Bank Sperma Para Pemenang Hadiah Nobel

Posted: Rabu, 11 Februari 2009 by Divan Semesta in
3

Bank Sperma Para Pemenang Hadiah Nobel
Di California ada satu bank yang komoditasnya bukan uang, melainkan sperma para jenius. Termasuk di dalamnya para pemenang hadiah Nobel.
Doron Blake, namanya. Ia memang pantas disebut bayi ajaib. Sebelum berumur dua tahun, ia sudah lancar berbicara. Ketika pas berusia dua tahun, majalah Newsweek memuat gambarnya sedang bermain piano. Bahkan dia juga sudah menguasai satu alat musik modern kegemarannya, Electronic Music Synthesizer.
Hebat, memang. Pendek kata ia memang seorang yang sangat cerdas. Ibunya seorang doktor psikologi. Namanya Afton Blake. IQ-nya 130+ sebelum kawin. Sekali lagi jangan kaget, belum kawin dan tidak pernah “berhubungan badan” dengan lelaki manapun. Lho, kalau begitu siapa ayahnya?
Doron William Blake adalah anak kedua yang lahir berkat jasa “bank sperma Nobel” –nama populer sebuah badan yang sebenarnya bernama Repository for Germinal Choise. Ayahnya adalah sperma dengan kode nomor 28, berasal dari seorang jenius di bidang komputer dan musik klasik.
Badan tersebut dibentuk tahun 1980 di Escondido, California oleh Robert Graham, si kakek berumur 73 tahun. Sperma ilmuwan-ilmuwan, para teknolog dan para pemegang hadiah Nobel dikumpulkan, lalu disimpan dalam cairan Nitrogen dengan suhu rendah. Dijamin awet dan tidak rusak. Sperma tersebut dapat disimpan selama mungkin, bahkan kalau perlu melebihi umur sang donor itu sendiri. Buat apa? Tentunya, untuk dibagi-bagikan secara gratis kepada wanita-wanita yang berhasrat punya anak yang “super” seperti “bapaknya”.
Sudah barang tentu, tidak setiap wanita diperbolehkan mengandung bibit unggul tersebut. Ada persyaratan khusus. Dalam hal ini Nona Afton Blake ternyata memenuhi semua persyaratan. Fisik, mental, dan intelegensia, ia unggul. Dengan begitu ia bisa “dibuahi” dengan bibit sperma unggul.
Dewasa ini sudah ada beberapa orang pemenang hadiah Nobel yang menyumbangkan sperma mereka. Salah satunya William Shockley, IQ 129, ahli fisika yang menggondol hadiah Nobel tahun 1956 berkat jasanya menciptakan transistor. Para penyumbang lain tak kalah hebatnya. IQ-nya antara 140 sampai 182. Dan perlu anda ketahui, sudah lebih dari 20 anak dilahirkan dengan cara ini.
Sang bayi ajaib, Doron Blake, lahir berkat majunya teknik inseminasi buatan atau “artificial insemination /AI”. Dalam teknik ini, air mani (sperma) disuntikkan ke dalam atau ke dekat leher rahim sang wanita. Maksudnya agar bisa berlangsung “pembuahan” secara alami.
Konon kabarnya, proses AI ini sebetulnya tidak sulit. Sederhana. Bahkan sebentar lagi, peralatan “kit inseminasi buatan” ini sudah beredar di pasaran. Tinggal beli, pasang, langsung jadi.
Kini, dengan semakin majunya teknologi reproduksi, orang sudah bisa membekukan lalu menyimpan sperma tersebut ke dalam larutan Nitrogen cair. Teknik inilah yang kemudian melahirkan cryobank alias bank tabungan air mani.
Dengan adanya bank sperma ini banyak hal memang bisa tertolong. Pasangan suami-isteri yang dulunya mandul kini tak perlu khawatir lagi. Begitu juga sang isteri yang telah “ditinggal” mati suaminya, masih bisa memperoleh anak, kalau mau. Ambil saja “stock” sperma sang suami tersebut di bank. Beres.
Bahkan sebetulnya, seorang gadispun bisa saja punya anak, sekalipun belum nikah. Nona Afton Blake, misalnya. Lepas dari persoalan apakah itu boleh atau tidak dalam norma-norma agama, secara biologis si gadis tersebut bisa mengandung bayi dari sperma yang “dibelinya” di bank sperma. Tentu dalam hal ini, ia terpaksa mengambil sperma lelaki lain, mungkin malah tidak dikenalnya…!
Program Superman
Bisa kita bayangkan, dalam beberapa tahun kemudian Doron Blake sudah mampu menguasai Matematika tingkat tinggi, berbicara banyak dalam berbagai bahasa, dan menggunakan komputer untuk menciptakan dan mengkomunikasikan berbagai macam pemikiran yang ada di balik tirai matanya yang biru.
Inilah yang menjadi salah satu sasaran dari program yang bernama eugenetik. Eugenetik (eugenics) berasal dari bahasa Yunani yang berarti “persediaan yang baik”. Eugenik, ada juga yang menyebutnya Social Biology, yaitu studi tentang kemajuan manusia (peningkatan kualitas manusia) melalui pengertian-pengertian genetika. Ia merupakan salah satu cabang ilmu genetika yang memusatkan perhatian pada pertanyaan: “bagaimana menciptakan manusia yang memiliki ciri-ciri unggul tanpa cacat” atau dengan kata lain, menciptakan manusia super.
Francis Galton, saudara sepupu Darwin, adalah orang yang pertama kali memperkenalkan istilah eugenik melalui bukunya Inquiries Into Human Faculty, tahun 1883. Tetapi sebelumnya, sekalipun istilah ini belum diiperkenalkan, dia telah banyak melakukan penyelidikan. Bukunya yang pertama, Hereditary Genius, tahun 1869, mengetengahkan hasil studinya tentang manusia unggul (superman).
Galton berkesimpulan, “Akan menjadi sungguh-sungguh praktis untuk menghasilkan manusia unggul, dengan bakat (kemampuan) yang tinggi melalui perkawinan “bijaksana” selama beberapa generasi secara berturut-turut”.
Usaha Galton itu ternyata menarik simpati banyak orang. Tak lama kemudian, di Inggris didirikan sebuah lembaga English Eugenics Society, tahun 1907. Di Amerika Serikat, beberapa tahun kemudian, 1926, berdiri pula American Eugenics Society. Bahkan NAZI Jerman pun pernah menggunakannya pada tahun 1930-an sampai 1940-an. Dan kini ia terus berkembang dan menyebar ke seluruh dunia, tanpa bisa dibendung.
Kaum Pria Makin Tak Laku
Dengan semakin majunya rekayasa genetika, rasanya tidak sulit untuk menghasilkan manusia-manusia super. Bahkan dalam jumlah besar sekalipun. Dengan teknik Cloning misalnya, akan bisa dilahirkan carbon copy individu tiruan yang bentuknya secara genetis persis sama. Lalu, tak susah lagi ‘kan menciptakan ratusan Einstein di masa yang akan datang?
“Cloning” berasal dari bahasa Yunani, “klon” berarti “cangkokan”. Dengan teknik ini, yang diperlukan bukan lagi sperma. Tapi cukup sel somatik (badan) saja. Caranya? Inti sebuah “telur” diangkat lalu diganti dengan inti sel somatik (badan) yang mengandung semua kode genetika oreganisme dari mana ia diambil. Maka boleh jadi organisme (individu) yang dipilih justru bukan manusia.
Dalam hal manusia, sebelum kloning bisa dilakukan, telur wanita diambil dulu. Intinya kemudian dihancurkan (dengan zat kimia atau laser) dan kemudian ”dibuahi” dengan inti sel somatik (badan). Telur yang telah dibuahi itu kemudian dicangkokkan kembali ke dalam rahim sehingga berkembang seperti biasa. Hasilnya? Persis sama dengan individu atau organisme yang diambil sel somatiknya itu.
Jadi ada kemungkinan, kalau mau, manusia akan bisa melahirkan anak monyet. Tapi tenang, itu masih jauh di masa depan.
Satu teknik lain yang masih berhubungan dengan Cloning, tapi kelihatan lebih berpotensi diterapkan pada manusia adalah penyuburan satu telur matang dengan telur matang lainnya. Fusi (penggabungan) telur namanya. Jadi yang “kawin” itu ya cuma sel telur wanita itu saja, bukan orangnya.
Kalau ini mulai dipraktekkan, maka di masa mendatang sudah barang tentu bisa tak diperlukan lagi bahan genetika (sperma) pria. Dan bayi yang dilahirkan pun akan selalu wanita. Yang lebih “gila” lagi, bahkan kedua sel telur itu, bisa diperoleh dari satu tubuh wanita itu saja. Hingga nantinya akan melahirkan bayi wanita yang secara turunan ya…darah dagingnya sendiri. Ah, mungkin kalau ini benar-benar terjadi, kaum pria barangkali hanya tinggal kenangan masa lalu. Kehadirannya sudah tak dibutuhkan lagi. Kaum pria makin nggak laku ya?
Tapi ini masih belum apa-apa. Kini, orang mulai berpikir untuk menanam embrio (janin) pada rahim binatang, dan mengandungkannya. Sapi misalnya. Menurut T. Francoer, seorang embriolog terkenal, hal itu tidak sulit mempraktekkannya. Masalahnya, tinggal ada yang mau tidak? Kendati “kumpul kebo” memang ada, namun siapa sih yang mau lahir dari perut kerbau?
Apa Yang Akan Terjadi?
“Biologi molekuler sebentar lagi akan meledak dari rahim laboratorium. Pengetahuan yang baru kita dapat tentang genetika memberikan kita kemampuan untuk mengotak-atik hereditas manusia dan memanipulasinya untuk menciptakan versi manusia yang sama sekali baru”, kata Alvin Toffler dalam bukunya, Future Shock.
Dengan teknik Cloning kita bisa menciptakan manusia-manusia unggul, tanpa “kelemahan-kelemahan” fisik yang alami. Tapi harus diingat, kita bisa saja menciptakan manusia dengan kecerdasan Einstein, tapi siapa yang bisa menjamin bahwa hasilnya bukan Hitler? Bukan mustahil, dengan teknik-teknik Cloning, nantinya cerita Boys from Brazil akan jadi kenyataan. Akan muncul Hitler-Hitler baru.
Begitulah, hanya dengan satu inti sel somatik saja, dapat dibuat satu turunan yang persis orang tuanya. Kalau masih boleh dibilang orang tua.
Juga andaikata kita mampu membikin manusia dengan IQ 160, apakah ilmu bisa memberikan jaminan bahwa dia akan berbahagia? Yang jelas ini bukan urusan manusia. Sampai di sini kita terpaksa merumuskan kembali kemanusiaan kita. Keyakinan kita mengenai kehidupan manusia dan apa artinya menjadi manusia secara individu ikut dirombak secara drastis. Masalah hukum dan etika yang timbul akibatnya, tak pelak lagi, teramat banyak dan pelik.
Ya, tapi ini pulalah sulitnya. Banyak hal-hal yang sekarang masih dianggap biasa, tak ada masalah, di masa depan, perlu penegasan kembali. Apakah definisi orang tua, definisi hubungan orang tua dan anak? Kemudian apa perlunya lembaga perkawinan? Siapa yang akan bertanggung jawab secara moral maupun hukum atas anak-anak yang diciptakan secara “buatan” itu? Siapa orang tua sebenarnya yang berhak, dan siapa yang berhak untuk memutuskan masa depan anak itu, bila hubungan ibu-bapak tradisionil seperti kini telah menjadi kabur? Dan apa pula akibat psikologisnya bagi si anak, bila nanti setelah besar dia tahu bahwa dia cuma hasil penyuburan dari sperma donor dan telur donor (yang entah siapa yang punya), di dalam piring laboratorium lagi?
Tanggung jawab masyarakat juga akan semakin pelik di masa depan. Dalam dunia yang sudah begini sarat, apakah hak untuk berreproduksi tetap tak akan diganggu gugat? Lebih parah lagi, bila anak-anak masa depan telah diberi hak lahir dengan fisik dan mental “sempurna”, apakah penciptaan anak secara biasa (hubungan suami isteri) akan dinomorduakan?
Dan ketika Alvin Toffler menanyakan kapan Cloning bisa dilakukan, seorang pemenang hadiah Nobel Joshua Lederberg menjawab, “Ini sudah bisa dilakukan pada amphibia. Dan jika sekali waktu seseorang sudah memiliki keberanian untuk mencobanya pada manusia, saya tak bisa membayangkannya. Tapi menurut perkiraan saya ini akan terjadi antara sekarang sampai 15 tahun lagi. Dalam 15 tahun ini”. Lederberg mengucapkannya sebelum tahun 1970, dan sekarang sudah lewat 15 tahun. Masih belum ada yang berani mencobanya. Tapi kan tidak ada jaminan tidak ada manusia yang tidak akan mencobanya.
Reaksi Vatikan dan Islam
Beberapa tahun lalu, Vatikan mengeluarkan sebuah dokumen Gereja Katolik terpenting soal ini. Dokumen yang berjudul Instruksi Tentang Penghargaan Bagi Hidup Manusia Pada Asal Mulanya Dan Tentang Martabat Orang Tua itu dengan keras mengecam metode “bayi tabung”, inseminasi buatan, seleksi jenis kelamin anak, dan “ibu titipan”.
“Makhluk yang terkandung itu haruslah buah dari kasih orang tua. Ia tak boleh diingini atau dikandung sebagai hasil intervensi teknik-teknik biologis atau medis. Hal itu berarti merendahkannya menjadi semata-mata objek teknologi ilmu pengetahuan”, tegas dokumen itu.
Dokumen itu juga menghimbau pemerintah di seluruh dunia agar dengan keras melarang pembuahan buatan itu, atau eksperimen atas embrio hidup. Selanjutnya ditegaskan bahwa perkembangan teknologi biologi dewasa ini menuntut intervensi para pejabat politik dan pembuat hukum, karena pelaksanaannya tak terkendali dan teknik-teknik semacam ini dapat menuju ke konsekuensi merusak yang tak terbayangkan bagi masyarakat. Lebih jauh lagi dikatakan, “Apa yang secara teknik mungkin, bukan berarti secara moral dibolehkan”.
Namun, ternyata banyak suara-suara sumbang menanggapi isi dokumen tersebut, terutama para dokter Katolik. Seperti yang dikatakan dr. Robert J. White, penasihat Paus Yohanes Paulus II bidang etika medis. “Dokumen tersebut ultra konservatif”, katanya. Ia ragu dokumen itu akan ditaati pasangan-pasangan Katolik mandul yang ingin punya anak.
Rupanya keraguan itu bukan tanpa alasan. Hal itu dibuktikan dengan tanggapan-tanggapan keras yang kemudian muncul. Salah satunya dari seorang nyonya Heidi Plummer di San Fransisco.
“Katolik atau bukan”, katanya, “kami yang sudah 10 tahun menantikan anak akan menggunakan segala cara dan sarana untuk menghasilkan anak sendiri dari rahim saya ini”.
“Saya tidak akan menyerah pada peraturan itu! John dan saya sudah bertekad bulat untuk mendapat anak sendiri. Kami sudah sejak lama menantikan teknologi (bayi tabung) itu”.
Meskipun perkembangan teknologi modern ini masih belum begitu menyebar di negara-negara berpenduduk Muslim termasuk Indonesia, namun tentunya kita mesti memikirkan masalah ini sebelum terlambat dan keadaannya menjadi runyam. Jawaban resmi baru muncul dari Organisasi Konferensi Islam (OKI).
OKI yang berpusat di Jeddah, Indonesia juga menjadi salah satu anggotanya, beberapa tahun yang lalu telah menelurkan fatwa tentang masalah ini. Meski begitu, fatwa ini masih belum menjawab semua persoalan yang timbul akibat rekayasa genetika. Memang masih banyak pertanyaan mendasar yang belum terjawab. Namun demikian ia sangat penting.
Dalam fatwa itu ditegaskan bahwa hanya ada dua cara inseminasi buatan yang diperbolehkan oleh Islam. Pertama, sperma diambil dari suami, dan ovum dari isteri; pembuahan boleh di luar rahim, tapi kemudian “buahnya” harus “ditanam” dalam rahim sang isteri. Kedua, semua benih diambil kemudian disuntikkan ke tempat yang sesuai dari vagina atau rahim isterinya untuk memungkinkan terjadinya pembuahan di dalam rahim.
Fatwa ini tampaknya bersikap modernis namun tetap tegas dalam batas-batas kewajaran. Dalam hal ini jelas yang menjadi patokan adalah hubungan-resmi pernikahan. Apapun alasannya, selain jalan pernikahan tidak bisa dimaafkan. Ia akan tetap dicap zina.
Pernikahan menurut Islam amat penting lagi suci. Ia bukan hubungan sembarangan dan serampangan. Lembaga pernikahan itu untuk menjaga kejelasan, kepastian dan keabsahan turunan, yang pada gilirannya memelihara harkat dan martabat manusia sesuai dengan hakikat sendiri sebagai “abdi” (hamba) dan “khalifah” (deputy) Allah.
Selain itu manusia juga terikat oleh nilai dan norma ilahi dalam segala hubungan mereka. Baik dengan Tuhan, dengan sesama manusia, ataupun dengan alam lingkungannya. Beda dengan hewan dan tumbuhan. Karena itu manusia harus menikah dulu sebelum menempuh “perkawinan”.
Tak bisa disangkal, perkembangan-perkembangan itu memang menunjukkan kemampuan manusia yang semakin tinggi. Tapi teknologi memang begitu. Bermuka dua. Ia bisa ramah dan tentunya juga bisa tak ramah. Tergantung kita, mau dibuat apa. Dia bisa menjadikan kita makhluk rendah dan nista, kalau tidak kita gunakan pada tempatnya. Sebaliknya dia bisa menjunjung harkat fitrah kemanusiaan kita, sebagai makhluk beradab, kalau kita gunakan berlandas norma-norma mulia.
Sayangnya kini kepandaian itu dihadapkan pada tantangan yang teramat mahal hingga bisa jadi akan meruntuhkan sendi-sendi moral. Di sinilah umat beragama ditantang untuk memberikan sumbangannya bagi kegiatan keilmuan sebelum terjadi bencana kemanusiaan nantinya. Akankah kita biarkan dunia ini “binasa” sebelum waktunya? Tentu tidak, bukan?
----------------------
Dicopet dari tulisan Nilna Iqbal

3 komentar:

  1. salam. nice post. God bless us. please visit to my site

  1. gila,lieur,sinting, ga beradab

  1. S2D says:

    saya tidak berani mencaci maki. dari sisi sains saya salut. dari sisi moral, jika bagi yang mandul dan sperma suami untuk istrinya bisa membuah, boleh jadi dipertimbangkan seperti fatwa OKI.

be responsible with your comment