Mitologi (Bab 8)

Posted: Selasa, 26 Mei 2009 by Divan Semesta in
0

SEJAK Fidel dan Pepei meninggalkan Thekelan etos kerja penduduk desa meningkat. Keberanian membuat aura desa benderang, akibatnya banyak yang berubah. Thekelan yang semula sepi menjadi ramai. Wartawan radio dan surat kabar Yogyakarta, berbondong datang meminta penjelasan rinci perihal perubahan itu. Mereka mencoba menggali peristiwa perkelahian yang terjadi di gerbang kuburan juga di danau Merbabu, Dan dari sekian banyak informasi yang diberitakan, tentu ada salah satu yang menyimpang dari kebiasaan.
Wartawan yang seharusnya menerakan fakta di dalam surat kabarnya malah memuat head line “Seorang Penduduk Thekelan Menemukan Ikan Purba.” Head line surat kabar lokal itu menampilkan kerangka ikan.

Seingat Riang, tulang ikan danau Merbabu yang ibu masak untuk syukuran dibuangnya di bak sampah. Riang tidak tahu keesokan harinya wartawan yang mewawancarainya meminta Oerip mengubek tempat sampah. Tulang ikan yang Oerip dapatkan itu lah yang dicetak surat kabar sebagai penguat judul headline.

Riang Merapi, bukan saja menemukan ikan purba. Riang Merapi berhasil menemukan danau gaib, danau misteri dengan kekuatan supranaturalnya. Ia memiliki ilmu suci, ilmu alam akhirat guna menerawang objek kasat mata.

Pemberitaan bombastis tersebut menggembol imbas psikologis yang tak disangka. Thekelan mendadak diluberi ratusan peziarah dan paranormal dari ujung barat hingga ujung timur pulau Jawa. Penjual mie pangsit, es campur, air keramat, pakaian, mainan anak dan batu akik, tumplek di sana, di sekitar rumah Riang. Akibatnya banyak peristiwa membuat Riang kerepotan. Pemilik warung yang dulu Pepei mintai seplastik air panas untuk redakan gatal datang memintanya meridloi penjualan plastik berisi air berkah di halaman depan rumahnya. Riang mempersilahkan tetapi tentu saja tidak di halaman depan rumahnya yang sesak.

Seperti halnya entrepreneur kawakan, pemilik warung tak patah arang mendapat penolakan. Ia berusaha, datang saban minggu terus menerus membawa sebungkus rokok, kopi sebagai sesaji agar Riang bukan saja meridloi tetapi merestui. Pucuk dicinta ulam pun tiba, setelah lima kali bolak balik Riang tetap bersikukuh. Lelaki itu harus merelakan diri menjual air plastik bermerek Air Keramat Danau Merbabu di depan Wihara.

Usaha pencarian danau keramat terus menerus di lakukan. Bersamaan dengannya mitos baru muncul. Di dasar danau Merbabu bersemayam azimat Majapahit yang akan membangkitkan kharisma menyerupai kharisma presiden dan wakil presiden NKRI yang utama: Soekarno – Hatta. Azimat akan mengucurkan karomah gamelan yang bernama Kyai Pinurbo Joko hanya untuk penemunya seorang! Azimat adalah khadam pengganti doberman: tak akan ada lagi wadam yang mengganggu kenyamanan hidup dengan bas betotnya. Tak ada lagi penjaja serbuk abate! Tak ada lagi godaan duda dan baby sitter nakal yang tidurkan anak majikan dengan ctm! Sirna sudah loyo! Hilang bala dan marabahaya! Hidup keharmonisan keluarga!

Penjual batu akik pun mendompleng berkata-kata, berkhutbah di atas bukit, ajarkan moralitas terkutuk. Ini bukan khurafat! Batu akik dilirik! Ini sejalan dengan ajaran sunan Kali Jaga! Batu akik dibeli! Ini serpihan sisa batu hitam hajar aswad! Batu akik laris mensugesti peziarah hingga ke alam akhirat. Batu akik adalah radar, lampaui endusan terwelu dan musang! Adalah penuntun yang mempermalukan gprs! Inilah batu yang akan menuntun kalian wahai saudara! Wahai umat! Duhai pengikut arwah Nyai Blorong dan bung-bung penganut ajaran setia Murba Tan Malaka!

Sampai berbusa-busa, sepercaya apa pun orang terhadap tuah, tak seorang pun berhasil menemukan azimat. Penjual batu akik yang ahli memanipulasi psikologi masa akhirnya ditimpa sial. Dari arah Merbabu, seorang bapak bercelana sontog turun bersemangat. Ia yang membeli batu akik berkali kali, tanpa cang tanpa cing dan cong langsung melayangkan jotosan yang membuat ketupat di dalam perut remek. Penjual batu akik kelenger, pingsan setelah mental setengah meter. Ia segera di larikan menuju klinik pengobatan terdekat.

Penjual batu akik yang naas hilang, namun busa busa dan kecapnya masih bisa Riang rasakan. Satu minggu kemudian sebuah mercedes benz hijau metalik berhenti tepat di depan halaman rumah.

Seorang lelaki tegap keluar dari pintu depan, tergopoh-gopoh keluar, menuntun seorang ibu turun dari pintu belakang. Wangi parfum si ibu tercium hingga kediaman Hamengkubuono lima.

“Rumah Mas Riang Merapi dimana?” Tanya lelaki tegap.
Menggunakan jempol penjual nangka menunjuk. “Di atas Pak.” katanya.
Mengetahui ada yang mencarinya, Riang bergegas masuk ke dalam.
Beberapa detik kemudian suara dehem merayap di ruangan tengah.
“Ehem! Pemisi ... kulonuwon!”
“Monggo.” Riang melihat wanita setengah baya melihat-lihat keadaan.
“Benar, ini rumahnya Mas Riang Merapi?” Tanya lelaki itu tersenyum melihat cecak di atap rumah.
“Bukan! Di sini bukan rumahnya Riang Merapi!”
“O, saya sangka...” lelaki itu membetulkan kerah jas. “Maaf kalau begitu.” Ia berbalik namun sang ibu gerakan kepala memberi kode.
“Adik kenal Mas Riang Merapi?” Sang ajudan menghadap Riang kembali.
“Kenal.”
“Rumah beliau dimana ya?”
“Ya disini.” Riang geli dipanggil beliau.
Kalau di desa ini, tentu tahu, tapi kediaman pasnya beliau saya ndak tahu. Adik bisa tunjukkan rumah beliau?” tanya sang ajudan sopan.
“Ya di sini!”
“Disini dimana?” Si ibu hilang kesabaran.
“Ya di sini! Saya Riang Merapi.”
“Oladalah ini Mas Riang?” Sang ajudan terkejut. “Lagi berkunjung ke rumah teman?” Tanyanya.
“Ini rumah orang tua, saya belum punya rumah.” Jawab Riang.

Sang ibu melepas kacamata hitam, mengeluarkan tangan kanan menggenggam tangan Riang erat.

Riang mengajak mereka masuk ke dalam rumah. Si ibu menolaknya. Ia datang hanya ingin memastikan karena tak memiliki waktu panjang. Tapi hukum evolusi mana pun selalu mengatakan, orang yang membutuhkan akan tunduk pada yang dibutuhkan. Sang ibu
bersama ajudan masuk ke dalam ruang tamu.
Setelah berbasa-basi sedikit Riang langsung menuju pokok permasalahan.
“Ada apa perlu apa, sampai Ibu jauh-jauh datang ke sini?”
“Begini ...” Si ibu membuat jeda. “Sebelum langsung ke tujuannya saya harus bertanya dahulu.”

Riang membuka telapak tangannya.

“Benar, Mas Riang pernah sampai di danau keramat Merbabu?”
“Bukan saja aku! Dua orang teman ku ikut serta!” Jawab Riang nakal.
“Langsung dengan mata kepala sendiri?!” Ibu itu memastikan.
“Bukan hanya dengan mata, mancing ikan! Saya mancing ikan Bu!” Riang terkekeh seperti kakek-kakek.
“Bagaimana gambaran danaunya?”
Maka diceritakanlah detail keadaan danaunya.
Usai selesai menceritakan, mendadak sang Ibu menjentikkan jari. “Ctak!” Bunyinya nyaring sekali.
“Tepat seperti yang dikatakan paranormal Jaka Edan” Katanya bergairah.
“Memang apa katanya?” Riang penasaran.
“Beliau bilang di dasar lumpur danau Merbabu tersimpan azimat Majapahit...” bla, bla bla”
Artinya sang ibu ingin membantu suaminya mendapat azimat untuk membantu promosi kenaikan jabatan suaminya.
Mendengar itu Riang tak bisa menyembunyikan kebahagiaannya. “Uedaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaan!” teriak dia.
Wajah ibu pejabat berubah. Ia mengira Riang menghina diri dan suaminya. Riang faham, salah sangka dapat berakibat buruk padanya. Ia memutar cara menghilangkan kesalahpahaman.
“Apa kulit Jaka Edan berwarna coklat Bu?”
Wanita itu tidak tahu arah pertanyaan Riang, tetapi ia menjawab, “Benar!”
“Sudah berapa kali Jaka Edan datangi rumah Ibu?”
Wanita itu menelengkan mata pada sang ajudan.“Sekitar tiga kali ya?”
“Lebih dari itu...” Sang ajudan mengkoreksi. “Kalo ndak salah lebih dari lima kali.”
“Apa selama datang ke sana Mbah Jaka Edan mengenakan blangkon hitam?” “Ya!” jawab si Ibu.
“Selalu hitam?”
“Cermat!”
“Apa janggutnya dilinting? Pakai baju orang yang sering ke masjid?”
“Baju koko maksudnya?”
“Tidak tahu! Pokoknya warna hitam. Baju yang sering dipake ke masjid?”
“Tepat!”
“Apa cengkoknya seperti logat orang Tegal?”
“Pas!” Sang Ibu sumringah.
“Walah gawat!”
Wajah sang Ibu mulai di warnai kekhawatiran.
“Bagaimana bisa gawat?!”
“Kalau memang Jaka Edan ciri-cirinya begitu! Berarti... berarti ...”
Si ibu mendesak. “Berarti apa!?”.
“Berarti Ibu kena tepu! Ibu ditepuuu!” Riang menahan tawa. “Jaka Edan itu pedagang batu akik!”

Si ibu stress mendengarnya, apalagi ketika Jaka Edan dipukuli. Wajah si Ibu merah. Kata-kata kasar tumpah dari mulutnya. ”Ealah. Wueddan! Wewe gombel! Nasi goreng basi! Jus tai kuda! Meses tai cicak! Uaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaah kiamat! Kiamat aku!”

Mendengar makian-makian aneh yang seumur hidup baru ditemuiya Riang tak bisa menahan tawa. Mati-matian ia berusaha mengentikan. Ia butuh pengalihan.
“Memang kenapa Bu?” Riang bertanya.
“Uangku ludes buat beli batu akik!” keringat dingin si Ibu bercucuran. Dan kata-kata makian yang lebih aneh dari semburan yang pertama keluar. “Mas Riang punya kedigjayaan?” Tanya si Ibu sebelum pingsan.
Riang kebingungan. Apa maksudnya?

“Mas punya keahlian? Atau mungkin punya benda yang mumpuni menambah kharisma? Tolong suami saya ... tolong” Ibu itu mengemis.
Riang tidak mau berbohong. “Tidak Bu! Aku bukan paranormal seperti ... seperti ... seperti ... JAKA EDAN!”

Jaka Edan adalah supersonik! Nama itu membuat telinga si Ibu menggelegar. Ia tak kuat menahannya. Sang Ibu pingsan selama satu jam. Bangunnya ia menangis, bertaubat, menyesali amblasnya uang duapuluh juta untuk membeli batu akik, bukan! Bukan hanya batu akik! Tapi batu akik super tuah milik murid terbaik Sunan Bonang.

Mendengarnya, Riang malah dungu bertanya. “Bu ... kalau boleh tahu ... murid Sunan Bonang itu siapa?”

Si ibu gelengkan kepala. Dan ia pun pingsan untuk yang kedua kalinya selama tiga puluh menit. Lelaki sopan yang menjadi ajudannya merasa tidak enak, ia tidak mau merepotkan. Diangkatnya tubuh sang majikan.
Di halaman depan rumah Riang, tiba-tiba sang ajudan mengingat masa-masa ketika ia masih menjadi buruh angkut pelabuhan. Ia mengingat bagaimana sulitnya mengangkut karung beras merah di punggungnya.
Riang salut. Jaka Edan istiqomah dengah profesi yang dijalankannya.
Heibat!

MACAM-MACAM KEANEHAN dan kejadian gila yang dialaminya membuat Riang mengkait-kaitkan kejadian yang ia alami. Informasi bisa mengangkat orang biasa setinggi-tingginya! Jika pemberitaan membuatnya tenar, pastilah kemahaberanian, kemahaganasan gerombolan Kardi disebabkan obrolan penduduk yang terlalu berlebihan. Obrolan itu membuat mereka makin ditakuti, padahal ketakutan yang berawal dari diri sendiri membuat semua lemah terpecah. Jika obrolan dihentikan dan penduduk bersatu mungkin sejak dulu desa Thekelan akan menjadi aman. Pikiran Riang selalu jauh.

Bisikan Simbah yang membuat kantong kemihnya bocor, entah mengapa tak pernah mendatangi Riang kembali. Tetapi Riang tak meninggalkan ajakan “simbah” Ia terus menerus memikirkan maksud dan penyebab hadirnya bisikan tersebut. Ia tak menemukan jawabannya, hingga ibu menceritakan hal yang memaksanya untuk mengingat kembali.

Di atas kayu yang terbuat dari robohan pohon di dekat Pereng Putih, ibu membicarakan masa muda Simbah yang ia habiskan dalam pengembaraan. Beliau gemar mencari tempat menyepi, tempat bersemedi, kata ibu. Tapi simbah berbeda dengan temannya kebanyakan. Dia orangnya penasaran. Selalu ingin membuktikan apa yang diceritakan teman-temannya mengenai penampakan.

Teman-teman simbah sempat kesal, sebab setiap mereka menceritakan sebuah keanehan, simbah yang langsung mencari tempat itu selalu bilang bohong, bohong, bohong. Teman simbah tidak punya alat untuk menyangkal, tetapi ada waktunya ketika mereka pun bersorak dan berhuray manakala simbah bertemu Kanjeng Ratu Kidul setelah melakukan semadhi selama tujuh hari di Parang Tritis.

Sebelum bertemu Kanjeng Ratu Kidul, kata teman teman Simbah bangga, dari laut terdengar suara-suara gemerincing. Orang-orang berteiak Lampor! Suara kentungan dipukul keras-keras. Segala macam benda yang berbunyi ditabuh, agar mahkluk halus pengiring kereta kuda Kanjeng Ratu Kidul tidak merasuki badan. Suasana sepi. Simbah tak peduli, ia melanjutkan semedi, tapi baru sebentar menutup mata, simbah merasa pahanya ditepuk. Ia membuka mata dan melihat wanita cantik datang menyerahkan kembennya. Waktu kembennya Simbah ambil, wanita cantik itu hilang! Begitu pula dengan kembennya.

Pertemuan seseorang dengan Kanjeng Ratu Kidul di mata teman-teman Simbah merupakan kejadian langka. Sangat-sangat langka. Mereka yang bertahun-tahun mendahului Simbah dalam melakukan semadhi pun, belum pernah bertemu Kanjeng Ratu Kidul. Meski pun ingin berjumpa dengan sosok yang diidam-idamkan, mereka tak pernah mendapatkan barang sekali, atau setengah kali, bahkan seperempat kali pun.

Pertemuan dengan Kanjeng Ratu Kidul akhirnya menjadi perantara antara simbah dengan seorang pemimpin paguyuban mistis ternama. Adik jadi simpatisan paguyuban kami saja, katanya. Simbah tidak tahu, dari mana, orang-orang paguyuban tahu ia pernah bertemu Kanjeng Kidul. Simbah tak begitu peduli. Ia melanjutkan semedhinya sendiri.

Tak tahu lah apa yang didapat dari semedhi Simbah selanjutnya namun teman-temannya berusaha menerka, menyangka-nyangka.

“Waktu kemarin dia baru kembennya, bagaimana kalau dapat yang lainnya?” kata Mbah Jamus yang menyangka Simbah terkena sirep.
Biar teman-teman Simbah lainnya hampir berpikiran sama, mereka berusaha mengusir jauh-jauh pikiran semacam itu. “Husy!” kata mereka. “Ojo ngomong koyok ngunu. Ora ilo. Ngkuk ditekani! (Jangan ngomong kayak gitu. Pamali. Nanti didatangi)”
Teman yang lain yang suka ikut nimbrung tetapi tidak percaya kejadian macam begitu malah terangsang. “Kalau didatangi. Alhamdulillah, ya tak ajak!”
“Ngajak nyapo?”
“Ngajak iku!”
“Iku opo!?”
...

Tentulah, bincang macam itu berlanjut ke hal-hal yang tak baik buat perkembangan psikologi anak yang kak Seto kembangkan. Sudahlah. Kekotoran pikiran semacam itu harus dihentikan. Simbah bersih. Jika pikirannya macam pikiran teman-temannya tentu Simbah akan mencari tempat semedhi yang penunggunya putri-putri cantik macam Nyi Rambut Kasih atau Banowati. Simbah tidak berpikir urusan fisik sederhana. Peristiwa di pantai selatan malah membuatnya ingin menemukan Kanjeng Sunan Gunung Lawu yang selalu dibicarakan. Tentunya Riang tidak boleh bertanya pada ibu apa simbah punya kelainan? Jika Simbah punya kelainan, mungkin itu lain soal tetapi kenyataannya setelah ia semedhi dan tak menemukan sang Sunan, Simbah beranjak menuju sebelah utara hutan Krendawahana. Ia ingin membuktikan keberadaan raksasa bernama Sang Hyang Pamoni.

Sulit membayangkan ke-dajjal-an dan ke-syaitonirrajim-an Simbah, jika ia bukan saja bergairah dengan sesama lelaki tetapi bergairah pula sama raksasa.

Riang mati-matian menghapus segala kemungkinan. Ia menolak akalnya bisikan-bisikan lain yang membicarakan hubungan antara simbah Dengan Buto Cakil.

Tak adala lagi yang terjadi. Tak ada lagi mahkluk halus semenjak pemberian kemben di pantai selatan membulatkan Simbah untuk mengentikan pengembaraannya. Teman-teman yang menganggap simbah memiliki potensi tentu tak setuju, mereka memalangi ketika simbah mulai mencoba menjalani hidupnya yang sehat. Simbah mencari kerja di Kraton.

“Sebabnya apa?” tanya Riang sewaktu ibu katakan beliau berhenti mengabdi pada sultan setelah tiga tahun berkerja, kemudian Simbah pergi dan menetap di desanya sendiri, di bawah kaki Merapi.

Ibu tidak tahu penyebabnya, tetapi beliau menyangka karna simbah jatuh cinta sama nenek Riang. Semua orang termasuk ibu hanya bisa berspekulasi. Yang tahu penyebabnya hanya Simbah dan Sultan.

Dan di kemudian hari, di kaki Merapi lahirlah ibu Riang meramaikan dunia Simbah. Setelah cukup dewasa ibu kemudian menikah, bercocok tanam dengan lelaki desa hingga menghasilkan tanaman yang dalam kelahirannya diharapkan jam tujuh sudah ada (jam pitu wes ono).

Semua manusia pastilah mengingat waktu yang merupakan pertanda bagi proses perubahan yang terjadi di dalam dirinya. Demkianlah dengan kelahiran yang menjadi penanda. Simbah menganggap kelahiran Riang sebagai sebuah perubahan drastis dalam hidupnya. Bukan saja ia makin sayang pada keluarga, bukan pula ia jadi sering bolak-balik ke Yogyakarta sekedar untuk membeli makanan dan pakaian buat cucunya. Sejak Riang lahir, Simbah menjadi semakin bijak.

Menurut penuturan teman-teman yang masih berharap simbah kembali ke dunia perkembenan, seorang lelaki berambut kriwil, seorang lelaki yang sering Simbah temui di Yogyakarta lah yang mempengaruhi cara pikirnya.
Ibu lupa nama lelaki itu. Beliau memutar gelas, berharap putaran itu dapat mengembalikan ingatannya.
“Siapa Bu?” Riang terus memaksa.
“Sebentar...sebentar” Ibu berpikir keras. “Sebentar lagi dapat.”
“Emha Ainun Najib Bu!?”
“Ndak pasti itu. Tapi eeee....” Ia seperti mengingatnya.
Riang mendesak, “Emha Bu?! Emha?! Simbah pernah bicara dengan Emha?!”
“Ya ndak pasti ...belum tentu! Tapi sepertinya ...”
“Yang benar Bu?!”
Ibu berdiri, masuk ke dalam kamar menemui Bapak.
“Pak..Pak! Yang dahulu meng-islam-kan Simbah siapa?”
“Emha Ainun Nadjib!” Teriak Bapak agar Riang mendengarnya.
“Haaaaaaaaaaaaa!!” Riang melongo. “Emha Ainun Nadjib mengislamkan Simbah?”
Kepala Riang jadi berat seberat-beratnya. Emha pernah mengislamkan Simbah? Lagi-lagi, suara itu mencor kepalanya.
R
i
a
n
g
K e m a r i

R
i
a
n
g
A y o k e s i n i
R
i
a
n
g
A k u i n i

M
b
a
h


m
u
J a n g a n

T
a
k
u
t
A y o k e m a r i d a l a m p e l u k a n M b a h.
M a s u k d a l a m k e d a m a i a n.
R i a n g ... D a m a i Riang!

“Kenapa melamun Nak?” Ibu menepuk paha Riang. Riang tergagap.
“Bagaimana kelanjutannya Bu?” Ia menjawab sekenanya.
“Bagaimana bagaimana? Setelah masuk Islam simbah mu ya jadi seperti orang Islam! Sering shalat. Puasa di bulan ramadhan!” Ibu melihat Riang. “Jangan melamun hei!”
Riang mengusap wajah, mengucek matanya.“Terus bagaimana lagi Bu?”
“Bagaimana, bagaimana?! Yang bagaimana itu kamu Nak!” Ibu suruh Riang ke air. “Kalau melamun bisa kesurupan!” Ia mengingatkan.

Riang cuci muka ibu melanjutkan cerita. Sampai di bab kepunahan keluarganya cerita berhenti. Ibu menangis. Riang memeluk tubuhnya. Ia merasa tulang pundak ibu menusuk dadanya. Ibu semakin kurus. Setelah tangisan reda, ibu melanjutkan cerita, menguak teka teki mengenai suara misterius yang dulu pernah memanggil manggilnya.

“Sukanya Simbah, sukanya simbah ...” Ibu tertawa geli, “jilati kupingmu Nak setiap jam delapan pagi.” Tapi, Riang haramkan ikut-ikutan tertawa apalagi ketika mendapat informasi jika beliau suka membisik-bisikan sesuatu dikupingnya. Sesuatu seperti yang ia dengan di gerbang kuburan dan danau Merbabu.

Riang bergumul dengan pikirannya. Saat itu, tentunya ia tak mungkin berpikir tentang teori Freud mengenai alam bawah sadar. Ia tak mungkin menganalisa bisikan itu mengambang di permukaan kesadaran saat kondisi mentalnya sedang jatuh. Riang cuma berkata. “O, rupanya itu! Rupanya penyebabnya begitu!”

Apa yang ibu utarakan menjadi bahan perenungan baginya. Inilah yang membedakan Riang dengan teman-teman sebayanya. Inilah yang menyebabkan Riang acapkali terlihat bimbang dari segi keyakinan: bingung saat pikirkan alasan mengapa ia harus beragama. Riang bimbang mendapati fakta.

Untuk apa agama? Sementara, orang-orang yang melakukan kekacauan di dunia, adalah orang-orang yang menganut agama! Untuk apa agama, sementara, yang menumpahkan darah di dunia, yang berperilaku amoral adalah orang-orang yang mengaku memiliki agama! Untuk apa aku memeluk agama jika pemukanya ... jika seorang guru ngaji mushola dekat sekolahnya digebuk ramai-ramai waktu kepergok menjilat payudara santrinya. Untuk apa memeluk agama yang pemuka agamanya yang kata Delilah, temannya SMA, pernah bilang, bahwa ada pastur yang kepergok menikmati anal seks dengan biarawati di gerejanya!

Gila! Mereka yang beragama seharusnya memberi contoh! Riang yakin bahwa agama tidak bisa mengkontrol manusia! Dan ia terus menerus menghabiskan energi, mempertanyakan kenapa dirinya harus beragama? Harus melakukan ritual padahal tidak shalat, puasa, pergi ke gereja, melakukan misa, bersemedi atau ritual macam apa pun juga manusia bisa hidup. Ia masih bisa bernafas, masih bisa makan minum, dan masih bisa berhubungan baik dengan sesamanya, teman-temannya.

Perenungan-perenungan itu tidak bersumber dari buku-buku yang ajarkan epistemologi, tidak pula berdasar penelaahan hermeuneutika yang rumit dan kadang tak bisa digunakan. Perenungan itu disamaknya dari kehidupan sehari-hari di Yogyakarta dan mengendur ketika Riang menyelesaikan sekolahnya.

Sewaktu kedua orang itu datang, sewaktu Fidel dan Pepei datang, pertanyaan yang ada di kepalanya menghantui Riang kembali. Ia merasa harus mempetanyakan, harus merenungi semuanya. Ia merasa aneh, mengapa Fidel beragama? Mengapa dia meyakini agama –yang di negeri ini—pengikutnya paling banyak menempati penjara? Mengapa agama kakekku serupa dengan agama yang dianut Fidel?

Sulit untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ada di kepala, ketika tak ada seorang pun yang bisa diajak Riang bicara, berbagi cerita.

Mengapa Riang tidak membicarakan hal ini dengan orang tuanya? Apakah Riang merendahkan mereka. Tentu tidak, Riang hormat, meninggikan ke dua orang tua di atas segalanya. Ia sangat mencintai mereka. Cintanya bahkan bisa dikatakan seperti orang-orang norak kekurangan sumber bacaan yang kemudian mengatakan pada kekasihnya, “Cintaku se dalam samudera.” Atau cinta kita melebihi tingginya langit.” Lebih kreatif jika mengatakan cintaku setinggi pohon mahoni, cintaku hingga astana giri bangun (maksudnya hingga dikubur masih cinta) atau cinta kita sedalam dompet seperti tulisan yang tertera di bak truk menuju Blora.

Akan tetapi, sesuatu yang norak adakalanya benar. Cinta Riang pada orang tua, begitulah kenyataannya. Meski dia mencintai mereka, dalam masalah tertentu seseorang tidak mungkin berbagi. Di keluarganya Riang tidak terbiasa membicarakan hal-hal yang bisa mengeluarkan keringat darah dan munculkan bintang-bintang di kening. Riang memilih menyimpan pertanyaan dan perenungan di kepalanya sendiri.

Riang keluar mencari udara segar, setelah ia mengkhatamkan pembicaraan dengan ibu. Ia merokok, memandangi dinding Merbabu yang berkilat seakan dipernis. Di halaman itu Riang serasa dibisiki.
Mengapa tidak kudatangi Emha, sekalian datangi Pepei saja?
Bisikan itu tidak muncul dari alam bawah sadarnya.

Riang memang harus menyegerakan diri memecahkan krisis eksistensi ini, sebab jika tidak, sebab jika terus dipendam, bisa-bisa pikiran-pikirannya menjadi humus yang membusuk di batok kepala. Jika tidak Riang bisa gila. Riang segera habiskan rokoknya. Masuk ke dalam kamar ia menghitung uang yang di simpannya di kaleng biskuit Marie. Jumlahnya yang beberapa puluh ribu cukup untuk membiayai hidupnya selama seminggu.

Malam hari, setelah orang tuanya memberi izin, Riang mengemas baju. Bapak memberi Riang uang panen yang tersisa. Total uang yang ada di dompetnya ternyata cukup banyak. Cukup untuk berpetualang menuju arah Barat pulau Jawa.
Riang teringat kembali janjinya pada Fidel.
Apa janji itu harus ia tepati?

0 komentar:

be responsible with your comment