Twilight

Posted: Minggu, 04 Januari 2009 by Divan Semesta in
0

Pria itu membuat banyak orang mabuk. Hanya sedikit yang bersikap seperti orang Indian bangsawan seperti Winetou atau Klekih Petra, yang mampu menahan gesture tubuh dan warna muka yang menunjukkan kekaguman. Mau tidak mau gaya bertutur pria berambut panjang ikal bak anggota band metal tahun 1990-an itu memang luar biasa. Jika kebanyakan intelektual kebanyakan bergaya dingin, hingga mengakibatkan banyak orang terkantuk-kantuk, pria ini tidak. Ia merogoh hati dan mengombang-ambingkan pikiran. Ia menyitir ayat berkenan tentang kezaliman yang dilakukan terhadap anak yatim dan tak beribu.

Aroaytalladzi yukadzibubiddiin. Ujarnya. Diselingi gaya bertutur dengan tangan keatas ketika ingin menyeru dan mengaduk-aduk perasaan dengan mengarahkan tangan kea rah jantungnya saat berbicara tentang ketertatihan kalangan miskin tertindas, mau tidak mau pria ini harus diakui sebagai orang yang brilyan dalam melakukan permainan kata.

Ia berkhutbah menyuarakan bahwa IMF, privatisasi merupakan sumber kejahatan yang membuat masyarakat marjinal tidak menimati kesehatan, pangan, pendidikan, yang kalaupun tidak gratis sudah seharusnya dibuat murah.

Ia menjadikan ayat Quran sebagai batu. Dilemparkannya batu itu, pletak! Mengenai kepala-kepala yang tak sadar mengenai bahaya neo liberal. Ia sertakan analisis-analisis kelas, yang kaum pergerakan sudah paham asal muasalnya dari ide mana. Hal inilah yang kemudian membuat saya, tertarik untuk berdiskusi dengannya.

“Apa pandanganmu tentang Marx?”

“Apa salahnya dengan Marx?” tanya dia membalikan pertanyaan dengan saya, seolah ia memang sudah mengetahui maksud di balik pertanyaan itu.

“Bukankah Marx tidak mempercayai agama?” tanya saya mengujinya.

Ia tersenyum gemilang. “Itu salahnya Bung! Marx tidak membenci agama. Ia hanya melihat praktik agama kristiani yang salah. dari hal itu jangan dianggap Marx membenci agama.”

“Jadi Marx sesungguhnya tidak membenci agama?”

“Benar. Kalau seandainya agama mainstream di zamannya berperan seperti agama Kristen yang dijadikan landasan perjuangan di amerika latin, sudah pasti Marx tidak akan mengetengahkan agama sebagai candu. Islam pun demikian.”

“Demikian bagaimana.”

“Islam adalah agama pembebasan. Agama keadilan. Islam adalah teologi pembebasan.”

Saya tertawa. teologi pembebasan itu sekuler, sementara Islam tidak layak untuk disandingkan, dibuat untuk memenuhi kekeringan spiritualitas penganut agama sosialis marxis! Menyamakan islam dengan teologi pembebasan akan mengkerdilkan Islam.”
Dan kami pun terus bertentangangan hingga berdentam-dentam.

***
Baru baru ini sahabatku mengirimkan sebuah surat elektronik. Ia merayakan kesahnya mengenai ungkapan: islam itu wajah lain dari kapitalisme. Ungkapan itu dilontarkan temannya dengan mengatakan:

“Klo kita ngambil untung dari suatu komoditas yang kita jual (M'=M2-M1) maka sebenernya kita telah memperlakukan kaum buruh dengan tidak manusiawi. soalnay nilai-lebih yang kita ambil adalah kerja-lebih-mereka-yang-tidak-kita-bayar.”

Duhai. Dulu di taun 2006 ketika saya bertemu dengan pria berambut panjang bak vokalis Dragon Force, Islam dikatakan perwujudan dari sosialisme. islam itu kiri sejak asal muasal, sejak nabi adam. Sementara, saat ini, pada tahun 2008 ini saya mendapatkan ungkapan Islam merupakan wajah lain dari kapitalisme.

Bingungnya alam berpikir dalam menyamakan Islam dengan Sosialisme dengan Islam merupakan wajah lain dari Kapitalisme, membuat saya tersenyum. permasalahan ini sudah jauh-jauh hari saya selesaikan,. Dan saya yakin sahabat saya itupun telah menyelesaikannya. Ia hanya sedikit resah.

Bagaimana mungkin Islam itu sosialis atau islam itu kapitalis, sementara Islam itu agama langit, sementara sosialis dan kapitalis itu agama bumi. Agama yang dibuat oleh pemikir di muka bumi. Bagaimana mungkin bisa menyamakannya? Namun, jika saya hanya berpendapat demikian tentu selesai sudahlah tulisan ini.

Tidak, lebih dari itu sebenarnya saya hanya ingin sedikit berbagi alat agar kita tahu maksud orang-orang yang menguliti scalp kapitalisme dengan mengatasnamakan Islam selaku teologi pembebasan yang saat ini sudah menjadi hysteria seperti hysteria anak-anak muda meliahat edwar cullum dalam twilight.

Tanyakan saja pada mereka, kenapa kalian hanya mengkritik kapitalisme sementra kalian tidak mengkritik sosialisme, marxisme sebagai ide yang juga harus dikritik.

Lihat saja, imbasnya saat kau menanyakan itu.

Apa dia akan mati-matian mengatakan:

“Islam itu memperjuangkan keadilan dan sosialisme-marxis-komunisme pun memperjuangkan keadilan!?

Keadilan adalah jargon, setiap ide pasti akan mengatakan demikian, tetapi apakah setiap ide memiliki devinisi keadilan yang sama. Jika pembagian waris yang adil dalam Islam adalah demikian dan demikian, bagaimana adil menurut Sosialisme-Komunisme-Marxisme. Di bagi rata? Jika keadilan adalah emansipasi wanita dan pria untuk bekerja dan anak-anak di masukan ke dalam kamp negara untuk dididik (yang sayangnya dalam sejarah dikelola oleh wanita juga) apakah keadilan ini sama dengan islam: bahwa kewajiban laki-laki adalah mencari nafkah untuk keluarganya, dan sang istri hanya berkewahijban membesarkan anak (termasuk mencari pengetahuan untuk mendidik sang anak) maka dimanakah kesamaan antara sosialisme-marxisme-dan Islam?

Apalagi jika dibenturkan dengan teori nilai lebih yang –menurut teman sahabat saya itu—menjadikan Islam yah mirip-mirip dengan kapitalisme.

Jawaban saya, mirip memang, karena di dalam Islam pun tidak dipermasalahkan jika seseorang mengambil keuntungan dari penjualan asal tidak berlebihan dan si penjual tidak diperkenankan untuk mengeksploitasi pekerja.

Tentu, eksploitasinya tidak seperti devinsi eksploitasi dalam kepala si leftist itu. eksploitasi dalam pandangan Islam adalah apabila pekerjan yang di berikan pada buruh, entah dari segi waktu dan materi yang didapatkan akan menjauhkan manusia dari hubungan dengan Allah. Jika seseorang terus menerus bekerja, yang karena kerjaannya itu ia tidak bisa meluangkan waktu untuk beribadah, apabila terus menerus bekerja sehingga ia tidak bisa merenungkan hidupnya, dan membagi waktunya untuk kehidupan keluarga maka disanalah eksploitasi terjadi. Dan lain sebagainya.

Jika devinisi keadilan dan ekploitasi diserahkan pada anak muda leftist itu, bahwa mengambil untung sebuah komoditas yang kita jual, maka kita bertindak tidak manusiawi, karena mengambil kerja lebih yang tidak kita bayar… maka kalau tidak mengambil untung, bagaimana caranya memberi gaji? Bagaimana membedakan antara orang yang memiliki modal, yang ia (pemilik modal itu) berpikir, dan bekerja dengan orang yang tidak punya modal dan bekerja?

Secara kasat matapun hal ini jelas berbeda. Jadi merupakan sebuah kewajaran di dalam kehidupan jika ada yang mendapatkan rizki lebih dan yang tidak. Hanya saja rizki lebih itu memang bukan didapatkan dari hasil ekploitasi. Dan definisi ekploitasi seperti yang diutarakan kalangan leftist harus dianggap sambil lalu saja.

Dianggap sambil lalu karena memang devinisi nilai lebih seperti yang diutarakannya –kalau mau main propaganda2-an-- tidak mencerminkan keadilan sama sekali. Dan yang menjadi pertanyaan. Jika tidak mengambil untung sama sekali, bagaimana orang leftist mau berjualan?

Apa mau mengumpulkan uang, dan setiap orang memiliki saham sehingga semua sama bekerja dan sama menanam uang, seperti konsep Koperasi Restoran Indonesia di Prancis?

Di dalam Islam ada konsep seperti itu pula tetapi ada pula konsep orang yang tidak memiliki modal, atau memiliki modal tapi tidak mau mengembangkan usaha sendiri dan dia bekerja untuk orang lain.

Tidak ada larangan untuk bekerja dalam bidang yang diperkenankan. Menjadi buruh yang halal itu bukan suatu kejahatan tapi bisa menjadi kemuliaan. Nah sekarang, buat para leftist, kalau orang nggak punya modal? Mau dapet uang buat usaha sendiri dari mana? Nunggu terus sampe mampus?

Makanya kalau ada yang mengatakan saya tidak mau diperbudak oleh kerjaan karenannya saya tidak mau menjadi buruh! Maka saya katakan kamu diperbudak oleh logika mu! Kamu terlalu banyak makan tulisan kekiri-kirian. Kemana aja sih kamu ini? Mau jadi buruh mau jadi pengusaha mau buat kerjasama kayak ‘koperasi’ boleh aja, silahkan. Asal halal silahkan.

Kamu tau nggak, kenapa Marx buat teori nilai yang nggak jelas itu? kalau kamu nganggap Marx itu hebat, silahkan saja tidak jadi soal bagi saya. Tapi saya mencoba memberi sebuah kemungkinan lagi. Bahwa, apa yang diungkap Marx tentang kerja bisa jadi karena dia emang nggak bisa kerja. Bahwa Marx secara tidak sadar menggunakan alam bawah sadarnya akibat penyesalan tidak mampu menafkahi keluarga hingga menelurkan konsep yang luar biasa radikal. Bisa jadi.

Hehehe. Itu nggak usah diambil hati kan saya bilang bisa jadi.

(Btw … Den, saya bener-bener bingung mau buat tulisan seperti apa. En, terlambat, huargh! Emotional Bank Accountnya jangan terlalu ditarik besar-besaran ya. Mudah-mudahan nggak ada Rush. Punten. Hampura)

0 komentar:

be responsible with your comment