Thanks Hatur Nuhun Bro

Posted: Selasa, 15 April 2008 by Divan Semesta in Label:
1

Kini Gusta plontos, tapi bukan itu yang menarik darinya. Setiap saya bertemu dengan dia, ada semacam ikatan batin yang terjadi di antara kami. Di bawah pohon flamboyan, di samping gazebo yang atapnya berwarna hijau, kami sering membagi kedermawanan perihal cinta, perihal hubungan kemanusiaan, perihal penafisiran pemikiran Islam, eksistensialis ataupun liberalisme. Setiap kami bertemu ada saja objek pemikiran yang bisa kami komentari, ada hal yang bisa kami pelajari secara serius namun tidak kehilangan sentuhan-sentuhan humor yang dapat membuat tertawa hingga amandel kami kelihatan.

Baru-baru ini, Gusta bertemu dengan seorang wanita cantik, berkerudung biru langit. Wanita kelahiran 1983 itu membuatnya takjub, karena di usia yang sedemikian muda, ia sudah mengekplorasi pemikiran Mula Shadra, Abdul Karim Shorous, dan Muthhari yang lumayan rumit dicerna lambung pemikiran Gusta. Ia bertanya:

“Kamu syiah!?”

Dan wanita itu menjawab, tanpa kehilangan ekspresi keramah-tamahannya

“Sebenarnya, saya paling malas untuk menjawab pertanyaan semacam itu. Tapi bukan berarti saya tak akan menjawabnya. Entah, saya ini syiah atau bukan karena kalaupun saya mengaku syiah, toh syiah saya hanya syiah-syiah-an. Saya tidak tahu, sebenarnya saya tidak begitu memperdulikan apakah saya syiah atau sunni. Karena bagi saya, mempermasalahkan kedua hal tersebut sama seperti mempermasalahkan NU atau Muhammadiyah”.

Ia sendiri menyadari bahwa pertanyaan tersebut bukan dalam rangka menyudutkan orang-orang yang mempercayai imamah, sebab ia telah mengambil kesimpulan bahwa syiah dan sunni sebenarnya sama saja. Keinginan bertanya kepada wanita itu, sebenarnya merupakan bentuk kekaguman dia terhadap orang-orang syiah yang rata-rata memiliki kefasihan menggunakan logika dalam berargumentasi.

Sebenarnya, Gusta tak mau mengganggu wanita itu dengan pertanyaan-pertanyaan yang mendorong wanita itu untuk menggolongkan dirinya. Tetapi ia ingin memuaskan penasarannya. Seandainya wanita itu mengatakan ya, saya yakin Gusta pun akan mengatakan bahwa dia pun pengagum Syiah-nya Muthahari atau Imam Khomeini.

“Setuju nikah mut’ah?”. Lanjutnya.

“Kok nanya seperti itu?”. setelah berfikir sekian detik wanita itu melanjutkan “Ya setuju, memang ada apa dengan nikah mut’ah?”

Yang menjadi menarik di sini, ketika Gusta mengatakan bahwa nikah mut’ah ditentang oleh Muthahari. Mendengar hal tersebut, wanita itu menguraikan senyum penentangan terhadap pendapat Gusta

“Ada di buku Muthahari yang mana memangnya?”

Tentunya Gusta gelagapan., sebab ia mendengar hal itu dari salah seorang temannya yang sama –sama gila dengan dirinya. Ia hanya menerangkan kalau pendapatnya itu dinukil dari sebuah buku berwarna merah dan di depannya ada gambar kepala Muthahari.

“Oh buku Fikih wanita yang baru diterbitkan Lentera itu?”. Ia terkikih

“Kalau gak salah iya”.

“Ah masa sih, saya juga udah baca. Coba deh dicek kembali benar tidaknya Muthahari menentang nikah mut’ah. Menurut saya sih tidak, Muthahari menjelaskan secara detail kebolehan nikah mut’ah”.

Tentunya Abdi tidak bisa melawan kekuatan senyuman yang menaklukan itu, Ia hanya mengatakan nanti saya cek lagi.

Beberapa hari kemudian dia menunjuk muka saya. Dia mengatakan pada saya “sialan!” sambil mengatakan bahwa apa yang saya utarakan tentang nikah mut’ah yang ditentang muthahari adalah salah. Saya pun tak mau berargumentasi lebih lanjut sebab saya pun telah mengecek buku fikih untuk wanita berwarna merah itu. Dan saya menemukan Muthahari mendukung nikah mut’ah. Ini berarti bertentangan dengan pendapat saya yang diutarakan ke Gusta.

Mengapa Gusta bisa sedemikian percaya pada saya, padahal saya melihat dia sebagai orang yang memiliki kemampuan untuk menyortir atau mengendapkan dahulu informasi yang sampai di hadapannya?! Saya berusaha berspekulasi, bahwa ketika melakukan diskusi mengenai nikah mut’ah, saya sedemikian arogannya kutip sana-kutip sini buku yang belum pernah dibaca Gusta. Awalnya diskusi itu hanya dari selentingan Gusta

“Van, saya setuju nikah mutah”

Saya yang memiliki perbedaan pemikiran dalam hal ini, tentu tidak bisa sembarangan memvonisnya. Saya harus mengetahui penyebab mengapa Gusta mengatakan demikian. Siapa tau pendapatnya didukung dasar pembuktian dan logika yang jelas. “O gitu?!. Memang landasan pemikirannya seperti apa?”

“Ada hal yang harus kita sepakati dahulu bahwa manusia secara fitrah memiliki naluri seksual”

“Pasti!”

“Nikah mut’ah itu disandarkan pada filosofi seperti itu. Saat ini, ketika zaman disarati oleh hiruk-pikuk perabotan wanita yang teramat menggiurkan, tentu akan memudahkan terjadi perzinahan yang tentunya amat tidak disukai oleh Islam. Oleh karenanya, untuk menjaga hal yang demikian, nikah mut’ah diperbolehkan bagi lelaki yang memiliki rumah di Jakarta tetapi ia ditugaskan di Irian Jaya yang tentunya jauh dari istrinya. Atau bagi lelaki asal Bandung yang sedang melakukan studi kedokteran di Unibraw, karena kita mengetahui betapa beratnya menahan naluri seksual.

“Maksudnya?”

“Nikah mut’ah adalah solusi”

“Ya, solusi jika memang disandarkan pada dasar pemikiran yang diterima kuat dalam Islam seperti yang diterangkan dalam Quran atau hadist Rasulullah dan ijma’ shahabat”

“Lha, bukannya yang tadi juga kuat?”

“Kuat gitu?! Baik, kalau begitu saya uji sampai di mana kekuatan logikanya. Kita menyepakati bahwa manusia memiliki naluri seksual atau naluri untuk menyalurkan keturunan. Dan kita pun memahami bahwa manusia tidak mungkin mati jika tidak memenuhi naluri seksualnya, manusia hanya akan mengalami kegelisahan, tidak mengalami kematian seperti dalam kasus pemenuhan kebutuhan jasmani seperti; makan, minum, kentut, ekskresi, menghisap oksigen dan lain sebagainya. Manusia bisa meredam naluri seksnya yang sudah sampe keubun ubun –sebelum memiliki pasangan hidup yang sah-- dengan mengalihkannya pada menundukkan kepala jika memandang wanita yang mampu membangkitkan syahwatnya, atau berpuasa, bahkan melakukan olahraga dan berkecimpung dalam dunia pemikiran yang mengasyikan”.

“Jadi?”

“Logika kamu yang di awal dikalahkan oleh logika saya. Nikah mut’ah tidak bisa dibenarkan hanya karena kamu memiliki dasar filosofi naluri seksual seperti itu. Saya memiliki dasar filosofi yang kuat dan menyeluruh jika dibandingkan dengan dasar filosofi yang kamu miliki”.

“Sombong sekali”

“Iya dong! Daripada minder he…he…he!. Benarkan manusia tidak akan mati seandainya dia tidak melakukan hubungan seksual?. Makanya teorinya cukup simple, manusia tidak akan mati jika tidak berpacaran, dan tidak akan mati jika tidak nikah mut’ah”

“Ya benar sih, tapi kan Rasulullah pernah memperbolehkan nikah mut’ah?”

“’Pernah’ kan bukan berarti tidak pernah dihapuskan?! Bukankah turunnya perintah untuk tidak menenggak minuman keras, muncul setelah turun perintah yang lembut berkenaan dengan minuman keras?! Bukankah turunnya diperbolehkan ziarah kubur setelah Rasulullah menghapus ketentuan bahwa ziarah kubur diharamkan?. Begitu halnya dengan nikah mut’ah.

Semula Rasulullah mengizinkan di zaman perang, tetapi setelah itu Rasulullah menghapuskannya. Dan hukum yang berlaku bagi kita adalah hukum terakhir yang diungkapkan oleh Rasulullah”. Akhir pembahasan itu, saya selesaikan dengan pasti. Saya katakan bahwa Muthahari, yang merupakan tokoh syiah paling kami kagumi, menolak nikah mut’ah. Otoritas mengutip kata Muthahari ternyata menjadi simpul mati bagi Gusta untuk tidak melanjutkan diskusi dengan saya mengenai mut’ah.

Gusta pun mendapat pelajaran berharga bahwa ia tidak boleh begitu saja menelan informasi yang datang, bahkan informasi yang berasal dari kawan terdekatnya sekalipun. Ia alpa menyadari bahwa saya manusia juga. Dan saya-pun tergelitik, betapa saya lupa untuk melakukan koreksi terhadap apa yang pernah saya utarakan ke Gusta mengenai pendapat Muthahari. Saya mendapat pelajaran bahwa saya harus baik-baik mengunyah-ngunyah hal yang akan saya sampaikan karena saya selalu mendengung-dengungkan jika yang kita sampaikan adalah distorsi maka yang terjadi adalah proses doktrinasi.

Gusta ini memang tipe orang yang berusaha melakukan pembelajaran dari setiap situasi yang ia hadapi. Beberapa hari ke depan ia mengatakan pada saya bahwa dia menemukan satu hikmah besar yang teramat disyukurinya. Awalannya ia mengungkapkan konsep: ada pembelajaran yang tidak membutuhkan biaya besar untuk mendapatkannya. Salah satunya adalah prosesi diskusi yang acapkali Gusta lakukan dengan orang dari berbagai latar belakang pemikiran. Dan ada pembelajaran yang baru ia pahami setelah membayarnya dengan harga yang mahal. Salah satu pembelajaran yang mesti dibayarnya dengan mahal adalah saat ayahnya meninggal dunia. Ia maerasa telah mengabaikan ayahnya, tidak memberikan perhatian yang intensif untuk menjalin hubungan yang intim dengannya. Barulah setelah ayahnya meninggal dunia ia merasa kehilangan figure ayah yang begitu bermakna. Sesosok lelaki besar yang telah memberikan daya upayanya, membanting tulang mencari uang untuk mengalirkan rizki Allah melalui tangannya, untuk Gusta. Ia merasa kehilangan, dan ia tidak ingin membayar pelajaran yang mahal itu untuk kedua kalinya. Gusta ingin mencurahkan kasih sayang penuh untuk orangtua satu-satunya yang kini tersisa : ibunda tercintanya.

Saya sangat mengagumi sosok diri Gusta. Bagi saya, dia adalah sumur pengetahuan yang belum bisa dikatakan kehabisan ketika saya mendulang air pengetahuannya. Darinya saya melakukan simbiosis mutualisme bahkan dalam hal-hal bertentangan sekalipun. Gusta selalu memberikan saya pembelajaran, kesegaran ketika menemui sosoknya yang ceria. Bahkan, dengan menulis perihal tentang dirinya saya mendapatkan satu pembelajaran baru. Bahwa, seandainya saya terus menerus menggunakan diri saya dalam banyak dialog dalam essay yang seolah-olah memperlihatkan kepiawan saya dalam bermain sirkus argumentasi dan beratraksi logika. Maka, hal itu tidak baik karena akan mencemari jiwa saya dengan polusi riya. Thanks Bro!

1 komentar:

  1. surajay says:

    i like it
    ampe speechless!

be responsible with your comment