Yogyakarta (Bab 10)

Posted: Rabu, 27 Mei 2009 by Divan Semesta in
2

AGUSTUS. Sudah setahun Riang tak menyambangi. Yogyakarta tidak begitu banyak yang berubah. Hampir sama seperti dulu. Di jalan, motor-motor susul menyusul. Helm catok yang fungsinya –sebatas— supaya tidak ditilang polisi –bukan sebagai pelindung kepala--, menempel di sebagian besar pengendara. Warung-warung berjejer di pinggir jalan. Di balik kaca penghalang debu jalanan, goreng lele yang renyah, pecel sayuran, tempe bacem, sambal, sayur asam, tahu, rempeyek dan ikan teri putih sebesar kelingking, membuat lidah Riang menggeliat. Riang harus bertahan, harus bersabar, mutlak musti bertekad! Tarif makan warung pinggir jalan itu mahal. Ia yang biasa hidup sederhana harus berhemat. Manusia yang belum kaya, jangan terlalu dihamba bisikan selera!

Yogyakarta, kini terasa panas bagi Riang. Perubahan suhu yang drastis berakibat pada kesehatan tubuhnya. Baru sebentar berada di kota ini, temperatur badannya naik. Menggunakan lengan baju, ia seka keringat. Nodanya coklat. Minyak yang ada di mukanya jadi penyaring debu dan karbon monoksida. Di setopan ia bertemu dengan wanita manis berwajah gulali. Badannya harum, tetapi sayang-disayang bulu ketiaknya tidak dicukur. Wanita itu bilang, tujuan Riang masih jauh, masih harus menggunakan bus.

Dibilang jauh, Taryan ketawa. Ia memilih jalan. Jauhnya orang kota tentu tidak sebanding dengan jauhnya orang desa, apalagi yang bilang jauh itu wanita. Riang melewati beberapa lampu merah, melewati bangunan universitas megah yang halamannya luas. Ia ingin masuk tapi rasanya segan. Lagipula tujuannya ke Yogyakarta bukan untuk jalan-jalan melainkan bertemu Emha, bertemu budayawan berikut menyambangi dan bertanya mengenai banyak hal yang mengganggunya pada Pepei.

Dari jalan besar Riang belok ke arah kiri, menuju gang berhias gapura tujuh belasan bergambar tentara menggenggam senjata otomat zaman Westerling, bren! Mulut tentara itu menganga, kakinya nyeker. Tiang lain pada gapura menggambarkan extrimis republiken tengah menikam dua tentara Dai Nipon yang berteriak Akh! Sementara tentara satunya lagi mengumpat, Bagero!. Di atas gapura, kain merah putih terbentang. Di tengah-tengahnya tergantung triplek putih bertuliskan Dirgahayu Republik Indonesia yang ke sekian, tak lupa diembel-embeli pekik meredeka! Dengan huruf kapital tentunya!

Sekitar seratus meter dari gapura jalan menurun. Alamat rumah Pepei akhirnya Riang temukan. Rumah itu bercat hijau. Halamannya ditanam rambutan. Di depannya terdapat lapangan bulu tangkis yang berhimpitan dengan wartel dan warung keperluan sehari-hari.

Ktuk! ktuk! ktuk! Riang mengetuk pintu rumah, “Permisi!”

Seekor ayam yang asyik tidur, terusik. Ayam itu terperanjat, terbang keluar dari balik pagar. Minibus yang tengah melaju, meninjunya. Tubuh si jago yang gagah msenghantam pohon asam! Rem tangan di tarik. Krek! Minibus berhenti ditanjakan. Pengemudi turun. Wajahnya pias.

”Siapa pemilik ayam ini Mas?” Pengemudi bertanya pada Riang, wajahnya pias.
”Mana ku tahu? Baru pertama ke sini Mas.” jawab Riang singkat.
Pengemudi bingung. Di belakang minibus antrian mobil membunyikan klakson tan tin tan tin ketika mengetahui bahwa yang sekarat bukan manusia.

Pengemudi minimbus segera pinggirkan kendaraan tepat di atas tanjakan. Orang-orang berkerumun. “Lekas panggil Paijo!” Teriak seseorang pada anak yang tubuhnya terlihat paling kecil di kerumunan. Anak itu berlari dibayang-bayangi gigitan tato laba-laba pada bahu pemuda yang baru saja memberinya perintah.

Tak lama berselang, orang yang dicari si anak datang. Ia menatap ayamnya, nanar. Paijo mengelus sambil memandang mata pengemudi minibus. Pengemudi minibus lekas minta maaf. Beberapa orang berkhayal, polisi yang nantinya datang terlambat akan menggunakan kapur tulis seperti yang digunakan polisi bule saat memberi tanda tempat kejadian perkara di film action yang sering mereka tonton.

Tak ada film action karena Paijo memaafkannya. Pengemudi minibus bernafas lega. Ia serahkan uang tapi Paijo menepis nya. “Tidak usah Mas! Saya yakin Mas tidak berniat menubruk ayam saya! Ini kecelakaan! Setiap kejadian adalah qudrat dan iradat-Nya.” Pengemudi minibus tak begitu saja percaya. Ia sodorkan uang, membungkuk-bungkuk, namun segigihnya orang, pastilah menyerah jika sudah berhadapan dengan manusia berkeyakinan cadas. Setelah sebelumnya mengatakan ’maaf’ yang Riang hitung sudah diucapkan lebih dari duapuluh empat kali, pengemudi mini bus berlalu.

Konsentrasi Paijo kini terfokus pada ayam sekarat yang didekapnya. Ia menarus ayam yang malang itu di samping net bulu tangkis. Ia berlari menuju tempat Riang berdiri. Riang khawatir, benar-benar khawatir! Jangan-jangan Paijo tahu kalau dirinya yang membuat ayam terbang. Tidak! Paijo melewatinya begitu saja. Di Yogya Riang bersyukur untuk yang pertama kali dan yang kedua kalinya saat Paijo mengetuk pintu, dan berteriak “Masssssssss! Mas Pepei!”

Tak ada jawaban dari dalam. Paijo membuka pintu, masuk ke dalam dan kembali berteriak. Tak lama kemudian ia keluar membawa pisau dapur. Paijo belari menderu-deru, menuju lapangan bulu tangkis. Sebelum piaraannya mati, ia menyembelih ayamnya, “Alhamdulillah masih sempat!” katanya.

Dalam pada itu seseorang yang datang dari belakang mengejutkan Riang “Ada apa?” Tanyanya. Lelaki yang bertanya melihat ayam yang menggelepar, “O kusangka ...” lalu ia menoleh pada Riang dan berteriak. “Ya ampuuuuun! Bandoooo… ya ampun Bando … Riang! Sejak kapan ada di depan!”

Riang latah ikut-ikutan. “Ya ampunnnnn Mas Pepei. Ya ampuuuun!” sambil menempelkan kedua tangan di pipi seperti Meisyi saat membawakan acara Bando di salah satu stasiun televisi swasta.
“Masuk-masuk!” Pepei membawa Riang ke dalam. “Silahkan duduk!” Katanya.
Saat Riang duduk tanpa memberitahu akan kemana, Pepei meninggalkannya. Ia keluar dari pintu belakang.Riang duduk diatas ubin yang sudah dialasi tikar.

Di ruangan itu Riang tidak melihat tempat duduk. Majalah lawas berserakan. Lembaran-lembarannya lepas. Ada hektar yang di paku pada meja kayu. Sebuah jam sederhana tergantung di tembok. Sebuah televisi tua dimatikan. Di sampingnya pesawat telepon dialasi tatak rotan menclok.
Beberapa menit kemudian Pepei kembali dari pintu depan. Ia membawa makanan ringan, kacang-kacangan, wafer dan es jeruk.
”Sejak kapan di Yogya?” Sambil menuang air yang maha segar itu, Pepei memulai perbincangan.
”Baru saja sampai.” Jawab Riang datar.
”Kabar orangtuamu bagaimana?”
”Baik-baik saja.”
Jika sudah lama tidak bersua membuat atmosfer sebuah perjumpaan akan menjadi hambar. Pepei membiarkan Riang makan dan membiasakan diri terlebih dulu. Pepei menjerang air di dapur dan membawa dua gelas air hitam. Wangi air itu sampai di hidung Riang.
”Ayo diminum!”
”Baik Mas.”
”Jadi kayak robot!?” Pepei tertawa memandang Riang. Ia berusaha memecah kekakuan.
”Siapa ?” Tanya Riang sambil menghirup kopi.
”Ya kamu!”
Riang tidak begitu ahli dalam permainan psikologi perbincangan semacam ini, maka ia alihkan obrolan. ”Mas membaca koran beberapa bulan lalu?”
”Tentang apa?”
”Tentang kita, tentang danau keramat di Merbabu, tentang perkelahian yang waktu itu...”
”Bagaimana bisa?” Pepei menatap langit-langit yang sempit, ”...menemukan ikan purba?!” Saat tertawa, amandel Pepei kelihatan. ”Ada-ada saja! Seminggu berturut-turut Thekelan dimuat di koran, diberitakan di radio, setelah itu apa yang terjadi di sana?”
”Yang terjadi bagaimana?” Riang kebingungan.
”Ada yang berubah?”
”Apa?”
”Ya apa?!” Pepei pura-pura kesal. ”Apa yang berubah di Thekelan?” Tanyanya.
”O itu,” Riang melongo. ”Sekarang banyak orang yang ziarah ke Thekelan Mas...” Dan ia pun menceritakan semuanya. Mendengar cerita Riang tentang ibu pejabat yang semaput, air kopi nyembur mengenai baju Riang.
”Yang!?” Tanya Pepei setelah meminta maaf.
”Iya Mas?”
”Tadi kau ceritakan perubahan di Thekelan, sekarang, kau mengalami perubahan macam apa?”
Yang berubah tentangku?” Riang menunjuk dirinya.
”Iya, yang tentangmu!” Pepei hampir-hampir menggelengkan kepala. ”Sekarang kamu terkenal di mana-mana, diberitakan di media massa, barangkali kamu banyak ditaksir wanita?”
Riang hilang keseimbangan, mendengar pertanyaan itu. ”Ah mas ini! Sungguh Maaaas! Ndak ada niat pacaran! Repot kalau harus membiayainya.”
”Siapa yang bertanya tentang pacaran. Aneh, aku kan Cuma bertanya, apa kamu sudah ditaksir wanita, lagipula, memangnya kalau pacaran harus membiayai. Aturan dari mana itu? Membiayai itu kalau sudah kawin. Ini kan belum.”
”Orang pacaran butuh uang. Masak pacaran di tempat menanam sayur?”
”Lha! Di tempat wisata Kopeng, kan gratis?!”
”Gratis iya tapi makannya?”
”Bawa dari rumah!”
Riang cengangas cengigis. ”Oh iya .... oh iya .... benar Mas!”
”Oh iya-oh iya! Kalau gitu siapa pacarmu sekarang?”
Riang membungkuk-bungkuk. ”Ampunnnnn sungguh tak punya ... malu aku Mas... sudah!”
Pepei menahan tawa.
Obrolan terhenti. Riang berpikir.
”Kalau Masnya sendiri bagaimana?”
”Apanya yang bagaimana?”
”Pacar lho Mas. Pacar!” Mata riang berkedap kedip.
”Simbahmu!!! Malas aku omongin itu!”
Lelaki yang ada dihadapan Riang lumayan licik, tapi ia tidak begitu mempermasalahkanya.
Beberapa detik keduanya diam lagi.
”Omong-omong ada perlu apa di Yogyakarta Yang?” Tanya Pepei tak berbasa-basi.
”Mau temui Emha Mas!” Riang bangga, wajahnya ceria. ”Mas tau rumahnya?”
”Emha? Emha mana?! Kalau Paijo Emha yang ayamnya kamu kageti itu, ya tahu!”
Mendengar Paijo Emha, mendengar ayam membuat darah di muka Riang seakan disedot selang. Ia merasa membutuhkan waktu yang lama untuk menjawabnya. Leher Riag dingin.
Pepei tertawa melihat raut wajah Riang yang kebingungan harus mengutarakan apa. Pepei memberi kesempatan, bagi Riang untuk bernafas. ”Mukamu belel,” katanya. ”Lebih baik kau bersihkan badan dulu sebelum ketemu lelaki itu sore ini”
”Ketemu siapa Mas?”
Hampir-hampir Pepei berteriak! ”Katanya mau ketemu Emha?!”
”O ya ya...Benar Mas? Mas tahu tempatnya?!”
Pepei malas menjelaskan. Ia memberikan instruksi. ”Setelah kamu makan kita berangkat ke sana!”

Karena rahasianya dipegang, Riang manut saja. Banyak hal membuat Riang terlihat dongo dan itu wajar karena manusia memang begitu, memang mudah kehilangan kecepatan berpikir, kehilangan kemampuan mengolah kata di beberapa suasana termasuk ketika bertemu dengan teman yang sudah lama tak ia jumpai atau ketika rahasia yang ia simpan ternyata terbongkar dalam tempo yang sangat singkat. Hanya orang hebatlah yang bisa mengatasinya dengan cepat.

DI DALAM KAKUS yang panjang kali lebarnya satu kali satu meter, Riang membakar rokok. Ia berusaha santai agar bayang-bayang ayam Paijo menghilang. Tapi tak bisa. Oh mengapa Mama, Oh mengapa Papa. Kalau saja warga tidak berkerumun mengelilingi ayam itu, Riang akan mengakui perbuatannya. Di zaman yang Ronggowarsito tidak akan kuat menempatinya ini, di zaman yang edan begini, Riang takut jika ia di hakimi beramai-ramai atas kesalahan yang tak ia sengaja.

Dari kakus yang sepi, Riang mendengar suara air dituang dari dalam sumur. Suara lain datang. Langkah kakinya terdengar.
“Mas Pepei di mana Dikau?”
“Di belakang!” Jawab Pepei, “lagi nimba!”
”Mau mandi Mas?!”
”Ndak! Buat sodaraku dari Tepus!”
“Walah, dari Tepus?! Simas yang guanteng tadi itu dari Tepus? Sekarang dia ada dimana?”
“Di kamar mandi!”
Volume suara berkurang. Paijo berbisik, “Nama teman Mas siapa?.”
“Kalau mau tau namanya, tanya aja sendiri.”
“Masak nanya orang di kamar mandi? Ya ndak sopan?”
“Ya nanti kalau dia sudah selesai mandi.” Jawab Pepei tertawa.

Mendengar suara Paijo, Riang langsung gemetar. Ia mempetajam pendengarannya. Katel digeser dari tempatnya semula. Ada gelas yang beradu dengan asbak. Langkah kaki mendekat ke kamar mandi. Suara besi beradu dengan porselein. “Pisaunya sudah dicuci. Aku taruh ditempat semula!” Teriak Paijo. Langkah kaki menghilang. Degup jantung Riang tak lagi kencang.

Konsentrasinya Riang beralih dari ayam menuju konsentrasi yang seculum: konsentrasi di sini dan saat ini. Ia mulai memperhatikan penghuni kakus, mengikuti gerak beberapa buah kecoak yang kegeeran dikejar-kejar cecak. Ia mulai memikirkan hal yang aneh-aneh, Kalau di bawah kloset ini ada kerajaan kecoak, jumlah anggotanya ada berapa ya? Beratus-ratus? Rajanya sebesar apa ya? Ratunya cantik atau tidak?
Byur! Byur! Byur!
Riang selesaikan mandinya. Kulitnya sudah tak terasa lengket.
"Bagaimana segar?” Tanya Pepei sambil memberikan handuk dari atas pintu seng.
”Segar!” Riang membuka pintu.
”Memangnya sirup!?”
”Mas ini ...” Riang memperlihatkan gigi, tertawa, ”Tadi, mas Paijo datang untuk apa Mas?”
”Menyelidik?”

Riang gelagapan.

”Tadi dia cuma mau kembalikan pisau!” Jawab Pepei menenangkan. ”Mas Paijo itu warga RT yang paling disenangi di rumah ini.” Pepei melirik Riang yang wajahnya semakin memperlihatkan rasa khawatir. ”Tenang, rahasia akan tetap menjadi rahasia!” Pepei tersenyum jahil. ”Kita bakal makan besar malam ini!” Ujarnya menutup pembicaraan.

Pepei merasa tak harus menjelaskan maksud perkataannya. Setelah cerita ke sana kemari ia mengajak Riang makan di warung yang dikatakannya termurah di Yogya. Diambilnya kunci motor teronggok di samping telepon. Dinaikinya motor yang Pepei namakan Jolly Jomper, kuda seorang cowboy yang tembakannya melebihi kecepatan bayangan. Jika dalam komik si Jolly bisa diandalkan, sayang, dalam kenyataan si Jolly berbeda dengan yang ada dalam khayalan. Motor Honda warna merah tahun enam puluh sembilan itu selambat siput. Melampaui beberapa buah warung, satu siskamling dan dua tanjakan, si Jolly terengah-engah. Sesampainya di warung si Jolly istirahat sembarangan.

Lempengan kayu kayu bernomor terlihat bertumpukan di samping warung yang suasananya gelap seperti gua. Seorang lelaki tua langsung mengambil dua centong nasi dari bakul.
”Lauknya apa nak Pepei?”
”Ayam!”
”Dada atau paha?”
”Telurnya saja Mbah!”
”Bisa kualat kamu!” Simbah mengancam. Mulutnya tampak ompong.
Pepei meminta Simbah menambahkan sayur dan kerupuk di menu makan siangnya, ia kemudian menggeser posisinya.
”Ini siapa?” wajah keriput Simbah mendekati wajah Riang.
Sebelum Riang menjawab, Pepei mendahului ”Ini Riang Mbah. Dari Tepus!”
”Tepus?”
Riang hendak membantah apa yang dikatakan tapi ia memilih diam karena tiba-tiba tangan Simbah bergerak cepat menempatkan tiga centong nasi padanya.
Riang mengambil tempe.
Wajah Simbah terlihat sedih. ”Ayo ... ayo makan apa saja! Pilih yang lain Nak!”
Riang mengambil tahu.
”Masya Allah Nak ... Jangan begitu! Ayo yang lainnya. Ambil saja!”
Riang bingung. Baru kali ini ia bertemu pemilik warung yang memaksa calon pelanggan apa yang harus dimakan. ”Tahu tempe juga tidak apa-apa.” Jawab Riang, tapi Simbah malah mengambil sepotong hati sapi untuknya. Riang tak mungkin mengembalikan.
Dari meja panjang Pepei berteriak. ”Mbah ... maaf, aku pesan es teh dua.”
Simbah mengadu-aduk nasi menahan emosi. ”Ndak usah maaf-maafan” katanya, ”... sebentar!”
Ruang makan itu lumayan besar jika dibandingkan dengan ruangan tempat Simbah duduk. Besarnya empat kali empat meter. Ditengah-tengahnya terdapat meja dan sesisir pisang raja. Dan di temboknya terdapat bercak-cercak minyak.
Bunyi kelintingan gelas beradu dengan sendok. Bunyinya terdengar nyaring. Dentingnya terdengar kemana-mana menguatkan kesan ruangan tersebut seperti gua.
”Mas?” Riang dekatkan mulutnya pada telinga Pepei.
”Ya?”
”Kenapa Mas ngapusi, bohongi Simbah dan mas Paijo?”
”Ngapusi apa?”
”Kalau aku dari Tepus!” Riang masih berbisik.
”Apa guyon ndak boleh?”
Riang tak berani bilang tak boleh.

Dalam beberapa tahun ini guyonan atau lelucon berkenaan dengan Tepus sedang in. Tepus, daerah yang sangat jauh dari Yogya itu, tanah retak-retak. Konon hanya ketela pohon yang mampu bertahan di tanahnya yang gersang. Kemiskinan dan keterbelakangan lahan daerah itulah yang menjadikan Tepus menjadi objek hiburan, objek guyonan, meski di beberapa orang tujuannya bukan untuk memperolok-olokan. Jika mau disamakan, mungkin guyonan semacam ini mirip dengan guyonan mengenai desa Samin yang kejujuran penduduknya dianggap sebagai keluguan.

Sambil makan, dan memikirkan Tepus, tak sengaja Riang memperhatikan Pepei cukup lama. Lalaki itu memilki rahang yang kokoh persegi. Rambutnya yang dahulu panjang, kini dipangkas pendek, rapi. Dagunya ditumbuhi bulu-bulu tipis berwarna kecoklatan. Kelopak matanya besar. Tatapan matanya simpatik. Hidungnya mancung, semancung mancungnya. Pada pipinya melintang garis luka. Dipikir Riang wajahnya seperti wajah peranakan Eropa. Hanya kulit coklatnya yang mengindentifikasi kalau ia orang Asia dan tentunya dari wilayah tenggara. Riang hanya mampu mengidentifikasi Pepei dari penampakkan luar. Ia belum terlatih. Ia hanya merasa wajah lelaki yang ada di hadapannya membuat nyaman.

Riang mengelus-elus perut. Lambungnya membutuhkan sedikit ruangan untuk sirkulasi udara. Pada saat seperti itulah Pepei menanyakan keperluan Riang untuk bertemu Emha. Riang lantas menceritakan awal masuknya Simbah ke dalam Islam, tak lupa pula ia menjelaskan kaitan antara suara yang muncul di danau Merbabu, di gerbang kuburan dengan bisikan-bisikan Simbah waktu Riang masih kecil.

”Kamu tertarik agama Simbahmu?” Pepei menghabiskan es tehnya.
Riang mengangguk. ”Kalau bisa, kalau tak keberatan, aku minta diajari Islam sama Mas?”
Segaris senyum muncul di wajah. “Kalau begitu kita cari Emha!” Pepei tidak mengiyakan. Ia menuju Simbah
“Disatukan harganya Mbah.”
Sembunyi-sembunyi Simbah menunjuk “Untuk Mas itu, gratis Nak!”
”Kenapa harus gratis?”
”Kan kasihan dari Tepus.”

Kebaikan Simbah membuat Pepei tak nyaman. Ia ingin mengatakan kalau yang ia bilang cuma guyonan, tapi ia mengurungkannya. Pepei tidak enak. Dan sejak saat itu, meski hanya guyon ia tak mau lagi mengatakan pada orang lain kalau Riang berasal dari Tepus.
Riang menggunakan helm catok!
Jolly Jumper meringkik!
Ketepak…ketepak…ketepak!
Gas ditekan pol!
Ketepak…ketepak…ketepak!
Lajunya tidak seperti siput lagi. Ya sedikit cepat! Seperti jalan putri keraton!
Dari kejauhan suara gamelan terdengar. Mulut Riang menguap! Lebar.

LEWATI BENTENG VREDEBERG dekat pusat wisata kota (Malioboro) mereka menyusuri tempat orang-orang yang dahaga akan ilmu mencari pemuasan: Shoping. Buku-buku bertebaran, bertumpuk-tumpuk menggoda. Bagi laki-laki sang pencinta, buku merupakan wahana onani intelektual. Bagi wanitanya, ya tentu saja vibratornya! Sesampainya di tempat yang mereka tuju kekecewaan datang. Hari ini tak ada itu yang namanya Emha. Mereka tak mungkin menemukannya selama satu atau dua bulan ke depan. Menurut pamflet --yang ditempelkan di gerbang beberapa perguruan tinggi dan dinding-dinding jalanan--, Emha tengah berkeliling di berbagai kota, melakukan konser dengan sekumpulan orang yang tergabung dalam sebuah kelompok kesenian religius. Tujuannya, membangkitkan kerinduan manusia pada Tuhannya.

Mendapati kata rindu, Riang jadi teringat oleh pengalamannya beberapa tahun silam tatkala mendatangi sebuah mushala yang karpet kuning golkarnya bau pesing. Ia menyengajakan diri datang kesana, demi mendengar penuturan seorang ustad mengenai kecintaannya pada Tuhan.

Tak tuntas hanya menjadi pendengar di antara puluhan pendengar lainnya, sehabis khutbah ia menuju ruangan di balik mimbar. Ia datangi Ustad dan duduk bersila. Riang yang saat itu sedang naiki kadar spiritualnya ingin mengetahui bagaimana pengalaman ketika sang ustad mendekatkan diri kepada Tuhan, maka, pada Sang Ustad, Riang pun mengungkapkan bahwa ia benar-benar rindu untuk berasyik-mahsyuk dengan Tuhan. Ia mengakui bahwa dirinya sudah sejak lama melupakan ’hubungan intim’ dengan Pemilik Semesta.

Riang fikir kejujurannya dalam hal itu bakal membuat sang ustad berkopeah haji simpati. Praktik ilmu komunikasi yang secara tidak langsung dijalankan, bahwa seseorang akan terbuka seandainya orang yang memulai bicara lebih dahulu membuka diri, kenyataannya gatot alias gagal total!
Riang melihat ada yang menyala di tubuh sang ustad berkopeah. Dada dan bahunya naik turun seperti tangga eskalator.
“Tuhan ingin berhubungan intim?!” Ludah sang ustad muncrat.
Riang kaget bukan kepalang. “Tarik perkataanmu!” bentak sang ustad, ”Jika tidak ... KAFIR KAU!”

Badan Riang doyong ke belakang, manakala sang ustad menambah semburannya.

Riang tidak tahu jika ia tengah berhadapan dengan pengkhutbah yang tak mau mendengarkan penjelasan terlebih dahulu. Ia tengah berhadapan dengan tipe ustad yang menguasai pengadilan kehidupan. Manusia yang asal memvonis orang tanpa berusaha mengetahui latar belakang mengapa. Riang tidak tahu jika ia berhadapan dengan manusia penebar fitnah, penebar detonator kebencian untuk diledakan agar orang-orang yang dianggapnya kafir mati kutu ketakutan! Riang tidak tahu, sungguh tidak menahu mengenai hal itu. Riang hanya tahu jik dirinya tengah dilecehkan.

Seperti halnya tawon yang hanya akan mengganggu jika diganggu, Riang pun menyengat!
“Memang ada apa dengan kafir, hah! Memang kenapa kalau aku KAFIR! Apa Tuhan tak mengajari sopan santun pada orang KAFIR hah!”
Mendapat perlawanan dari lelaki yang dianggapnya masih bau minyak telon, sang ustad meradang “Astagfirullah! ... SETAN!”
Riang tak mau kalah. Ia berdiri di pintu geser musholla, ”Yang setan itu Sampeyan!” cemooh Riang. ”Dasar ustad gila!” Bentaknya sambil berteriak, berlari menutup perdebatan yang tak sehat.

Sebenarnya pemuda yang dikatakan bau minyak telon oleh sang ustad adalah lelaki yang tahan terhadap makian, tapi seperti umumnya manusia, ketika kegelisahan datang menggeser titik ekuilibrium mental, maka emosilah yang mengkontrol kendali atas dirinya. Riang pun demikian. Ia hampir tidak pernah bisa tahan dengan orang yang malang dirundung syak wasangka. Apa salah, kalau dia ingin bercumbu dengan sesuatu yang dianggapnya transedental? Apa salah? Memang ketika mengatakan itu birahi Riang tengah tinggi-tingginya, sampai-sampai, manusia, setan, babi, pepohonan, dan jin sudah tak bisa menampung horny purbanya!? Apa Riang pengen berzigi-zig-zag sampai pelumasnya habis di hisap spon vagina Tuhan?

Kecintaan mendalam terkadang hanya bisa diungkapkan dengan bahasa bersayap. Bahasa sastra. Dan mengenai hal ini, orang-orang, banyak yang tidak tahu ditidak-tahunya. Mereka pura-pura tahu atas sesuatu yang tidak-mereka ketahui sehingga wajar jika benturan fisik yang dibenci Tuhan seringkali meletus. Dor!

DOR! Sebuah paku besar menembus kaki motor. Pepei tidak menghentikan laju motor yang didorongnya meski sudah berada di samping tambal ban. Ia tetap menuntun si Jolly tanpa melirik ke arah tukang tambal ban yang sempat menyapanya. Setelah melewati beberapa kelokan ke depan, barulah si Jolly diperban. Setelah sembuh, ia meringkik! Keteplak! keteplok! Pulanglah mereka.

Sampai di rumah, rasanya tubuh Riang letih sekali! Ia ingin merebahkan diri, tapi tak jadi. Menunggu malam tiba, ia menimba air, kemudian mengambil handuk dari dalam tas. Kegelapan datang. Di balik pohon waru, cahaya merah pudarkan biru angkasa. Kepak ayam-ayam jago terdengar dari kejauhan. Malam melingkupi seluruh Yogjakarta. Lampu-lampu neon dan bohlam menggantikan matahari. Matahari diganti listrik, yang diperangkapkan manusia dalam bentuk bulatan dan tabung gas. Manusia yang semula dikuasai alam, yang tergantung pada alam, kini berbalik menguasai dan memanfaatkan unsur alam untuk membuat nyaman kehidupannya.

Setelah tubuh Riang wangi. Setelah asam keringatnya hilang, ia melunglai. Setelah maghrib, Riang menutup mata, untuk sementara.

DI ATAS KASUR RIANG MENGGELIAT laksana ular sanca. Jarang tidurnya senyaman ini. Tidur yang sempurna membuat aliran darahnya terasa. Di kamar ini sebuah cermin besar menempel di dinding. Pada bagian lain, lemari plastik tersudut. Beberapa sisinya robek. Jika pemilik kamar malas memasang perangkap sudah bisa dipastikan tikus nikmat beranak di dalam robekannya. Di kamar ini tak ada yang menarik, kecuali rak buku yang menempel di dinding. Buku-buku berjejer rapih dari bawah lantai sampai menyentuh plafon. Riang khwatir jika raknya rubuh. Ia melihat paku-paku yang menyambungkan antar sudutnya berkarat. Pembuatan raknya tak mengikuti peraturan pembuatan rak yang layak. Riang berniat memberitahukan hal ini pada Pepei.

Riang bangun, mengucek mata, membuka pintu kamar ... pas keluar ...
Krompyang!
Ia menumbuk seseorang.

Piring seng meloncat ke atas. Sebuah benda kecoklatan membentur tembok. Riang menangkapnya. Benarlah apa yang dikatakan Pepei mengenai ’makan besar’. Ayam malang itu berada dalam cangkup tangannya. Ayam yang tadi siang sayapnya masih gagah berkepak-kepak itu kini mengepulkan uap panas dari badannya.

Paijo memaafkan Riang. Ia memberikan ayam panggang pada Riang setelah meletakan ayam itu kembali di atas piring seng. Paijo pergi setelah mengetahui orang yang ditemui tidak mengetahui keberadaan Pepei.

Tak beberapa lama setelah Paijo pergi, lelaki yang dicari membawa nasi bungkus tanpa lauk. Pepei meyakini ramalannya mengenai makan besar bakal terlaksana benar. Santap malam pun berlangsung. Di suapan pertama, Riang merasa tak nyaman memakan ayam yang mati karena ulahnya, tapi rasa dibunuhnya menggunakan pikiran. Suapan pertama dan kedua memang sedikit sulit menelan, selanjutnya, demi penghematan, rasa bersalah sebaiknya harus dihilangkan.
”Ada apa?” Tanya Pepei ketika Riang memperhatikan wajahnya.
”Luka di wajah Mas tidak bisa hilang ya?”
Pepei meraba bekas luka goresan di gerbang kuburan. ”Mafia Italia wajahnya kan kayak gini.”
”Mafia Italia?”
Riang tidak tahu Sisilia, God Father dan Don Corleon, Pepei mengerti. ”Kalau dioperasi, pasti bisa dihilangkan,” katanya. ” Tapi, kalau dilihat-lihat wajahku jadi makin bagus kalau begini ...”
”Mas?”
”Ya?”
”Bagaimana caranya supaya kita berani berkelahi,” tanya Riang tiba-tiba, ”supaya bisa menjaga diri seperti waktu dulu Mas beraksi.”
”Beraksi? Memangnya Sarimin, pakai beraksi segala.” Pepei berusaha alihkan pembicaraan.
”Mas?”
Pepei malas menjawab. Ia hanya mendehem.
”Apa rahasia supaya aku bisa berani seperti Mas?”
Riang kebelet menjadi pemberani. ”Besok aku beritahu rahasianya,” Pepei menjanjikan, ”tapi Kau jangan bertanya lagi tentang hal ini.”
Riang mengangguk. Ia mengigit tulang rawan paha ayam.
Tak lama kemudian, pertanyaan dengan topik yang berbeda diajukannya.
“Mas?”
”Iya?”
”Pernah mengalami pusing karena tidak tahu tujuan hidup Mas apa?”
Mendengar pertanyaan berbobot tiga ribu kilogram yang berbeda dengan pertanyaan tiga ons sebelumnya, Pepei hampir memuntahkan nasi. ”Tak ada lampu sen!”
“Lampu sen? Maksudnya apa?”
“Pertanyaan seberat itu kamu mulai tanpa awalan!”
“Pertanyaan berat?”
“Saking beratnya hanya sedikit orang yang mau bertanya dan serius memecahkannya!” Pepei melancarkan tenggorokannya. ”Akhir-akhir ini kamu tengah mengalami kegelisahan?”
”Mas bisa tahu?”
Riang mengangguk.
”Bukannya tahu. Aku hanya meraba. Jika ada orang yang bertanya mengenai tujuan hidup, biasanya ia tengah alami kegelisahan. Saat ini kau berada di persimpangan jalan!Hidupmu akan berubah cepat!”
“Masak Mas?”
Pepei tertawa, “Masak kangkung. Masak telor ceplok. Mangga masak he … he …he.” Ia mencungkili daging ayam yang menyelip di giginya.
“Masak mas?”
“Apa karena aku bicara sambil tertawa jadi nggak percaya?”
“Aku tidak mengerti maksud persimpangan jalan yang Mas katakan!?”
“Tak usahlah itu difikirkan” sahutnya. ”Nanti kau bakal menemukan maksud perkataanku seperti apa, dan bagaimana. Perlahan saja, tidak usah terburu-buru. ...Yang?”
“Apa?” Sebenarnya Riang masih mengolah kata-kata Pepei mengenai persimpangan jalan tetapi ia berusaha mendengarkan.
“Ayam ini sudah mati! Kalau mati seperti yang Kau makan ini, Riang bakal kemana?”

Riang belum memahami kaitan antara ayam dengan pertanyaannya mengenai tujuan hidup. Tapi pertanyaan yang disodorkan Pepei membutuhkan jawaban. Ia hendak menjawab pertanyaan yang dianggapnya mudah, namun pertanyaan itu membuat jiwanya bergemerincing dan pikirannya seakan dicantoli beban berat. Ia merasa kesulitan.

Pepei mengulangi pertanyaanya.

“Kalau mati kamu bakal kemana Yang? Bakal menjadi tanah? Jadi materi kembali? Coba lihat ayam ini … Awalnya, ia materi yang hidup kemudian ditubruk mobil. Disembelih mas Paijo, di goreng, dan sekarang ini sudah masuk ke dalam perut kita! Setelah diolah usus, ia bakal keluar menjadi pupuk! Tubuh ayam ini akan bersatu kembali dengan materi asalnya: tanah! Setelah mati, ayam ini tak mungkin bertamasya kemana-mana! Tempat akhir kehidupan adalah tanah. Menuju tanah.”

“Manusia mati akan kedua tempat Mas. Kalau tidak ke surga, ya ke neraka.” Kuduk Riang merinding.

“Itu menurut pendapatmu. Tapi orang atheis berbeda paham denganmu.” Pepei mengambil dua gelas. Ia menuangkan air ke dalamnya. Diminumnya dalam satu tegukan. Ia kemudian membungkus kertas nasi dan memasukannya ke dalam kantung plastik. Sendok yang kotor tergeletak di lantai.

“Menurut mereka, menurut orang atheis, surga dan neraka sebenarnya tidak ada. Surga itu karangan nenek moyang saja. Surga dan neraka itu rekayasa, dan Kamu pun bisa membuat karangan yang serupa.” Pepei mengambil jeda, ”Yang? Bagaimana mau masuk di akal, keberadaan hidup dialam baka, sementara, di dalam kehidupan ini, tidak pernah ada orang yang menelepon dari surga: kalau dia sedang asyik-asyiknya adu kelamin dengan bidadari; kalau dia sedang makan dari piring emas dan mandi di telaga kolesterum? Padahal, sekali lagi Yang, sekali lagi ..., tak ada satu orang pun yang pernah memberi telegram dari neraka, memberi kabar melalui sandi morse dan mengatakan bahwa dubur dia tengah dicolok tusukan sate sampai tembus ke mulut. Tak pernah ada satu orang pun yang memberi kabar peringatan, bahwa setelah malaikat, sang eksekutor puas colok mencolok dubur seseorang menggunakan tusukan sate, ia berkacak pinggang sambil tertawa, ”Ha…ha…ha itulah akibatnya, Kalau di dunia ini, manusia pernah bersetubuh dengan kambing tetangga.... hahaha itu balasan kelalaian, bagi orang yang menyebabkan ayam tetangga mati ditabrak colt!”

Hal itu terlalu berbahaya bagi Riang. Lidah Pepei, menghantam akalnya,
Akal Riang membenarkan
Akalnya menafikan!
Seperti yang dijelaskan Fidel di danau, Pencipta pasti ada! Pencipta tidak mungkin tidak ada. Bukti yang diungkap Fidel mengenai angka-angka fibonacci demikian mengagumkan, tapi di dalam hati Riang muncul riot, meruyak kerusuhan!
“Masih mau dilanjutkan?”
Riang tak mau mengatakan ya, tetapi tak mampu pula mengatakan jangan.
Riang t e r p a h a t di dinding,
menjadi a r c a,
menjelma …
menjadi p a t u n g yang tak memiliki
kehendak.

Pepei masuk ke dalam kamar Saat orang yang diajaknya berbicara membisu, dan balik sambil membawa buku berwarna biru.
“Ada pertanyaan yang menarik di dalamnya. Coba baca dan renungkan.”
Riang membuka halaman yang ditunjukan Pepei. Saat membaca kalimat yang tertera di dalamnya, jemari Riang bergetar seolah tengah memegang gergaji mesin. Riang melepaskan buku itu. Rasanya dunia berputar lebih cepat.
“Bagaimana?”
Tuhan itu maha Kuasa, maha Pencipta. Bisakah Tuhan yang maha Kuasa dan Pencipta itu menciptakan suatu benda yang sangat besar … sehingga Tuhan tidak mampu untuk mengangkatnya?
Tatapan Pepei tajam menguliti muka, masuk ke dalam kornea mata, menembus daging … masuk kedalam pemikiran dan perasaan Riang. Ia terguncang. O’ sungguh mengerikan.
Pepei mengerti apa yang dialami Riang. Ia berhenti mendesaknya, berhenti memberikan ancaman --yang secara tidak langsung— membuatnya mengkeret ketakutan.
“Sudahlah nanti saja kita teruskan.” Pepei memegang lembut bahu Riang. Ia berdiri menuju kamar mandi.

Ditinggalkan Riang di dalam alam kebingungan yang menakutkan. Sudah berapa belas tahun, Riang meyakini bahwa Tuhan ada, tetapi di hadapan pertanyaan itu ia merasa tidak mampu untuk membuktikan-Nya. Apa yang pernah diutarakan Fidel sepertinya sirna begitu saja. Kesadarannya akan keberadaan Tuhan menjadi sebesar atom. Ia dikalahkan oleh pertanyaan-pertanyaan itu. Tidak! O’ Riang belum kalah. Ia bertekad untuk menjatuhkan pertanyaanya.

Riang tak bisa tidur. Ia mengalami kegelisahan sepanjang malam. Matanya pejam tapi pikiranku tidak! Ia melayang -layang seperti burung di dalam alam fikiran. Ia berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya, tanpa sayap Dari satu pohon pertanyaan-ke pohon pertanyaaan yang tak juga terselesaikan. Pertanyaan yang membuat tidurnya tak nyenyak terus menerus mengganda, beranak pinak pertanyaan-pertanyaan yang baru. Ia putuskan untuk berhenti memikirkannya lebih lanjut, namun pikirannya yang kacau membuat Riang tidak bisa menikmati tidur di atas kasur yang empuk!

Kasur empuk, fasilitas yang nyaman dan memikat memang bukan jaminan kebahagiaan. Letak kebahagiaan kemungkinan besar … ada di dalam fikiran.

MATAHARI SUDAH SEPENGGALAN, sinarnya cukup kuat untuk mengeringkan pakaian yang basah. Riang tak menemukan Pepei di sampingnya. Ia bangun dari tidurnya, kongkok di kasur ia memperhatikan jejeran buku yang ada. Itu barang-barang yang mengerikan! Buku biru yang membuatnya bingung mengintip di antara himpitan ensiklopedia. Riang begidik. Satu buku memusingkan, bagaimana dengan buku yang lain. Ini buku-buku yang membuat kacau pemikiran orang!

Kamar menjadi lorong sepi. Lorong yang menakutkan! Lorong yang dihiasi barang-barang mengerikan! Bagaimana mungkin kekacauan terjadi padaku? Kenapa kekacauan tidak terjadi pada Pepei. Dia punya pertanyaan aneh, tapi kenapa pertanyaan itu tidak membuat dia memiliki beban berat? Apa yang menyebabkannya? Riang mual. Ia masuk ke dalam kamar mandi. Sekeluarnya dari sana ia mencari Pepei di ruang tamu, di kamar mandi sebelah, di sumur dan halaman depan, hasilnya nihil. Ia tak menemukannya di mana-mana.

Dalam pada itu, ia mulai menemukan keanehan, mengapa rumah yang besar ini, penghuninya hanya Pepei? Kemana yang lain? Apa dia memang sendiri di rumah ini?

Pepei sebenarnya hanyalah bagian dari tujuh orang yang tinggal di rumah ini. Rumah ini sebenarnya merupakan tempat kumpul, base camp, atau semacam shelter, bagi orang-orang yang berkumpul dalam jaringan yang Pepei buat bagi orang-orang yang membutuhkan tempat barang sehari, dua hari atau sebulan sebelum menemukan tempat yang cocok untuk dijadikan sebagai tempat tinggalnya. Sehari-hari tempat ini selalu diisi diskusi, dan tempat bedah dan nonton film. Hari-hari yang sepi ini lebih dikarenakan orang-orang yang tinggal di sana tengah mengadakan pendampingan selama beberapa minggu terhadap sebuah kasus penyerobotan tanah di sebuah desa, di pinggiran Yogyakarta.

Pepei tidak ikut serta, karena perkerjaannya sebagai kepala perpustakan di sebuah lembaga penelitian membutuhkan tenaga dan fikiran ekstra. Hari sabtu minggu dan hari-hari besar lain adalah hari perayaan dia, hari liburan untuk menyegarkan diri kembali dari rutinitas kerja. Beruntunglah orang yang tidak mengetahui hari kerja Pepei, datang ke tempat itu tanpa perencanaan dan bertemu dengannya.

Kebingungan, setelah mencari Pepei ke sana ke mari, membuat Riang memutuskan untuk duduk di ruang tengah, melihat tumpukan majalah. Bosan, ia mencari-cari remote control. Tidak menemukan alat itu, ia nyalakan televisi yang mati. Itu hanya sebentar. Setelah menekan-nekan tombol salurannya cukup lama, ia bosan. Televisi dimatikan.

Riang kembali gelisah. Saat ini ia tidak tahan dengan kesendirian. Pandangan matanya beralih dari satu titik ke titik lain. Ia berdiri mondar-mandir. Masuk ke dalam kamar, melihat kembali jejeran buku, merasakan kembali bagaimana tangannya maju mundur utuk memegang buku biru yang membuatnya ragu.

Sepi itu tak berlangsung lama. Azan dzuhur berkumandang. Sebuah ketukan terdengar dari luar. Seseorang masuk begitu saja. Riang terkejut!
”Mau bertemu dengan siapa?” Tegur Riang.
Bukannya menjawab lelaki itu malah balik bertanya.”Lha, kamu siapa?!”
”Aku Mahdi! Apa urusan kamu di sini?”
Riang menyodorkan nama sebagai ketebelence”Aku teman Mas Pepei...”
”Ooooh” Senyum sinis muncul di sisi kanan bibir Mahdi.
”Mas salah satu penghuni rumah ini?”
”Bukan... maen-maen aja ke sini!” Mahdi masuk ke dalam dapur. Ia menyeduh kopi kemudian datang kembali, menyalakan rokok.
”Dzuhur!” Ia seolah mengingatka Riang.
”Ya?”
”Sudah Dzuhur, nggak shalat?”
“Nggak Mas, nanti aja…”
Tahun ini, Riang hanya shalat dua kali. Itu pun shalat sunah, Iedul Adha dan Iedul Fitri.
”Kamu muslim?”
”KTP sih iya tapi kalau ditanya agamanya apa aku tak tahu harus jawab apa.”
”Kok aneh! Kalau di KTP mu muslim, Kamu jangan setengah-setengah. Kalau muslim Kamu harus jalankan tetek bengek ibadah!” sekali lagi Mahdi bilang: jangan setengah-setengah!
Riang tidak suka caranya berbicara. Alarm dirinya berbunyi. Tetek bengek? Memangnya ibadah itu tetek? Sembarangan bicara orang ini!
Mahdi tersenyum mendapati Riang terdiam.
”Aku juga dulu seperti Kamu ...” Mahdi senyum sinis lagi. Ia meralat ucapannya, ”Maksudku, dulu aku lebih dari Kamu. Agamaku juga Islam...” Mahdi memikirkan siapa nama orang yang tadi berkenalan dengannya...”Siapa namamu ... sori?”
”Riang!”
”Ya, agamaku juga Islam tapi ... lain soal ketika aku bertemu dengan seseorang ...”

Mahdi menunggu Riang bertanya tapi Riang tetap diam seperti sediakala.

”Di Parang Tritis, di pantai berpasir hitam itu pada satu waktu aku ketemu seorang lelaki yang tengah memandang laut. Aku ajak dia untuk bicara tentang apa saja. Apa saja yang pokok ujungnya bakalan kubelokan pada ajakan untuk beribadah pada Tuhan. Tapi Kamu tahu? Ternyata orang yang akan aku ajak itu tak bertuhan! Edan ... aku baru pertama kali ketemu orang yang gak percaya Tuhan! Hari itu adalah kesempatan. Aku ajak dia bicara tentang ketuhanan, ia meladeni. Aku ajak dia untuk buktikan pencipta di balik ciptaan, dan lelaki itu malah bilang ketiadaan pencipta di balik ciptaan! Aku tidak bisa mematahkan logikanya. Aku bingung. Aku tidak bisa membungkam mulutnya. Karena kesal, aku pura-pura pulang dan pas orang itu lengah, aku ambil cangkang kerang besar! Dari belakang aku hantam kepalanya! Orang itu kejang-kejang! Mampus orang kafir tak bertuhan! Aku ludahi mukanya. Aku pergi selagi lelaki itu mengerang-erang, tapi setelahnya, ... setelahnya, Kamu tau apa yang terjadi?”
”Tidak.” jawab Riang mulai tertarik dengan obrolannya.
”Aku pulang ke masjid tempatku menjadi takmir. Tempatnya di pinggir pantai Parang Tritis... aku pikir aku menang melawan orang kafir, tapi dalam perjalanan pulang mataku tidak fokus memperhatikan lingkungan. Pandangan mata ku mendadak kosong. Hatiku mengajak bicara...
Benarkah?
Jangan-jangan?
Kalau begitu ...
Ah masak? bermain dikepalaku!
Aku berusaha menghalau yang diungkap orang atheis yang baru ku hantam!

Tiba di masjid, kata-kata tak bisa lagi kubendung lagi! Kata-kata itu mengalir... semakin malam dan siang berganti pertanyaan itu mampat dan membludak! Aku tak bisa membendungnya! Makin dipikir makin sesak, makin pekat menutup kesadaran! Aku jadi si peragu... keraguan itu semakin rindang, sampai akhirnya aku terlambat mengetahui, jika aku jadi ...” Mahdi mengajak Riang masuk ke dalam ceritanya.
”Jadi apa?”
”Jadi edan! ... kata orang-orang, aku jadi sering berteriak-teriak tengah malam, dan mengaku sebagai Imam Mahdi pada orang-orang yang datang di sore dan malam hari untuk mengaji. Aku imam penyelamat zaman!”
”Bagaimana Mas bisa sembuh?”
”Itulah... aku ditemui orang yang aku pukul kepalanya pakai kerang dari belakang! Semula orang itu mau menyelesaikan masalah, tapi saat melihat diriku seperti itu, dia merasa kasihan... lelaki itu malah ajak aku bicara... dan gilaku sembuh! Aku sadar!”
Mahdi sadar dalam versinya. Orang yang kepalanya dihantam, yang semula mendatangi Mahdi untuk membuat perhitungan, memahami bahwa orang yang tengah ditemuinya mengalami kerusakan mental yang berawal dari penyangkalan argumentasi terhadap sebuah keyakinan. Di satu sisi Mahdi tak mau melepaskan keimanan yang lalu, di sisi lain, fikiran membisikan bahwa perkataan orang yang ditemuinya di Parang Tritis adalah kebenaran.

Lelaki itu mengajak Mahdi membuka pikiran. Lelaki itu menuntunnya hingga Mahdi mengetahui permasalahan apa yang dihadapinya benar. Ia mengajaknya menuju ujung sebuah keyakinan.Ujung di mana keyakinan berawal. Mahdi ditemani agar ia mau bersikap jujur terhadap pikirannya sendiri. Dan ketika Mahdi memilih untuk jujur, ia pun sembuh perlahan-lahan. Gilanya hilang.
”Bisa nebak orang itu siapa?”
Riang menggeleng kepala.
”Orang itu Pepei!”
”Hah, Mas Pepei?!”
”Iya si Pepei!”
”Hebat ...” Riang tersenyum.

Tapi Mahdi menyanggahnya, ”Itu dulu... maksudku, hebatnya dulu. Kalau sekarang, ... pekerjaan yang buat dia diam di dalam ruangan ber-AC buat pemikirannya mandul! Kenikmatan hidup buat dia jadi lemah! Jadi tidak seberapi-api dulu! Hilang sudah konsistensinya terhadap perubahan! Dialektikanya mandek! Ia jadi mahluk yang ditinggalkan evolusi! Purba! Ya ... jadi manusia purba yang hampir-hampir tak memiliki guna....Orang yang mengkhianati rakyat sebaiknya minggir!”
Riang tidak mengerti atas dasar apa orang ini menjelek-jelekkan Pepei setelah mengangkatnya. Seharusnya ia menghargai Pepei yang telah menuntun kesadarannya. Lagipula, seenaknya saja menuduh Pepei tak mempercayai Tuhan.

”Apa urusanmu dengan si Pepei?” Mahdi kembali mengajak Riang bicara.
”Untuk ketemu Emha!”
”Emha Ainun Nadjib?”
”Benar.”
”Untuk apa temui itu orang?”
”Aku mau belajar Islam.”
”Agama Islam? Alaaaah .... memangnya agama benar-benar berasal dari Tuhan? Agama itu kebudayaan! Hasil cipta rasa dan karsa! Agama manusia yang buat! Tuhan itu hanya ada di kepala manusia! Materi selalu mendahului essensi! Tuhan itu dusta yang dibuat manusia! Aku tidak mempercayai keberadaannya! Tuhan telah kubunuh! Lehernya sidah kugorok sampai darahnya terpancar-pancar!”

Riang tidak mau menimpali perkataannya. Ia hanya diam, mencoba melarikan pandangannya dari tatapan Mahdi. Ia berusaha lari dari sergapan pemikiran Mahdi, namun lelaki itu terus mengejarnya. Dia berusaha memasukan pemikirannya pada pemikiran Riang. Kuping Riang terbuka namun pemikirannya tertutup dari apa yang dibicarakan.

Cukup sudah!

Tapi Mahdi tak mau berhenti. Ia terus menerus bicara tentang Tuhan itu tidak ada! Tuhan diciptakan manusia karena ketidakberdayaannya!
”Yang, agama Tuhan hanyalah perkakas yang digunakan manusia jahat untuk melindungi kejahatannya. Agama itu bangkai! Tai!”

Riang ingin memukulnya, bukan karena apa yang diutarakan Mahdi. Ia membenci bombardirnya yang memuakan. Setan! Seharusnya ia melihat orang yang diajaknya bicara tengah melakukan apa. Kalau dia bilang menjadi sadar karena tidak mempercayai Tuhan, tapi apa dia tidak memikirkan kalau perkataannya berangasan itu pertanda... pertanda kalau dia kesurupan! Kesurupan itu tidak sadar!

Bukan main Riang kesal padanya. Tanpa memperdulikan perasaan Mahdi, toh Mahdi sendiri tidakmemperdulikan perasaannya, maka Riang masuk ke dalam kamar.
Setan dia datang lagi!
Mahdi masuk ke kamar. Awalnya ia berpura-pura melihat-lihat buku, kemudian bersandar di dekat Riang. Dan kembalilah Mahdi meracau.
”Boleh aku tanya? ... Boleh kan?”
”Terserah Kau!” Riang menatapnya garang! Ia menggelar tubuhnya di kasur.
”Coba perhatikan pertanyaan ini Bung”
Bang bung bang bung!
”Aku ada oleh karena itu Riang ada... Riang ada karena itu aku ada.... alam semesta itu ada oleh karena kita ada.... kita ada oleh karena itu Tuhan ada.... seandainya kita berpikir bahwa Tuhan tidak ada berarti Tuhan memang tidak ada! Tuhan itu cuma ada di dalam pikiran manusia Yang!”

Perkataan itu memaksa Riang untuk menundukkan kepala. Bangsat! Riang melamun. Kata-kata itu mengorek hati dan mencemari kesadarannya. Di tengah kebingungan, Pepei masuk ke ruang tengah, menggosok-gosok rambutnya yang basah. Ia yang bertelanjang dada membuat Mahdi terkejut.

Sedari tadi, setelah membeli makan siang untuk Riang, Pepei berada di sumur. Obrolan Mahdi yang meledak-ledak didengarnya. Ia tidak menyegerakan diri masuk ke ruang tengah demi mendengar mendengar perkataan Mahdi dari luar. Dijelek-jelekan sedemikian rupa, Pepei tetapi ia cukup mampu menahan emosinya. Baginya, meski tidak bisa dibenarkan, usaha jelek menjelekkan itu biasa terjadi di dalam dunia ide. Dan saat ini ketika memasuki ruang tengah, ia melihat seolah-olah mata Riang meminta tolong padanya.

” Jangan terlalu difikirkan. Itu cuma permainan kata-kata!” Pepei tanggap.
Riang melihat wajah Mahdi sekilas. Wajahnya berubah. Mahdi serasa di martil! Ia menerka-nerka apakah Pepei mendengar perkataannya. Keringat dingin mulai mengucur!
”Mari kita ulangi perkataan Mahdi,” ajak Pepei. ”Jika Mahdi ada maka Riang ada?... hm ... Di... umurmu berapa?”
Mahdi berusaha mempertahankan harga dirinya. Ia memaksa menjawab dan melihat Pepei sinis. ”Dua puluh empat!” katanya.
Pepei berpaling ”Umurmu?!”
Riang menjawab, ” ...”
Nah, sewaktu Mahdi ada, Riang belum ada kan? ... Berarti jika aku ada belum tentu kamu ada! Jika Mahdi ada belum tentu kamu juga ada!”
Pepei melirik ke arah Mahdi.
”Nah yang kedua, ... alam semesta ada oleh karena kamu ada, karena kita ada! Benarkah begitu? Tidak mesti! Sewaktu kita ada .... sewaktu kita belum dilahirkan, alam semesta sudah ada! .... ” Pepei kembali melirik ke arah Mahdi. Ia menanti respon orang yang telah menjelek-jelekkan dirinya.
”Yang ketiga .... ketika Mahdi mengatakan seandainya kita tidak ada maka berarti Tuhan pun tidak ada, kemudian aku membakar Mahdi ... aku membakar Riang ... maka Tuhan akan tetap ada! Alam semesta akan tetap nyata! Itulah jawaban orang yang menyakini agamanya! Tuhan tetap ada! Apa yang Mahdi utarakan hanya akrobatik kata! Permainan bekel semata!”

Riang merasa tenang oleh jawaban yang Pepei sampaikan. Uh, Mahdi memfitnah Pepei, tak mempercayai Tuhan! Keterlaluan! Riang geram! Ia menganggap Pepei membelanya, pada kenyataanya tidak juga. Nanti segalanya akan terbuka.

Mahdi berkeringat, kausnya basah di ketiak. Tak berucap, ia mendengus! Tanpa berkata-kata ia meninggalkan mereka lalu menuju sumur. Lelaki itu membutuhkan air untuk meredakan emosinya.Selepas apa yang mereka bicarakan di ruangan tengah, Pepei menyusul Mahdi menuju sumur. Riang mendengar perdebatan yang berusaha di tahan namun mereka tak mampu menyembunyikan.
”Apa yang kau lakukan?! Memangnya segampang itu berpindah keyakinan?!” Pepei susah payah menekan suaranya.
”Apa salahku? Memang faktanya demikian! Mas sekarang jadi hilang keberanian! Hilang keradikalan!”
”Apa kau fikir keradikalan, keberanian harus ditampakkan dengan sampah doktrinasi semacam itu?! Gunakan adab dalam bicara ... Tak peduli keyakinannya apa, orang harus memiliki etika!”
”Indoktrinasi apa?! Ini kebenaran!”
”Memang Kau sudah lama mengenalnya? Kalau sudah, tidak terlalu dipermasalahkan! Ini ...! Baru kenal saat itu, Kau sudah langsung menset semena-mena pikiran Riang, mengindoktrinasinya!”
”Mas ... sudah tekena racun humanisme universil!” Riang mendengar Mahdi tertawa.
”Aku tak peduli humanisme! Aku tak ambil pusing dengan bermacam isme! Yang aku peduli: manusia apa pun keyakinannya, tidak berhak melakukan doktrinasi dalam melakukan penyebaran keyakinannya!”
Brak! ... Duk! Duk! Duk! Riang mendengar bunyi ember jatuh, dan mendengar ancaman.
”Kalau berani jangan dengan benda mati! Kalau kau memang yang sejati, lawan aku! Jangan seperti waktu dulu saat Kau menghantamku dari belakang!!!”
Riang tegang mendengarkannya. Ia berandai-andai, bagaimana kalau tantangan itu diterima Mahdi?
Perkelahian tak bersambut.
Mahdi tahu, ia tak mungkin mengalahkan Pepei. Ia meninggalkan Pepei melewati ruang tengah tanpa melihat Riang. Ia membanting pintu! Keras-keras!

Adanya pertengkaran itu menjadikan Riang tak kerasan. Kedatangannya mengakibatkn kedua orang itu terlibat perseteruan. Ia pun memutuskan untuk pulang sebelum Ashar tiba. Seribu satu alasan dipikirkannya, dan ia menemukan bahwa Bapak membutuhkannya di Thekelan, untuk mengurusi lomba panjat pinang tujuh belasan.

Pepei tak berusaha menahan kepergiannya Riang. Ia sendiri tidak merasa nyaman dengan apa yang terjadi. Usai mengantar pada sebuah lokasi, menuntaskan janji pembicaraan mengenai keberanian, Pepei antar Riang hingga terminal. Dimasukinya bus yang akan membawa Riang menuju Kopeng.

Dia atas bus itu Pepei meminta maaf atas segala sesuatu yang membuat pikiran Riang tidak beres. Ia menambahkan kalimat bergharga yang ternyata merupakan pertemuan penghabisan dengannya.
”Yang ... kamu bisa berlari dan boleh berlari dari pertanyaan mendasar mengenai tujuan hidup yang terus menerus datang menuntutmu! Namun ... pertanyaan itu akan terus menerus mengejarmu dikala sibuk, mau pun disaat kamu sendiri.”
”Tak ada yang bisa bersembunyi darinya Yang! Kamu harus menemukan jawaban pertanyaan yang pernah kamu pertanyakan ... Jika tidak Kamu akan terus menerus mengalami kegelisahan! Jika tidak menuntaskannya, Kamu bakal menjadi manusia yang hidupnya setengah-setengah! Manusia yang tidak mengetahui tujuan hidupnya di dunia untuk apa!”
”Ingat! Tak ada satu pun manusia yang bisa bersembunyi dari bisikan hatinya. ...tak ada satu manusia pun... ”
Riang meresapi kedalamannya. Kata-katanya yang sejuk menjalari hati. Kata-kata yang Pepei ucapkan direkamnnya di dalam memori.
”Terimakasih atas segalanya Mas!”
Mesin bus menyala. Supir bus meloncat dan duduk dibelakang setir.
Sebelum Pepei turun, Riang mempertanyakan sebuah pertanyaan yang akan mempengaruhi penerimaannnya terhadap warna warni keyakinan.
”Maaf kalau boleh tahu agama Mas Islam ya?”
Pepei tak lekas menjawabnya. Ia menghirup nafas dalam. Pandangannya kokoh, senyumnya menyapa Riang dengan kedamaian.
”Apa hubungan kita bakal terpengaruh hanya karena kita memiliki perbedaan keyakinan!?”
Riang menggeleng.
”Kalau aku tidak beragama bagaimana?”
”Tidak beragama?”
”Agamaku bukan Islam seperti yang Kakekmu, Emha, dan yang sahabatku Fidel anut. Aku tidak mempercayai satu agama pun Yang.”
”Bagaimana mungkin?”
”Mungkin saja, realitanya berdiri di hadapanmu.”
”Mas tak mempercayai Tuhan?”
”Ya.” Pengakuannya demikian tenang. Ketenangan itu mempengaruhi penerimaan Riang terhadap keyakinannya.
”Setidaknya aku tidak penasaran,” desah Riang. Ia kemudian tersenyum, mengulurkan tangan. Mereka berjabatan.
Pepei turun turun dari bus yang mulai berjalan perlahan.

SORE INI ADA KESEGARAN di udara ketika Riang berhadapan dengan atheis yang santun. Atheis yang sangat baik padanya dan Riang yakin, ia baik pula terhadap orang lain. Riang bersyukur sempat mengenali dirinya. Mengenal sesosok lelaki tegar, yang konsisten menjalani keyakinan akan ketidakpercayaan terhadap Tuhan, namun memiliki kebaikan hati yang berbanding terbalik dengan informasi, yang dulu sering disampaikan melalui pendidikan moral guru-guru di sekolahnya. Seandainya banyak orang seperti Pepei, tentu … bumi ini bakal awet selama-lamanya.

2 komentar:

  1. Anonim says:

    What a great story.
    kenapa gak dijadikan novel Jar?
    Tercium aroma sedikit pengaruh Pram dalam bertutur..kalo tidak salah. Saya kan bukan Pramist :)

  1. Makasih. Ini kan udah dijadiin novel :p. Wah sy suka Pram, jadi jelas ada sedikit pengaruhnya. Tapi sy juga kepengaruh ma jokenya Stephen King, ke pengaruh Coelho, Gaarder, Karl May, Eiji, ke pengaruh zine2 y sy baca. Jadi kepengaruh siapa dong? Mudah2an orang isa menemukan warna penulisan sy sendiri di sana.

be responsible with your comment