Cermin (Bab 32)

Posted: Senin, 31 Agustus 2009 by Divan Semesta in
0

Dalam pembicaraannya mengenai pencarian, pergulatan manusia dengan keyakinan, Fidel tidak menyertakan figure pembela eksistensi Tuhan paling mutakhir dan figur penyangkal Tuhan terbesar yakni Dawkins dengan teori mengenai meme, virus akal budi yang mendapat pencerahan dari bapak evolusi, Darwin.

Riang hanya dipahamkan mengenai sebuah fondasi. Ia hanya diberikan pemahaman mengenai tiang pancang keimanan dan dijelaskan kembali mengenai sandaran informasi yang pernah Fidel sampaikan saat mereka menginap di danau Merbabu. Bahwa, setelah manusia meyakini keberadaan Tuhan, setelah seseorang menyimpulkan adanya informasi yang diberikan Tuhan untuk mengelola kehidupan, maka ia akan berhadapan dengan berbagai klaim keagamaan bahwa kitab inilah, atau kitab itulah yang merupakan wahyu Tuhan untuk manusia.

Dalam taraf seperti ini manusia akan melakukan serangkaian pengujian mengenai otentisitas kitab termasuk di dalamnya mengenai penelitian bahasa atau salah satu cara yang paling sederhana dan bukan yang paling canggih ialah dengan meneliti sejarah bagaimana kitab suci itu di bukukan: apakah pencatatan kitab suci tersebut dilakukan ketika Nabi --yang dianggap pembawa kabar ayat-ayat Tuhan-- masih hidup, dalam artian, pencatatannya langsung dilakukan ketika nabi mendapatkan wahyu atau penulisan kitab suci itu dilakukan jauh-jauh hari setelah sang nabi wafat? Hal ini perlu dipertimbangkan karena perbedaan waktu antara pencatat dengan orang yang dicatat ucapannya, akan mempengaruhi tinggi atau rendahnya distorsi informasi yang disampaikan Tuhan pada sang nabi.

Mencari kitab yang tidak terdistorsi, atau yang paling rendah tingkat distorsinya akan menunjukan bahwa manusia tersebut adalah manusia yang serius melakukan pencarian. Ia tidak dengan mudahnya meyakini seluruh keyakinan itu benar atau bahkan semua agama salah, sebelum ia melakukan penelaahan yang dalam bukan hanya penelaahan terhadap kesamaan imbauan moral atau beberapa tuntunan etika yang tertera di dalam kitab kitab yang berserakan di dunia, tetapi penelaahan yang lebih dari sekedar itu. Dan penelahan yang sistematis seperti itu tentu membutuhkan waktu yang panjang melebihi panjang coki-coki atau bahkan tubuh ular boa.

Riang akan menjalani tahapan untuk memahaminya, akan tetapi –setidaknya--, saat ini Riang sudah memahami sistematika sederhana mengenai pencarian keimanan terhadap sumber informasi.

TAK ADA JAM yang bisa memastikan posisi matahari di angkasa. Riang tertdur tanpa ada yang membangunkan. Malam kemarin, usai merenung ia kembali menuju ruang bawah tanah. Riang tak berniat tidur di atas sebab Fidel tidak ada semenjak sore kemarin di rumah kayunya. Riang bangun, menuju ke atas ruang bawah tanah. Ia membersihkan dirinya di kamar mandi, menghangatkan sarapan dan memastikan tidak ada kerjaan yang harus ia lakukan di lahan. Riang lantas kembali lagi ke ruang bawah tanah.

Riang membaringkan tubuhnya di ranjang. Ia mengambil novel yang Fidel sarankan. Baru beberapa belas halaman ia membaca dari atas terdengar suara aneh yang mencurigakan. Konsentrasi Riang terpecah. Suara langkah kaki terdengar berketuk-ketuk. Ada seseorang yang berjalan bolak balik di atas sana. Langkah kaki itu lalu menjauh, hilang perlahan. Sunyi kembali datang. Lalu langkah kaki itu kembali datang.

Riang menunggu yang terjadi, ia tak mengenal bunyi langkah kaki itu. Sesorang berhenti tepat di pintu masuk ruang bawah tanah. Suara gerendel pintu terdengar di buka paksa. Suara itu terdengar kasar. Riang melihat berkeliling. Ia khawatir. Tak ada alat. Tak ada yang bisa ia jadikan senjata. Ruangan ini hanya berisi buku. Riang membalikan ranjang. Alas ranjang terbuat dari kawat, ia tak menemukan kayu di baliknya. Mata Riang kembali berputar. Ia mengeluarkan buku yang paling besar dan tebal dari rak buku. Riang menanti.

Suara paksaan terdengar lagi. Riang tak ragu. Tak mesti ragu. Yang di atas bukan Fidel. Keringat turun mengelap dadanya. Ia menanti. Suara gerendel pintu tiba-tiba berhenti. Langkah kaki menjauh lagi. Lalu hilang sama sekali. Orang itu pergi.

Riang menunggu cukup lama. Ia menenangkan diri lalu naik ke atas, membuka pintu perlahan. Ia menyamarkan langkahnya, memeriksa seluruh ruangan.

Tak ada orang. Riang melihat keluar melalui jendela. Di bukanya pintu. Ia tak menemukan siapa pun di sana. Ia menuju ruang tengah, duduk dan membiarkan besi panjang yang ia temukan menemaninya.

Di ruang tengah itu cuaca terlihat mendung. Riang lalu beranjak menekan saklar, menyalakan lampu. Lampu berkedip-kedip lantas mati. Ada yang salah dengan kincir air di dekat air terjun. Riang menutup jendela dan mengambil peralatan lalu mengunci pintu dan memeriksanya hingga ia merasa yakin.

Riang menuju kincir air. Ia melihat air sungai luber. Ada kemungkinan banjir di hulu. Riang mengecek pandangannya. Mendung di ujung. Ia berlomba dengan awan hitam. Air terasa semakin deras. Kincir air yang tampak dari kejauhan, berhenti berputar. Ada sesuatu yang membuatnya tersendat. Tak hanya itu saja, Riang melihat seorang wanita melompati batu menuju hulu.

“Hei! Jangan ke atas. Banjir bandang!” Riang berteriak berkali-kali tetapi suara air meredam teriakannya. Ia menyusul. Wanita itu hilang.

Sampai di kincir air Riang melihat bongkahan batu besar yang menghambat putarannya. Ia mencari kayu, menjadikannya pengungkit. Batu terlempar. Kincir kembali berputar perlahan lalu bertambah cepat hingga kecepatan yang Riang lihat tidak seperti biasanya. Riang segera menyusul wanita itu.

Setelah terpeleset dua kali, ia sampai di hulu sungai. Di danau yang dingin tempat curahan air terjun ditampung, debit air bertambah tinggi. Riang melihat wanita itu berada di atas batu. Riang merasa mengenal raut wajahnya. Ia melihat wanita itu diam untuk sementara lalu mengembangkan tangannya dan melompat seolah kedua tangannya adalah sayap. Tubuh wanita itu meluncur deras. Air berbusa dan Riang berharap sayap itu membuatnya mengambang di atas air.

Riang mulai berpikir tentang kematian. Ia berlari, melompat-lompat di atas batu dan keseimbangannya muncul paripurna. Sampai di tepian danau Riang menajamkan matanya dan di dalam danau yang berwarna hijau remang itu ia melihat tubuh wanita bergerak liar jauh di kedalaman. Ia melihat tubuh wanita itu menggeliat lalu berhenti. Nafasnya habis.

Riang langsung meluncur. Ia masuk ke dalam danau dan berusaha keras mengayuh tangannya hingga berhasil menyentuh tubuh wanita itu. Dipeluknya pinggang wanita itu lalu ia membawanya ke atas dan membiarkan kepala wanita itu tepat berada di atas permukaan. Dalam pada itu Riang tiba-tiba merasa sesak. Ia tak bisa bernafas. Ketika mengangkat tubuh wanita itu, Riang masih memeluk pinggangnya. Ia menggunakan teknik bodoh: membawa kepala wanita kepermukaan tetapi kepala dia sendiri masih berada di dalam air dengan posisi lengan berada di pinggang wanita yang ingin ia tolong. Riang tak bisa bernafas. Untung, air yang yang bergerak ke tepian mempercepat masa kritis itu.

Saat kakinya menjejak batu di pinggiran danau Riang langsung menyembur keluar. Nafasnya terengah-terengah. Ia menyeret wanita itu ketepian pada sebuah batu besar yang datar. Ia mengenalnya, benar-benar mengenalnya. Wanita itu pernah ia temui di Dr. Nurlaila Wanita itu Milea.

Riang merasa khawatir. Tak ada tanda kehidupan dari tubuhnya. Riang terpaksa menekan dada Milea dan memberinya nafas bantuan. Matanya terbuka. “Ka..” Milea menggumam. Kesadarannya hilang tetapi ia selamat. Detak nafasnya mulai teratur. Ia lantas menyalipkan tangan, mengangkat paha dan melingkarkan kaki MIlea di pinggangnya. Riang melompati batu, setengah berlari sembari menggendongnya. “Turunkan aku.” Kata Milea saat mereka melewati kincir air.

Riang tak percaya Milea dapat menyanggah tubuhnya. Benar saja, baru beberapa detik berkata, kesadaran Milea hilang. Sesampainya di rumah kayu. Riang segera membaringkannya di sofa. Ia tak tahu harus melakukan apa: untuk mengganti bajunya, Riang tak merasa mampu. Riang hanya memandangi Milea lalu suara dengung motor trail terdengar jelas dan Riang mulai merasa tenang.

Fidel datang. Ada Waluh tepat berada di belakang tubuhnya.

“Ia hampir tenggelam,” Riang menjelaskan.

Fidel mengecek urat nadi di leher Milea. Ia mengambil selimut untuk menghangatkan tubunya dan hati Riang tiba-tiba bergetar saat Fidel memandang lembut wajah Milea.

Minuman hangat datang. Waluh memberikan cangkir pada Riang sementara cangkir yang satunya ia letakan di meja.

“Kasihan anak ini.” Ujar Waluh saat mereka menunggu Milea siuman.
Fidel diam. Ia tak memberi komentar. Ia masuk ke dalam kamarnya lalu mengeluarkan alat tulis dan kaca. Ia meminta Riang untuk mengambar. Riang menolak namun Fidel memaksanya. Riang tak mengerti maksud kegiatan yang harus ia lakukan.

Tak berapa lama, wanita itu pun siuman dan melihat dua orang di antara tiga orang yang ada di hadapannya tersenyum. Fidel memberikan cermin padanya. Milea terperangah. Mulutnya tiba-tiba menjadi lebar, senyumnya semakin lapang, dan hampir saja rumah kayu itu rubuh diguncang tawa yang meledak-ledak. Milea bangkit, lalu memukuli Fidel.

“Bukan aku!” Fidel spontan menunjuk Riang. “Dia!”

Entah, setan dari mana yang lewat hingga Riang menuruti saja apa yang diperintahkan Fidel saat Milea tak sadarkan diri. Mulut Milea ia gambari kumis, patil ikan lele yang biasa tumbuh di dagu sesepuh kuntau film-film China. Riang menambahkan tahi lalat berbulu di bawah bibir Milea, tak ketinggalan bulatan merah di pipinya. Hasilnya mujarab! Riang tak bisa berkelit. Milea tak mau tahu. Ia mengarahkan kepalannya sekuat tenaga di tubuh Riang. Fidel dan Waluh langsung menghambur keluar rumah. Mereka mendahului Riang berlari.

“Kau ...kau!” Milea terus menyalahkan Riang.

“Apa salahku?!” Riang membela diri.

Milea memukul punggung Riang.

“Apa salahku?!” Riang berlari.

“Kau... kau... betapa teganya!” Milea jauh tertinggal di belakang. Ia hanya bisa mengancam lalu duduk di tanah. Fidel yang berada di dekat Milea masih mencoba menjahilinya. Ia mendatangi Milea, membawa kaca. Milea melirik dan lagi-lagi kaca itu hampir pecah karena tawanya! Milea mengatur nafasnya, namun beberapa detik kemudian, tawanya yang tertahan keluar lagi dari mulutnya. Milea kuatkan diri, lalu ia berdiri dan kembali mengejar Fidel.

Fidel terus saja menjahili Milea. Ia memperlambat langkah kakinya, namun dua meter sebelum tangan Milea menyentuh bajunya, Fidel kembali berlari seolah kerasukan. Fidel mengulanginya hingga dua kali, sampai menjadikan Milea kehabisan nafas. Milea menyerah. Fisiknya yang lemah memaksany untuk mengatur nafas dan duduk di samping ladang sayuran. Fidel merasa salah. Ia lantas duduk di dekatnya..

“Terima kasih,” ucap Milea lirih. Ia menangis.

Riang dan Waluh tidak tahu harus melakukan apa. Mereka membisu.

“Peluk aku … ” pinta Milea tiba-tiba.

Medengar permintaan itu, dunia Riang seolah berhenti berputar. Ia bersyukur melihat Fidel hanya menepuk bahu wanita itu.. Fidel tak bisa melakukan lebih. Ia hanya bisa memandang dan menghangatkan Milea menggunakan matanya.

MENJELANG MAGRIB saat matahari tenggelam tubuh Milea sudah terbungkus kain wol yang hangat. Hujan sudah berhenti sejak sejam yang lalu. Motor trail Waluh menggerung

“Sudah malam.” Fidel memberi isyarat padanya.

Milea cemberut. “Aku tak akan melakukan itu lagi,” janjinya pada semua.

Fidel menggulung koran, memukul kepalanya. “Ya, ya, ya, jangan melakukan tindakan bodoh lagi!”

Milea sebal. Figur wanita dewasa yang Riang lihat di tempat praktet Dr. Nurlaila hilang. Di mata Riang, Milea kini tampak seperti seorang adik yang ingin ia lindungi. Milea seperti adik bungsu yang manja, padahal pada kenyataannya Riang tak pernah dan tak akan memiliki adik. Maghrib itu Riang benar-benar sok tahu.

























0 komentar:

be responsible with your comment