Kertas Yang Berguna (cup of cafein for monday)

Posted: Minggu, 05 Oktober 2008 by Divan Semesta in
0

Anda salah jika beranggapan bahwa tulisan ini berkenaan dengan maaf-maafan, minal aidinwalfaidzinan. Tidak. Tulisan ini akan saya awali dengan cerita mengenai seorang teman yang pernah mengalami suatu kisah yang menyedihkan dalam liburan panjang yang sudah ia rencanakan jauh-jauh hari (seperti yang kita rasakan pasca lebaran ini). Pasalnya, teman saya merasa terganggu dengan sms yang disampaikan pegawai baru yang ia harap dapat diandalkan. Alih-alih mengandalkan di masa rehat itu, teman saya malah merasa diteror dengan pertanyaan-pertanyaan yang membutuhkan penjelasan panjang yang dia anggap sepele.

Teman saya berusaha menahan emosi! Seandainya ia tidak pernah membaca statement Pramoedya Ananta Toer berkenaan dengan pengembangan statement adil sejak dalam kepala, yang diutarakan seorang tokoh Jean terhadap kebinalan pikiran si tokoh utama tetralogi Bumi Manusia terhadap stigma kebinalan janda, maka teman saya sudah bisa dipastikan marah-marah kepada juniornya dengan ungkapan yang mungkin sering kita dengar, “ah, nggak becus!” atau “usaha sendiri lah!”dengan intonasi yang melawan doktrin anger management sebuah majalah gaya hidup.

Untunglah, semenjak kuliah teman saya itu sudah mendidik dirinya untuk berikap fair. Dalam liburan yang berubah menyebalkan itu ia kembali berlatih berlapang dada, melakukan self correction. Ia menyelam masuk kedalam dirinya sendiri dan ia pun jujur mengatakan:

“ya, gue yang salah juga sih. Kalau tu anak sebelumnya gua buatin job description atau yang lebih detail kaya standar operation kerjaan yang harus dia tangani, mungkin kejadiannya nggak kayak gini.” Dengan penyelamannya itu, liburan yang semula dia pikir sia-sia ternyata ditutup dengan kelapangan dada yang justru dicari oleh banyak pegawai di waktu libur … dan sayangnya ada banyak juga yang tidak menemukan!

Apa yang ia simpulkan merupakan hal yang sederhana yang sudah manusia pikirkan jauh-jauh hari semenjak Hamurabi membuat kodeknya (perundangan) yang terkenal. Pada awal sebelum ia mendapat pencerahan sederhana arahannya itu terlalu global “tolong kerjakan ini dan itu. kalau saya sudah pulang, usahakan selesai ya” dan hal seperti itu tidak spesifik, tidak terarah. Dalam dunia keilmuan arahan semacam itu hanyalah merupakan pengetahuan.

Pengetahuan adalah sesuatu yang general, misalkan ketika melihat awan mendung di udara orang akan mengatakan hujan sebentar lagi datang dan jika ditambah angin kencang maka karuhun Bogor akan menambah-nambahkan “o, hujan, o pangeran Suryakencana akan datang!” Nah, inilah yang dinamakan pengetahuan orang masa lalu mengenai hujan.

Pengetahuan tentu berbeda dengan ilmu. Jika pengetahuan hanya memaparkan hal yang sangat global, maka ilmu masuk kedalam penjelasan yang lebih detail mengenai penyebab mengapa hujan bisa datang, bagaimana pengaruh sinar matahari bagaimana pengumpulan awan dan pertimbangan angin serta lain sebagainya. Pemahaman ini kemudian disistematikakan, distrukturkan, diurut hingga tercipta sebuah rantai penjelasan bagaimana hujan bisa turun, sehingga kini manusia bahkan sudah mampu membuat hujannya sendiri.

Ilmu berbeda dengan pengetahuan. Ilmu yang sistematikanya bisa dipelajari, bisa dirunut dan menjadi hukum yang universal akan menjadikan manusia yang berada di belahan manapun akan mampu mengoperasikan sebuah kegiatan: dengan catatan manusia tersebut harus menjalani struktur atau aturan mainnya.

Cara-cara ‘keilmuan’ dalam dunia bisnis sesungguhnya sama. Sebuah perusahaan kecap ternama tentu membutuhkan pengendalian mutu dan pengendalian mutu tentu memerlukan tahapan-tahapan teknis dan sistematika yang wajib dipatuhi. KFC, produk parfum, penjual martabak Bangka ternama, tentu memiliki job description dan standar operasional yang harus ditaati oleh peracik produknya: dari mana ia memilih terigu, berapa lama memanggang martabak di loyang, hingga bagaimana mengemasnya.

Dan semuanya harus dituliskan dalam secarik kertas sehingga setiap pekerja yang berhalangan hadir akan dengan mudah atau setidaknya tidak begitu bersusah payah hingga harus ‘hara-kiri’ hanya untuk melakukan perkerjaan yang sebelumnya telah dilakukan oleh seniornya.

“Lha, enak si junior dong! Kerja langsung dapet arahan. Nah, gua ngebangun dari awal!” kata seorang senior yang tidak mengerti konteks permasalahannya.
Bukankah jika pegawai baru mengetahui gambaran detail apa yang harus dikerjakannya maka perusahaan akan mendapatkan sisi positif seperti efektifitas waktu. Job description dan SOP (yang tentu harus diterakan dalam secarik kertas) menjadikan perkerjaan kita menjadi mekanis dalam pengertian yang positif: menjadikan orang lain bisa lebih cepat beradaptasi.

Bukankah dengan lebih cepatnya seseorang beradaptasi dengan struktur maka akan lebih cepat pula sesorang melihat celah-celah yang harus diperbaiki dalam sebuah sistem kerja atau malahan membantu seniornya untuk mengembangkan sistem kerja yang sebelumnya dikembangkan founding perusahaan kita? Dan hal itu hanya sedikit dari keuntungan seandainya ‘keilmuan’ itu dijalankan.

Jika hal seperti itu terjadi betapa bergizinya buah regenerasi sebuah perusahaan. Jika hal seperti itu terjadi, apa yang dialami teman saya tidak kita alami atau setidaknya, yah, kita tidak begitu terganggu dengan penjelasan-penjelasan yang seharusnya tidak ditanyakan. “Pak… bagaimana cara menghubungi perizinan spanduk? Tanya seorang pegawai baru divisi advertising?” Apabila kita telah menuliskan apa yang seharusnya junior perbuat tentu saat liburan mendatang, ketika kita tengah bersenda gurau makan sagu bersama kepala suku Asmat, maka kita akan dengan santainya mengatakan: ”Nduk-nduk, coba dilihat halaman 167 mengenai perizinan…!” selesai sudah.

Yah, sepertinya kita harus mulai sedikit-sedikit menyusun apa yang kita kerjakan secara detail (dalam secarik kertas mengenai tugas kita dalam sebuah departemen). Karena siapa tau, kertas-kertas itu berguna di masa-masa liburan mendatang. (6/10/08)

0 komentar:

be responsible with your comment