Westoksikasi

Posted: Minggu, 05 Oktober 2008 by Divan Semesta in
0

“Mobil Honda Nyi! Naik sedan!” kata mang Darman bersemangat. “Si ujang jadi orang!” teriaknya.

Nyi Ijah tidak peduli anaknya bakal naik Honda CRV atau onta. Bahkan baginya, anaknya naik pesawat Boeing paling mutakhir pun sama saja dengan delman atau sepeda jengki. Namun bukankah Nyi Ijah harus menghormati orang, menghormati sahabat almarhum suaminya benar-benar. Lantas, berkatalah Nyi Ijah sambil lalu. “Dari mana Mang Darman tau?”

“Ya kata orang-orang Nyi!” jawab Mang Darman.

“Kata orang, kata orang!” ucap Nyi Ijah pura-pura melecehkan. "Siapa atuh orangnya, Mang?!”

“Anaknya haji Uple yang kuliah di Parahyangan. Dia bilang si Ujang sudah jadi artis,” mang Darman mengatakan itu sambil melempar luak yang akhir-akhir ini sering mengganggu ternaknya. “Hati-hati Nyi!” sambung mang Darman. “Jadi artis di zaman sekarang bahaya. Kalau pulang kampung, artis harus dinasehati.”

“Kalau artisnya bener mah tidak apa-apa mang Darman. Lagipula itu kan baru kata. Nanti kalau ditanya ke anaknya haji Encep, dia bilang kata si itu, terus si itu pun kata yang satunya.” Nyi Ijah tertawa hingga bungkuk. Ia hanya menginginkan anaknya pulang. Nyi Ijah hanya ingin melihat si ujang anak kesayangan dia karena cuma satu-satunya.

Nyi Ijah yang nama aslinyanya Khadijah itu lantas mengumpulkan cabai pada sebuah kebun yang berada di balik bukit yang ditanami pohon teh. Usai melakukannya, ia melayangkan pandangan pada langit yang ada di belakang gunung Papandayan. Di bawah langit itu, ia memikirkan anaknya yang sudah meninggalkan rumah sejak empat tahun lalu. Nyi Ijah tersenyum menggelengkan kepalanya.

“Ada apa Nyi?” tanya Mang Darman yang masih berada di sampingnya..

“Kadang orang memang harus tersenyum supaya terlihat awet muda, Mang,” jawab Nyi Ijah sekenanya.

Mang Darman menyetujui perkataan Nyi Ijah diam-diam, sebab –meman-- wajah dan tubuh Nyi Ijah tidak lebih cepat berubah ketimbang tetangganya seangkatan, terlebih istrinya.

“Mang Darman?” tanya Nyi Ijah usil.

“Ya Nyi?”

“Kata Mang Darman, kalau sudah punya sedan berarti sudah jadi orang, … ya ya… saya jadi bingung Mang.”

“Bingung kenapa Nyi?!”

“Bingung memikirkan Mang Darman itu orang atau bukan?” Nyi Ijah mengangkat karung tempatnya menampung sayuran. Ia pergi mengakhiri percakapan meninggalkan Mang Darman yang tengah –kesulitan berpikir--. Beberapa detik kemudian Mang Darman melempar sebongkah tanah lembut ke arah Nyi Ijah. “Kehed! Sialan!” teriaknya. Tanah itu melewati tubuh Nyi Ijah yang tengah cekikikan melewati lahan berumput seluas setengah lapangan bola.

DI BANDUNG, reef party yang penyelenggaraannya diumumkan melalui jempol ke jempol kalangan tertentu, mengesankan acara tersebut menjadi acara yang eksklusif. Dj Riff yang beberapa waktu lalu –namanya-- baru saja naik dilist kedua sebuah majalah pria ternama menjadi jaminan keberlangsungan acara yang akan diadakan di daerah sepi, di pinggiran kota domba Garut.

Dj Riff memang sebuah fenomena canon ball dalam dunia glamour dischoteque. Dia yang tadinya dianggap bukan orang seperti yang dikatakan Mang Darman tiba-tiba mengeluarkan kompilasi dengan Dj lainnya yang lebih dulu tenar. Padahal Dj Riff adalah pemain baru. Hal inilah yang menimbulkan banyak dugaan. Orang-orang banyak yang meyangka-nyangka, meraba bagaimana dia memulai.

“Pastilah Dj. Riff gay…” seru seorang lelaki bertulang lunak sambil mengedipkan mata, pada sesama gay, seolah-olah memberi kode yang bermakna: tahu sama tahu.
“Mungkin dia lulusan sekolah Dj di Amsterdam!” kata seorang pengamat amatir pecandu house musik.

“Kalau cuma lulusan Amsterdam, manlah bisa! Pastilah Amerika!” timpal seorang wanita yang sok-sok-an Amerikanya benar-benar keterlaluan.

Atas saran beberapa orang, Dj Riff tentu saja menjadikan kisah dirinya menjadi misteri. Bagi pengantut aliran tertentu di dalam agama, mungkin peristiwa ini dapat disamakan dengan ilmu laduni. Namun sesungguhnya, keahlian yang dimiliki Dj Riff tak lain merupakan keahlian yang didapat dari usaha keras dia bergaul dengan turntable dan seorang Dj. berkebangsaan Prancis: Justin namanya. Pergaulan mereka, diawali dari bekerjanya Dj. Riff di sebuah dischoteque sebagai kurir bir, yang --jika tenaganya dibutuhkan--, sesekali ia menjadi pelayan.

Pada satu ketika, usai semalam suntuk melayani pengunjung discotheque berdisko ria, Riff berjalan menuju kontrakannya. Waktu itu tak ada yang terjadi hingga sebuah mobil sedan kemudian berjalan perlahan melewati dia.

Ada yang salah dengan laju mobil tersebut. Jalan mobil itu sempoyongan. Lampunya tidak dinyalakan. Ini pertanda buruk. Benar saja, baru sekilas Riff berpikir demikian, mobil itu tiba-tiba keluar dari jalan, meringsek pagar tanaman, dan mobil itu tiba-tiba keluar dari jalan dan menerobos ke dalam taman kota. Hidung mobil menubruk prasasti dan patung pemanis kota. Ada benturan di dalam mobil. Bannya berhenti berputar.

Riff berlari. Ia melongok ke dalam kaca dan menemukan seorang lelaki bule terkapar didalamnya. Ia ketuk kaca. Tak ada respon, lalu Riff pun berkeliling mencari batu. Karena di taman itu ia tak menemukan, Riff bergerak cepat menuju trotoar. Ia mencongkel conblock dan menggunakannya untuk menghantam kaca mobil. Hantaman pertama membuat kaca retak, pada hantaman ketiga, kaca mobil yang tebal itu benar-benar pecah. Riff langsung mencoba semua tombol yang ada di pintu. Pintu terbuka. bau memuakan mampir di hidungnya. Bau itu membuatnya ingin mengeluarkan bau yang sama: bau muntah. Cairan menjijikkan berceceran di mana-mana. “Dasar bule!” kata Riff tak sadar jika gumamannya rasialisnya hampir punah di abad ke duapuluh satu ini. Riff segera mengecek dada pria bertampang kaukasia itu. Ada banyak nafas di dadanya. Pria ini cuma mabuk, kebanyakan minum.

Riff langsung membebaskan pria itu dari lilitan sabuk pengaman. Ia membopong keluar pria itu, namun Riff tak kuat. Tubuh pria itu hampir menyerupai raksasa. Terlalu tinggi, terlalu berat. Huff, Riff menyeka keringatnya. Ia tak memiliki kemampuan yang setara dengan kuli angkut atau pun atlit angkat besi. Riff membutuhkan bantuan. Dengan kecerdasaannya Riff mempreteli dompet, jam dan kalung emas pria itu.

Setelahnya, ia segera berlari. Ia membutuhkan bantuan satpam tempatnya berkerja.
Tak sampai tujuh menit setelah meninggalkan tempat kejadian Riff kembali –bersama satpam—menggunakan scooter yang sempat berjaya di tahun tujuh puluhan.

“Tidak usah di bawa keluar,” kata satpam bertubuh kekar.

”Kita pindahkan ke jok belakang.”

Setelah memindahkan pria raksasa itu satpam langsung menstarter mobil dan mengarahkannya menuju ruang parkir tempatnya bekerja. Sertelah memastikan segalanya baik-baik saja, Riff pun memilih pulang lebih dulu sementara satpam menunggu pria raksasa itu siuman. Riff lupa terhadap satu hal. Seorang pramuria: Yunita yang saat itu pulang bersamaan dengan berhamburannya pengunjung dischoteque meminta Riff untuk menemaninya. Riff lupa akan satu hal. Ah, permintaan wanita berkulit sehat meski hampir selalu begadang itu membuat Riff lupa. Barulah setelah, mengantar Yunita yang kontrakannya hanya berbeda satu gang, Riff teringat dengan apa yang seharusnya ia lakukan. Riff melihat jam. Ah nanti, nanti sore saja, pikirnya malas. Riff tanggung berada di peraduan.

Sore harinya Riff mendatangi tempat kerja dia. Satpam pun kebingungan.

“Minggu ini, kerjamu kan malam Riff?”

Riff tersenyum. Ia tak menjawab pertanyaan itu. “Kemarin, si bule pulang jam berapa Pak?”

Mimik pak satpam tiba-tiba berubah. Ia mendengus. “Baik sekali kamu Riff! Menyempatkan datang sebelum kerja hanya untuk bertanya tentang si bule gila!”

“Gila?” Riff meminta penjelasan. “Gila bagaimana Pak?!”

“Lha, setelah bangun dari kecelakaan dia langsung nyerocos ndak karuan! Di bilangnya saya mencuri dompetlah! Di bilangnya saya ngambil kalung dial ah! Ealah! Sudah di tolong bukannya ucapkan terima kasih!”

Riff malah menambah kecap.“Bukannya nanya dulu, ini malah nuduh, ya Pak?!”
“Itu kalau waras,” Lha Ini?! Bule sialan itu malah ngancam, mau laporkan saya ke polisi! Saya bilang, silahkan geledah! Sampai dajjal datang juga tidak bakal ketemu!”
Riff ketawa. “Saya percaya Pak” katanya. “Saya percaya!”

Pak satpam puas.

“Saya percaya Pak!” ulang Riff. “Lha barang-barang itu saya yang ambil.”

Pak satpam bingung mendengar pengakuan Riff.

“Saya mau kembalikan barang-barangnya,” ucap Riff sebelum pak satpam merumuskan kata-kata. Dan Riff pun menceritakan latar belakang dan pertimbangan yang menyebabkan dia mempreteli barang-barang si bule.

Pak satpam membenarkan apa yang dilakukan Riff. ““Di tempat saya juga begitu Riff. Pernah ada mobil yang jatuh ke jurang. Tetangga-tetangga pada lari, Riff. Saya kita mereka mau menolong, eh, tidak tahunya tape mobil di pretelin, dompet diambil jam tangan… masya Allah… biar saya tahu jaga discoteque itu dosa, tapi ini lebih dosa lagi Riff. Innalillahi!” Pak satpam mengelus-elus dadanya. “Ah, untung kamu masih punya rasa malu Riff!”

Riff heran mendengar ucapan pak satpam. “Rasa malu? Malu sama siapa Pak?” tanyanya.
“Sama Tuhan!” pungkas satpam.

Riff diam. Beberapa detik kemudian ia mengalihkan. “Bapak tahu alamat si bule?”
“Untuk apa tahu!” satpam masih gondok. “Tapi,” ia berpikir, “kemarin bapak lihat dia bicara sama bos. Mungkin beliau tahu,” ujarnya.

Maka masuklah Riff ke ruangan bos. Tak lama kemudian –masih di dalam ruangan—bos menepuk pundak Riff. “Pintar kamu Riff!” katanya memuji. Dan itu membuat Riff tersenyum bangga.

Setelah mendapat alamat si bule gila. Malam itu Riff dibebaskan bekerja. Ia pun pergi menuju dischoteque Al Catraz, tempat dimana si bule bernama Justin itu menjadi DJ ternama.

DI DAPUR mata Nyi Ijah berkaca. Ia tersenyum membayangkan masa yang telah ia lewati. Setiap memegang cabai dan ulekannya, ia selalu mengingat bagaimana si ujang tunggang langgang, usai mengucapkan perkataan kasar macam ngewe, ngentot, babi bagong dan cokbun. Pasalnya, nyi Ijah tak pernah mengajarkan hal itu secara sadar atau pun tidak kepada si ujang. Aneka kata-kata biadab itu menular begitu saja dari pergaulan si Ujang dengan remaja-remaja tanggung di desa.

Mulanya, nyi Ijah tidak langsung mengeluarkan senjata pamungkasnya. Ia memberitahu lebih dulu. Namun, karena kata-kata amoral itu selalu saja keluar dari mulut si Ujang maka buru-buru lah nyi Ijah masuk ke dapur dan keluar membawa murka. Cabai yang ia ambil langsung menggunakan jemarinya tanpa peringatan lagi langsung ia masukan ke mulut anaknya.

Tentu, si Ujang mengambil pelajaran, namun namanya anak kecil ucapan-ucapan busuk secara tak sengaja sering juga keluar. Dan, nyi Ijah pun kembali masuk ke dalam dapur, atau malah lari menuju pagar tanaman tetangga terdekat. Kemudian, kejar-kejaran anak beranak itu pun terjadilah.

Penduduk desa menjadikan kejar-kejaran semacam itu sebagai tontonan. Bagi remaja-remaja tanggung yang menjadi maha guru vokabulari bejad si Ujang, tertawa. Mereka bukannya sadar. Kejar-kejaran itu malah memunculkan niatan untuk mengajari si Ujang kata-kata lain yang lebih radikal dan menggetarkan. Kalau saja bulan bisa di bunuh dengan kata-kata maka mereka bakal ajari si Ujang dengan kata-kata pembunuh itu.
Nah, sewaktu membayangkan bagaimana –dulu-- anaknya tunggang langgang itu, nyi Ijah tiba-tiba mendengar suara berat merambat hingga ke dapur. Beberapa kalai asalamualaikum, terdengar. Sebelum membuka pintu nyi Ijah pergi mencuci tangan di kamar mandi. Setelah tangannya ia rasa bersih, nyi Ijah membuka pintu. Ia memperhatikan sosok raksasa. Dan karena Nyi Ijah tidak pernah melihat orang bule selain, di televisi, maka kali itulah ia merasa bingung.

Justin telah berada di hadapan nyi Ijah. Pria bule yang kesulitan mengkontrol adatnya –hanya-- jika mabuk dan birahinya tinggi itu, menerka kesulitan wanita setengah tua yang ada di hadapannya. Justin faham bahwa tidak semua orang paham bahasa global. Maka, untuk mencairkan suasana, sebuah kosa kata sunda ia keluarkan untuk memudahkan suasana.

“Punten Ibu. Di dieu bumina Riff?” Yang terjemahannya, maaf ibu, di sini rumahnya Riff, katanya.

Justin berhasil nyi Ijah dibuatnya tertawa.”Riff?” nyi Ijah berinisiatif menggunakan bahasa nasional. “Bukan. Di sini bukan rumahnya Riff,” ungkapnya. “Tuan salah alamat.”

Kini Justin yang gentian nyi Ijah terka. Ia mengeja bahasa tubuh Justin yang mudah dimengerti penduduk dunia kawasan mana pun.

“Saya bisa membantu Tuan, kalau Tuan menunjukkan alamat,” jelas nyi Ijah.
Bukannya menjawab, Justin malah mengambil photo yang sempat ia tunjukkan pada penduduk desa saat Justin bertanya.

Di dalam photo, nyi Ijah memperhatikan lima orang lelaki tengah berkumpul di sebuah ruangan penuh warna. Diantara kumpulan itu ia melihat wajah anaknya.
“Semua orang di sini panggil si ujang Ipin, bukannya Riff!” jelas Nyi Ijah sembari tertawa.

Dan legalah Justin, si bule raksasa. Ia pun masuk ke dalam rumah Ipin yang masih berdinding bilik bambu. Ia melihat radio transistor, televisi kursi dan jam dinding, sederhana. Tak lama kemudian, nyi Ijah membawakan Justin teh hangat dan air nira serta rebusan kelewih yang bagi lidah Justin rasanya seperti makanan luar angkasa.

“Ipin di mana?” nyi Ijah bertanya ketika Justin mulai mencicipi air nira.
Justin pun, menceritakan penyebab tidak datangnya Ipin pada hari itu. Dari dalam ransel, Justin mengeluarkan surat yang Ipin tulis untuk ibunya. Surat itu menjawab semua yang nyi Ijah khawatirkan. Surat itu memberi pengertian bahwa Ipin tidak perlu dipermasalahkan. Ia sehat-sehat seperti adanya. Ada banyak ruang di hati Nyi Ijah untuk memaklumkan, ketika Ipin anaknya, berusaha mengesankan kesibukan yang seharusnya tak dikesankan. Ipin masih muda, pikir nyi Ijah bijak. Hidup setelah diberi jaminan oleh orang tua, --selama sekian puluh tahnu-- menjadikan sikap Ipin seperti umumnya anak muda yang ingin memperlihatkan bahwa dirinya sudah bisa berdikari. Nyi Ijah memaklumkannya.

“Riff kangen Ibu,” kata Justin. “Mungkin, akhir bulan ini, setelah menyelesaikan pekerjaan besarnya, Ipin mau berlibur. Dia pengin istirahat,” kata Justin.
“Setelah selesaika perkerjaan besar?” tanya nyi Ijah penasaran. “Memangnya pekerjaan Ipin apa?!”

Justin hanya memberi senyum pada nyi Ijah. Bukannya menjawab ia malah bertanya. “Di dekat rumah Ibu, ada lapangan rumput seluas setengah lapangan bola?”

“Lapangan bola?”

“Iya, lapangan yang dekat kebun cabai. Lapangan yang kata Riff sering ia jadikan
tempat main layangan?”

“Untuk apa?” tanya nyi Ijah.

Justin tersenyum, lagi. Bule raksasa itu culangung. Ia malah menganggurkan kembali pertanyaan nyi Ijah. “Ibu bisa menunjukkan lapangan itu,” katanya.
Tak memerlukan diri untuk bertanya-tanya lagi, maka nyi Ijah pun membawa Justin ke tanah lapang berumput. Di hadapan lapangan luas itu Justin menganggu-angguk puas. “Inilah yang saya sebut pekerjaan besar Riff,” ujar Justin. “Perkerjaan besar yang baru pertama kali dilakukan di Indonesia.” Justin beralih melihat nyi Ijah. “Di lapangan rumput ini, Riff akan membuat gebrakan Bu!” ungkapnya bersemangat.
Justin berusaha mengangkat keberhasilan Ipin dihadapan ibunya. Berbicara mengenai keahlian dan bakat yang luar biasa, namun seperti biasa, nyi Ijah memberikan respon kalangan terdidik yang terjaga. Ah, yang nyi Ijah inginkan cuma anaknya. Bukan apanya! Asal tak memalukan. Asal tak melanggar apa yang telah ia ajarkan sejak kecil pada anak satu-satunya, menjadi apa pun juga tak mengapa. Pikiran nyi Ijah benar-benar sederhana dan cara nyi Ijah membawakan diri inilah yang menjadikan Justin menaruh hormat padanya.

BEBERAPA WAKTU SETELAHNYA, Justin mengendarai mobil.

“Proposal kita tembus,” sahutnya. “Pihak label tengah merancang promosi dirimu besar-besaran.”

Dj Riff tertawa, namun kekhawatiran menyalipnya. “Bagaimana dengan izin lokasinya?” tanya Riff.

“Selesai.”

“Kepala desa yang tengil itu?! Bagaimana mengurus izinnya,” tanya Dj Riff keheranan.
Dj. Justin memandanginya heran. Bagaimana mungkin Riff menganggap urusan perizinan menjadi kendala sementara uang ada di kantong Justin, sudah Riff ketahui, sering menyelesaikan masalah. Justin tersenyum. Kebahagiaan Riff memunculkan keluguannya kembali. Ya, keluguan yang sama saat beberapa jam lalu, Riff membuka plastik berisikan sambal kesukaan yang dibuat oleh Nyi Ijah, ibunya. Keluguan yang sama pula yang membuat Dj Justin merasa berdosa ketika dahulu kala Riff mengetuk pintu mobil dan ia gembira mendapati barang-barang yang telah ia tuduhkan pada satpam tidak kurang satu apa pun di tangan Riff. Ia masih bisa mengingat jelas bagaimana Riff ia ajak makan di sebuah café sebagai imbalan. Justin menuangkan wine sebagai tanda terimakasihnya. Ia melihat pipi Riff bersemu merah. Ia menambahkan cawan demi cawan hingga tak sadar jika perbuatannya itu membuat Riff rebah, tak kuat menahan tubuhnya.

Justin membawa Riff menuju apartemennya dan sebuah peristiwa pun terjadilah. Di sofa itu Justin terangsang. Ia tak kuat menahan libidonya. Justin melihat tubuh Riff yang liat. Seumur hidup, Justin tidak pernah mempercayai keberadaan setan, namun ia mengetahui bahwa apa yang hendak ia lakukan pada Riff salah, tapi bagaimana? Birahi dia terlanjur berkhutbah. Malam itu, Justin membuang sesuatu dalam saluran pembuangan limbah besarnya Riff.

Keeesokan harinya Justin hampir mengulangi hal yang sama. Saat hendak mencium Riff menggunakan lidahnya. Riff bangun. Birahi kuda Justin langsung Riff hentikan dengan tinju akhirat di uluh hati sebelah pinggir sembari berteriak, “Homo!” Dan dalam posisi terkena tinju itulah, Justin merasa bahwa pengetahuan Riff mengenai orientasi seksualnya merupakan ancaman. Justin masih harus berhati-hati, karena ia berkerja di negeri yang budaya timurnya banyak dipengaruhi oleh agama-agama besar dunia.
Justin menyangka Riff bakal menyadari apa yang telah dilakukannya malam itu. Justin yang belum siap melakukan konfrontasi menyiapkan siasat politis. Ia mengiming-imingi Riff: memiliki pengasilan besar dengan menjadi Dj. Kepalang basah, Justin tak mau tanggung. Dan di mobil itulah, saat ia membicarakan keberhasilannya melobi kepala desa, Justin merasa didikan dia yang semula sebagai bencana tampak menjadi berkah. Entah berkah dari siapa, yang jelas dengan naiknya Riff dan keberhasilannya mempromotori Reff party, nama Justin akan terangkat.

Semua yang dilakukan Justin mendulang efek positif dari Riff. Perilaku: orientasi seks Justin di mata agamawan memang tampak mengerikan, namun jika dirata-rata perilaku Justin lainnya pada umumnya baik. Kebaikan inilah yang membuat Riff perlahan-lahan bisa sedikit memaafkan, lagipula yang Riff ketahui, apa yang Justin lakukan di pagi itu, perkara kecil. Hanya berusaha menciumnya. Hingga saat ini, Riff masih menyangka penyebab sakitnya ‘gelang karet’ yang mengetatkan anusnya dikarenakan minuman keras yang membuat dia, di pagi yang sama sakit perut. Ia tidak tahu jika Justin menggagahi dia malam harinya. Dan Justin sendiri tidak sadar bahwa Riff tidak mengetahuinya.

Cocok sudah. Baik Justin maupun Riff menyimpulkan dan berbuat dengan pikirannya masing-masing. Ketika Justin bersikap politis, bersamaan dengan itu Riff bisa memaafkan apa yang dilakukan Justin.

BEBERAPA TRUK raksasa, sampai di desa kelahiran Ipin. Peralatan elektronik, tenda-tenda besar, generator dan sound system yang menggetarkan telah dikirimkan menuju lapangan. Ipin melihat lapangan tempatnya dia dulu, dikejar uminya. Sekeliling lapangan itu, kini, telah dibaluti kain putih sebagai dinding pembatas berbentuk spersegi empat. Ipin membayangkan, malam menjelang dini hari ini -- bersama Justin-- ia akan membakar dan membuat blingsatan banyak orang dengan rancak house musicnya.

Tak jauh dari lapangan itu, Yunita berjalan-jalan bersama nyi Ijah. Wanita yang cintanya baru saja berkecambah itu, seperti biasa, berusaha mendekati indung lelaki yang sudah memberikan cinta dia padanya. Ipin tak tahu jika saat itu Yunita tengah melobi uminya. Ia tak tahu jika semenjak keluarnya Yunita dari lingkungan perkerjaan malam, wanita itu perlahan-lahan berubah: ia ingin menjadikan hidupnya bersih dalam pengertian moralitas keagaamaan. Dan Yunita –yang beberapa bulan lalu intensif mengikuti pengajian di bar-bar dan dishoteque ala pengajian Hasan al Banna perlahan-lahan berubah. Yunita ingin menjadikan umi Riff sebagai perantara yang bisa mengeluarkan Riff dari kehidupannya yang ia anggap tidak lazim.

Setelah berpanjang kali lebar, sehingga perbincangan yang dilakukan nyi Ijah dan Yunita menghasilkan kecocokan sebanyak beberapa kubik, maka ibu Ipin pun mengetahui posisi Yunita. Nyi Ijah yang sudah tua dan berpengalaman mengetahui tabiat manusa. Yunita lah yang akan menjadi pembimbing bagi ipin.

“Lelaki memang harus menjadi pemimpin bagi keluarga,” ujar nyi Ijah sembari berjalan bersama Yunita di pinggiran ladang. “Tapi, pemimpin yang sesungguhnya bukan itu. Yang menjadi pemimpin sebuah keluarga muslim adalah al Quran dan rasulnya. Jika, suami mengikuti keduanya, maka taatilah jika tidak maka istri memiliki hak untuk mengarahkan kehidupan keluarganya menuju kebaikan.”

Yunita mengangguk-angguk. Ucapan nyi Ijah nyambung dengan pengalaman pengajiannya selama ini. Yunita, ingin terus menguatkan kesamaan resonansi dia dengan ibu Ipin dengan pembicaraan yang dalam macam membicarakan perimbangan baik buruknya langsung memiliki anak sesaat setelah menikah, tetapi sayang dua ekor ayam yang tengah berkejar-kejaran di ladang dan berkoak-koak, kemudian saling bermesraan dan membentuk undak-undakan di ladang, membuat Yunita mengurungan niat. Yunita malu. Nyi Ijah pun tahu, maka dipungutnyalah tanah sekepalan. Oleh nyi Ijah batu itu ia lemparkan hingga membuat kedua ayam mendadak tunggang langgang.

MALAM HARINYA, banyak mobil yang diparkir di halaman balai desa. Beberapa anak muda desa tampak kegirangan menyaksikan rezeki dadakan. Mereka diberi imbalan untuk menjaga kendaraan-kendaraan mentereng yang darinya keluar wanita-wanita yang halus dan seksi, sementara jika lelaki yang menggandengnya kebetulan kurang baik tampangnya, pemuda-pemuda desa mulai menyumpahinya.

“Alusan mobilna euy,” seloroh seorang pemuda yang jika diartikan: lebih bagus mobilnya (dari pada tampangnya).

“Kalau begitu sih, anu pacaran mah mobilna!” pemuda yang lainnya menimpali.
Mereka tertawa.

Begitulah nasib pemuda-pemuda yang sirik, pikir lelaki yang menggandeng si wanita. Mereka pun berjalan meniti setapak yang mulai lembab oleh kabut. Di depan mereka tampak iring-iringan yang sama. Terlihat betis-betis yang menarik dan jenjang beserta gelang kaki yang berwarna warni, juga celana kuduroi, celana jeans, sepatu pantople yang mengisyaratkan bahwa lelaki-lelaki yang datang ke sana banyak yang baru saja pulang dari kerja.

Dari kejauhan suara dentuman mulai terdengar. Acara belum di mulai tetapi Dj. Justin mulai menghangatkan udara yang dingin saat itu. Suara hangar bingar menggetarkan memanggil-manggil mereka yang tengah meniti jalan setapak untuk segera mendatangi lapangan. Riff termasuk salah seorang yang mendengar panggilan itu. Ia mencium punggung lengan nyi Ijah. Menggunakan alis matanya ia memberi kode pada Yunita, Yunita tertawa. Riff pergi meninggalkan kedua perempuan itu dibelakangnya. Ia memangku senjata beratnya berupa turn table.

Riff masuk ke dalam lapangan melalui back stage, ia diurapi tepuk tangan oleh
ratusan orang. Dan musik pun menghentak. Ratusan orang menggoyang badannya. Lampu berkekuatan ribuan watt dinyala dan matikan, disorot ke angkasa yang hitam. Jemari dan tombol-tombol mulai Riff mainkan, mulutnya mendekati microphone lalu terdengar suara terpatah-patah yang memang tengah menjadi gaya. Suara itu hingga terdengar dari kejauhan. Fak-fak-fak, fak-fak-fak, suara seperti gelas terdengar ting-ting-ting…masuk ketukan drum elektronik trak-tak-tak ting-tak-ting tak lalu suara Riff kembali terdengar, “dance during the night, fak-fak-fak through the night”.
Musik apa itu? Nyi Ijah bertanya-tanya di dalam hatinya. Ia berjalan penasaran. Nyi Ijah ingin mengetahui apa yang dilakukan anaknya selama ini. Musik yang terlalu bising terdengar kembali dari kejauhan. Dentum menggelegar dan hentak yang bersemangat, lalu suara fak-fak-fak kembali terdengar.

“Apa artinya fak-fak-fak…?” tanya nyi Ijah pada Yunita.

Yunita kebingungan untuk menjelaskannya.

Nyi Ijah memandang wajah Yunita. Di bantu cahaya bulan, ia melihat wajah Yunita yang bimbang. Calon menantunya tampak gelisah.

Yunita di desak. “Apa artinya, Nak?”

Yunita yang pada dasarnya memang anak yang lugu itu, akhirnya tak tahan didesak, apalagi jika desakan itu muncul dari calon besannya.

“A-anu, anu,” logat Yunita yang asali dari Lamongan itu keluar. “Fak, fak … artinya…”

“Apa artinya?”

“A-a… yang tadi siang Bu… yang tadi siang,” Yunita mendadak gagap.

“Tadi siang apa?”

“Ayam tadi siang,” Yunita melirik nyi Ijah.

“Yang dilakukan ayam tadi siang? Ipin nyanyi perbuatan ayam tadi siang?!” Nyi Ijah tak habis pikir.

“Iya Bu… memang begitu artinya,” jawab Yunita lemas.

Nyi Ijah memegangi kepalanya. Ia menggelengkan kepala. Nalurinya selaku seorang ibu muncul menguat. Ia megang lengan Yunita. Nyi Ijah tergesa-gesa. Ia mengangkat kain panjangnya, menuju ladang cabai. Nyi Ijah tak sedang memanen, ia tak memilah mana cabai yang merah atau yang hijau.

Dj. Riff yang tengah kerasupan oleh permainannya sendiri tak sadar jika nyi Ijah sudah berada di sampingnya. Nyi Ijah pun mengolesi mulut anaknya yang monyong mengucapkan kata: fak! fak! alias fuck! fuck! Dan Dj. Riff alias Ipin alias si Ujang yang dikatakan mang Darman sudah jadi orang itu pun kelojotan. Dj. Riff lantas berlari tunggang langgang seperti ayam yang nyi Ijah lempari sekepal tanah, tadi siang.

0 komentar:

be responsible with your comment