Ke Barat (Bab 12)
Posted: Senin, 01 Juni 2009 by Divan Semesta in
0
Alam selalu menuai kehendaknya kapan saja. Tak bisa dimutlakkan. Manusia yang merupakan salah satu unsur di dalamnya, pun demikian, bahkan bisa jadi manusia merupakan unsur alam yang paling rumit untuk diprediksi.
Sejak meninggalkan Yogya, semua menjadi sepi. Tak ada kabar yang Pepei beri untuknya. Surat-surat Riang tak jua dibalas. Pepei melupakan lelaki dari udik. Lelaki yang letak rumahnya hampir masuk ke dalam hutan rimba.
Riang merasa disepelekan tapi ia tidak gegabah untuk memvonis sebuah keadaan sementara ia tidak mengetahui keadaan yang sesungguhnya. Riang seharusnya beriman pada Pepei. Aku mempercayainya, ujar Riang, tapi apa memang demikian. Jangan jangan kepercayan hanyalah pelarian untuk mempercayai bahwa aku tidak diinginkan.
Riang menginginkan pertanyaan itu lewat tanpa melihat lampu penyebrangan. Lewat begitu saja tak usah dihiraukan, tetapi kesepian justru menstimulasi pertanyaan lainnya mengenai keimanan: jangan-jangan keimanan hanyalah pelarian yang menenangkan? Gumamnya, lantas apakah seorang yang tak beriman tidak akan mendapat ketenangan? Astaga!
Riang terkejut. Ada ruh yang terus menerus mengajaknya berdialog. Ruh sialan itu menuntutnya untuk menguak kabut pertanyaan yang selama ini ia represi. Riang kembali gelisah. Pencariannya terhadap Emha di Yogyakarta yang salah sasaran, semakin membuatnya kebingungan. Emha yang diucapkan ibu, yang informasinya beliau dapatkan dari bapak ternyata bukan Emha yang ada dalam bayangannya.
Bapak hanya asal bicara. Emha yang mengislamkan Simbah, ternyata Emha antah berantah. Emha yang sangat sulit ditelusuri dimana keberadaan dan kediamannya. Teka-teki semakin sulit untuk dipecahkan.
Riang makin sering diam di berbagai kesempatan. ”Riang di rasuki penghuni Merbabu,” kata seorang penduduk Thekelan. Sungguh, otak Riang tak kosong! Mereka semua salah! Pemikiran Riang tak melompong! Dalam diamnya ia berfikir! Otaknya berjalan seperti mesin. Otaknya turbo! Otaknya bergerak cepat, melompat-lompat seperti kuda-kuda yang biasa dipacu untuk mengantar sayuran --hasil lahan pertaniannya-- menuju Tumpang.
Riang tak peduli orang lain bakal membicarakan dia seperti apa. Kegelisahan membuat repot dengan dirinya sendiri. Tak ada waktu luang untuk memikirkan anggapan orang karna kekacauan pikirannya begitu hitam dan menakutkan! Semakin ia diam dan berusaha mengasingkan diri, semakin sering pula ucapan Pepei sowan di kepalanya.
“Manusia. …manusia,
Ah manusia. Bagaimana seandainya jika kau tidak ada?
Kalau manusia tidak ada, mengapa kita ada?.
Mengapa kita merasa.
Lantas apa yang dimaksud rasa?
Duhai gila.
Mengapa kita ada?.
Dengan maksud apa k i ta a a a a a ada?”
Riang memikirkan lontarkan perkataan Pepei di Merbabu.
“Mengapa aku harus ada?” Parau, Pepei menekankan kata-kata.
“O, mengapa aku harus ada!”
Riang mengingat bagaimana ia memutar badannya dan Fidel kembali memiringkan telunjuknya.
“O, seandainya tuhan ada,
mengapa Tuhan tak memberi tahu
tujuan penciptaan manusia dan semesta?
O, siapa yang mengetahui tujuan keberadaan kita?
Manusia manakah yang mengetahuinya?
Pendetakah?
filosofkan? ilmuwankah? petapakah?
O, haruskan hidupku terombang-ambing seperti ini?
O’ haruskan Tuhan ada?”
“Di depan sebatang pohon halangi jalan,
Ini merupakan tanda bahwa keberakhiran. Akhir kepastian.
Tak mungkin dihindari, tak mungkin ditepis.
Batu kelamaan akan menghilang digerus angin.
Manusia,
binatang dan tumbuhan …
tinggal menunggu waktu, menanti tanggal mainnya.
Mati adalah kepastian.
O’, lantas apa yang akan kita hadapi
setelah kematian?”
Semakin ia berdiam dan berusaha mengasingkan diri semakin sering bisikan Simbah silaturahmi di kepalanya.
R
i
a
n
g
K e m a r i
R
i
a
n
g
A y o k e s i n i
R
i
a
n
g
A k u i n i
M
b
a
h
m
u
J a n g a n
T
a
k
u
t
A y o k e m a r i d a l a m p e l u k a n M b a h.
M a s u k d a l a m k e d a m a i a n.
R i a n g ... D a m a i Riang!
Riang semakin masuk ke dalam. Terjerumus ke dalam lubang hitam. Ia tengah melintasi padang kekacauan. Inikah yang dirasakan Mahdi. Bukankah yang kualami kini sama dengan yang dialaminya? Mataku tidak lagi fokus terhadap lingkungan. Di dalam hatiku muncul dialog-dialog yang berpangkal pada pertanyaan
Benarkah?
Jangan-jangan?
Kalau begitu
Ah masak? bermain dikepalanya
Bukankah ini yang dirasakan Mahdi dalam pertarungan keyakinannya?
Anarki memukul-mukul kepala Riang.
Di gubug yang berdiri di tengah lahan yang tengah ia garap Riang meringkuk, menangis dan tertawa sendiri. Ia merasa aneh dengan eksistensinya. Riang belum berkarat. Ia masih mampu melewati semua kegelisahan ini. Masih ada waktu untuk menuntaskan pencarian jawaban atas teka-teki yang membingungkan. Masih ada harapan baginya untuk membuat sebuah pondasi keimanan.
Riang akan terus mencari Tuhan! Ia akan menyembah-Nya! Atau sebaliknya menjadi seperti Mahdi ....mengangkat batu di atas kepala dan mengkeprak kepala Tuhan sampai Tuhan menguik-nguik seperti anjing budugan yang buang air besar karena ketakutan! Ia tidak akan mengkasihani Tuhan!
Riang berani untuk menjadi!
Perjalan hidupnya masih panjang.
WAKTU BERLANJUT ...
di sekitar lokasi wisata Kopeng ... bola yang sudah berjuta tahun memberi penghidupan pada bumi menjadi katarak di mata! Hujan turun perlahan! Rintihan-rintihannya menjulur terputus-putus, membasahi baju. Hujan yang tercurah terasa hangat sehangat air kencing. Apakah mungkin di atas langit ribuan malaikat tengah membuka risleting? Cur! Cur! Mereka merasa bosan, menanti perintah Tuhan untuk mengurusi manusia. Saking sebalnya mereka tidak tahan! Melawan Tuhan tidak mampu maka pelampiasannya dikencingilah manusia!? Riang tertawa.
Usai turunkan hasil pertanian di pasar terdekat menggunakan mobil carteran, punggung Riang bebas merdeka. Ia menembus gerimis menuju pos Kopeng. Selama satu jam lebih, di pos Kopeng itu, ia menanti. Hujan pun berhenti. Ia menjentik puntung rokok ke dalam bak. Selarik angin memutarkan sampah di hadapannya. Sisa air hujan mengalir mengikuti hukum alam, menuju tempat yang rendah.
Angin datang memacu, mengibas tubuh orang-orang, yang mulai berani berhamburan menuju jalanan. Beberapa orang menahan topi dengan kedua tangannya. Kertas koran yang diremas-remas, menggelinding, mencocol air seperti roti yang dicocol pada gelas kopi. Robekan kertas koran lainnya yang ada di sebuah kios, ditiup angin, terbang membumbung, lalu meliuk.
Riang berjalan cepat, melewati apa saja. Ia khawatir hujan susulan datang sementara ia tak menyadari jika selembar kertas koran melayang hanya beberapa jengkal di atas kepalanya. Tiupan angin nampak bersemangat. Kertas koran dengan iklan sepenuh halaman itu menyusul, melewati tubuhnya. Di jembatan kecil, hembus angin tertahan oleh pepohonan. Kertas koran kehilangan daya, turun ke bawah, dua kali bergoyang ke kanan ke kiri lalu menubruk dan menutupi wajah.
Riang berhenti sejenak, memperhatikan koran yang berisi iklan mobil dengan latar belakang pegunungan dan pesawahan subak yang berundak. Ia lipat kertas koran di kantungnya sambil berjalan pulang menuju rumahnya. Ia tidak tidak menyentuh kertas koran itu bahkan hingga ia menggantung baju di belakang pintu rumahnya. Riang tidak mengetahui bahwa di balik iklan sepenuh halaman itu sebuah berita genting menanti untuk dibaca.
Subuh hari, usai menyapu halaman ia memasukan pakaian kotor yang terbengkalai beberapa hari ke dalam ember. Sewaktu mengeluarkan barang-barang yang ada di saku celana dan bajunya, sebuah warta ia temukan dari kantung baju yang kemarin ia kenakan. Warta yang berasal dari kertas koran di balik separuh iklan itu membuat Riang mengambang seakan berada di pertengahan dunia nyata dan khayalan.
Seorang lelaki ditusuk sampai mati di stasiun Tugu. Aparat kepolisian mendapati bahwa korban penusukan adalah lelaki yang beberapa bulan lalu pernah mengagalkan usaha pembegalan di Thekelan. Dari sana polisi mengembangkan kemungkinan kejadian bermotif dendam, tidak ada satu barang berharga pun yang hilang dari tubuh korban. Informan yang tak mau disebutkan identitasnya memberitahu ciri-ciri pelaku. Dari ciri-ciri fisiknya, Riang menarik kesimpulan bahwa mereka adalah lelaki yang pernah mencegatnya di gerbang kuburan, dan lelaki yang diberitakan tewas dalam kejadian adalah lelaki yang sangat dikenalnya.
Tepat pada jam yang sama sewaktu Riang menunggu hujan yang seolah diciptakan untuk memberi kabaran: empat bulan yang lalu Pepei mati di tikam, di dapan sebuah stastiun.
RIANG TAK BEGITU MENGERTI mengenai keberanian bangsa Aria saat meruntuhkan imperium besar Romawi. Riang tak begitu mengerti mengenai arti keberanian. Tetapi, keberanian itu muncul ketika ia teringat akan obrolan antara dirinya dengan Pepei, di sebuah masjid besar berkubah menjelang kepulangannya menuju Thekelan.
Amarah mendorong keberanian Riang hingga ke puncak! Ia pun berkemas dan hengkang dari desa Thekelan. Menuju bagian barat pulau Jawa.
Sejak meninggalkan Yogya, semua menjadi sepi. Tak ada kabar yang Pepei beri untuknya. Surat-surat Riang tak jua dibalas. Pepei melupakan lelaki dari udik. Lelaki yang letak rumahnya hampir masuk ke dalam hutan rimba.
Riang merasa disepelekan tapi ia tidak gegabah untuk memvonis sebuah keadaan sementara ia tidak mengetahui keadaan yang sesungguhnya. Riang seharusnya beriman pada Pepei. Aku mempercayainya, ujar Riang, tapi apa memang demikian. Jangan jangan kepercayan hanyalah pelarian untuk mempercayai bahwa aku tidak diinginkan.
Riang menginginkan pertanyaan itu lewat tanpa melihat lampu penyebrangan. Lewat begitu saja tak usah dihiraukan, tetapi kesepian justru menstimulasi pertanyaan lainnya mengenai keimanan: jangan-jangan keimanan hanyalah pelarian yang menenangkan? Gumamnya, lantas apakah seorang yang tak beriman tidak akan mendapat ketenangan? Astaga!
Riang terkejut. Ada ruh yang terus menerus mengajaknya berdialog. Ruh sialan itu menuntutnya untuk menguak kabut pertanyaan yang selama ini ia represi. Riang kembali gelisah. Pencariannya terhadap Emha di Yogyakarta yang salah sasaran, semakin membuatnya kebingungan. Emha yang diucapkan ibu, yang informasinya beliau dapatkan dari bapak ternyata bukan Emha yang ada dalam bayangannya.
Bapak hanya asal bicara. Emha yang mengislamkan Simbah, ternyata Emha antah berantah. Emha yang sangat sulit ditelusuri dimana keberadaan dan kediamannya. Teka-teki semakin sulit untuk dipecahkan.
Riang makin sering diam di berbagai kesempatan. ”Riang di rasuki penghuni Merbabu,” kata seorang penduduk Thekelan. Sungguh, otak Riang tak kosong! Mereka semua salah! Pemikiran Riang tak melompong! Dalam diamnya ia berfikir! Otaknya berjalan seperti mesin. Otaknya turbo! Otaknya bergerak cepat, melompat-lompat seperti kuda-kuda yang biasa dipacu untuk mengantar sayuran --hasil lahan pertaniannya-- menuju Tumpang.
Riang tak peduli orang lain bakal membicarakan dia seperti apa. Kegelisahan membuat repot dengan dirinya sendiri. Tak ada waktu luang untuk memikirkan anggapan orang karna kekacauan pikirannya begitu hitam dan menakutkan! Semakin ia diam dan berusaha mengasingkan diri, semakin sering pula ucapan Pepei sowan di kepalanya.
“Manusia. …manusia,
Ah manusia. Bagaimana seandainya jika kau tidak ada?
Kalau manusia tidak ada, mengapa kita ada?.
Mengapa kita merasa.
Lantas apa yang dimaksud rasa?
Duhai gila.
Mengapa kita ada?.
Dengan maksud apa k i ta a a a a a ada?”
Riang memikirkan lontarkan perkataan Pepei di Merbabu.
“Mengapa aku harus ada?” Parau, Pepei menekankan kata-kata.
“O, mengapa aku harus ada!”
Riang mengingat bagaimana ia memutar badannya dan Fidel kembali memiringkan telunjuknya.
“O, seandainya tuhan ada,
mengapa Tuhan tak memberi tahu
tujuan penciptaan manusia dan semesta?
O, siapa yang mengetahui tujuan keberadaan kita?
Manusia manakah yang mengetahuinya?
Pendetakah?
filosofkan? ilmuwankah? petapakah?
O, haruskan hidupku terombang-ambing seperti ini?
O’ haruskan Tuhan ada?”
“Di depan sebatang pohon halangi jalan,
Ini merupakan tanda bahwa keberakhiran. Akhir kepastian.
Tak mungkin dihindari, tak mungkin ditepis.
Batu kelamaan akan menghilang digerus angin.
Manusia,
binatang dan tumbuhan …
tinggal menunggu waktu, menanti tanggal mainnya.
Mati adalah kepastian.
O’, lantas apa yang akan kita hadapi
setelah kematian?”
Semakin ia berdiam dan berusaha mengasingkan diri semakin sering bisikan Simbah silaturahmi di kepalanya.
R
i
a
n
g
K e m a r i
R
i
a
n
g
A y o k e s i n i
R
i
a
n
g
A k u i n i
M
b
a
h
m
u
J a n g a n
T
a
k
u
t
A y o k e m a r i d a l a m p e l u k a n M b a h.
M a s u k d a l a m k e d a m a i a n.
R i a n g ... D a m a i Riang!
Riang semakin masuk ke dalam. Terjerumus ke dalam lubang hitam. Ia tengah melintasi padang kekacauan. Inikah yang dirasakan Mahdi. Bukankah yang kualami kini sama dengan yang dialaminya? Mataku tidak lagi fokus terhadap lingkungan. Di dalam hatiku muncul dialog-dialog yang berpangkal pada pertanyaan
Benarkah?
Jangan-jangan?
Kalau begitu
Ah masak? bermain dikepalanya
Bukankah ini yang dirasakan Mahdi dalam pertarungan keyakinannya?
Anarki memukul-mukul kepala Riang.
Di gubug yang berdiri di tengah lahan yang tengah ia garap Riang meringkuk, menangis dan tertawa sendiri. Ia merasa aneh dengan eksistensinya. Riang belum berkarat. Ia masih mampu melewati semua kegelisahan ini. Masih ada waktu untuk menuntaskan pencarian jawaban atas teka-teki yang membingungkan. Masih ada harapan baginya untuk membuat sebuah pondasi keimanan.
Riang akan terus mencari Tuhan! Ia akan menyembah-Nya! Atau sebaliknya menjadi seperti Mahdi ....mengangkat batu di atas kepala dan mengkeprak kepala Tuhan sampai Tuhan menguik-nguik seperti anjing budugan yang buang air besar karena ketakutan! Ia tidak akan mengkasihani Tuhan!
Riang berani untuk menjadi!
Perjalan hidupnya masih panjang.
WAKTU BERLANJUT ...
di sekitar lokasi wisata Kopeng ... bola yang sudah berjuta tahun memberi penghidupan pada bumi menjadi katarak di mata! Hujan turun perlahan! Rintihan-rintihannya menjulur terputus-putus, membasahi baju. Hujan yang tercurah terasa hangat sehangat air kencing. Apakah mungkin di atas langit ribuan malaikat tengah membuka risleting? Cur! Cur! Mereka merasa bosan, menanti perintah Tuhan untuk mengurusi manusia. Saking sebalnya mereka tidak tahan! Melawan Tuhan tidak mampu maka pelampiasannya dikencingilah manusia!? Riang tertawa.
Usai turunkan hasil pertanian di pasar terdekat menggunakan mobil carteran, punggung Riang bebas merdeka. Ia menembus gerimis menuju pos Kopeng. Selama satu jam lebih, di pos Kopeng itu, ia menanti. Hujan pun berhenti. Ia menjentik puntung rokok ke dalam bak. Selarik angin memutarkan sampah di hadapannya. Sisa air hujan mengalir mengikuti hukum alam, menuju tempat yang rendah.
Angin datang memacu, mengibas tubuh orang-orang, yang mulai berani berhamburan menuju jalanan. Beberapa orang menahan topi dengan kedua tangannya. Kertas koran yang diremas-remas, menggelinding, mencocol air seperti roti yang dicocol pada gelas kopi. Robekan kertas koran lainnya yang ada di sebuah kios, ditiup angin, terbang membumbung, lalu meliuk.
Riang berjalan cepat, melewati apa saja. Ia khawatir hujan susulan datang sementara ia tak menyadari jika selembar kertas koran melayang hanya beberapa jengkal di atas kepalanya. Tiupan angin nampak bersemangat. Kertas koran dengan iklan sepenuh halaman itu menyusul, melewati tubuhnya. Di jembatan kecil, hembus angin tertahan oleh pepohonan. Kertas koran kehilangan daya, turun ke bawah, dua kali bergoyang ke kanan ke kiri lalu menubruk dan menutupi wajah.
Riang berhenti sejenak, memperhatikan koran yang berisi iklan mobil dengan latar belakang pegunungan dan pesawahan subak yang berundak. Ia lipat kertas koran di kantungnya sambil berjalan pulang menuju rumahnya. Ia tidak tidak menyentuh kertas koran itu bahkan hingga ia menggantung baju di belakang pintu rumahnya. Riang tidak mengetahui bahwa di balik iklan sepenuh halaman itu sebuah berita genting menanti untuk dibaca.
Subuh hari, usai menyapu halaman ia memasukan pakaian kotor yang terbengkalai beberapa hari ke dalam ember. Sewaktu mengeluarkan barang-barang yang ada di saku celana dan bajunya, sebuah warta ia temukan dari kantung baju yang kemarin ia kenakan. Warta yang berasal dari kertas koran di balik separuh iklan itu membuat Riang mengambang seakan berada di pertengahan dunia nyata dan khayalan.
Seorang lelaki ditusuk sampai mati di stasiun Tugu. Aparat kepolisian mendapati bahwa korban penusukan adalah lelaki yang beberapa bulan lalu pernah mengagalkan usaha pembegalan di Thekelan. Dari sana polisi mengembangkan kemungkinan kejadian bermotif dendam, tidak ada satu barang berharga pun yang hilang dari tubuh korban. Informan yang tak mau disebutkan identitasnya memberitahu ciri-ciri pelaku. Dari ciri-ciri fisiknya, Riang menarik kesimpulan bahwa mereka adalah lelaki yang pernah mencegatnya di gerbang kuburan, dan lelaki yang diberitakan tewas dalam kejadian adalah lelaki yang sangat dikenalnya.
Tepat pada jam yang sama sewaktu Riang menunggu hujan yang seolah diciptakan untuk memberi kabaran: empat bulan yang lalu Pepei mati di tikam, di dapan sebuah stastiun.
RIANG TAK BEGITU MENGERTI mengenai keberanian bangsa Aria saat meruntuhkan imperium besar Romawi. Riang tak begitu mengerti mengenai arti keberanian. Tetapi, keberanian itu muncul ketika ia teringat akan obrolan antara dirinya dengan Pepei, di sebuah masjid besar berkubah menjelang kepulangannya menuju Thekelan.
Amarah mendorong keberanian Riang hingga ke puncak! Ia pun berkemas dan hengkang dari desa Thekelan. Menuju bagian barat pulau Jawa.