Eldorado

Posted: Senin, 20 Juli 2009 by Divan Semesta in
2

Just because im loosing
doesnt meant i am (we re) lost!
(Lost. Cold Play)
Kami memanggilnya Kuya. Lazimnya sebuah nama sebutan atas nama Surya. Ya seperti halnya nama panggilan Japra untuk Fajar.

Seminggu yang lalu ia menghubungi saya. Kami pun bertemu di Orchard Walk. Berbincang mengenai apa yang tengah dilakukannya dan tentu saja cerita-cerita mengenai masa lalu.

Sy kadang tergelitik kalau mengingat hubungan kami. Jika saja dulu kami tidak pernah berbicara dari hati, mungkin saya masih menganggapnya Kuya yang super kikir dan sebaliknya, ia pun akan menganggap sy sarua keneh begog-na, sama saja.

Dulu, sy pernah meminta tolong pada Kuya untuk membantu memasukan melodi dalam sebuah lagu yang akan sy tampilkan di sebuah acara. Saya masih mengingat bagaimana ketika acara selesai, sy menghitung uang yang telah saya keluarkan supaya jurig Kuya mengembalikan apa yang telah saya keluarkan.

Seperti yang sering saya singgung dalam tulisan yang lalu-lalu, Pada dasarnya saya bukanlah orang yang kopet alias pelit, aliat kikir. Menghitung-hitung supaya orang mengembalikan uang recehan yang saya keluarkan rasanya bagaimana, yah rasanya memalukan. Tapi, untuk si Kuya itu, limaratus rupiah pun saya tak sudi. Saya tidak rela mengeluarkan, bahkan limaratus rupiah pun. Bukan hanya pada kejadian saat itu saja. Saya bahkan pernah berhitung-hitung lebih ekstrim dari uang limaratus perak. Saya pernah mengharuskan dia untuk mengganti uang duaratus rupiah karena ia menggunakan uang saya untuk membeli kerupuk. Saya tak sudi. Benar-benar sudi najis! Saya kadung dendam padanya. Si Kuya yang kikir itu harus dibalas dengan kekikiran yang serupa. Biar tau rasa!

Dan… pada sebuah malam tiba-tiba si Kuya itu datang ke kamar saya. Engah bagaimana awalnya, dia tiba-tiba duduk di dekat computer saya, dan saya mau saja medengarkan cerita mengenai kehidupan dia dan sahabat-sahabatnya di Serang.
Setelah dia cerita saya mulai meragukan diri saya sendiri. Saya menimbang-nimbang, jangan-jangan sifat dasar si Kuya tidaklah senegatif yang saya kira. Sifat asli Kuya sebenarnya baik. Ia bukanlah orang yang kikir. Dalam cerita dia tampak royal untuk sahabat-sahabatnya. Dan di malam-malam berikutnya kalau kami mebicarakan tentang hubungan persahabatan, berulang-ulang kali saya menemukan bahwa dia sebenarnya orang yang sangat baik, tidak kikir.

Ini menjadi PR buat saya. Hal itu mengganggu pikiran hingga saya berusaha menggali mengapa kok dia nampak kikir, dan ternyata –kekikiran itu—bukan untuk saya saja melainkan ia timpakkan pada teman-teman di kosan juga.

Saya pun mengkonfirmasikan apa yang saya dapatkan mengenai dirinya. Dan di malam yang saya tak ingat malam apa, Kuya pun menganggap saya sama kikirnya. Dan ia pun mengaku tak bisa mendeskripsikan apa yang telah terjadi dengan dirinya. Semuanya tampak otomatis. Ia tidak tahu mengapa ia sampai pada tahapan yang demikian. Mengapa ia sampai pada derajat kekikiran yang sungguh sangat menyebalkan.

Bagi Kuya, hubungan pertemanan, relasi yang ia temukan di lingkungan baru sangat jauh dengan lingkungan masa SMA-nya. Jika dulu solidaritas di utamakan sekarang individualisme yang diusung tinggi-tinggi. Ia tidak mendapati persahabatan, kekuatan ikatan kala dia membutuhkan hal itu dari orang-orang sekitarnya (terutama orang di kampus). Hingga tak sadar sampai pada titik yang ia tidak mampu menjabarkan mengapa terjadinya, mengapa sifat itu melekat dalam dirinya. Ia pun menjadi indvidualis, dan orang-oang sepertui teman di kampusnya dan saya pun mengambil tongkat estafet yang ia berikan saya melanjutkan siklus vendetta, siklus pembalasan dendam. Padahal, sesungguhnya Kuya tidak demikian. Padahal sesunggunya banyak diantara kita entah Kuya, saya atau kalian sebenanya memiliki sikap solider dan ketulusan sebagai sifat bawaan.

Keterbukaan di malam-malam yang itu membuat kami saling mengerti mengenai siapa kami sebenarnya.Baik Kuya maupun saya menjadi malu atas apa yang pernah kami lakukan.

Sikap kikir, minimnya solidaritas memang merupakan sikap yang memuakan. Ujian antara kami berdua telah terselesaikan, dalam artian hingga pertemuan terakhir di Orchardwalk itu, kami sudah tidak main hitungan dalam melakukan hal-hal yang remeh. Dan kami menyadari bahwa jian lainnya adalah ketika kami harus berhadapan dengan orang-orang. Apakah kami akan menerapkan kekikiran –dengan orang-orang tertentu—dengan melibatkan kesadaran? Jawabannya tentu akan terlihat dari aksi yang kami lakukan, bukan hanya sekedar tulisan atau ucapan.

Setidaknya, kami bersyukur bahwa pada malam-malam yang lalu sebuah pemahaman telah terbuka: bahwa orang yang kelihatannya kikir, bisa jadi pada dasarnya tidak demikian. Dan tahukah kalian bahwa pengetahuan tentang bagaimana mengembalikan sifat asli seseorang adalah sebuah usaha kemanusiaan yang sangatlah indah. Jika hal itu bisa kita pecahkan maka hubungan antar manusia akan menjadi hubungan spiritual yang susah untuk ditakar dengan sesuatu yang bersifat material.

* * *


Malang merupakan sebuah wilayah yang saya anggap sebagai surga. Ira pun menganggapnya demikian. Bagaimana sulitnya kehidupan kami di sana (karena toko buku bangkrut, karena pekerjaan saya sangat pas-pasan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga) kami merasa kota itu menimbulkan perasaan tenang.

Di sana, hidup kami begitu mengalir, seperti tidak ada beban.

“Statement itu sangat membosankan!” Kata seseorang yang membaca tulisan ini. “Ya, seperti halnya sebuah tetabuhan philosofi yang sering diungkapkan sehingga menjadi pasaran,” ejeknya.

Oke-oke. Terserah kamu sajalah menilai.

Oke-oke saya akan menghentikan racauan yang kamu anggap membosankan, tetapi saya akan menceritakan hal ihwal, atau asbabun nuzul turunnya cerita ini.

Lusa, malam lalu, ketika Ira mengatakan lagi kangen sama malang, saya bertanya “Karena apa?” sambil memijat telapak kakinya yang pegal. Lalu cerita mengalunlah.

Tadi siang siang, Ira ikut melibatkan diri dalam perbincangan dengan teman-teman barunya usai pengajian. Pembicaraannya sederhana: mengenai kerudung dan jilbab yang dijual oleh anggota pengajian. Waktu itu ia melihat wajah teman-teman barunya gembira, padahal apa yang mereka pegang, apa yang mereka katakan bagus hanyalah kerudung yang harganya duapuluh lima sampai tigapuluh ribu rupiah. Dengannya Ira kembali teringat akan kesederhanaan lingkungan kosannya. Ia teringat akan dirinya sendiri ketika tidak memikirkan berapa harga barang maupun nama mereknya. Selama barang itu nyaman dan mereka suka maka tidak ada satu orang pun yang bisa merampas kebahagiaan mereka.

Tapi, di sini semuanya menjadi berbeda. Kesederhanaan itu tidak lagi ia rasakan. Bukan… bukan karena hidup kami tidak sederhana dan kami tergiur menggunakan barang barang mewah yang kadang tak ada perlunya.

Hidup kami di sini biasa saja, akan tetapi perubahan lingkunganlah yang terjadi. Jika di Malang, Ira atau saya membeli barang yang kami suka dengan harga murah, maka tidak ada teman-teman yang berusaha membandingkan. Tetapi di sini, persoalannya menjadi lain. Misal: ketika ia ingin makan mie ayam di pinggir jalan, ia menjadi minder karena ucapan “Idih, apaan….akan di pingir jalan ! Paling daging bumbunya juga dari jeroan.” Atau, ketika mengenakan kerudung yang ia beli di pasar Sempur, pasar mingguan, ada-ada saja ungkapan yang muncul. “Kalau barang murah sih keliatan. Bordir ma payetnya beda.”


Lingkungan memang hebat. Kadang dalam kasus kasus yang negative sy ingin menyebutnya bajingan. Lingkungan bukan saja mempengaruhi diri Ira atau Saya tapi bisa juga mempengaruhi diri kalian, atau orang sekitar.

Saya mempelajari benar dari kehidupan saya. Waktu kecil saya masih mengingat saya suka nyemplung bersama-sama anak kampung Blok Armin, sekedar mencari benteur, ikan kecil, atau buang air bersama-sama di kali yang waktu itu tidak terlalu kotor. Dan saya masih mengingat pula bagaiman ibu saya masih suka meminjam di warung mang Yanto: entah untuk meminjam beras atau sekedar menyempurnakan makan sehari-hari dengan kerupuk.

Dulu, rasanya tidak ada jarak yang berarti antara warga kampung dengan keluarga kami. Namun, semenjak kondisi keluarga kami berubah cepat: rumah terbesar dan termegah di kampung, garasi, penambahan mobil, perlahan saya merasakan bagaimana warga mulai tidak memandang kami apa adanya: ketika kami berpapasan ada semacam sikap yang sukar dikatakan. Mungkin perasaan segan ketika kami harus berpapasan atau bertegur sapa…

Perasaan segan yang mengerikan itu saya pikir salah kita semua. Salah saya, salah keluarga kami (secara tidak angsung) salah orang-orang di sekitar dalam memandang kondisi keluarga kami. Dan apa yang dilakukan tetangga adalah sebagai sebuah kewajaran dalam tanda kutip, karena saya pun pernah merasakan perubahan sikap ketika saya bertemu dengan seorang kawan baru dan ternyata ia memiliki kelebihan dari sudut material ketimbang yang saya miliki. Pada saat itu sikap saya menjadi tidak apa adanya.

Orang mungkin tidak menjabarkan, tidak mengetahui apa yang sesungguhnya mereka rasakan, tapi bagaimanapun juga perasaan semacam itu benar-benar menjijikkan. Saya tidak mau seseorang bersikap karena penampakan yang melekat di diri. Menjadi sangat mengerikan jika kita tidak dinilai dari kualitas spiritual yang kita miliki melainkan dari barang-barang yang melekat di diri kita, atau bahkan di keluarga kita. Dan apabila hal itu terjadi sy pikir hubungan antar manusia akhirnya hanya berlaku pada level-level yang sama: orang dari kalangan berpunya hanya berkumpul dengan kalangan berpunya karena mereka tidak nyaman berhubungan dengan orang biasa saja. Demikian sebaliknya, orang yang kehidupannya sederhana menjadi silau, menjadi segan tak berdasar karena atribut-atribut yang menempel dan jurang antar hubungan manusia menjadi semakin dalam.

Di sela-sela teriakan dan ringisannya, Ira sempat-sempatnya mengatakan bahwa jika satu saat Allah memberi kami rizki lebih untuk bisa melakukan apapun (karena kami dilimpahi materi yang lebih dari mencukupi) maka ia hanya menginginkan rumah biasa. Rumah yang tidak seperti istana. Ia hanya menginginkan kendaraan yang baik untuk keluarga kami, bukan kendaraan yang harganya wah dan bisa-dipamer-pamer. Dan ia akan menjauhkan diri dari penggunaan perhiasan layaknya perhiasan Thutankamen atau perhiasan yang sering di pakai para Firaun.

Sy sih setuju saja. Karena hal itu bukan hanya baik untuk dirinya. Kesederhanaan baik untuk siapa saja karena rena kesederhanaan merupakan kekayaan melebihi kekayaan yang dapat di nilai seandainya eldorado itu memang ada.

2 komentar:

  1. tetap semangat Pren
    kita masih memiliki yang Maha Kaya.
    Memang menyedihkan orang menilai dari apa yang kita makan, apa yang kita pakai...
    Kalo saya mah, sabodo teuing, saya percaya saya dihargai orang karena kualitas hati dan otak saya. Dan saya yakin seribu persen Fajar sekeluarga mempunyainya keduanya.

    hasan abadi kamil
    (masih ngontrak, masih pelanggan setia angkutan umum)

  1. Amin... kang Hasan.

    Besar sekali energi positif yang diberikan.

    Ada begitu banyak cara untuk bahagia ya.... love u and youre family without exception.

    (masih suka bahagia karna makan di warteg Ce Enung, masih diberi tumpangan, masih berbahagia dengan seribu satu macam cara)

be responsible with your comment