Jiwa Pemberontakan Seorang Anak

Posted: Kamis, 19 Februari 2009 by Divan Semesta in
0

MALAM lalu sy pura-pura tidur karena suara Nyawa sudah mendekati pintu kamar ruang tidur kami. Terasa dari suaranya dia bahaga sekali. Balon balon teriaknya. Pintu pun terbuka.

Saya menyipitkan mata, masi pura-pura tertidur lalu sebuah bunyi terdengar “Duar!” sy bertahan di tempat tidur. Ingin mengetahui apa yang selanjutnya dikerjakan nyawa ketika balon warna ungu yang dipegangnya meledak.

Saya masih diam manakal nyawa mulai berteriak.. dia naik ke ranjang, memeluk kaki saya sementara ayahnya ini masih pura-pura tertidur.

“Balon wawa! Mau balon lagi! Mau balon lagi!” Dia terus menerus berteriak memeluk kaki saya.

Saya sudah tidak tahan.
Saya ketawa.

“Kenapa nyaw? Dia memeluk sy.
“Balon-balon,” katanya.

Lalu Ira datang dari balik pintu. Ia mengetahui apa yang terjadi dan membujuknya. Besok nyawa bakal dibelikan balon dari indomaret. Nyawa tetap menangis. Yang dia inginkan saat itu harus terjadi.

Ira memutar cara ia mengambil buku dengan stiker yang baru saja dibelinya untuk nyawa. Ia mulai membujuk sembari menunjuk gambar. “Kakaknya kan nggak pake sepatu, coba mana sepatunya?

Nyawa ragu-ragu. Ia masih digoda oleh balonnya yang meledak itu. Nyawa masih ragu. Tapi ia mulai melakukannya. Tapi ia belum lupa terhadap balon warna ungunya.
“Balon nyawa meledaaaak!” ia berteriak.

Ira terus membujuknya.
Ia tunjuk gambar yang lain, stiker yang lain sampai akhirnya nyawa lupa. Sampai akhirnya anak-kami satu-satunya itu berhenti berkicau tentang kejadian yang membuat air matanya tumpah.

Anak kecil memang gampang dibujuk. Tinggal dialihkan. Jika tidak bisa gunakan cara lain, maka jangan cara yang sama jika cara itu tak mempan.

Jika Nyawa meminta-atau melakukan perbuatan yang dianggap membahayakan, misalnya: berkehendak memegang kincir kipas angina atau air panas pada mug kopi kami, larangan jarang sekali mempan, Nyawa akan terus mengejarnya hingga kecelakaan membuatnya jera.

Kami tidak ingin ia selalu belajar dari kecelakaan. Kami mendapatkan cara lain. Jika ia mulai mendekati hal-hal yang berbahaya, kami tinggal menyuruhnya melakukannya.
Ini efektif. Kami sering berhasil menahannya.

Pernah pada suatu ketika ia berniat memasukan irisan bakso goring yang beras.
Kami melarangnya. “Jangan di pegang nanti mata Nyawa sakit, pedih!”
Nyawa tidak percaya ia masih terus memegang sendok untuk memasukan irisan bakso goring pedas itu ke dalam plastic kecil.

Dan larangan pun kami ubah. “Ambil aja. Ayo dimasukin ke plastic biar mata nyawa pedih.” Nyawa mulai bimbang. Disaat ia menimbang-nimbang itu kami mendesaknya, menyorongkan baskom tempat irisan bakso goring itu berada. “ayo ambil aja… ambil biar matanya pedih.”

Nyawa pun menolak. “mau, mau!” katanya. Maksud mau itu tidak mau.

Well, kami menyadari bahwa setiap anak memiliki jiwa pemberontakan.
Masalahnya memang bukan terletak pada jiwa pemberontakan yang ada di dalam dirinya, melainkan bagaimana menyalurkannya.

0 komentar:

be responsible with your comment