan operator muda itu hanya memakan waktu hampir setengah jam untuk mengacak siaran pusat. On air!

Saat siaran baru berjalan beberapa menit, seorang kawan lain masuk. Ia berteriak membuat kaca ruang siaran berembun. “Situasi kacau! Polisi sebentar lagi datang! cepat! Teman-teman berusaha mempertahakan!”

Bentar mengambil inisiatif. “Masukkan wartawan!” ujarnya. “Biar mereka menjadi saksi penangkapan kita.” Setelah berkata demikian ia mempercepat apa yang ingin di sampaikannya.

WTO, IMF, World Bank, serta imbas penanaman modal asing dan dibukanya pengelolaan hajat hidup orang banyak dan sumber daya alam selain oleh Negara ia jabarkan. Bentar sampai di puncak kemarahannya ketika membeberkan penyerobotan tanah di berbagai daerah. Ia menceritakan kronologis Punclut. Seluruh keterkaitan yang masih menjadi dugaan ia jabarkan. Hilangnya Fidel dan Riang penemuan mayat membuatnya berang. Makian di selipkan … puisi-puisi… pekikan kaum bercaping…kesadaran akan emansipasi … pestisida korupsi… anjing… anjing dan anjing dilontarkan. dan …

Dar! Dar! Dua buah letusan letusan tiba-tiba terdengar.

Seorang wartawan yang terkena gas air mata mengingatkan. “Polisi menyerbu!” Suaranya hingga ke dalam. Pintu ruangan didobrak! Kaca pecah! Lampu kilat berkejaran. Wartawan yang ada di dalam ruangan merekam kejadian yang tak mungkin terulang.

Selasa menjelang Ashar itu, Waluh, Bentar dan kawan-kawanya digelandang polisi menuju truk bak terbuka. Mereka tak melawan. Pembajakan yang mereka lakukan tak sia-sia. Peristiwa pembajakan kantor dan pembajakan berita resmi RRI itu menjadi kisah yang gaungnya tak mungkin hilang di masa yang akan datang.

MANAKALA PEMBAJAKAN RRI BERAKHIR di sisi terluar kota itu, Riang merasakan tubuhnya mengalami banyak guncangan. Kelokan, jalan berbatu yang telanjang tanpa aspal membuat seluruh isi truk terguncang. Tak jauh dari tubuhnya, Fidel berbaring, mempertahankan posisinya, berpura-pura pingsan sambil mencerna keadaan. Truk berhenti. Lelaki yang ada ada di dalam truk menyeret tubuh Fidel dan Riang.

Suara jangkrik terdengar. Riang dan Fidel tak melihat apa-apa. Mata mereka ditutup kain semenjak mereka di lemparkan ke dalam truk. Tubuh Fidel di gotong, sementara Riang diperintahkan berjalan jongkok. Seseorang lelaki mendekati Riang.

“Sudah kuingatkan di Merbabu!!”

Riang berusaha menerka dalam diam.

Kardi tertawa dingin. “Aku setanmu!” ujarnya. “Tak aku sangka kita akan bertemu lagi!” ia kemudian duduk dan berbisik. “Kali ini kau akan mati! Mati! Mati ditanganku!”

Ancaman itu membuat Riang ketir. Ia tak terlatih mengelola emosinya menghadapi penculikan. Dalam kepalanya muncul gambaran-gambaran penyiksaan. Gambaran itu makin rindang, berbuah lebat. Sebelum ngeri yang sesungguhnya mendatangi, Riang dihancurkan oleh kemungkinan-kemungkinan negatif yang di sodorkan pikirannya. Riang strees. Ia mual.

Malam itu Riang dimasukan ke dalam sebuah ruangan tak berwarna selain hitam. Lampu dimatikan. Tak ada makanan. Organ tubuhnya mulai berkerja mengambil cadangan lemak. Makanan masih bisa ditangguhkan, tetapi air. Riang kehausan. Di hari ke dua, matahari menyerobot masuk. Riang di gelandang keluar, diperintahkan jongkok untuk memakan makanan anjing. Ia mendengar suara riuh dari kejauhan. Riang menyaksikan Fidel dikalungi tali. Ia bersyukur masih bisa melihat lelaki itu. Riang terharu. Ia tak melihat ketakutan di wajah Fidel.

Fidel demikian tenang saat ia dibawa ke dekat Riang. Fidel ditelanjangi hingga hanya menggunakan cawat. Ia di guyur air dingin dari dalam tong. Tubuhnya memar-memar di beberapa bagian. Warna merah sisa darah masih menempel. Fidel mengigil. Ikatan pada tubuhnya di perketat lalu Fidel dimasukan ke dalam tong berisi air. Fidel dipukuli, dipaksa masuk ke dalam airnya. Tong ditutup. Beberapa puluh detik kemudian tong bergetar lalu rubuh. Air mancur keluar, Fidel mengap-mengap. Wajah tenangnya terlihat merah padam.

“Di mana video itu!?” lelaki bertubuh atletis membentak.

Fidel menatap. “Terbakar bersama kawanmu!” ungkapnya.

Lelaki itu marah. Ia tak percaya, Fidel pastilah berdusta. Lelaki itu ingin mengetahui batas kekuatan yang dimiliki Fidel. Ia memasukan Fidel lagi ke dalam tong lainnya yang berisi sedikit air. Batu kerikil di masukan ke dalam tong. Kali ini bukan hanya dikeram. Lima orang mementungi tong itu dengan kayu dan sepatu, lalu tong digelindingkan di turunan. Tong berlari hingga menyimpang dari jalannya lalu berhenti setelah membentur pohon. Fidel dalam keadaan tak sadarkan diri saat tong di buka. Ia ditarik ke atas oleh seutas tambang. Di dekat Riang, Fidel dipaksa siuman.

Lelaki bertubuh gempal yang ingin terlihat garang lantas mengambil tusuk gigi. Ia menginjak lengan Fidel lalu tusuk gigi itu ia masukan ke dalam kuku Fidel. Fidel menahan sakit. Mulutnya mengatup, merapal-rapal sesuatu yang tak asing bagi orang yang menyiksanya. Fidel terus merapal. Rapalan itu tak mengalihkan rasa sakit yang tak tertahan tak terbayangkan. Jeritan terdengar ketika tusuk gigi yang ketiga membongkar kuku jari tengah. Fidel merintih di hadapan Riang. Fidel yang biasa terlihat gagah berusaha melawan rasa sakitnya.

Betapa menyakitkan melihat orang yang Riang kagumi dihinakan. Riang meneteskan air mata menyaksikan peragaan kejahatan yang belum sampai batasnya. Riang tak hendak memperdulikan keadaannya. Dalam suasana sempit Riang teringat kembali atas apa yang telah Fidel lakukan padanya. Ia teringat masa-masa ketika dirinya masih teronggok dalam bentuk bebatuan dan Fidel ulet memahatnya. Riang berubah menjadi karya seni yang indah. Riang teringat ketika Fidel mengatakan, akan selalu ada hari esok. Akan selalu ada hari kemenangan. Kejarlah kemenanganmu di masa ini. Cintailah hidup, akan tetapi jika takdir sudah menentukan dan kemenangan tidak berada di tangan maka kemenangan itu akan tiba bagi orang yang mempercayai kehidupan sesudah kematian.

Apakah tidak ada kemenangan Riang di dunia? Riang masih ingin menikmati sari pati kehidupan. Ia ingin keluar dari celah sempit ini. Tidak sendirian. Ia ingin bersama Fidel.

Riang memperhatikan wajah Fidel yang kuyu di hadapannya mulai bercahaya. Matanya yang bengkak mulai terbuka. Entah mengapa Fidel tersenyum padanya. Riang tahu, dalam kondisi hidup mati seperti ini, adalah manusiawi untuk memperlihatkan ketakutan, tapi Fidel mulai tersenyum. Ia berusaha menenangkan Riang dengan senyumannya seolah mengatakan, santai … Ini hanya kepingan. Atau, menguatkan Riang bahwa pengalaman seperti ini sudah seringku alami. Kita akan baik-baik saja.

Fidel memberi energi positif. Ia berusaha menguatkan Riang. Berada di dekatnya ibarat mendekati sebuah adaptor. Ibarat mempersilahkan diri ditranfer energi besar yang disalurkan secara alami.

Riang tak sadar, ketika ia tengah memperhatikan Fidel, lelaki bertubuh atletis berbisik. “Mungkin kau kuat, tapi apa kau kuat melihat temanmu kami siksa?!” Lalu lelaki bertubuh atletis memberi tanda pada lelaki berbadan gempal untuk berhenti menyiksa Fidel.

Lelaki berbadan gempal itu mengganti posisi. Ada kesenangan psikotik di matanya. Ia menuju Riang, lalu mengikat lengan Riang pada sebatang pohon. Orang-orang berkumpul lalu membantunya mebogemi tubuh Riang. Ulu hati Riang mulai kempis, ekspresi wajahnya kacau, tubuhnya dihantam sampai ringsek. Riang bersujud di tanah. Ia hampir tak kuat menahan sakitnya. Lalu generator dinyalakan. Percikan api yang muncrat membuat Riang ketakutan.

Fidel terus tersenyum, tetapi senyum itu malah menimbulkan dengki. Lelaki bertubuh gempal memergoki. Ia kesal lantas, tas! tas! Percikan api muntas. Tas! Tas! Tas! Tubuh Riang di sengat. Peredaran darahnya beku. Matanya mebeliak merah Riang kejang-kejang hingga membuat dahan pohon bergoyang.

Fidel menyadari, memfokuskan diri pada penyiksaan di hadapannya justru akan memperlambat upaya dia membebaskan diri. Fidel bergegas. Patahan-patahan tusuk gigi yang sebelumnya dipergunakan untuk menyiksa, ia gunakan untuk memutuskan serabut tali rami yang mengikat tangannya. Ketika tusuk gigi sudah tak berfungsi, ia meraba-raba dan menemukan ceceran kerikil yang membuatnya pingsan di dalam tong. Gesekan batu kerikil ia percepat pada tali rami. Dan ketika ketajaman batu kerikil itu berkurang, tali rami putus.

Fidel memperhatikan keadaan seksama. Ia melihat orang-orang menyaksikan penyiksaan itu dari jarak yang bisa Fidel taksir. Ia melakukan kalkulasi lalu melihat letak senjata. Senjata yang paling dekat adalah yang tersemat di pinggang lelaki gempal yang tengah menyetrum Riang. Belati itu terselip di pinggang, disarungi kulit sapi. Fidel telah menentukan momentum.

Jerita Riang kembali terdengar. Beberapa lelaki yang menyaksikan penyiksaan sudah merasa tak kuat, akan tetapi mereka berpura-pura menguatkan diri. Sama halnya ketika tusuk gigi membongkar kuku Fidel, orang-orang itu menganggap kekejaman yang lelaki gempal praktikan sudah keterlaluan. Ada sikap manusia yang tersisa di dalam diri mereka tetapi lelaki bertubuh gempal itu tidak. Ia binatang, melebihi binatang ternak.

Riang terus menjerit. Tubuhnya meronta lidahnya terasa kering, air liurnya mencelat kemana-mana dan ketika jeritan terkeras itu menihilkan suara generator, Fidel segera berdiri dan berlari menubruk. Ia Menghantam iga dan merampas pisau. Seseorang mencabut pistol.. Fidel menjadikan tubuh lelaki bertubuh gempal sebagai tameng.

“Buka!” Fidel memerintahkan mereka untuk membuka ikatan di tubuh Riang.

Tak ada yang bergerak. Mereka menanti reaksi lelaki bertubuh atletis.

“Kepung dia!”

Fidel dikelilingi. Ia tak mungkin memiliki kesempatan. Ia memilih mempertaruhkan kemungkinan yang belum terpikirkan oleh gerombolan orang ini. Fidel menikam pelan di punggung belakang lelaki bertubuh gempal. Lelaki itu berontak, memaksa diri berbalik dan tikaman ke dua merobek pipinya. Lelaki itu terhuyung, meminta bantuan. Tangannya mendompleng bumi, jemarinya meremas tanah.

Fidel berlari zig-zag ketika letusan terdengar. Peluru menembus pohon pisang, dan masuk ke dalam tanah. Fidel terus berlari. Pisau digengaman tangannya mulai menembus bahu seorang lelaki. Ia mencabut pisaunya lalu berlari mencari sasaran lain. Darah muncrat dari leher. Usus dicungkil, menjulur keluar. Gerombolan itu kalang kabut. Lelaki bertubuh atletis memerintahkan mundur, menjaga jarak. Fidel terus berputar.

“Kardi!” Lelaki bertubuh atletis berteriak.

Kandang di buka. Salakan anjing terdengar. Fidel gentar. Sebelum pitbul sampai di tempat itu ia berharap bisa membebaskan Riang. Fidel terus menerus berlari dan memangsa orang-orang dengan pisau yang ada di genggamannya. Seseorang yang menguatkan diri memungut pipa. Pisau dan besi berbenturan. Di saat itulah Kardi datang dan melepaskan tali kekang.

Pitbul menyerang, ia melompat terjang. Mengigit paha. Fidel tak mau merasakan rasa sakit itu. Ia tusukkan pisau di kepala pitbul. Anjing itu mati di tempat. Tertatih Fidel mendekati Kardi. Pitbul ke dua dilepaskan, memutar mencari kesempatan. Ketika pisau merobek baju Kardi, pitbul melompat mencengkramkan pisau email yang menempel di rahangnya pada tengkuk Fidel.

Ini pertarungan penghabisan. Pistol menyalak. Lengan kiri Fidel tertembus peluru. Dalam sisa kekuatannya ia terus maju, menihilkan rasa sakit. Ia ingin membawa seseorang dalam kematiannya. Fidel menangkap tangan Kardi menggunakan tangan yang dikoyakkan peluru. Kardi hilang keseimbangan. Tubuhnya maju tak bisa di tahan. Tubuhnya menjadi lahan. Pisau tertanam, menancap hingga tepian jantung, tepat di bagian tubuh yang sama saat ia membunuh seseorang lelaki gagah di dekat stasiun Yogyakarta.

Fidel membungkuk. Ia mulai kehabisan tenaga. Taring pitbul itu mulai meretakkan leher, hampir menembus otak kecilnya. Fidel tersenyum. Seyum itu sedemikian cantik. Sebuah senyuman yang mewah. Sebuah senyum agung yang berbekas.

Fidel memberikan senyum yang tak akan bisa Riang lihat lagi untuk selamanya. Senyum itu adalah pertukaran yang sebanding. Sebuah senyum kebahagiaan ketika seseorang mempertaruhkan hidup untuk sesuatu yang diyakininya.

Ia terkulai. Fidel meninggal. Tubuhnya kandas.

Riang menangis. Ia tak lagi memikirkan kesakitannya sendiri. Riang tergolek lemas. Cahaya hidupnya di matikan paksa. Ia melihat orang-orang mendekati tubuh Fidel, memastikan. Urusan Fidel di dunia ini sudah tamat. Kini tubuhnya di seret anjing. Lelaki bertubuh atletis lalu meminta seseorang untuk datang menangani. Anjing pitbul di beri daging. Rahangnya mengendur. Gigi taringnya lepas dari tengkuk Fidel.

Jasad Fidel dimasukan ke dalam tong. Riang menangis lagi. Ia melihat jasad itu dihinakan. Ia tak tahan atas perilaku itu. Uratnya mengencang. Riang tak merasa tubuhnya berguncang-guncang dan tali yang menahan dirinya tiba-tiba terlepas. Riang tidak tahu apa yang terjadi. Yang ia tahu ia marah. Kemurkaan membuat seluruh kenekatan dan kekuatan menetap di tubuhnya. Riang merasa jika dirinya seperti di pisahkan dari jasadnya. Ia seakan menyaksikan sebuah kejadian dalam film, menyaksikan tubuhnya kalap, menyerang orang-orang yang menggelindingkan tong yang berisi Fidel, sahabat tersayangnya.

Riang pukul mereka.

Ia mencakar!

Ia menendang dengan kekuatan yang memenclengkan tiga orang.

Tong Fidel berhenti menggelinding. Riang menghentikannya. Mendirikannya. Ia tak mendengar hembus nafas. Ia tak mendengar rintih kesakitan. Riang belum bisa menerima jika sahabatnya sudah berkawan dengan ajal.

Riang murka dengan derajat kemurkaan yang tak pernah dirasakannya. Ia mengambil seonggok kayu, mematahkan satu orang yang menyergap badannya. Dua orang datang memiting Riang. Mereka tak kuat menahan kekuatan magis itu.

Empat orang tak sanggup.

Lima orang dihempaskannya.

Delapan orang, Riang hampir takluk.

Ia dikerubungi. Tangan kakinya di pasung.

Riang terus melawan. Ia masih menggelepar. Digunakannya segala macam cara. Digigitnya salah satu diantara mereka. Kepingan daging jatuh. Raungan-raungan yang menjijikan.

Mulut Riang di hantam. Mulutnya dimasukan kain. Ia tersumbat. Riang melemah. Ia tak mampu lagi berbuat apa-apa dan derapun datanglah!

Pukulan dan tendangan bersatu dengan ludan dan makian. Dirinya adalah tempat sampah. Puas sudah! Tubuh Riang di masukan ke dalam tong. Inilah saat-saat dimana kepasrahan datang. Tak ada yang bisa menolong Riang.

Tong ditutup…
Cahaya hilang.
Tong..tong..tong..tong..tong..tong.
yang biasa diisi bensin, solar, minyak tanah
saat ini di isi manusia.

Tong…tong..tong..tong…
menjadi lorong yanghitam
seperti putaran roda bis …
serasa masuk ke dalam penggilingan.
…berputar…berputar semakin cepat.

suara geledak geleduk…
Suara…suara pukulan yang bising di telinga.
Seperti gemuruh seperti ada ledakan…
Ada drum band.

Semakin cepat betputar…

Pening…pusing…
Riang ingin muntah. Aku ingin muntah.
“Heiiii…buka! Aku mau muntah! Tolong!
Wu..wue…wuek..
WHO…EEEKKKKK!
Tong berhenti berputar. Tong didirikan.
Ada cahaya.

Tutup tong di buka.
Riang melihat ke atas.
Wajah dipenuhi cairan lambungnya sendiri.
Lelaki itu tersenyum sinis…
Ya ia rasa mengenalnya.
Riang berusaha konsentrasi…


Riang mengenalnya.
Ya…seperetinya dia Kardi.

H a l u s i n a s i

Mata Riang semakin kabur.
Ia dijambak. Diludahi dua kali.

“Kau akan mati!”

Lelaki itu memasukkan beberapa buah benda.

Tong ditutup kembali.
Berputa…putar lagi…
Tong-…tong….
Riang mulai merasakan perih…
Ada tusukan…tusukan kecil…
Benda apa yang dimasukkan lelaki itu?

…tubuh Riang seperti ditusuk paku …
Riang mengeram menahan sakit. Ia kencing.
Pipis di celana…
Riang berak di celana!
…tong
…tong
... tong …

Kepala kembali di atas,
kaki di bawa
Leher nyeri tertancap…
Semua badan nyeri tertancap…
Kesakitan memuncak…

Inilah ambang batas ketika Riang tak menyadari segalanya.

Seperti masuk ke alam baka.
Kesakitan perlahan dicerna.
Kesakitan dan pening di lahap.
…di cerna…
Tida..tiba..
Riang masuk ke dalam kedamaian. ………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………putaran…putaran ini …………………………… …………………. Seolah ia berdiri di atas bumi melanglang… layang layang. Riang seakan
keluar dari tong dan menyaksikan bumi dari luar pengaruh gravitasi. Indahnya. Tong ini tidak jauh dari bumi yang sedang berotasi. Ada kedamaian. Terus berputar pada porosnya.
….. …………………………….bumi ini adalah tong ……………………………………
…………………………………aku adalah bumi ini……………………………………..
………..…………………………...….ektase……………………………………………..
……………………Apa ektase yang dirasakan Rumi seperti ini …………………………
…………………………………..Riang mengantuk………………………………………..
………….damai…………

Damai..damai….
Allah…………….
……Allah………….Allah…
Allah….Allah…..Allah……....Allah……...Allah……….
Allah……….Allah…….Allah………
Mengapa aku menyebut naman-Nya?
Allah……Allah…….Allah……..kenapa ia melafadzkan kekhasan-Nya?
Allah…..Allah………..Allah……….
Allah………Allah………Alllah………………..
Allah………Allah………………Allah………
Allah………Alllah……………..Allah…….

Damai sekali…

Sejuk…

Tong..tong berputar…

Apakah Fidel merasakan hal yang sama di tong itu?
Riang berharap ya. Ia berharap anugerah yang serupa.
Kuharap ia dapatkan. Keajaiban menihilkan kesakitan….

Ya Tuhan…
Ya Tuhan…
Ayo terus putarkan…
Semakin cepat semakin nikmat….
Semakin dahaga….semakin terasa damai.

Bumiku adalah tong ini…tong ini adalah bumiku….

Riang mulai tak merasakan putarannya…
Ia berada di poros bumi…
Allah mematikan hukum alam untuknya
…huah…

Riang mengantuk…lalu senyap… dan tertidur lelap.

RIANG BANGUN, menanti apa yang terjadi. Tapi, di luar tak terdengar apa pun. Ia menunggu. Terus menunggu. Setelah cukup lama, tong itu ia goyangkan, ke kanan, ke kiri hingga terjatuh. Ia meneendang tutupnya! Tutup tong terbuka, Riang merangkak dan berdiri. Dilihatnya keadaan sekeliling.

Tak ada manusia selain dirinya. Ia berada di tengah hutan. Mereka membuang Riang di jurang. Jauh dari keramaian. Mereka sudah menganggapnya mati.

Riang melongok ke dalam tong sekali lagi. Ia menemukan celana pendek dan puluhan paku. Ia lantas memperhatikan tubuhnya sendiri. Tak ada bekas paku dan tusukan. Tubuhnya hanya terasa pegal. Riang kebal. Ia merasa aneh dengan dirinya sendiri. Ia mengenakan celana pendek, kemudian berputar-putar mencari tong lain yang berisi jasad Fidel.

Riang berharap keajaiban tetapi ia tak menemukannya. Ia hanya bisa berharap Tuhan mematikan hukum alam pada Fidel. Ia berharap luka yang tertancap di tengkuk, luka yang membuat tubuh Fidel robek dan memar akan terasa seperti yang dirasakannya.

Seandainya Fidel benar mati, ia berdoa semoga tong yang di tempatinya menjadi lorong kecil yang membebaskan dirinya dari dunia yang profan.

Tak ada kekhawatiran.
Riang seperti terbebas dari angka
Ia menjadi nol lagi.
Hilang semua asa. Lenyap seluruh asa
Ia berjalan… terus berjalan.

Dan jika orang-orang memandangnya kalah, tak mengapa! Sebab bagi dia kemenangan tidak ditentukan dari hidup dan matinya seseorang, melainkan tetap beradanya dia di dalam ruang kebenaran…selama-lamanya! Seabadi-abadinya!
Riang memanterakan bahwa dirinya tidak pernah kalah. Bahwa Fidel tak pernah tunduk untuk mengalah. Ia akan selalu berdiri tegap …

Menantang!
dan mengancam!


-TAMAT- :)

2 komentar:

  1. Anonim says:

    Nuhun brother untuk mengingatkan bahwa kita memang harus terus menantang!

  1. Saya sangka, nggak akan ada yang baca karena saking panjangnya :). Amin...semoga...selalu, brother.

be responsible with your comment