Taryan (Bab 13)

Posted: Kamis, 04 Juni 2009 by Divan Semesta in
2

Sementara itu, saat Riang tengah menimbang nimbang untuk pergi dari desanya, di dekat barongan. seorang lelaki bertubuh kurus memisahkan diri. Ia berlari, dari massa yang mengacungkan senjata. Ia mengeluarkan segenap tenaga demi menyelamatkan saudaranya. Di kali kecil, dipotongnya kali, di kuburan cina, diseberanginya kuburan cina. Ia terjang onak, ia tendang kerikil. Beberapa kali terjatuh ia pantang mengeluh. Ia tak mau berhenti meski darah merembes di sela-sela bulu matanya. Ia berlari, berlari dan terus berlari karena tak rela saudaranya dibakar hidup-hidup di hadapan orang-orang yang dicintai dan mencintainya.

Di sebuah rumah yang bisa dianggap megah penduduk desa, Taryan duduk dikelilingi orangtua, mertua, istrinya Radia dan anaknya Chaidir. Mereka berharap kabar yang datang mampu melemaskan syaraf ketegangan. Bukannya ketegangan itu hilang, kedatangan yang diharapkan malah membawa mereka menuju puncak kecemasan. Setio, lelaki kurus itu datang mengabarkan dan Taryan harus diungsikan. Ia harus diselamatkan sampai permasalahan terselesaikan.

Mertua Taryan masuk ke dalam kamar. Dari laci lemari, ia mengambil uang simpanan dan memasukan beberapa helai baju hangat ke dalam tas. Taryan melihat air mata istrinya mengalir deras. Ia memandang anak tirinya, ”Jaga ibumu baik-baik Nak!?” Chaidir tak menangis, ia menganggukan kepala. Pintu belakang dibuka. Diiringi tangisan Radia yang memecah hati, Taryan berjanji ia akan segera kembali setelah keadaan terkendali. Ia menghilang di batas antara cahaya dan kegelapan.

Ketika senja menjadi pertanda dibunuhnya cahaya matahari oleh malam, Taryan berangkat dari Magelang.

MENGGUNAKAN BUS ANTAR PROVINSI Taryan sampai di Jakarta. Dalam perjalanan panjangnya yang pertama, ia renungi kejadian yang seumur hidupnya baru ia rasakan. Tak habis fikir, mengapa di dunia ini ada orang sejahat Hatta? Mengapa sedemikian gampangnya penduduk desa mempercayai berita busuk yang mengatakan bahwa dirinya memuja babi, mengapa karena menikahi Radia ia harus dihabisi.

Turun dari tangga bus, sandal swallow mendarat di aspal yang tergenang air berwarna coklat kekuningan. Ia tak mempedulikan. Ia hampa. Matanya menerawang kosong. Kejadian yang dialaminya beberapa jam lalu membuat shock. Ia tak mampu merespon keadaan di sekelilingnya. Ia tak merasa jika sebuah mata berongga memperhatikan dari kejauhan dan mengikutinya dalam diam.

Di bangku plastik berwarna biru Taryan menjatuhkan diri. Ia lihat gelandangan tidur di balik pilar-pilar beralas koran dan kardus. Lagu dangdut disetel mengoyak telinga. Beberapa lelaki mengerumun di bawah warung tenda. Mereka bermain judi ceki-ceki menggunakan kartu gaple. Suara-suara cekakak gemuruh memecah keheningan. Bising mesin bis yang baru datang dari Garut, Kuningan, Banjar atau kota-kota di jawa Timur membuat pekak. Dua orang sundal tertawa liar. Panas! Bibir mereka merah darah; matanya bercelak hitam; pipinya retak-retak karena ramuan bedak yang tak rata karena mercuri.

Ingat dirinya berada di kota besar Taryan membuka tas, mengambil alamat yang disematkan mertuanya ke dalam dompet. Mata berongga yang sedari tadi memperhatikan bergerak mendekat. Di dekat tiang listrik yang dicahayai lampu, pemilik mata itu menampakkan wujud. Ia berjalan perlahan mendatangi Taryan sembari mengambil sebatang rokok dari saku bajunya.

”Kau punya api?” lelaki itu menyatukan jari, membentuk kepalan, sambil menggerakan jempolnya di hadapan Taryan.

Taryan merogoh korek api john koping tanderstickor dari kantung celana bahan. Bungkus korek api yang lembab oleh keringat mengharuskan lelaki itu menggesek bungkus korek api selama beberapa kali. Korek api menyala namun setiap kali itu pula angin meredup dan mematikannya.

Lelaki itu membenamkan kepalanya ke dalam kemeja. Ada noda berwarna merah menyala di sana. Asap keluar dari kerah baju. Rokok terbakar.
Taryan terhibur oleh lelaki itu menyalakan rokok dan mengeluarkan kepalanya seperti kura-kura.
”Kau mau ke mana?”
”Mau ke Jakarta!” Jawab Taryan.
”Ini Jakarta! ... mau kemana di Jakartanya? Payah Kau ini!”
Taryan tergeragap, ia tanggap, ”O Anu Mas! Saya mau ke Tanjung Priok. Mau ketemu saudara.”
“Tanjung Priok daerah mana?”
“Ndak tau juga, tapi sebentar...” Taryan membuka risleting dompetnya, mengeluarkan kertas, memberikannya.
”Mas tau alamatnya?”
Lelaki itu mengambil kertas yang disodorkan.
”Mas tahu?” Taryan mendesak.

Lelaki itu berteriak. ”Mana mungkin aku tak tahu! Daerah ini dekat dengan rumah sahabat karibku, si Mangunsong! Nah ... coba Kau cari angkutan kota di luar terminal sana!” Tiba-tiba lelaki bertubuh tambun itu memperhatikan tubuh Taryan, ”... Kau orang udik dari mana sampai tak tahu ibukota kita!?” Ia tertawa.

”Saya dari Magelang, Masnya sendiri?”
”Ya sendirilah tentu! Ada-ada saja Kau ini!”
”Maksud saya, Mas sendiri dari mana? Saya dari Magelang.”
”Oh... ya ... ya ... aku tanggap ... aku tanggap!” ia tertawa. ”Asalku, Sumatera Utara!”
”Jauh sekali rumahnya! Nama saya Taryan! Mas sendiri!?”

Lelaki itu berpikir sejenak. Ia hampir salah lagi mengartikan pertanyaan Taryan.”Aku tanggap ... aku tanggap! Namaku Leonard!” Lelaki tambun itu tertawa. Disangkanya dari perkenalan itu obrolan akan berpanjang putar. Tak tahunya,
”Kalau begitu ... terima kasih. Mudah-mudahan kita bisa bertemu lagi ... saya kesana Mas?”
”Santai lah...”
”Tapi saya harus pergi.”
”Hai...hai ... Aku tidak bisa memaksa! Tapi, biar Kau aku antar sebab di sini kalau jalan sendiri bahaya! Kemarin ada orang Garut mati! Ditusuk! Dari pada ada apa-apa dan apa-apa dari pada, biar aku antar Kau saja!”

Taryan menyetujui. Ia membungkuk, memasukan dompet ke dalam tas dan risleting ditutupnya rapat-rapat. Angin meniup kain-kain spanduk dan botol aqua. Bungkus gorengan dan karcis peron yang remek, menggelosor mengikuti tiupan angin. Suara hingat bingar dangdut koplo berderit. Taryan tak tahu, di luar terminal di sebuah pohon rindang yang membuat suram apa saja yang ada di bawahnnya, empat orang menunggu kedatangannya.

Tak lama berselang, mereka sampai di pohon itu. Taryan dan Leonard memasuki bayangan yang suram. Empat orang yang berada di balik pohon mengepung. Tanpa basa-basi keempat orang itu serempak menyerang. Sebuah pukulan mencium wajah Taryan. Pukulan lainnya datang menyusul!

Menerima serangan mendadak Taryan kebingungan setengah mati. ”Ada apa ini?!” Salah seorang berusaha menyarang pukulan lagi di muka Taryan. Si korban menangkis. Taryan balas melawan. Dijerembabkan satu orang. Kakinya melayang, namun sebelum kakinya sampai, seseorang memukul Taryan dari belakang. Ia hilang keseimbangan. Ia kelimpungan. Ia berharap Leonard membantunya. Dan ... betapa terkejut Taryan memergoki Leonard yang tengah berusaha menendang rusuknya.

Taryan berkelit namun sebuah hempasan kaki kering mengenai pinggangnya. Suara buk terdengar nyaring! Ia terpojok! Tangannya dipasung. Taryan tak bisa membela diri. Wajahnya berdarah! Dengkulnya jatuh di aspal. Dalam hujan pukulan dan tendangan ia ngap-ngapan. Taryan hilang kesadaran saat Leonard menjadikan wajahnya asbak rokok.

SETENGAH JAM KEMUDIAN... jemari Taryan bergerak. Kukunya menggores pasir yang menggendap. Ia pegangi kepala. Pusing tersisa. Pandangannya masih berpendar-pendar saat azan subuh singgah di telinga. Ia mengikuti seruan ”mari meraih kemenangan!” Taryan merasa membutuhkan Tuhan. Dimasukinya gang-gang kecil. Sebuah mesjid kecil menyambutnya dalam keremangan. Ia menuju tempat wudu; memutar keran air; membilas noda-noda merah pada muka dan bajunya. Ia hadapi cermin dan terpana saat menyaksikan gigi depannya tanggal.

Hilangnya satu gigi, wajahnya mendadak berubah total. Wibawanya tanggal. Taryan meringis. Gusi yang mulai dirasakan perih, mengalihkan perhatian, ia bersuci, masuk ke dalam masjid dan mengikuti shalat subuh yang baru saja dimulai.

Seusai shalat, --ketika-- orang-orang berhamburan keluar, Taryan jongkok di atas karpet hijau yang lembab dan koyak. Dalam keadaan seperti ini ia tak tahu melarikan diri ke mana. Ia menjadi individu lemah yang perlu mencurahkan keluh kesah pada sesuatu yang tak pernah dilihatnya. Setamat memanjatkan doa Taryan mendapati dirinya hanya berdua bersama seorang lelaki tua.

”Asalamualaikum!”
Orangtua itu membalikan badan ”Apa ane pernah ketemu ente sebelumnya?”
Taryan menggeleng.
”Ada perlu?!”
”Saya Taryan Pak. Baru pagi tadi saya sampai di Jakarta. Saya dari Jawa, sampai di sini karena ... hop … hop… hop.” (ia ceritakan kejadian di kampung hingga perihal Leonard), ”Saya butuh pertolongan, uang saya habis”

Lelaki tua itu memandang. ” KTP Ente?”
”KTPnya ada di dompet. Dompet saya diambil Leonard Pak”
Lelaki tua tak percaya,
”Ada perlu apa di mari?!”
”Di mari?”
”Ente perlu apa di Jakarta?!”
”Ketemu paman istri saya Pak ...”
”Ketemuan di mana?!”
”Ndak tahu di mananya.”
”Ente ini bigimana? Ke Jakarta nggak tau tujuan! Sedeng apa sedeng?!”
“Kalau ndak salah Priok nama daerahnya!”
“Tanjung Priok di mana?!”

Taryan gelengkan kepala. ”Mertua saya yang nyimpan alamat keluarga di dalam dompet. Sekarang dompetnya di tangan Leonard. Sungguh tidak hapal alamatnya! Sungguh Pak!”
“Alesan! Orang kayak Ente bejibun! Minggu kemaren ampir sama! Kagak jauh-jauh alesannya! Eh sore arinya, ntu orang gua liat maen judi di terminal! Tiga hari yang lalu, hari kemaren kejadiannya kayak gini juga! Pelakunya aja nyang beda ...kalo dulu laki, nyang ini ibu-ibu. Datang ke masjid pake nangis-nangis. Alesannya sama ama yang kemaren ... kecopetan! Terus sekarang Ente!!! Ane udah kagak pecaye!” Lelaki tua itu menantang. Ia tidak takut badan kerempeng Taryan.
”Mending Ente cari kerja nyang bener dah! Jangan jadi tukang tipu!!! Ente masih muda. Jangan nyiain idup. Jangan ampe nyesel pas tua nanti!” Lelaki tua berdiri dan meninggalkan suara sendalnya yang berat.

Taryan melemaskan kakinya di teras masjid. Tubuhnya rebah. Air matanya menitik. Ia merasa lelah hingga tak sadar, selama beberapa jam Taryan tertidur di atas sajadah, hingga matahari yang memanggang atap seng, membangunkannya, mengaktifkan kembali otaknya. Ia lihat jam di atas mimbar kayu bertulis kaligrafi Allah dan Muhammad. Ia merangkai ide. Jam bingkai emas berbentuk masjid berdetak. Suaranya menyamai detak jantung Taryan.Ia berjingkat, memisahkan jam dengan paku yang menancap di dinding. Ia masukan jam itu ke dalam baju.

Jam terlalu besar, Taryan mengurungkan niat. Kepala kembali berputar. Di ujung kanan kiri dekat pintu, didapatinya dua buah sarung, satu buah mukena. Taryan menimbangnya. Usai berkalkulasi ia mengurungkan niat kemudian memasuki mimbar yang terdiri dari tiga tingkat. Ia dapati mix pada tingkat ke tiga; ia dapati lima buah Al Quran pada tingkat ke dua; dan sebuah kotak kayu, keropak masjid pada tingkat pertama. Ia intip. Di dalamnya gelap. Taryan ambil besi penyangga mix. Ia pukulkan besi ke arah kunci gembok berkali-kali.

Gembok terbuka. Suaranya terdengar merdu di telinga. Ia tumpahkan seluruh isinya ke lantai. Uang yang ada di dalam keropak berisi dua keping receh seratusan, dua lembar uang lima ratus, tiga lembar lima ribu dan 11 lembar uang seribuan. Jika seluruhnya ditambahkan maka berjumlah Rp 27200. Taryan mengeruk seluruh uang, memasukannya ke dalam kantung celana bahan. Taryan beranjak keluar mushalla. Dalam perjalanan kembali menuju terminal ia diganggu perasaan berdosa, maka diniatkannyalah untuk mengembalikan uang akhirat itu. Direalisasikannya entah kapan, setidaknya niat itu membuat Taryan cukup ringan.

Taryan terus berjalan menuju terminal. Sampai di sana ia melakukan gerak cepat. Di belinya satu botol Aqua serta dua sobek roti seharga dua ribu rupiah. Ia setop bus yang menurut aparat DLAJR menuju Tanjung Priok. Naik ke atas bus, melalui jendela kusam dilihatnya lokasi di mana Leonard memukulnya habis-habisan. Bus berjalan. Kernet turunkan Taryan di terminal karena tak tahu tujuan. Turun dari bus ia berjalan menuju sebuah gang dekat terminal. Ia ingin bertanya pada kumpulan orang yang ada di depan gang, namun diurungkan karena kebanyakannya bermuka seram tak bercahaya. Pengalaman mengajarkan Taryan memilah wajah mana yang bisa dipercaya. Ia terus berjalan hingga seorang anak muda bermata sipit membuatnya merasa harus bertanya. Taryan mendekati meski ia tahu kemungkinan pemuda itu mengenal paman Radia sangat kecil. Tapi Taryan tak punya pilihan lain. Tak punya tujuan lain sebab seluruh keluarga di pihak orangtua kandungnya berada di perbatasan desanya dengan desa Radia. Artinya percuma saja jika ia lari ke sana. Ia membuka mulutnya setengah. Sebelum suaranya keluar sempurna, pemuda sipit yang menggunakan menggunakan topi Chicago Bulls, celana jeans Keller ngatung dan singlet merek Swan itu menanggapi.

“Kayak pusing. Nyari siapa Mas?”
Taryan perlihatkan giginya yang bolong. “Nyari keluarga Dik.”
“Siapa?”
”Paman istri saya.”
Anak muda sipit menggaruk pantat. “Paman istri Mas pasti punya nama dong?!”
“Kalau ndak salah e, ... Joko ... ee, namanya Joko Suseno!”
Tubuhnya anak muda itu tersentak kebelakang, “Siapa? Joko Suseeeeenooooo!?”
Taryan hampir berjingkrak
“Joko Suseno yang mana!? Jangan dulu kayak gitu ...”
“Walah ... wong belum pernah ketemu”
”Alamatnya?”
”Ilang!”
”Mas orang baru di sini?”
”Iya!”
”Kalo gini susah Mas. Tapi siapa tau orang yang Mas cari, cocok ma Joko Suseno yang gue kenal. Orangnya kumisan? Badannya tinggi besar?”
Taryan tidak tahu wajah paman Radia seperti apa namun dipikirnya, Masak di dunia ini ada orang bernama sama?
”Ya ..! ya!” sahut Taryan.

Anak muda itu berdiri dari kursi kayu panjang. Ia masuk ke dalam warung dan kembali sambil mengigit batang korek api. Tanpa bicara apapun pada Taryan, anak muda itu masuk ke dalam gang. Taryan ragu untuk mengikuti dan anak muda itu baru menyadari setelah jarak 10 meter berlalu. Ia menegok ke belakang, melambaikan tangan.

“Katanya mau ketemu Joko!? Sini gua anter!”

Taryan kuatkan hati. Ia masuki gang kumuh. Kertas nasi bungkus, karet gelang dan plastik berserakan di sisi kanan gang itu. Semakin ke dalam, semakin becek tanahnya. Seorang perempuan tua mengenakan kutang hitam menjemur kain diatas genting; seorang anak peerempuan berumur belasan tahun membetulkan antena televisi. Musik dangdut meraja, membisingi udara. Udara sepak! Banyak panci gosong digantungkan. Sabut kelapa untuk mencuci gelas dan piring tergeletak. Baskom berisi air dan piring kotor ditinggalkan pemiliknya. Ayam kejar mengejar. Ada yang berkelahi menggunakan taji. Ada yang melindungi anaknya. Ada seonggok bangkai kucing dimakan tikus.

Tidak seperti rumah-rumah di desa Taryan, keadaan di gang ini memprihatinkan. Rumah-rumah satu petak didirikan di atas tanah yang sempit. Dempet. Tak ada celah untuk bernafas. Lorong-lorongnya terlalu gelap dan bercabang. Taryan tak mungkin kembali ke gerbang tempatnya bertanya.

Delapan belas menit berlalu. Anak muda itu berhenti di sebuah rumah tingkat berbahan triplek. Taryan masuk ke dalam setelah anak muda itu mengisyaratkan untuk mengikutinya.Di dalam ruangan yang –ternyata—kosong itu, Taryan melihat ke atas. Ia temukan banyak sekali sarang labah-labah. Atapnya bolong. Sinar matahari menerobos dari celah-celahnya.. Keraguan muncul.

“Ini rumah bapak Joko Suseno!?”

Anak muda itu berbalik. Ia tatap Taryan sambil mengeluarkan suara yang nyaring seakan mulutnya menyimpan pengeras suara, ”Ctok!” Beberapa detik setelah suara ctok menjalar di dinding, tiga pemuda keluar. Umur mereka terlihat lebih tua ketimbang anak muda yang mengantarkan Taryan. Ia merasa dalam bahaya. Benar, baru saja merasa, ketiga orang itu memamerkan pisau yang diselipkan di ikat pinggang. Melihat banyaknya bilah pisau keberanian Taryan amblas. Ia pasrahkan nasibnya.

Anak muda bermata sipit yang tadi mengantar, tidak ikut menggeledah. Ia memerintah. Menyuruh anak buahnya membuka baju dan celana. Taryan patuh, lain halnya ketika ia diperintah membuka celana dalam. Untuk urusan yang satu ini ia memohon. Ketiga pemuda tak pedulikan. Taryan menelanjangi diri dan mereka mendapatkan alat kelamin dan perlengkapannya, juga geretan serta uang sebesar 22.200,- rupiah. Ke tiga pemuda murka atas ketidak terus terangan Taryan. Salah seorang di antara mereka maju mencabut pisau. Sebelum pisau berkata, anak muda bermata sipit yang memberi isyarat. Taryan bersyukur tak jadi berdarah.

Anak muda sipir menyuruh Taryan membalikan badan. Dan sebuah tendangan sampai. Badan Taryan menghantam pintu triplek. Pintu jatuh.

“Pergi Luh!” Anak muda sipit melempari Taryan dengan pakaian dan celananya

Tak ada orang yang menaruh iba. Taryan menggunakan baju dan celana di tempat terbuka.Seluruh kekayaan habis. Taryan berjalan gontai tak tentu arah, mencari jalan keluar dari gang setan. Keinginan mencari Joko Suseno sirna. Kini ia hanya berfikir bagaimana melakukan survival di tengah lingkungan predator kota Jakarta.

Dua hari setelah kejadian. Dua hari setelah bosan makan nasi buangan, Taryan mengemis, meminta belas kasihan orang. Dengannya ia membeli makanan yang layak dan menabung. Di hari ketujuh uang dikantungnya mencapai 10.000,- rupiah. Di hari ketujuh yang keramat itulah, Taryan sampai di sebuah bangunan yang dikerumuni pedagang kaki lima. Ia sampai di stasiun kereta yang menghubungkan kota Jakarta dan Surabaya. Ia berkehendak pulang. Tekadnya bulat, meski uangnya tak mencukupi. Ia siap hadapi resiko. Ia sudah tak tahan hidup seperti itu dan keinginan yang ditumbuhkan derita menjadi obor pembakar. Taryan segera mendekati restoran cepat saji di sekitar stasiun. Ia tunggu makanan yang dilempar ke bak sampah. Ia kumpulkan makanan sisa untuk bekalnya di perjalanan. Sebuah botol plastik dibuang pemiliknya. Sebuah kaleng biskuit teronggok Makanan dari bak sampah yang sekiranya awet, ia masukan ke dalam kaleng lalu ia isi kentang goreng serta beberapa potong biskuit yang ditinggalkan penumpang kereta.

Merasa cukup dengan bekal mengkerenyitkan, ia menyodok tangannya menuju celana dalam. Ia ambil lembaran kertas kusam yang nilai instrinsiknya tidak sesuai dengan nilai exstrinsik. Dengan lembaran itulah ia membeli dua sachet shampo anti ketombe. Taryan masuk ke dalam stasiun. Menunggu antrian kamar mandi yang dindingnya ditulisankan, gent. Di dalam kamar yang keramiknya berair itu, ia membuka pakaian yang lengket. Ia siram air di kepala. Air berjalan di dada, paha dan kelingking kakinya. Dirobeknya shampo. Disisik rambutnya. Di bersihkan leher, muka, ketiak, hingga telapak kakinya yang kapalan. Segar menjalar. Baru kali ini ia rasakan mandi menjadi salah satu anugerah terbesar. Perasaan nikmat membuat matanya berkaca-kaca. Mandi menyegarkan kesadaran, mengembalikan ingatan Taryan pada keluarga, pada Chaidir, pada saat ia mendekap Radia di malam-malam yang sesak. Ia terkenang akan panas tubuh Radia. Taryan teramat sangat rindu. Di kepengapan kamar mandi yang airnya kuning berbau besi, ia ambil busa-busa Tatkala satu gelembungn terbang dan pecah di lantai, Taryan terisak. Ia merintih. Ia menangis

Tangisan adalah ledakan.
Beban yang menghimpit kehidupannya hancur berkeping, keping.
Tangisan
memusnahkan kekalutan.
Tangisan
mensucikan amarahnya pada Tuhan.
Hajatnya tuntas. Tubuh Taryan melandai di bak kamar mandi.

Keluar dari sana, Ia melangkah, bersiul-siul. Kali ini ia harus meredakan debaran jantungnya sembari mencari jalur kereta ekonomi. Gerbong ditemukan. Tak begitu lama menunggu, gerbongnya datang. Taryan masuk, dan menemukan satu-satunya tempat yang difikirnya aman bersembunyi hanyalah di kamar mandi. Di antara sambungan gerbong ia menikmati aroma kemenangan yang keluar dari kelamin jutaan penumpang kereta. Taryan tak peduli jenis kelaminnya apa. Gerbong kereta pun bergerak. Suaranya derak-menderak.

2 komentar:

  1. kalo baca bab yang ini, sensasinya sama seperti baca cerpen Blora karya Pram dari kumpulan cerpen Revolusi Subuh..
    A nice posting....

  1. Makasih. Keliatan deh penggemar Pramnya :D

be responsible with your comment