Nurani (Bab 9)

Posted: Rabu, 27 Mei 2009 by Divan Semesta in
0

KARDI marah atas kejadian di gerbang kuburan. Lima anak buahnya habis, tinggal sembilan yang tersisa. Saat mengetahui kabar penyisiran yang dilakukan penduduk desa dan aparat kepolisian, ia mangkel. “Apa kita ini kutu sampai harus di sisir!” Baskom yang malang, baskom yang digunakan sebagai wadah sementara tangan dan kaki menjadi mesin cuci retak ditendang, retak pada hantaman ke dua dan ambrol sepenuhnya pada hantaman ke lima. Busa cucian terbang, airnya tumpah. Kardi tak mempedulikan. Ia pilin planel dan celana jeansnya yang kotor oleh tanah. Air mengucur. Ia menjemurnya di bentangan tali rapia. Setelah cuciannya di keringkan oleh angin, Kardi bersama gerombolan yang tersisa mengungsi dari pegunungan.

Melarikan diri dari penyisiran, mereka berpencar sejak batas akhir hutan. Mereka menunggu malam untuk sampai di perkampungan, mengendap-endap menuju jalan raya naiki bison, bis kecil menuju Solo atau menghentikan truk masuk ke dalam bak kayu, menuju habitatnya semula di Yogyakarta.

Di Yogyakarta, untuk beberapa saat Kardi dan lelaki brewok menghindari pasar tempat mereka dulu mencari nafkah. Kedua orang ini cukup cerdas. Mereka mengira aparat kepolisian masih akan melakukan pencarian di tempat-tempat yang mereka pernah singgahi. Kedua orang itu pun bersembunyi dari satu kontrakan ke kontrakan teman teman lainnya yang satu aliran. Mereka baru melakukan aktivitas seperti biasa setelah pemberitaan media massa reda. Keduanya menuju pasar, menumpang bersama preman yang Kardi kenal semasa SMA. Mereka melakukan aktivitas menjemukan yang dulu pernah dilakukan: menarik uang parkir sepeda motor, pajak keamanan yang sudah dilakukan belasan tahun oleh preman sebelumnya. Beberapa bulan setelahnya kehidupan kedua orang itu berubah setelah seorang lelaki dari organisasi kepemudaan mendekati mereka.

LANTAS SIAPAKAH LELAKI BREWOK yang selalu dampingi Kardi, siapakah dia yang seolah-olah berprofesi sebagai asistennya seandainya Kardi adalah direktur PT. Gunung Harta yang bergerak dalam usaha minyak curah. Dialah Sekarmadji, seorang yang bertampang seram, kejam, tetapi sesungguhnya hati dia tidak sekeras intan. Di hari ke dua ketika penyisiran berlangsung, Sekarmadji menemukan tas coklat yang di pungutnya saat peristiwa gerbang kuburan. Tas yang sebelumnya ia berikan pada Kardi itu menggantung di antara dahan pintu.

Sekarmadji naiki pohon. Setelah mendapatkannya ia tidak menyegerakan diri menuju gubug. Ia bersandar di batang pohonnya, membaca buku catatan yang ada di dalam tas. Buku itu menyedot kesadarannya. Sekarmadji linglung. Hatinya menjadi berat.

Aneh jika perasaan berkecambah, tumbuh dengan sendirinya. Di masa lalu sesungguhnya Sekarmadji bukanlah orang yang tak beradab. Di kota kecilnya dulu ia pernah mengalami hidup berkecukupan. Awal kejatuhan kenyamanan hidupya berawal dari komplikasi penyakit bapaknya.

Sekarmadji masih mengingat bentuk Othang baik-baik. Masih tergambar jelas di benaknya, sisiran rambut Othang yang klimis. Ia masih mengingat bagaimana lelaki itu memilin-milin janggut khas orang-orang shalih dan menggunakan atraksi berbahasa yang santun untuk mengajak bapaknya bisnis lobster serta madu dari hutan di pinggiran pantai selatan.

“Kenapa tidak mencoba pinjam uang di bank?” tanya Bapaknya, ketika Othang ajukan proposal peminjaman uang. Othang tersenyum bijak atas pertanyaan itu. Ia lantas menjelaska perbedaan antara riba dengan sistem sirkah mudarabah, yakni sistem bagi hasil yang tidak libatkan rente di dalam pengerjaannya.

Bapak Sekarmadji yang sebetulnya memahami keharaman riba, tertawa. Ia percaya dengan Othang, sebab bukan satu kali dua kali ia melihat pemuda itu shalat berjamaah di masjid desanya. Perilaku Othang ia anggap jaminan mutu.

Dana pensiun cair karena garansi, tetapi tak ada angin tak ada hujan beberapa hari setelah uang pinjaman di berikan, Othang diketahui raib pada hari Jumat! Ia yang ibadahnya diketahui jagoan, tidak masuk ke dalam gua menuju dan shalat menuju Masjidil Haram di Makkah. Bapak Sekarmadji tidak mempercayai kemampuan seperti macam wali seperti itu. Ia mulai berpikir pemuda yang sudah ia beri kepercayaan dengan derajat kepercayaan seratus prosen itu meruntuhkan kepercayaannya.

Bapak Sekarmadji depresi. Ia tidak tahu jika pemuda Othang bukan orang yang lidahnya ringan dipergunakan untuk urusan kibul mengkibul seperti kebanyakan orang yang dengan mudahnya menggunakan sumpah atas nama Allah, demi Allah’. Othang tak seperti yang dibayangkan orang-orang. Raibnya Othang dikarenakan ketentuan yang berasal dari luar kekuasaan dia.

Othang tidak disembunyikan jin untuk di sunat, --apa yang mau disunat?—Othang tidak terkait dengan mistisme timur macam itu. Jika dirunut, cerita hilangnya Othang berawal saat dia melakukan survei sarang lebah kayu di dalam hutan pinggiran pantai selatan. Saat menemukan sebuah sarang lebah yang gemuk, ponakan dia yang setengah waras setengah dungu, melempar sarang lebah kayu itu. Otomatis lebah marah. Mereka mengejar ke dua orang itu. Kejadian yang seharusnya dipandang horror menjadi sesuatu yang menggembirakan bagi ponakan Othang. Sambil lari ia tertawa, sementara di sampingnya adrenalin Othang melonjak membuat larinya menjadi semakin cepat. Ia lari, terus lari menyelamatkan diri, tak sadar jika di hadapannya terdapat jurang limapuluh meter. Othang terjun bebas. Di udara ia berusaha membuat gerakan agar ketika jatuh posisi tubuhnya vertikal menembus permukaan laut. Namun lelaki malang itu tak sempat melakukannya. Othang mendarat keras di permukaan laut. Ia merasa tubuhnya dihantam dinding raksasa. Othang pingsan dan tenggelam.

Di atas jurang, ponakan Othang di hadapkan pada dua pilihan: menolong pamannya atau berlari memutar. Si idiot masih memiliki tanggung jawab. Ia loncat dari ketinggian, masuk ke dalam laut dengan posisi sempurna. Saat tubuh pamannya ia dapatkan, ponakan Othang tak mampu mengangkat. Nafasnya sesak. Pada akhirnya dua orang itu menjadi teman-teman cumi dan ikan kakap. Jasad mereka terseret arus liar bawah laut, masuk ke dalam gua dan mendekam hilang untuk selamanya.

Peristiwa macam ini memang sangat sulit dipercaya, tetapi adakalanya dalam satu tahun kita membaca atau mendengar sebuah peristiwa yang sama sekali tidak pernah terpikir akan menimpa manusia: di Jakarta seorang seorang ibu melahirkan di bawah pohon yang tumbuh di kompleks rumah sakit bersalin; di negeri gajah putih, seorang pilot di skor karena sempat-sempatnya menurunkan helikopter dalam latihan tempur hanya untuk mencari jamur yang di pesan ibunya; ada lagi kumpulan warga Kamboja yang memakan mayat teman-temannya karena cadangan makanan di perahu pengungsian habis. Atau peristiwa pembakaran diri Yan Pallach seorang mahasiswa Praha yang menjadikan dirinya sebagai obor peringatan bagi tentara beruang dari Rusia. Di hadapan peristiwa yang benar-benar terjadi itu apa yang terjadi pada Othang dan ponakannya tampak kecil.

Bapak Sekarmadji tidak tahu musibah tersebut, karenanya cukup manusiawi jika buruk sangka membuat beliau depresi, membuat ia digerogoti penyakit lamanya. Bapak yang semula bugar dan sehat menjadi kurus. Sisa uang pensiunan dan tabungannya amblas terkuras membiayai perawatan di rumah sakit. Ia berbaring tanpa daya di tempat tidurnya dan tanggung jawab pun beralih pada anaknya yang tertua.

Seperti sinetron rumah produksi Raam Punjabi yang gampang di tebak, bantuan entah dari keluarga atau tetangganya yang berkecukupan tidak juga datang. Tidak ada yang bisa atau lebih tepatnya tidak ada yang mau membantunya membuat Sekarmadji patah arang. Dengan teramat sederhana, kebencian mulai tubuh di hatinya. Ia memutuskan pergi dari desa kelahirnya, menetap dari satu kota ke kota lain.

Tingkat pendidikan Sekarmadji yang di zaman ini sulit digunakan membuatnya putus asa. Bergabung dengan Kardi merupakan cara pintas. Di Yogyakarta pertambahan waktu selanjutnya menjadikan Kardi sebagai kawan dekat yang mendangkalkan nurani Sekarmadji.

Sekarang buku itu ada di tangannya. Apa yang harus ia lakukan ketika nurani memanggil-manggil, menagih-nagih hak yang harus ditunaikan pemiliknya. Nurani berusaha menguasai kontrol dirinya, namun itu belum cukup, hingga suatu kejadian datang dan mengingatkan Sekarmadji akan kesalahan jalan yang sudah cukup lama ditempuhnya.

0 komentar:

be responsible with your comment