Secangkir Air Telaga

Posted: Rabu, 08 Oktober 2008 by Divan Semesta in
0

Kemarin saya merasa kehidupan yang saya jalani, sempit. Saat alami kesempitan ini, saya membuka kembali file2 cerita yang saya miliki. saya baca kisah tentang seorang lelaki yang disuruh menabur garam yang ia genggam pada sebuah cawan kaca. Sang guru menyuruhnya untuk minum air garam itu. pleh!” sembur si lelaki, “rasanya asin!” usai mempraktikan apa yang diperintahkan gurunya, si lelaki jalan bersama-sama sang guru menemui sebuah telaga. Sesampainya di sana, si guru mengambil segenggam garam lalu menburkannya di tepian telaga. Muridnya kemudian mengambil secangkir air telaga. “Bagaimana rasanya?”

Rasanya tawar. sang murid kebingungan, sebab orang sehat manapun pasti mengetahui jawabanya, namun di balik praktik itu ternyata ada sesuatu yang subtil. Sang guru menjelaskan.

Muridku, kesulitan adalah garam kehidupan. Jika kau menemukan kesulitan maka jangan jadikan hatimu seperti cawan. Jadikanlah hatimu seperti telaga. Menjadi dalam, menjadi luas hingga kesulitan (garam) yang kau temukan dan kau minum akan terasa tawar. Ayo luaskanlah hatimu jika bertemu kesulitan!”

Setelah membaca tulisan itu, hati saya masih terasa sempit. ada apa? Mungkin karena saya tengah membutuhka bukan sekedar tulisan tapi pengalaman. Apa yang harus saya gali?

Tak sadar saya mengetuketuk batu pada rel kereta. Di rel nomor tujuh kereta ekonomi datang. Saya tidak lagi berpikir apa-apa. yang saya tahu saat itu, saya harus bisa duduk. Lokomotif kereta lewati saya, untuk kemudian gerbongnya. Sebelum kereta berhenti benar, saya meloncat, mengambil pegangan terdekat, lalu menelusup masuk ke dalam gerbong sementara orang lain masih menunggu kereta berhenti. Dengan mudah saya mendapat bangku untuk saya duduki. (jangan dicontoh)

Saat itu lah saya merasa bahagia. Saya senang dengan apa yang saya dapatkan: tempat duduk. Saya merasa keluar sebagai pemenang. Dan saya terkejut, karena sebenarnya setiap hari saya merasa bahagia. Hanya saja saya lupa. Saya alpa terhadap hal-hal yang remeh, yang particular atau atomic.

Setiap hari seharusnya saya bahagia, memenangkan seleksi duduk diatas gerbong dengan dimulai dari mendengarkan pengumiuman kereta akan berlabuh di rel nomor berapa sementara, calon penumpang lainnya gagal seleksi, terlambat menuju jajaran paling depan rel kereta.

Ini artinya mereka mendapat peluang tidak duduk lebih banyak ketimbang saya. dan saya telah memenangkan seleksi itu, dan menambah kemenangan itu dengan lebih dulu bersiaga, beriisiatif karena ilmu peringan tubuh yang saya pelajari dari climbing wall.

Setiap hari sebenarnya saya bahagia. Tapi saya lupa. Dan saya hampir saja melupakan kebahagiaan menang seleksi itu. ketika di stasiun citayam seorang nenek bongkok masuk ke gerbong. Sial, tempat yang sudah susah saya dapatkan harus saya berikan untuk nenek bongkok. Sial. saya tak punya pilihan. Sedikit kesal dengan diri saya sendiri. tapi itu hanya sementara. Sifat manusiawi, hewani yang membuat saya berpikir seculas itu tetapi ketika saya berdiri ada sesuatu beban yang hilang. Dalam sekejap saya pun merasa bahagia kembali, karena saya telah menangkan pertarungan yang ada di dalam diri saya sendiri.

(mengenang Depok)

0 komentar:

be responsible with your comment