Miserable Asylum

Posted: Minggu, 01 Maret 2009 by Divan Semesta in
3

(chapter 1 mengenai sakit jiwa)
WANITA itu kurus. Wajahnya selalu ditekuk. Bertemu orang pun jarang tersenyum.

Saya tidak begitu aneh dengan kelakuaannya sebab ibu saya pernah bercerita mengenainya.. Waktu di awal-awal mencari kosan, wanita tersebut keliatan galak sekali: judes dan jutek. Melihat kamar pun kepalanya seperti mendongak. Lihat kanan lihat kiri minim kata-kata lalu pergi. Tapi beberapa waktu kemudian dia membawa uang untuk menyewa ruangan kosan.

Itu baru kejadian yang pertama, kejadian lainnya banyak (termasuk yang terakhir ini sy dengar)

“Si mba itu emang aneh,” kata Ira. “Masak dia ngebongkar-bongkar baskom merah jambu buat setrikaan. Mana nggak bilang maaf, padahal di sana ada Isum yang lagi nyetrika. Bongkar baju, bongkar celana, langsung pergi aja.” Orang yang aneh, tambahnya.

Lalu sy pun mendengarkan cerita lainnya. Beberapa waktu lalu wanita itu pernah di jambret handphonenya. Sialnya kejadian itu tepat di tanjakan rumah ibu saya. Wanita itu berteriak-teriak meminta tolong tapi tidak ada reaksi dari sekitar. Anak-anak muda yang biasa menjaga cd, penunggu warung kelontong juga tukang parkir tidak beranjak dari tempatnya. Mereka Cuma melihat.

Setelah kejadian itu saya mulai berprasangka pada anak-anak muda yang suka nongkrong di jalan. ternyata, beberapa bulan kemudian, sy mendapat kabar bahwa bibi saya pernah bertanya langsung pada anak-anak di atas mengenai peristiwa penjambretan itu. anak-anak muda itu ketawa. “Biarin aja nggak usah ditolongin,” katanya. Lanyas muncullah keluhan terhadap sikap individualistik si wanita: entah jutek atau judesnya, entah pandangannya yang melecehkan (menurut anak itu) dan sebagainya.

“Insomnia,” kata Ira menawarkan kemungkinan.
“Insomnia? Siapa yang insomnia?” tanya saya.
“Itu … orang yang hilang ingatan…?”
“Oh si mbak itu amnesia.”

Saya tergelak.
Ini bukan hanya amnesia. Lebih dari sekedar amnesia …

Wanita itu tidak sadar bahwa dirinya sakit. Dan orang sakit itu banyak.
Lantas saya dan Ira mulai menderetkan nama sahabat, teman-teman dan keluarga.
Ternyata dunia tempat saya berada dikelilingi oleh banyak orang-orang sakit.

* * *

Dulu saya pernah berurusan dengan seorang wanita. Pemikirannya luar biasa. tapi tidak seimbang dengan perkembangan psikologi dan mental. Setahun kemudian, kakak si wanita itu datang dan menanyakan dengan wajah merah bara.

Saya mewajarkan sikapnya karena mungkin sy pun bakal bersikap sama jika adik sy lost control dan orang yang menyebabkan hal itu ada di hadapan sy..

“Divan,” tanyanya. “pernah meminang Susi Air (cieh namanya. Ini nama samaran)?”
dan saya jawab nggak pernah. Susi Air itu bukan tipe saya.
“Tapi Susi bilang kamu pernah mengkhitbahnya!”

Saya melihat keganjilan yang membuat terang. Sy mengelus dada, untung saya bersikap netral ketika wanita itu menceritakan jika dia pernah diintip oleh teman saya. Dan masih menurut pengakuan wanita itu, teman yang dituduh tukang ngintip tersebut pernah ia pukul gara-gara perilaku tak senonohnya. Dan saya yang kebetulan pernah dekat dengan lelaki yang dituduhnya, tidak pernah sekalipun melihatnya bersikap cabul. Sy anggap dia tak memiliki bakat.

Sy lantas menggali-gali lagi kebelakang apa yang pernah terjadi: bagaimana wanita itu mengirim buku satu kardus untuk saya miliki, mengirim buah-buahan dan acap mengirim surat nasihat dengan gambar-gambar pertarungan. Dalam gambarnya ia hampir selalu menyertakan pria dan wanita yang tengah memegang pedang. Luar bisanya lagi, pedang itu mengucurkan darah. Tes, tes. Mengingatnya kadang membuat sy merinding.

Sampai saat ini saya merasa tidak nyaman dengan keadaannya. Saya tidak tahu nasib wanita itu seperti apa karena saya tidak mengetahui alamat kontaknya.

Saya khawatir apa yang dirasakannya itu muncul dari tukar pemikiran yang kami lakukan. Tukar pemikiran itu bukan tentang perasaan tetapi mengenai konsep perubahan yang antara kami tidak memiliki kesamaan.

Dan selanjutnya saya tidak bisa mengkontrol apa yang terjadi.

Di satu sisi saya merasa bersalah karena –sy merasa—akalnya yang hampir hilang dikarenakan benturan pemikiran (yang bagi saya biasa saja), tapi ternyata mengacaukan pikirannya.

Dia yang ingin merubah sy tidak pernah meyakinkan ketika berdialog (karena tipe dia bukan tipe sorang pembicara). Teman-temannya kemudian datang. Pemikiran sy tetap nggak bisa digoyang, Atasannya datang. Dan hal ini terus menerus terjadi selama berkali kali. Hingga kemudian sang kakak wanita malang itu mendatangi sy.
Ini sebuah pengalaman buruk.

Sungguh, saya berniat menceritakan banyak hal lain, namun cerita ini akan menjadi panjang. Dan saya hanya akan merangkumnya agar kalian tidak perlu membaca lama untuk mengerti apa yang ingin saya bagi.

* * *

Menurut teman sy, hal yang pernah dialami wanita itu pernah pula menjangkiti anak muda di sebuah sekolah di Bogor. Seorang murid sekolah terkenal di Bogor berteriak naik ke atas meja di saat pelajaran indoktrinasi (kalau nggak salah PPKn). Teriakan anak muda itu seperti halnya teriakan-teriakan dalam demonstrasi. Akal pria muda itu hilang.
Semenjak kasus itu muncul, pergerakan yang jaringannya termasuk paling kuat di Bogor di cut off.

Sahabat lainnya pernah pula menceritakan hal yang sama mengenai penghuni rumah sakit jiwa Bandung. Yang luar biasa, di dalamnya terdapat banyak orang-orang pergerakan.

Ada pula seorang pria (yang kami kenal) di kala sakit menyebut-nyebut nama tokoh yang menjadi ideology sebuah partai. Pria malang itu berteriak parau di bangsal rumah sakit. Ia berkisah tentang perjuangan, mengenai rumitnya keadaan dan kekacauan. Matanya seperti kosong. Teriakannya seperti sebuah siaran yang keluar dari speaker radio lawas.

Menyedihkan sekaligus mengharukan.

Saya bersimpati. Apa yang terjadi pada contoh kecil dalam hidup saya, dan beberapa kisah yang diceritakan sahabat saya, lagi-lagi berawal dari benturan ide yang luar biasa keras.

Seseorang yang di dalam dirinya tertanam ideologi kemudian memahami bahwa lingkungannya maka dengan keberadaan ideologi ia berarti ia tengah menggenggam sebuah bara. Di awal perubahan pemikirannya (atau selanjutnya) seseorang akan terkejut. Ia akan menyalahkan sistem yang diberlakukan atas dirinya, atas masyarakat di sekitarnya. Ia memiliki kemungkinan besar untuk menyalahkan dirinya.

Dalam kasus-kasus di atas, penyalahan diri itu sampai pada penyalahan diri yang radikal. Ketika menyaksikan realita tak sesuai dengan idealisasinya, seseorang akan merasa sedih bahkan menangis.

Disaat seperti ini persiapan mental diperlukan.

Jawaban-jawaban, “Lawan aja! Guru kamu salah!” atau, “Tentang saja orang tuamu!” karena pola pikir mereka yang –dianggap-- rusak merupakan pola melawan tanpa mempertimbangkan strategi baik dan buruk (sesuai dengan etika islam atau tidak). Pola seperti ini akan mengakibatkan munculnya generasi generasi perlawanan dengan jiwa yang luar biasa rapuh. Hal ini menakutkan.

Celakalah mereka yang menginjeksikan pemikiran tetapi tidak mempersiapkan mental yang kuat untuk menghadapi kegalauan.

Jika di dalam jiwa kita terdapat keinginan melakukan perubahan social: jangan jadikan orang-orang disekeliling kita sebagai robot. Jangan anggap mereka seperti halnya benda yang bisa sembarang dimasukan chip program. Jangan sembarang menjadikan mereka manusia yang dikepalanya hanya ada kata-kata lawan-lawan tanpa berpikir melawan yang seperti apa.

Apa yang ingin saya bagi pun, tidak hanya terjadi di kalangan pergerakan.
Diperusahaan-perusahaan orang-orang terlihat rapih, berdasi, yang wanita harum tetapi banyak dari mereka yang sakit, lebih mementingkan luxnya sebuah materi ketimbang fungsi. Chris martin mengatakannya when you get what you want not what you need.

Banyak orang-orang yang memperbincangkan orang lain. Perbincangan itu dianggap kritik. Mereka tidak memahami bahwa kritik adalah sebuah hal yang indah: bukan kedengkian.

Sinetron sinetron rekaan Raam Punjabi dengan Kapitalisme Multivisionnya adalah refleksi senyata-nyatanya dunia tempat kita tinggal. Semua unsur kedengkian, penyakit hati, syakwasangka menjadi diraja di dalamnya. Pemilu adalah juga sebuah opera sabun yang nyata mengenai negara yang di dalamnya terdapat banyak manusia yang sakit jiwa.

Di sekeliling saya, disekeliling kamu banyak orang-orang yang sakit. Kerapuhan itu bukan hanya dari benturan-benturan pemikiran melainkan –pula-- dari propaganda penghambaan terhadap benda.

Usaha menanam kebajikan harus disertai managerial mental agar pada saat menggenggam bara itu kita tak harus menjadi "sakit" karenanya.

Inilah akhirnya…

---------------------------
Nb:

Nietzche itu menjadi gila karena emosinya labih, mentalnya keropos. Ia memiliki “idealisme” mengenai manusia dan masyarakat, tetapi “idealisme” itu bertubrukan dengan kenyataan. Dan ia tak berhasil memanage-nya. Nietzche gila. Ia terpejara dalam filsafatnya.

3 komentar:

  1. Anonim says:

    jadi gini bro habis baca ne tulisan Q jadi punya pertanyaan...klo misalkan nulis zine trus bahasanya ngumpat-ngumpat tu pa juga dikatakan labil bro?
    ya tapi mang bener selelah Q ngenal idiologi kayaknya Q da lompatan spiritual Gto...ya mudah mudahan radikalnya gak jadi sadis(ngenes) kayak yang Qm critain diatas

  1. Amin ya :D mudah2an kita berusaha nggak cacat mental

  1. Unknown says:

    asw.
    salam kenal dari majalah mini (indie) badaiotak. kami di jogja. kami tertarik dengan tulisan2 antum. udah ngikutin sejak jamnnya openmind :)
    kami mau minta izin untuk memuat tulisan2 yang ada di blog ini, jika belum pernah dipublikasikan di media cetak lainnya.
    Om misalnya
    dan... afwan jika tidak bisa memberikan kompensasi apa-apa.

    boleh tahu almat e-mail?YM?
    kami : linibadaiotak@yahoo.com
    anomalibadaiotak.multiply.com
    jzk atas perhatiannya.
    -redaksi badaiotak-
    -melawan dengan sederhana-

be responsible with your comment