Untukmu Emak (Bab 21)

Posted: Rabu, 01 Juli 2009 by Divan Semesta in
0

Sementara itu

Kardi tengah bersembunyi di gundukan tanah. Seorang petani kentang meninggalkan lahannya, berdendang pupuh kinanti. Kardi beringsut-ingsut lalu berdiri dari gundukan tanah setelah meyakini si petani itu tak mungkin kembali hingga keesokan hari. Kardi pun melihat Sekarmadji tengah tertawa, menggosok-gosok tangan, meludah-ludahi telapak seolah-olah dengannya ia hendak melakukan sebuah pekerjaan berat yang membutuhkan persiapan. Dalam sekejap beberapa puluh kentang tercerabut dari tanah, dikeruk oleh tangan dua orang pelarian yang kelaparan.

Sekarmadji memilih kentang yang besar dan kelihatan matang ketimbang yang lainnya. Kentang itu akan mereka rebus sebelum di makan. Lauk pauknya bakal mereka dapatkan di sebuh kandang ayam dekat jembatan. Mereka meninggalkan lubang galian. Sekarmadji bersiul-siul menanggung kebahagiaan. Dalam perjalanan menuju kandang ayam kedua orang itu mendengar suara motor di tanjakan, mereka melihat motor trail melompat di atas gundukan. Kardi sembunyi di balik batu. Sekarmadji mengikutinya.

Bising mendekat. Kopling berpindah saat motor trail menginjak batas bawah tanjakan curam. Sesosok lelaki berbadan besar memainkan keseimbangan di atas jok. Beberapa meter mendekati akhir tanjakan motor melambat. Karung goni dan karung plastik beras membebani si pengendara. Ketika kopling kembali di tekan dan gigi satu dimasukkan, motor menggerung keras, melewati akhir tanjakan, Kardi tiba-tiba melompat. Ia menendang motor hingga pemiliknya terjungkal berguling-guling di tanah. Motor terpisah. Lelaki itu terpuruk. Ban motor tertahan di celah bebatuan. Saat Kardi kesulitan mengambil motor, lelaki berbadan tegap mendadak bangkit, memberikan kejutan.

“Awas!” Sekarmadji mengingatkan, namun ia terlambat. Lelaki itu lebih dulu menempatkan kepalan di leher Kardi. Ban motor yang hampir lepas dari himpitan batu, masuk kembali. Kardi jatuh tak sadarkan diri.

Tak bisa melihat temannya diperlakukan semena-mena, Sekarmadji melempar lelaki itu menggunakan kentang. Hanya beberapa yang mengenai, itu pun tak terasa. Badan lelaki itu terlampau besar. Orang dihadapinya memiliki postur tubuh paling tinggi yang pernah ia hadapi. Pengalaman Sekarmadji memaksanya untuk menafikan perbedaan tinggi lawan hingga tak menjadikannya persoalan. Pada kenyataannya, hanya dengan dua pukulan di rusuk dan ulu hati, Sekarmadji pun jatuh bermesraan dengan tanah.

Lelaki itu menanggalkan dua begundal, lalu ia meninggalkan mereka begitu saja.

SEKARMADJI bangunkan Kardi. Mereka lantas memunguti kentang yang berserakan, lalu melanjutkan perjalanan. Peristiwa yang baru mereka alami membuat rencana mencuri ayam terlupakan. Mereka terus berjalan hingga mendekati rumah kediaman masa kecil Sekarmadji.

Memasuki pekarangan rumah, Sekarmadji mendapati pekarangan itu dihiasi pucuk-pucuk tanaman dan sayur mayur dan kandang ayam berwarna biru muda. Ia masuk memandangi emak-nya yang tengah pulas, tidur di bale-bale. Bale-bale berderak. Sekarmadji memeluk wanita tua itu. Sebuah drama tercipta.

“Siapa yang menanam sayur di depan rumah Mak? Othang atau Nenden Mak?” Sekarmadji bertanya usai isak dan haru reda.

Lelaki dengan ciri fisik diucapkan Emak.
Sekarmadji enggan menerima.
“Lelaki yang mengendarai motor trail? Yang tubuhnya tinggi itu, bangunkan kandang ayam juga, Mak?!”
Emak mengiyakan.

Sekarmadji merahasiakan apa yang terjadi, namun, di desa yang sepi, ketika jarang ada orang yang datang meramaikan, siapa kira-kira yang bakal di curigai ketika penduduk desa bertambah dua? Siapa yang bakal menjadi tersangka sementara seorang lelaki yang dikenal penduduk desa akan kebaikan hatinya, memberitahu keberadaan dua orang begundal di dekat gundukan tanah tak jauh dari lahan kentang.

Sekarmadji tak berani berkelit. Ia tak memiliki energi untuk berbohong ketika Emak mendengar kejadian itu dari orang di desa.

“Kau masih shalat nak?” Emak bertanya sambil mengelus-elus rambut Sekarmadji.
Sekarmadji teringat kata dan makna dosa.
“Dosa yang tersangkut paut dengan manusia, teu tiasa, tidak bisa diselesaikan dengan penyesalan. Kau mengetahuinya.” Sekarmadji ditangisi seolah dirinya sudah menjadi mayit.
“Lekas datangi lelaki itu. Kalau kau masih shalat, minta maaflah nak.”
Sekarmadji menunduk.

“Jangan kemana-mana setelah kau menemuinya. Kembalilah ke desa. Teu kudu tebih-tebih milarian artos, tidak perlu mencari uang jauh-jauh jika hasilnya tidak membawa berkah. Bantu Emak di sini nak. Bantu Emak mengurusi adik-adikmu!”

Sekarmadji berangkat menuju kota yang memang, sebelumnya harus mereka tuju. Sampai di Bandung, bukan alamat lelaki tegap yang lebih dulu mereka cari. Kardi malah mengajaknya menemukan orang yang dititipi Gendon untuk mengurusi mereka.

Tempat singgah di sebuah terminal ditemukan dan hingga pagi berlipat ganda menjadi dua, Sekarmadji tak tunaikan janji. Esok datang, kembali berulang dan Sekarmadji pun menghentikan janjinya. Ia mengganti janjinya dengan kalimat “Jika sudah siap, pasti kutemui lelaki itu!”

Ketika hari itu telah mantap, waktu tak berpihak padanya.

0 komentar:

be responsible with your comment