Pondokan (Bab 22)

Posted: Rabu, 01 Juli 2009 by Divan Semesta in
0

(Sejak saat itu…kehidupan berjalan sangat singkat.)

Kayu pinus digantung. Permukaannya yang tertera tulisan pondok Liliput dininabobokan angin. Kayu warna orangenya mengantuk. Kasian kayu itu. Dia belum pernah mencicipi kopi dari daerah Lintang Empat Lawang. Lampu sepuluh watt di tempat itu menjadikan bayang-bayang tembok batu bata tampak suram. Halaman depan pondok ditanami kaktus. Bunga-bunga mekar ditempa sinar purnama, mengeluarkan sulur-sulur dari batang yang ditanggalkan. Beberapa bunga jatuh.

Pagi itu dua orang yang di babak beluri kemalangan sambangi pondokan.

"Dik Riang kemari,” Riang menghayal datangnya respon Bentar, ”mari aku jambaki rambutmu agar peningmu itu tak membuatmu semaput! Jambakkan tanganku akan membuat migrain yang diakibatkan penderitaanmu sedikit hilang!”

Pagi itu ada percik kembang api di perut mereka tatkala menduga reaksi yang bakal mereka terima. Riang khawatir Bentar tidak membuka telapak tangan lebar-lebar, menyambutnya. Riang sadar diri, sore kemarin ia tak penuhi janji dan kali ini pun, ia datang tak membawa kemaluan: mendatangi pondokan pagi-pagi buta saat semua orang terjongkang di peraduan. Riang mengeraskan hati, menguatkannya hingga tak sadar cemas membuat Riang meremas pantat temannya, membuat Taryan hampir berteriak. Bagaimanapun juga cerca tak akan membuat orang mati. Benarlah apa yang di katakan si juling Sartre ketika mengatakan lebih baik kita difitnah dari pada di bunuh!

Tok! tok! toroktok! Riang mengetuk pintu. Kalaulah ia tepati janji datang kemarin, sore, mungkin Riang bakal mengetuk pintu dengan nada yang lebih ceria, lebih berbobot dan menyeni. Seni yang akan mengiingatkan orang-orang pada rampak beduk yang di takol bertalu-talu ketika ramadhan hampir hilang di penghujung bulan. Bunyi ketukannya tok! torok tok dug! toroktok duk! tak dug tak dug!

Tak ada jawaban dari dalam, tetapi lamat-lamat mereka mendengar suara telapak kaki mendatangi. Suaranya semakin jelas. Pintu berbunyi. Lingga kunci beradu dengan yoni bolongan pintu. Pintu terbuka. Seorang lelaki berdiri di baliknya. Riang mengenalnya. Pria itu melawan kantuk. Bentar tak memaki. Ia hanya berkata, “masuk.” sederhana sekali.

Kedua orang itu masuk ke dalam ruang tamu pondokan, lantas Bentar menuju ke kamar, mengambil dua buah bantal dan menyerahkan pada Riang dan Taryan. Di saat itulah sikut tajam Taryan memberi kode menusuk pinggang Riang.

”Bilang padanya ...” Taryan mengancam.
Bentar keriutkan dahi.
”Ikut ke kamar mandi mas?” Jawab Riang.
”Apa?”
”Mau ikut kebelakang. Kebelet!”
Bentar lihat Taryan. Ia berusaha menahan sesuatu. ”Beol! Ee?!”
Riang mengangguk mewakili Taryan.
“Disini nggak ada kamar mandi. Kamu kebelakang saja.”

Riang lihat senyum kecil Bentar,Taryan tidak.

Bentar kembali ke kamar lalu membawa dua buah sentar. Ia memberikan senter yang satunya pada Taryan.

Pintu dibuka. Taryan mengikuti. Riang rebah di sofa. Ia beradaptasi dengan ruang gelap. Ia melihat gundukan yang tak bisa dipastikan. Riang berpikir untuk menjelaskan penyebab ia dan Taryan datang ke tempatnya, tetapi setelah mengantar Taryan, Riang melihat kantuk Bentar tak tersisa. Ia terlihat menahan tawa. Pagi ini, lelaki itu terlihat tak membutuhkan penjelasan. Konsentrasinya seakan pecah. Ia lebih memfokuskan diri dalam usahanya menahan tawa. Klimaks pun datang sewaktu Bentar melihat Taryan balik ke dalam pondokan. Tawa Bentar tiba-tiba memberondong, meledak-ledak, menghambur dan terasa separti tambur yang di pukul. Tawanya seperti bola bekel, memantul ke mana-mana.

Bentar berusaha menahan diri tapi siapa yang bisa menahan tawa jika rasa geli sudah menjalar di otak bagian kanan? Bentar tak bisa. Ia kesulitan menyudahinya apalagi ketika memperhatikan tubuh lelaki dihadapannya basah. Bentar kembali ke dalam kamar ketika ia merasa tawanya berlebihan. Di dalam kamar lantas terdengar suara wanita, yang juga ikut-ikutan tertawa. Suara tawa dan tangis silih berganti, bersahut-sahutan, saling timpal menimpal seperti acapela.

Sepi tiba-tiba ... dan tawa itu datang kembali. Lalu berhenti dan berkobar-kobar lagi, bergelombang lagi meninggi seperti tsunami menghantam jejeran pohon kelapa yang menjadi di gerogoti kelomang, kumang. Tawa itu terus menerus, hampir nonstop, sampai Riang dan Taryan hampir tak bisa tidur karenanya.

SUBUH DATANG. Dari jendela besar terlihat beberapa orang melewati pondokan. Jendela besar itu seolah sengaja di persembahkan pemilik pondokan untuk pejalan kaki mematut-matut diri bergaya. "Hm, saya sudah ganteng belum ya? Hm ... pantat saya kok tetap tepos padahal saya sudah latihan mejen selama sebulan." Atau, "nah loh rambut gue makin polem ajah. Keren akh!" Apa itu polem? Polem itu poni lempar!

Riang bangun saat gundukan berisi tiga orang anak lelaki bergerak. Seorang wanita mendatangi tempat Riang, membawakannya teh dan surabi. Riang segera mengusik temannya. Taryan terbangun dari tidurnya, tergeragap, mengetahui seorang wanita duduk didekatnya dengan megah. Ia memperbaiki sikapnya. Trayan, –sewajarnya lelaki— setiap saat selalu ingin terlihat elegan di hadapan wanita. Sayang disayang, “prepeeeeeeeeeeet! Brewek! Dut!. Dut!. Berewek!” Knalpot Taryan mengacaukan performanya. Kepalang kehilang muka, Taryan berdiri hampir berlari. Tak berbasa-basi ia berlari menuju pintu, seakan larinya itu merupakan lari penghabisan.

Wanita itu melarang, “Buang airnya di dalam saja!”
Taryan dan Riang kebingungan. Seperti ada piloxan tanda tanya di jidat mereka.
”Di sana!” wanita itu menunjuk, ”kamar mandi ada di dalam!”
Sementara Taryan menghilang, Riang bertanya, keheranan. “Di rumah ini ada kamar mandi?”

Wanita itu tak langsung menjawab. “Kang Bentar,” katanya, ”begitu pekerjaannya. Jahilnya tak pernah hilang. Hampir setiap orang yang pertama kali datang ke pondokan mendapat perlakuan yang sama. Setiap orang di sini tahu penyakitnya.”

Riang bingung atas sikap Bentar, namun ia bersyukur sebab meski ia pertama kali datang, Taryan justru –secara tak sengaja—membantu menyelamatkan mukanya. Terima kasih kawan. Ia bersyukur, karena menemukan anggapan lama, yang mengatakan bahwa tawa merupakan tanda jika tuan rumah senang dengan tamunya. Demikianlah.

Wanita yang kini berbicara dengan Riang tampak cantik, namun menurutnya, wanita yang ada di dokter Nurlaila jauh lebih cantik, bahkan Taryan bukan saja mengatakan, ”ceuwantik!” --sebuah kekhasan Jawa ketika menambahkan kekaguman atau kelebihan sesuatu-- lebih dari itu, ia merasa perlu menambahkan huruf Qaf. ”Pakai qalqalah Qubro!” katanya. “Qo, Qo, Qo!” Tenggorokannya cekok-cekok. “Bukan kaf!. Bukan qalqolah sugro tapi Qubro!" "Kiamat Sugra itu kecil!, tetapi kiamat Qubra itu kiamat yang besar! Cantik betul itu bukan cantik tapi: CantiQ! Pake Qo! CantiQ! CantiQ!”

Riang tak mengerti, tapi, terserah dialah! Lantas, mengapa Riang masih berpikir tentang wanita yang ada di Dr. Nurlaila? Ia tak memahaminya. Melihat Eva, wanita yang ada di depannya, bayangan wanita yang pernah ditemui di Dr. Nurlaila tiba-tiba melintas.

Taryan kembali dari kamar mandi. Ada endemik ganja di pondokan ini. Anak-anak yang baru bangun ikut tertawa. Ada yang edarkan jamur tahi sapi di ruangan ini. Eva memperlihatkan gusinya, Bentar tergelak sampai lehernya hampir keseleo, sementara sebatang bulu di hidung Riang, putus, tak sanggup menahan gempa tektonik diseluruh anggota tubuhnya.

Taryan memohon belas kasihan. Perutnya membutuhkan perhatian lebih dari sekedar tawa. Ia pun tak bisa marah. Masih untung di jahili buang air di kali, bagaimana jika disuruh menggali tanah.

Tawa pun bubar ketika masing-masing orang memisahkan diri agar tak tertular Bentar keluar dari kamarnya setelah berhasil mengendalikan diri. Ia melihat Taryan yang tengah menyeruput teh dan menyobek surabi pemberian Eva di meja. Untuk sementara Bentar tidak mau melihat wajah Taryan. Ia mengalihkannya pada anak-anak.

“Nggak mandi dulu?” Tanya Bentar.
“Tanggung.” seorang anak mewakili jawaban teman yang lainnya.
” Ayo! Biar seger, cuci muka!”

Anak-anak menuruti perkataan Bentar. Mereka masuk ke dalam kamar mandi. Bentar memandang jauh ke luar halaman. Menghirup oksigen perlahan. Setelah merasa yakin mampu mengendalikan dirinya, Bentar duduk di ruang tengah, mengajak Riang dan Taryan berbincang.

Anak-anak yang disuruhnya cuci muka, keluar dari pintu belakang, lalu berkaca pada sebuah jendela besar.

”Berangkat dulu Kang!”
Bentar keluar, mewanti-wanti.
“Nggak saya mah, tapi kalo si Agus, nggak tau Kang!” Seorang anak membela diri.
Agus meninju temannya,
“Teu Kang! Nteu dedeuieun deui. Tidak Kang, tidak lagi."
Bentar tersenyum. “Kalau kalian ngelem yang rugi bukan akan, tapi kalian!”
"Dunia akherat nya Kang?!" Agus nyeletuk.

Bentar tertawa. Ketiga anak berjalan, saling tendang. Agus ditendang teman yang menuduhnya. Yang menuduh tendang yang satunya. Mereka pergi.

Riang dan Taryan pernah mengalami hal itu. Mereka mengetahui bagaimana berada di jalanan saat melihat kekasaran orang dewasa mempengaruhi anak-anak kecil seusia mereka.

Riang terkejut. Ia membiarkan bentar berbicara.

"Tak ada yang tanggung jawab. Anak-anak itu masih terlalu kecil!”
"Tanggung jawab orang tua?" Tanya Taryan.
"Pemerintah, orangtua, keluarga mereka."
“Pernah dengar pepatah singa tidak mungkin terkam anaknya, apalagi manusia?” tanya Bentar.

Riang dan Taryan menyimak.

”Kadang di dunia nyata ini, pepatah tak berlaku. Anak-anak itu lari dari orang tuanya. Mereka takut pulang. Takut dipukuli tanpa sebab.” Bentar memegang kuping cangkir tehnya. ”Kamu suka ngelem? Mau ceritakan tentang dirimu Yang?”

Riang terkejut. Tidak! Bukan karena perkataan Bentar, melainkan karena lelaki yang ada di hadapannya masih mengingat namanya. Riang tidak tahu, Bentar mengetahui dirinya lebih dalam dari yang ia sangka.

"Yang?" Bentar membangunkan Riang.

Untuk apa Riang menceritakan dirinya? Atas kepentingan apa? Riang malas cerita namun ia butuh pertolongan Bentar. Jika ada yang ingin di dapat maka ada yang harus dilepaskan, maka dirangkumlah cerita mengenai hal-hal yang tak perlu disembunyikan. Tak lupa Riang mengenalkan Taryan untuk melanjutkan cerita. Selesai bercerita, terbukalah penerimaan yang memang Riang dan Taryan harapkan.

“Kalian bisa tinggal di pondokkan,” sahut Bentar. "Tak perlu bayar iuran! Aku hanya ingin kalian baik-baik di sini."

Itu artinya Riang dan Taryan dilarang macam-macam.

"Kalau Kalian buat satu kali macam saja, aku bisa maafkan. Kalau diulangi, kalian harus tahu diri. Faham konsekuensinya.” Bentar mencari jeda, ” ... sampai saat ini aku tidak pernah mengusir satu orang pun dari pondokan... jadi kalian harus paham konsekuensinya.”

”Berbuat macam-macam itu apa?” tanya Riang.
Bentar tertawa, karena lupa menjelaskan.

Syarat ’jangan macam-macam’ itu bukan sesuatu yang memberatkan. Bentar hanya mensyaratkan: mereka tidak mabuk dan membuat onar di dalam pondokan. Persyaratan itu ingatkan Riang pada Bos Besar alias Big Bos, dan inti dari semua syarat yang dikemukakan Bentar, sebenarnya –bagi Riang dan Taryan—merupakan syarat tanpa syarat, bagaimana tidak, selama ini kedua orang itu tidak pernah menghabiskan umurnya dengan melakukan kegiatan ’macam-macam’. Kalau pun pernah, itu pun berarti jarang. Tak ada yang berat. Persyaratan yang bentar kemukakan mereka anggap seringan kapas guling dan bantal.

Sejak saat itulah, sejak diperbolehkannya mereka menetap, hidup mereka terasa berjalan singkat, karena sebenarnya, pondokan hanyalah sebuah jembatan. Jembatan yang meriah.

0 komentar:

be responsible with your comment