Tahi dan Perubahan Sosial

Posted: Selasa, 15 April 2008 by Divan Semesta in Label:
0

GENJER. Bukan macam mitos nyanyian Gerwani, yang pernah diekspose media massa. Hanya dedaunan hijau yang sering dijadikan pelengkap pecel di daerah Serang Banten. Sekedar daun kenyal-kenyal kangkung yang oleh orang-orang Bule disebut java salad. Melirik ke folder pikiran ketika seorang teman di masa lalu mengajak main tebak-tebakan.

“Siapa yang kembali?,” senyumnya.

“Nyerah!,” tembak saya malas.

“Lalu siapa yang kembali?” saya menodongnya.

“Genjer,!” balas teman yang sedikit sinting.

Ya!, genjer kembali mengingatkan, saat saya berjalan di pelipir selokan dekat rumah singgah.
Itu, itu, itu genjer yang tersemat ditahi. Sayuran lusuh yang masih menampakkan wujud aslinya meski sudah melewati pankreas dan digodok oleh gerakan peristaltik. Siapa yang makan genjer? Pikirku. Lebih lanjut lagi, siapa yang memakan genjer hijau dan me-mix and match-kannya dengan kuning tahi serta setetes darah merah orang sembelit?. Perpaduan warna traffic light yang ditahun 2004 berniat adu fisik --memperebutkan kursi-- kenapa bisa bersatu?. Ah maaf meneer dan noni!. Saya tidak bermaksud membicarakan pemilu sebab untuk apa?, karena selaku individu saya berniat untuk golput! (tujuan saya golput tidak sama dengan tujuannya Arief Budiman). Ah sudah, lupakan!. Saya akan setir kembali busana pemikiran ini menuju topik awal mengenai genjer dan tahi.

Tahi-tahi bergenjer mengapung-apung bersama renik dan tutut sawah. Bongkahan-bongkahannya dapat dihitung dengan jari tapi bercak-bercaknya entahlah. Mungkin ratusan?. “Disguisting!”. “Geuleuh!”. “Geblegh”!. “Jorok!,”. Mengapa sedemikian banyak tahi yang hilir mudik?. Rumah siapa yang gak pake septictank?. Bayangkan bagaimana kalau hujan?. Saya yang wudlu lima kali sehari pasti tak akan lagi merasa suci seandainya air selokan itu meluber. Sedikit saja tumit terkena genangan airnya, saya harus mensucikan diri dengan tanah dan mandi besar --seperti waktu ke Bali, tangan saya dijilati babi--.

Esok hari. Saya memang biasa melewati jalan yang disamping kirinya ada selokan. Selajur jalan tembus itu mengarahkan saya menuju warnet yang salah seorang penjaganya tomboy manis bernama Leoni. Dan “masya Allah!,” saya berteriak histeris ketika menapaki jalan yang terbuat dari tembok itu.

“Siapa?, si Leoni?” penasaran-mu keluar.

“Bukan!,” saya menyanggah, “yang masya Allah itu…, lihat!, dihadapan saya seorang wanita menjumputkan tangan ala balerina sembari melemparkan kantung plastik ke dalam selokan. Gila!. Bandung lagi musim hujan. Kalau hujan datang mampuslah, semua kebanjiran tahi!.
Prediksi berjalan. Mendung bertahan dari pagi hingga sore hari. Dan ketika jam di layar flat computer menunjuk pukul 16.32, terdengar bunyi ces…ces…ces jelegur!, byur. Hujan yang dikerabati petir datang tiba-tiba. Saya yang masih di warnet si Leoni terpaksa membatalkan kepulangan. Waktu jalan cepat. Tiga puluh menit sudah, hujan yang byur berubah menjadi ces…ces. Time to go now. Disconnect internet. Ambil uang 7000 dari dompet dan berjalan.
Seratus langkah dari warnet mulut saya monyong. “O ow!”. Ingin muntah rasanya. Dikepala saya berputar-putar genjer, pemilu, tahi dan wanita yang melemparkan kantung plastik ke selokan. Air selokan meluber dan tahi-tahi berceceran di jalan. Saya mengkeriutkan dahi sembari mengumpat dalam hati “Bego apa tolol wanita itu?,” sarkasme saya keluar.
Setiap tahun, di bulan yang ujungnya “ber” selokan pasti banjir. Dan wanita itu tak mungkin tak mengetahui bahwa penyebab luap air yang sehari-hari diendapi tai, dikarenakan sampah yang sering dilontarkannya ke dalam selokan. Saya kecewa dengan kebodohan itu.
Apa yang ada dalam pikiran pembaca ketika saya berpikir tentang kebodohan?.

“Ah paling kamu nyalahin sistem pendidikan dan pemerintahan Negara ini!,” jawab kamu yang memakai topi pet.

Atau “Paling kamu naksir sama si Leoni yang suka novel wanita di titik nol itu kan?,” selidik kamu yang menggaruk ketiak.

“Eem, atau!, kamu lagi mikirin bagaimana caranya, tahi manusia dijadikan pupuk urea?,” sangka kamu selaku mahasiswa pertanian.

“Salah!. Tarik kembali prasangka kalian. Meski banyak benarnya apa yang kalian pikirkan –kecuali si Leoni--. Tapi bukan itu intinya”

Ketika endapan tahi meluber ke jalan, terbersit kembali --dalam pikiran-- sebuah pernyataan teman yang jenggotnya selebat jenggot Saddam Husain saat ditangkap American Army
“Bagaimana mau merancang revolusi kalau lingkungan sekitar masih jorok minta ampun,” serunya.

Ada pula anak kedokteran yang bilang “Jangan bicara tentang perubahan sosial kalau kamu masih buang sampah di jalan. Kerjain yang kecil-kecil dulu deh” ketiknya sewaktu chatting.

Benar!, adalah fakta bahwa –banyak-- orang yang bilang revolusi dan reformasi kelakuannya jorok abis. Kalau mau jujur, --bukan di kalangan aktivis sosialis dan demokrasi saja yang kayak gitu-- di kalangan aktivis Islam ada juga yang begitu. Betul! dan tak bisa dihitung dengan jari –harus pake kalkulator— orang yang bicara tentang perubahan sosial ternyata buang sampah tidak pada tempatnya.

Saya yang pro internasionalisme Islam dan ikut demo di Jakarta, pernah menyaksikan beberapa teman yang pake slayer laailahailallah berteriak “Khilafah,”, dan “Destroy Kapitalisme” sambil buang botol aqua di pinggir jalan. Sahabat-sahabat saya itu menjentikkan puntung rokok ke taman serta menendang bungkus makanan kecil ke dalam selokan. Dan saya katakan --supaya teman yang berjanggut dan ananda mahasiswi kedokteran itu tidak menganggap saya menyepelekan kebersihan—“Hei, sang aktivis kalian mikir pake polo ya? Huh, buang sampah sembarangan! mikir yang panjang dong!”

Boleh sombong! Semasa SMA saya ikut pecinta alam dan selalu membuang sampah pada tempatnya. Sampai saat ini saya senantiasa memarahi teman-teman yang buang puntung rokok dari dalam mobil pribadi ke jalan, bahkan ketika membaca buku Samson Delilah dan Ideologi Hijau, saya lantas memulai untuk tidak menggunakan plastik dan stereofoam yang susah dicerna bumi. Saya sangat mencintai lingkungan. Tapi!, inti masalahnya tidak terletak disana –inti masalahnya yakni-- saya takut, kalau meneer dan noni terkena wabah culdessac intellectual yang menular seperti epidemik cikumunyang yang menggegerkan itu. Meneer dan Noni harus tahu bahwa antara perubahan sosial (revolusi atau reformasi) tidak terkait dengan buang-membuang sampah tok seperti --yang dikatakan teman saya, “kerjain yang kecil-kecil dulu” .
Lakukan dari yang kecil-kecil?. Akur!, tapi melakukan hal kecil yang nyambung kan?. Kalau hal-hal kecil seperti buang sampah tok, terlebih berbicara tentang haid dan nifas, tentang cara mencukur kumis, menyabuni kaki yang bau apek, hingga membereskan sendal di masjid!, ya… nggak nyambung dengan perubahan sosial atuh! Dan kapan perubahan sosialnya mau terjadi? Hal-hal kecil yang nyambung dengan perubahan sosial adalah membicarakan faktor-faktor apa yang menyebabkan orang sampai berani buang sampah. Apakah karena mahalnya biaya pendidikan hingga orang jadi bodoh amat?; apakah karena buruknya strategi pembuatan saluran air atau karena penegakan hukum yang lemah?. Hal-hal yang memiliki korelasi dengan perubahan sosial lainnya adalah bagaimana caranya mendandani komunikasi politik --yang dimiliki-- supaya akal dan perasaan masyarakat menerima Islam is the only solution!. Hal-hal kecil lainnya ketika ingin melakukan perubahan sosial ialah, aktif melakukan diskusi dua arah agar pemikiran masyarakat berubah; memberikan pendidikan politik-ekonomi Islam agar teman, ibu, bapa, pembantu dan pak lurah tahu, bahwa kebijakan pemerintah tentang peminjaman hutang dari CGI dan privatisasi --merupakan usaha pemerintah untuk lari dari tanggung jawab terhadap rakyatnya—adalah salah!; juga bagaimana membeberkan fakta bahwa pemerintah membiarkan koruptor dipenjara beberapa bulan sementara orang yang mencuri beras --untuk makan-- dipukuli dan dibakar beramai-ramai. Yang terakhir ! jangan lupa memberikan motivasi “Ayo bergerak saat ini juga untuk perubahan!,” sembari mengutip perkataan Emiliano Zapata :

“Lebih baik mati dengan berpijak pada kakimu sendiri
daripada hidup dengan bertumpu pada lututmu!”

Kalau meneer dan noni masih tetap memegang cara yang tidak nyambung dengan perubahan sosial maka ada baiknya saya beritahu bahwa orang-orang yang merancang Revolusi Bolsyevijk itu, celana dan bajunya kumel bin dekil; mereka bebas berhubungan seks; dan tukang mabok; tapi merekalah yang meruntuhkan kekuasaan Tsar Rusia pada tahun 1917. Lha kok bisa ya?

0 komentar:

be responsible with your comment