Nyawa Rasul

Posted: Kamis, 09 Oktober 2008 by Divan Semesta in
0

Nyawa Rasul, seorang anak hasil perjuangan berdarah-darah wanita yang saya kagumi. 19jam menahan bukaan, dia hanya mengerang ucapkan lafadz Allah sementara wanita yang ada di sampingnya keluarkan teriakan makian pada suaminya. Saya bersyukur memilih dan dikarunia dia. Bersyukur, karena dalam proses persalinan itu, dia paham entah berapa juta konteiner hadiah pahala menunggunya. Dia paham, bahwa melahirkan adalah prosesi jihad. Prosesi sakral yang hanya bisa ditandingi kaum lelaki saat angkat senjata pergi berperang.

Nyawa Rasul. Penamaan untuknya, tidak berlari di jalan tol. Penamaan itu bukan tanpa hambatan. “Terlalu berat,” ujar teman saya. Memang, nama itu terasa berat. Dalam pandangan kami, berat bukan dalam artian jika nama itu terus dilekatan (pada anak kami) maka si anak akan sering sakit-sakitan, atau jika dibiarkan bandelnya si anak akan di luar kebiasaan.

Faktanya, anak perempuan kami tidak sakit-sakitan. Sakitnya bisa kami hitung dengan jari. Kalau bandel, memang: Nyawa ngeleyed, sedikit tengil. Tapi kami melumrahkannya. Kata kakek-neneknya, “Nyawa mirip kami sewaktu kecil.” Jadi, kami boleh berkilah, “bandel itu karena gen.” Jadi, kami tidak memerlukan beras merah dan putih untuk men-tip-ex namanya. Biarlah apa adanya.

Nyawa Rasul. Masa depan untuknya. Saya berusaha benar jalani kaidah sebab akibat, mendukung tujuan yang ada di balik namanya. Istri pun demikian. Pilihannya berhenti mengajar di SMA favorit di Malang untuk mengurus Nyawa disayangkan banyak pihak, namun dia tak menyesal: istri saya tidak ingin lewatkan masa yang dikatakan psikolog sebagai golden age: masa di mana pikiran si anak berubah menjadi spon yang menyerap aneka macam peristiwa yang ada diluar dirinya. Istri saya tidak ingin peristiwa itu lolos tanpa sensornya. Ia tak ingin ada ucapan, tekanan yang tak wajar yang akan pengaruhi psikologi dan kesehatan pikiran Nyawa di masa depan.

Dukungan saya demi mencapai tujuan di balik nama Nyawa, sederhana. Saya tidak ingin berkerja di wilayah hitam, atau wilayah abu-abu yang dalam hukum agama dinamakan wilayah subhat. Saya ingin pastikan tubuh Nyawa benar-benar berasal dari zat pilihan yang dihasilkan dari kerja yang halal. Saya ingin pastikan bahwa apapun jenis pekerjaan halal yang dilakukan, haruslah menjadikan keluarga sebagai porosnya. Saya tidak mau bekerja hingga hilangkan kesempatan dampingi perkembangan anak saya. Betapa sedihnya, jika saya mendapatkan uang, tetapi uang itu tidak bisa saya gunakan membeli kehangatan yang hilang.

Saya mencintai benar keluarga saya. Saya mencintai Nyawa. Saya ingin dia mampu berbagi emosi dengan saya, mampu hadirkan ayahnya sebagai sosok pengayom di masa kecil dan menjadi sahabat di masa dewasanya.

Saya berusaha mendukung pembentukan nama yang berat itu untuknya. Naluri saya sebagai (so called) penulis melahirkan novel, essai, dan berbagai tulisan yang sengaja saya tujukan untuk bekal di kehidupan kedua kelak maka sejak memiliki Nyawa, tulisan-tulisan itu tidak saja saya harapkan sebagai harta yang akan membuat bangga di hadapan Allah sebagai sarana menyebarkan Kalam-Nya. Kini, di setiap kata dan frase yang saya pilih, di setiap judul yang terlukis, ada harapan agar kelak Nyawa membacanya sebagai batu-batu pondasi kepribadiannya. Saya menulis banyak hal untuknya sebagai bekal hadapi masa depan yang sepertinya menjadi medan kurusetra antara kejahatan dan kebaikan.

Saya tuangkan tulisan demi tulisan untuk-nya agar dia bisa menyaring kejahatan, agar ia bisa merubuhkannya atau kalau bisa merubahnya menjadi kebaikan. Agar Nyawa membawa banyak membantu proses penghisaban yang akan dilakukan Allah terhadap bapaknya di Yaumil Hisab.

Jika suatu hari saya di panggil untuk menemui-Nya di ladang jihad yang pernah dilalui istri saya di ranjang persalinan, saya harap kristalisasi namanya sudah terwujud. Tulisan-tulisan yang saya peruntukkan untuknya, buku bacaan yang saya koleksi untuk dibaca olehnya, kerja serius saya lakukan untuk menjamin kebersihan tubuhnya, --dan tentu saja bimbingan yang dilakukan bunda Nyawa-- akan jadikan dia sebagai sosok wanita yang tubuh badan dan fikirannya mampu memangku, menjiwai, meneladani, dan me-nyawa-i spirit mulia rasul-rasul sepanjang peradaban manusia. Itulah doa yang kami kristalkan di dalam namanya.

Nyawa Rasul? Tidak perlu nasi merah dan putih bukan?

0 komentar:

be responsible with your comment