Konspirasi (Bab 11)

Posted: Senin, 01 Juni 2009 by Divan Semesta in
0

Di sebuah jalan, di bawah tiang listrik mati tiga orang pria berkumpul. Yang satu tampak tenang namun kata-katanya tajam dan kejam. Yang lainnya tinggal dijerang menunggu titik didih pembicaraan untuk meluapkan kemarahan.

”Coba kita permak dia, tidak usah di matikan. Ini sebatas pelajaran! Siapa yang mengkhianati ... siapa yang membangkang, siapa yang menghalangi jalannya partai maka ia harus dihentikan! Kita harus membuatnya kapok!”
”Apa kau yakin dia bakal takut oleh ancaman kita?! Kau sendiri yang bilang, kalau dia tidak pernah memperlihatkan rasa takutnya pada orang!”
”Dia memang tidak pernah memperlihatkan rasa takutnya, tapi apakah manusia tidak memiliki rasa takut? Dia memilikinya hanya tidak memperlihatkan pada siapa-siapa.”
”Siapa yang akan menjalankan rencananya? Siapa yang berani berhadapan dengannya!? Apa kau tidak pernah berpikir, kedepannya, bagaimana kalau dia tau dan dia memperpanjang urusan dengan kita?”
”Aah, terlalu banyak pertimbangan, bisa-bisa mandek urusannya! yang harus kita pikirkan, dia ..., itu menghalang-halangi pergerakan partai secara tidak langsung, dia menggerogoti dari dalam, menjadikan kader-kader muda sebagai pembangkang. Maksudku, itu cukup untuk dijadikan alasan untuk menggunakan kekerasan padanya!

”Bukannya jalan partai kita sepenuhnya pemikiran, tidak menggunakan kekerasan?!”
”Siapa bilang begitu. Jika sekarang tidak mungkin lain kali ya! Kau pikir Stalin, si tangan besi dulunya melakukan apa? Dia dibesarkan Lenin dan dibiarkan melakukan segala tindak kekerasan untuk mendukung partai! Melakukan sabotase, intimidasi terhadap gerakan lain dan kawan yang tak sehaluan dengan kinerja partai! Ini wajar dalam pergerakan ide. Sebuah ide harus selalu dikawal kekuatan otot! Lagipula, apa yang orang katakan tentang lelaki itu, apa yang kau dan kita bayangkan tentangnya terlalu berlebihan. Kalau kau takut berhadapan dengannya, kau memiliki kawan yang saling menguatkan. Kawan-kawan satu jaringan, satu ide, satu radikalisme dalam pemikiran ini. Kau pikir mereka tidak akan tinggal diam jika salah seorang diantara kita digebuki oleh seorang pengkhianat! Yang perlu Bung tahu, dia itu sendiri meski banyak orang yang memiliki ke dekatan personal dengannya, dia selalu sendiri... Dalam pengamatanku dia tidak mau melibatkan orang lain dengan masalah yang dihadapinya. Apalagi jika masalah pribadi.”
”Apa yang kau maksud di cukup jantan?” Pria itu mendengus.
”Dia tidak pernah mengajak orang lain berkelahi untuknya. Ini kelebihan dia tetapi sekaligus kekurangannya. Kita akan manfaatkan itu!”
”Bukankah kita jadi terlihat seperti pecundang? Melawan seorang menggunakan banyak orang? Kalau begini, rasanya pun tidak membenarkannya.” Seorang pria membantah.
”Nurani lagi nurani lagi! Nurani itu bukan alat berpikir. Alat berpikir itu otak! Sekarang yang harus dipikirkan adalah partai dan tujuannya. Siapapun yang menggembosi, yang mempreteli dari dalam, dia harus dihancurkan! Caranya tak masalah dengan apa saja! Materi di hadapan materi sama saja!”

Orang yang diajak bicara mengulangi kalimat terakhirnya, seolah membenarkan, ”Hmmm materi di hadapan materi sama saja! Oke kalau begitu, tapi siapa yang melaksanakannya?”
”Kau saja!”
”Kenapa mesti aku?”
”Kau kan punya lingkaran pertemanan dengan preman!?”
Pria yang dilimpahi tanggung jawab menatap sinis. ”Memang kau tak memiliki teman preman apa?!”
”Bukan begitu. Baiklah ... kalau aku yang kalian tunjuk untuk membereskan, tidak masalah, tapi ...” ia berpikir tapi tidak menemukan jawaban. ”sebaiknya jangan ... aku ... aku ... tahu aku tidak bisa mengalahkannya!”
”Memangnya aku bisa?!”
”Pukul saja dari belakang! Seperti yang kau ceritakan dulu pernah memukulya dari belakang!”
”Aku memang pernah sukses, tapi tidak untuk yang ini, tidak untuk sekarang!”
”Pecundang! Bilang saja kau takut padanya!”
Orang yang dikata-katai meranggas, ia marah!
”Apa Kau bilang?!” lelaki itu mengangkat kerah pria yang mengata-ngatainya, tetapi salah satu yang sedari tadi paling sedikit melibatkan diri melerai.
”Sudah ... untuk apa gunanya bertengkar! Aku punya seorang kenalan. Saat ini dia sedang kudekati. pikirannya hampir berubah total sama dengan pemikiran kita! Kalian tahu sendiri bagaimana radikalnya orang yang baru berubah. Dia yang akan kita gunakan untuk memberi pelajaran ... tak usahlah kita menggunakan tangan sendiri untuk membersihkan kotoran!”

Dengan leraian dan penjelasan itu, selesailah permasalahan. Tapi apakah orang yang mereka limpahkan harapan mau melakukannya?

JEEP BERJALAN PERLAHAN menuju warung tempat Suwito biasa nongkrong. Jeep berhenti. Pintu terbuka. Ada enam pria di dalamnya. Lima pria bertubuh keka, menggunakan jaket dan emblem sebuah organisasi pemuda turun dari pintu Jeep, mendatangi warung. Satu pria lainnya yang berwajah paling bersih, berambut paling klimis menggerak-gerakan leher dan tangannya. Sepatu boots, berbunyi ketepak-ketepok di jalan. Sampai di warung, ia mengeluarkan pak sigaret dari kantung celana jeansnya. Pria itu menggerakan roda kecil pada kota berlabel Zippo. Cur! Api menyembur.

“Di mana Suwito?!” Tanyanya menekan orang-orang yang berada di dalam warung. Orang-orang itu memiliki naluri yang peka seperti binatang. Mereka diam. Solidaritas membuat mereka bungkam.
“Sekali lagi aku tanya, di mana Suwito?! Mana yang namanya Suwito?!”
Bahasa tubuh beberapa orang beriak. Sekilas mata mereka menunjuk Suwito yang saat itu sedang merokok santai di bawah pohon, di dekat warung.
Lelaki itu faham. Pria itu mendatanginya.
“Kau yang namanya Suwito!?”
Orang yang ditanya menghembuskan asap, ke samping “Aku Suwito! Kenapa?!”

Pria itu menghisap dalam-dalam rokoknya. Lalu, “Pfuuuuuuh!” ia menghembuskan asap menuju wajah orang yang sedari tadi dicari. Ia berpaling pada empat lelaki yang mengikutnya. “Ini orangnya!” lelaki itu memberi instruksi. ”Pukuli dia! Kalian kuandalkan,” ia memfokuskan perintahnya, ”terutama Kau yang harus membuktikan!”

Kardi menarik kerah baju. Suwito berontak! Dua orang lainnya tanggap, mereka memberangus tangan Suwito dari belakang. Saat tubuh Suwito dipaksa mendekati tubuh lelaki yang memberi instruksi, tensi amarah Suwito drop. Emblem nama yang di jaket lelaki itu menggetarkan jiwanya. Minus yang diderita matanya, membuat Suwito menyesal. Ia tak mungkin menentang. Dua orang pria mendorong tubuhnya. Suwito diseret ke selokan dekat bangunan kosong. Ia mulai ketakutan. Wajahnya seperti baru dikucek pemutih oleh laundry!

Mereka berhenti di samping selokan. Suwito merunduk-runduk mengingat kematian. Lelaki yang memerintah masuk ke dalam Jeepnya. Kardi lantas melompat. Kepalanya menyundul hidung Suwito sampai berdarah. Ia diseret ke arah bangunan kosong. Lutut Suwito ditendang, kepalanya diadu dengan tembok. Ia melenguh. “Uh, uh, uh!” Ulu hatinya, disodok boots. Suwito meringis.

Pria yang memberi perintah surut. Ia memberi isyarat pada pria lainnya untuk mempermak Suwito. Tubuhnya jadi gebok pisang. Ia ditendang, dibogem, disiku, dipiting. Ia ingin melawan tapi informasi yang beredar tentang nama seorang pemimpin organisasi kepemudaan membuatnya tak berani. Suwito mengiba.

”Om Toto! Ampun Om. Sakit! Nyeri! Uh, uh, uh” Ia meringis dan memohon ampun, tetapi lelaki yang dipanggil om Toto olehnya malah menghisap sigaretnya dalam-dalam.

Suwito tak tahu lagi siapa yang harus dimintai pertolongan Benaknya berkejap-kejap ingatan akan kampung halaman di Ambon. Ia teringat akan perlindungan dan kasih sayang yang senantiasa di berikan ayahnya. Ia melolong “Papaaaaa....! Tolong anakmu Papaaaaaaaa!”

Mendengar teriakan menyedihkan itu, Sekarmadji, salah seorang di antara pria itu terpengaruh. Ia mengendurkan cengkraman tangannya. Suwito merasakan. Di tengah situasi yang mencekam ia melihat kesempatan. Dengan hentakan yang cepat Suwito melepaskan cengkraman tangan pria satunya. Suwito lepas, ia berlari mengerahkan kemampuannya yang terbaik. Kardi berusaha mencegahnya. Suwito berlari seakan larinya merupakan pertaruhan hidup dan mati.

Tapi itu untuk sementara. Suwito salah menentukan arah larinya. Ia melewati Jeep. Brak! Pintu Jeep terbuka. Wajah Suwito yang sudah tak karuan membentur kaca yang tebal. Tubuhnya meluruh ke bawah. Beramai-ramai lelaki yang semula memburu mengangkat tubuhnya, membawa dia ke pinggir solokan, lalu melemparkannya.

Tubuh Suwito melayang! Tulang punggungnya lebih dulu membentur dasar selokan! Tak henti di sana, Kardi meloncat ke dalam selokan, menginjak Suwito! Histeria Suwito berteriak, ia melolong ketakutan, menggeliat di dalam selokan.

Ia meratap, “Mamaaaaaaaaaa, tolong beta! Mamaaaaaaaaaaaaa …” Tolong betaaaaa! ............. Tolong Mama! Anakmu mau dimatikan Mamaaaaa! Tolooooong!”
Hanya sebentar Suwito berteriak, karena balok pajang yang gemuknya sebesar kepalan membuatnya diam. Suwito koma. Ditinggalkan begitu saja di selokan.


SORE HARI, setelah kejadian di selokan, di sekretariat organisasi kepemudaan, Mahdi bertemu dengan Toto. Ia menceritakan segalanya tentang lelaki itu. Mahdi menambah-nambahi garam dan ketumbar obrolannya. Hampir di akhir pembicaraan, Mahdi berpesan, supaya tidak ada yang dihabisi. ”Cukup di beri pelajaran!” ujarnya.

”Don ...!?” Toto melirik pada pemuda yang sudah duapuluh tahun dipeliharanya. ”Menurutmu siapa yang pantas melakukan ini?!”
”Aku pantas!” sahut Gendon.
”Ya, ya ... aku tak meragukanmu, tapi kalau mau membunuh lalat yang digunakan bukan meriam.” Toto terkekeh.

Gendon tersanjung.
”Tapi lelaki itu pintar berkelahi!” Mahdi memotong.
”Comberan! Kau ... yang tak mengetahui apa-apa, tak perlu bicara!” Toto yang tak bisa diinterupsi, menghardik. ”Kalau dua orang baru itu tidak mampu membereskan, akan kupertimbangkan orang lain untuk menembakknya!”

Kelenjar keringat Mahdi mengendut. Membunuh itu bukan memberi pelajaran. Mahdi ingin mengutarakan pemikirannya, namun pria di sampingnya memberi tanda agar ia tak kembali bicara.
”Mas Toto, maaf ...” Obrolan beralih kendali, teman Mahdi yang ganti bicara, ”saya rasa terlalu besar resikonya jika harus membunuh lelaki itu. Bagaimana kalau aparat kepolisian mengkaitkan pembunuhan itu dengan gerakan? Habislah semua. Sia-sialah apa yang sudah dibangun demikian lama.”
”Oke kita akan beri dia sedikit pelajaran saja.” Toto sedikit simpati pada teman Mahdi, ia tersenyum” Bagaimana Don?”
Gendon mengangguk, ”Oke! Paling lambat lusa, aku beritahukan dua orang baru itu untuk menyelesaikan masalah ini.”

Mahdi pun pulang. Ia menganggap hubungan yang selama ini ia jalin dengan tokoh kepemudaan itu menghasilkan sesuatu. Mahdi tak tahu, jika Toto tak mau tahu apa yang dilakukan Mahdi dan gerakannya. Toto tak memperdulikan klaim keadilan sosial yang diungkap dalam setiap pembicaraan. Ia ia tak mau soalan konsep penyamarataan, ia menganggap tai kucing semua organisasi dan orang-orang yang berbusa bicara tentang penindasan. Apa yang ia lakukan merupakan perencanaan matang hasil timbang menimbang.Yang Toto ingin hanya kepatuhan buta dan pengembalian atas uluran tangan yang harus dikembalikan jika satu saat ia meminta.

SEBELUM GENDON MEMBERI TAHU tugas Sekarmadji dan Kardi yang baru, tanpa bisa diperkirakan, situasi menjadi buruk. Tanpa sengaja Sekarmadji merasa mengenal lelaki yang tengah berjalan di stasiun. Sebuah kejadian membuat wajah lelaki itu tersimpan baik di dalam memorinya.

Di dekat penjual es balok, lelaki itu berpandangan dengan Sekarmadji, tetapi seperti kebanyakan penumpang lain, pandangan itu hanya sekilas, tidak menambat. Lelaki itu tidak sadar jika sapuanpandangnya itu mendekatkan dirinya pada bahaya hanya dalam hitungan beberapa menit ke depan.

Tak sadar atas apa yang dilakukannya, Sekarmadji berlari. Ia mencari Kardi dan menemukannya tengah berbincang dengan seorang juru parkir. Mendengar penuturan Sekarmdji, Kardi langsung meloncat dari bangku panjang yang ia duduki. Mereka berjalan cepat, khawatir penumpang kereta api yang menghanyutkan lelaki yang mereka cari. Pada lorong yang dindingnya ditulisi exit mereka menanti. Dua lelaki itu memperhatikan satu persatu kerumunan orang-orang, hingga lorong itu hampir menjadi lengang.

“Dia memakai baju apa?” Kardi tak sabar.
“Kaus putih, celana jeans hitam!”

Perburuan itu membuat mereka terengah. Ada semacam ketegangan dalam setiap pertambahan langkah Sekarmadji. Ia tak yakin atas apa yang dilakukannya. Mereka terus mencari, berputar dan memperhatikan kerumunan remaja beransel, melihat seorang bapak yang membujuk anaknya menggunakan bonus mainan yang terdapat dalam bungkus makanan ringan, juga ibu-ibu, dan tante-tante yang menggeret koper plastiknya menuju bagasi taksi.

“Itu orangnya!” Sekarmadji berteriak, melihat punggung lelaki yang mereka cari.

Dan langkah kaki pun berderap-derap, setengah berlari. Sekarmadji melihat Kardi memasukan tangan kanannya ke pinggang. Dalam ketergesaan itu segalanya menjadi cepat. Ketegangan mulai menguasai. Ia kemudian teringat sesuatu, tetapi apa yang ia ingat tak akan membantu menghentikan takdir yang akan terjadi.

Sekarmdji tiba-tiba merasakan bumi menjadi sedemikian malas berotasi. Waktu melambat saat ia melihat tangan Kardi keluar dari pinggangnya. Sekarmadji berteriak “Jangaaaaan!” namun Kardi tidak mendengar. Ia tak mau mendengarnya sebab dirinya telah dikuasai keinginan babi yang buta!

Di samping penjual es balok , seorang lelaki jatuh terlentang oleh tusukan yang sempurna. Belati menancap di tepian jantungnya. Hembus nafasnya melemah. Ia merasa sakit, hanya dalam beberapa detik. Setelahnya ... lelaki itu kehilangan segalanya. Menjelang dibunuhnya cahaya sore oleh malam ... di stasiun kota tua itu, seorang lelaki terkapar menjadi bangkai.

0 komentar:

be responsible with your comment