Tamasya Fikiran

Posted: Kamis, 17 April 2008 by Divan Semesta in Label:
1

Setiap jalan pasti ada konsekuensinya. Saat lingkungan keluarga berusaha untuk membentuk diri, bahwa kita harus kuliah dan mengambil ranah eksakta, kemudian setelah lulus, harus menjadi pegawai negeri --seperti halnya orang tua --perasaan terrpasung itu akan ada, karena kita melakukan hal-hal yang bukan menjadi pilihan kita. Mengerjakan hal-hal yang tidak bersumber dari hati nurani kita.

Kita akan terbentur pada dua pilihan. Mengikuti arahan orang tua (dan membahagiakan mereka) atau kita memilih jalan lainnya, merintis kemerdekaan diri, menjadi seorang budayawan, wartawan, arkeolog, ulama, pemikir bebas dan lain sebagainya sebagai profesi. Jika kita melakukannya, maka konsekuensi terberat yang harus dijalani --seandainya orang tua tidak mengerti--, adalah: --kita-- akan dikucilkan dan disebut sebagai anak durhaka.

Setiap jalan selalu memunculkan konsekuensi. Mungkin adalah konsekuensi juga, saat Siti Djenar mengajarkan konsep kemanunggalan Tuhan dengan manusia; bersatunya seorang hamba dengan tuhannya atau yang dikenal dengan sebutan manunggaling kawula Gusti.

Konsep seperti yang diutarakan Siti Djenar, memiliki dua macam pemaknaan. Yang satu mengajarkan makna, bahwa manusia dapat bersatu dengan Tuhannya, sehingga tidak bisa dipisahkan lagi, mana Tuhan dan mana manusia. Sedangkan, satunya lagi, bermakna perlambang, bahwa ketika seorang hamba telah mendekatkan diri dengan Tuhannya, maka seakan-akan di dalam dirinya terdapat cahaya Tuhan. Seakan-akan dirinya telah bersatu dengan Tuhannya, tetapi tidak dalam kenyataan dan hakikatnya.

Kita mengetahui bahwa konsekuensi yang dihadapi oleh Siti Djenar adalah hukuman yang mendekatkan dirinya dengan kematian. Dan eksekusi yang ditimpakan pada Siti Djenar, bisa jadi –kalaulah bukan konsekuensi, penyimpangan ajaran yang dia sebarkan—maka konsekuensi yang menimpanya, merupakan konsekuensi penggunaan bahasa, saat dia berusaha menggunakan bahasa sastra dalam menyampaikan pendalaman spiritualnya.

Seringkali kita tidak menyadari bahwa bahasa, ternyata demikian dahsyatnya mempengaruhi manusia. Kesalahan pemaknaan terhadap bahasa dapat memunculkan sikap1) berupa riot di tengah lingkungan atau –sebaliknya--, menimbulkan apresiasi mengenai keindahan pemilihan kata dalam budaya manusia yakni berbahasa.

Bahasa o bahasa, kita terjebak untuk berbahasa. 
Kita dijeruji oleh kata. 
Sampai satu saat, mungkin di antara kita pernah ada yang tersenyum pada pohon pisang 
kemudian tertawa sambil bergumam “Hei pohon pisang, untuk apa manusia berbahasa?.”

Saya pernah mengalami hal yang serupa (meski tidak sedemikian gilanya mengajak pisang untuk mendiskusikan bahasa manusia). Waktu itu, saya benar-benar kebingungan untuk memecahkan pertanyaan itu, hingga akhirnya setelah mengalami proses (perenungan dan pembacaan), saya menemukan jawaban “SAYA BERBAHASA, KARENA SAYA MANUSIA.” Karena saya memiliki keterbatasan untuk menyampaikan isi hati maka saya selaku bagian dari spesies manusia terpaksa menggunakan bahasa. Tidak bisa tidak, meski bahasa memiliki multi makna terutama bahasa sastra2), meski bahasa memiliki kelemahan pemaknaannya, maka saya harus tetap memilihnya.

Penggunaan bahasa sastra yang kata saya bilang terutama itu, tentu berbeda dengan penggunaan bahasa Ilmiah. Bahasa sastra adalah bahasa yang memiliki celah multi penafsiran yang besar. Sebagai contoh, ketika saya mengatakan bahwa saya mencintai Bramantoni sepenuh jiwa saya, maka kemungkinan besar saya akan dianggap homoseks sebab fisik saya yang kewanita-wanitaan, menunjang orang menginterpretasikannya demikian. Tetapi, tak melihatkah orang pada kemungkinan lain, bahwa perkataan cinta itu adalah puncak pembahasaan bahwa saya sangat menyayangi dia. Menyayangi dalam artian kesiapan untuk berbagi dan menerima keberadaan diri setelah bertukar fikiran, bukannya adu “pedang” ... you fool!.

Memahami dan mempelajari bahasa sastra akan sangat berguna bagi pecepatan kedewasan emosional. Pemahaman terhadap bahasa sastra dalam menelaah ucapan seseorang, akan membuat diri kita tidak terjebak pada pandangan searah yang akan mengakibatkan kita memvonis orang tanpa mengetahui inti dari pemaknaannya. Memahami bahasa sastra akan membuat diri kita, sedikit bijak, agar kita mau melihat sebuah perkataan dari berbagai macam sisi sehingga tidak menimbulkan tindakan memalukan yang tidak pada tempatnya.

Tindakan memalukan tidak pada tempatnya itu seperti apa?

Di Jatinangor.
Beberapa tahun lalu, saya menaiki bis kampus berwarna kuning. Waktu itu, saya menaiki tangga bis dan melihat di arah kiri, ada tulisan “Islam extreem atau es krim?” Saya yang saat itu sedang menggelegak keinginan untuk mengkaji nilai-nilai keagamaan, mendadak murka!. Adrenalin saya naik!

Apa maksud orang yang menempelkan tulisan itu? Berani-beraninya melecehkan Islam dan menganggap Islam sebagai es krim. Maka saya pun mengambil bolpoint dari dalam tas, kemudian menorehkan tantangan di atas pamflet itu. Saya menuliskan: anda jangan mempermainkan Islam, jika anda melakukan hal seperti ini lagi, maka saya akan menjadi orang terdepan yang berhadapan dengan anda. Kemudian di bawah pamflet itu saya tambahkan nama, beserta jurusan sewaktu saya kuliah di sastra, berikut nomor kosan untuk dihubungi.

Sampai selesai kuliah, tidak ada satu orangpun yang menghubungi. Beberapa tahun semenjak kejadian itu, saya mulai memahami bahwa waktu itu, saya menggunakan kacamata kuda dalam memandang sebuah teks bahasa, dan mungkin orang yang menempelkan pamflet itu, menganggap orang yang menimpah pamfletnya dengan tantangan, adalah orang fundamentalis goblok yang nyaris gila. Saya yakin yang membuat pamflet itu bakal tersenyum bijak atas kekanak-kanakannya saya.

Meski demikian kekanakannya, perbuatan itu, tidak pernah saya sesali, karena --bagi saya-- hal itu merupakan sebuah titian pelangi dalam perjalanan panjang saat saya melakukan pencarian terhadap makna kearifan dan kebijaksanaan.

Sungguh, tanpa mengalami hal itu, saya tidak akan memahami bagaimana rasanya menjadi seorang fundamentalis yang mencintai agamanya, namun bertindak sporadis: tidak mengunyah realita yang di hadapannya dengan ketenangan dan kesabaran.

Kejadian itu merupakan salah satu pendorong agar saya mau menjadi individu yang berbeda. Selalu!. Saya mulai berusaha memahami apa yang ada dibalik sebuah fenomena (dalam hal ini, mengenai bahasa lisan maupun tulisan). Kali ini saya akan berusaha memaknai sebuah perkataan dari berbagai macam sisi. Kali ini saya tidak akan menilai orang sembarangan tanpa mengetahui apa hakikat yang diucapkannya. Kali ini saya tidak mau menganggap, --taruhlah-- Dhani Dewa sebagai orang yang sombong, saat mengatakan pada Maya “Kamu mau menikah sama aku nggak?. Pokoknya kalau kamu menikah dengan aku. Kita bakal kaya. Kamu nggak usah takut.”3)

Kita berhenti sejenak untuk membahas keberpihakan saya terhadap Dhani Dewa. Mengapa saya tidak akan menganggap Dhani Dewa sebagai orang yang sombong dan besar kepala?. Karena jujur saja. Sungguh!, saya tidak tahu pendalaman jiwanya.

Saya hanya mencoba berspekulasi, dan spekulasi saya mengatakan bahwa apa yang diutarakannya bukanlah sebuah kesombongan. Apa yang dikatakannya adalah keyakinan besar akan kemampuan dirinya. Apa yang dikatakannya adalah doa yang secara tidak langsung dipanjatkan seorang hamba kepada Tuhannya.

Saya mulai berfikir seperti itu setelah mengalami berbagai macam kejadian, seperti halnya ketika saya dan Ali saling berbagi mengenai harapan di masa yang akan datang.

Saya masih ingat bagaimana waktu di kosan saya, wajah Ali demikian bersinarnya, intonasinya demikian bersemangat saat mengatakan bahwa dia akan menjadi seseorang yang berhasil dalam kehidupan nyata ke depannya. Saya benar-benar mengingat bagaimana listrik keyakinan, keluar dari tubuh Ali, saat ia mengatakan bahwa mujtahid itu sebenarnya orang biasa. Dia menekankan bahwa kita pun bisa menaiki derajat seperti halnya menjadi Annabhani, atau pun menjadi seorang Plato, dan Andreas Harefa yang merupakan salah satu penulis buku yang paling produktif di Indonesia. Dia menatap saya kuat, bahwa kita bisa mewujudkan apa yang kita cita-citakan!4). Tatapan kuat itu menguatkan saya untuk terus berdoa agar tidak dikesimpangkan jalan saat saya memilih kematian setelah menjadi orang besar yang mempengaruhi sejarah sebuah masyarakat.

Apa yang sahabat saya utarakan dan saya yakini sebagai impian yang bakal kami realisasikan, jika tidak dipandang dari berbagai sudut, maka akan dianggap sebagai sebuah kesombongan oleh orang (seperti halnya saat Dhani Dewa mengutarakan sesuatu hal pada Maya). Atau mungkin, apa yang saya teriakkan pada dosen pembimbing saat saya dipisahkan oleh pagar rumahnya, sambil berkata “Lihat pak, lima tahun kedepan saya bakal jadi orang terkenal. Benar Pak!, saya akan mengguncang dunia pemikiran di Indonesia.” adalah sebuah kesombongan yang keterlaluan.

Biarlah orang lain mengatakan saya sombong; mengatakan sahabat-sahabat saya sombong; dan mengatakan Dhani Dewa sombong. Mungkin mereka telah melihat hati kami semua. Mungkin mereka telah melihat pendalaman jiwa kami semua, sehingga berhak menyimpulkan demikian halnya.

Saya tidak mau memikirkannya. Saya selaku seorang muslim, hanya berpegang pada sebuah keyakinan mengenai definisi kesombongan yang berpijak pada sabda manusia yang paling mulia di dunia, bahwa kesombongan adalah kibr. Kibr adalah saat sebuah kebenaran ditampakkan pada seseorang dan seseorang itu menolaknya (meski mengetahui bahwa itu adalah kebenaran) serta merendahkan orang lain.

Insya Allah kami akan selalu mengikuti kebenaran agar tidak dikatakan sombong oleh Tuhan Pemilik Semesta. Insya Allah apa yang saya dan Ali utarakan bukanlah ditujukan untuk merendahkan orang lain.

Jangan Dulu Beranjak. Pembicaraan kita Belum Selesai Chayank!

Tamasya Fikiran!

Ya, kita baru melihat penggunaan bahasa dari satu sisi. Ada sisi lain lagi yang akan saya ungkapkan, yakni tamasya fikiran menggunakan bahasa. Tamasya fikiran?. Ya, tamasya fikiran.
Saya menggunakan kata-kata itu agar kalian tidak takut untuk terus membaca tulisan saya, yang mungkin susah dicerna. Saya menggunakan tamasya fikiran agar kalian menganggap bahwa saya adalah guide dari biro perjalanan dan wisata yang berniat membawa kalian berlibur di pantai Carita, atau mengunjungi Pananjakan: melihat terbitnya matahari sambil menyalakan telepon genggam dan mengutarakan milestone cinta pada wanita yang ingin dijadikan pendamping setia (wuek! wuek!).

Ya saya akan menipu kalian menggunakan kata-kata tamasya, sebab tamasya yang sesungguhnya adalah tamasya yang memusingkan. Sekalian saya kasih bocoran bahwa tamasya yang akan kita lakukan adalah tamasya spekulasi. Tamasya mengenai pembahasaan yang pernah diutarakan oleh orang-orang yang pernah hidup di masa lalu. Mari masuk ke dalam bis DAMRI pemikiran. Mari kita masuk ke dalam mesin waktu. Gas ditekan dan bus kita berjalan.

Sejam perjalanan. Coba kalian lihat di sana, buka jendela lebar-lebar. Biarkan polusi di masa revolusi industri masuk ke dalam bus ini. Liat di sana ada Marx yang sedang berkhutbah dan membicarakan humanisme saat ia masih muda.

Sejam kemudian, kita melihat kaum Luddite menghancurkan mesin-mesin yang ditemukan oleh ilmuwan; Descartes sedang membedah organ-organ binatang untuk dijadikan perpustakaan alam; lihat Crussade War, lihat Atilla the Hun, Lihat Roda-roda bus terus bergerak.

Ya di sana ... kita akan rehat sejenak. Kita sudah sampai di halte pemberhentian saat Bibel mengatakan konsep dosa turunan. Mari semua keluar, mari saya jelaskan.
Menggunakan megaphon seekor Divan bertanya.

“Hm dosa turunan. Apa itu dosa turunan?”.

Wanita yang bernama Frans Magnis Susini menyumbangkan suara.

“Dosa turunan berawal dari dosa yang dilakukan Adam selaku bapak umat manusia, saat memakan buah petaka di surga. Dosa yang dilakukan Adam tidak akan bisa dihilangkan oleh umat manusia. Dosa itu akan turun temurun, sambung menyambung dipikul oleh manusia. Satu-satunya cara agar dosa turunan itu dihapuskan adalah dengan mengakui Kristus sebagai juru selamat sebagai Tuhan Semesta Alam”.

“Benarkah seperti itu, yang dimaksud dosa turunan?. Apakah penafsirannya mutlak seperti itu?. tidak kah terbetik dalam fikiran Susini bahwa dosa turunan memiliki pemaknaan lain.”
“Pemaknaan yang seperti apa?. Bagaimana kamu menyertakan penafsiran lain dari dosa turunan?”

“Dosa turunan seperti yang dipahami Susini adalah dosa turunan yang sudah umum dimaknai oleh umat Nasrani. Pernahkah umat nasrani memaknai dosa turunan sebagai bagian dari pembahasaan sastra yang memiliki multi penafsiran. Bagaimana menganalogikannya ya?. (saya pura-pura berfikir keras dan akhirnya saya menemukan). Setelah G/30/S/PKI meletus pada tahun 1965, kita mengetahui bahwa banyak anggota PKI yang ditangkapi.

Tidak sebatas itu, anak, cucu, dan cicit orang yang dianggap terlibat gerakan makar di-anak duakan oleh negara. Masyarakat memandang sinis pada keturunan orang komunis. Masyarakat memandang mereka sebagai barang najis, padahal orang-orang yang dipinggirkan itu tidak pernah melakukan tindakan melawan negara. Mereka dikucilkan karena orangtuanya, karena kakeknya pernah terlibat gerakan makar. Mereka dikucilkan, dipersalahkan, dikambinghitamkan karena kesalahan yang diperbuat moyangnya.

Hal ini bisa terjadi pula, pada turunan seekor ustadz tua sebuah TPA, yang di masa lalunya pernah memperkosa anak kecil --yang biasa belajar mengaji padanya. Bukan saja si ustadz yang bakal dihukumi oleh masyarakat, tetapi keluarganya pun akan diciprati dampak perbuatan yang pernah dilakukannya.

Jangankan demikian, seorang wanita yang melahirkan bukan karena hubungan yang sah pun, maka anaknya akan terkena cibiran. Masyarakat yang pola fikirnya masih culun akan mengatakan bahwa anak itu adalah anak haram.

Pengucilan, anggapan najis, cibiran yang dialamatkan pada anak cucu orang yang pernah menjadi anggota PKI, anak seekor ustadz, dan anak yang tak berdosa dan dikatakan haram oleh masyarakat merupakan akibat dari kesalahan yang dilakukan oleh moyangnya. Kita yang berusaha fair dalam berfikir pasti akan mengatakan, bahwa cucu dan anak pendosa, seharusnya dimanusiakan. Sebab mereka tidak melakukan dosa yang dilakukan bapak maupun kakeknya.

Nah, mengapa Susini tidak menafsirkan dosa turunan seperti itu? Mengapa pemuka agama Susini malah menafsirkan dosaa turunan adalah dosa yang dilakukan Adam dan akan terus melekat di dalam diri manusia, dan dosa itu akan hilang seandainya manusia mengakui Kristus sebagai Tuhan?. Bukannya, perumpamaan yang disampaikan Yesus, agar seorang ayah menjaga kepribadian, agar terhindar dari dosa turunan berupa cibiran pada keturunannya akibat perbuatan gelap yang pernah dilakukannya.”

“Saya tidak tahu mengapa penafsiran di kalangan Nasrani seperti itu?.”

“Aha, sebenarnya saya pun tidak tahu!. Apa yang saya katakan, hanyalah kemungkinan adanya penafsiran lain di samping penafsiran yang mungkin sudah baku dalam khasanah pemikiran umat Nasrani. Sudahlah, tak usah terlalu difikirkan. Mari kita masuk kembali ke dalam bus. Waktu berkunjung sudah habis. Mari lanjutkan perjalanan kita.”

Semua yang ikut tamasya naik ke bus. Baru beberapa menit roda bus menggelinding, avtur habis. Ya, bis ini menggunakan bahan bakar avtur. Bahan bakar yang dipergunakan pesawat terbang. Setelah diisi sampai penuh, bus berjalan lagi.

Kali ini, dalam lanjutan perjalanan ini kita melihat bangunan peradaban Romawi ditegakkan, kita bisa melihat bagaimana bangsa tersebut bersusah payah menahan laju serangan bangsa-bangsa Aria.

DAMRI masuk ke peradaban Yunani, kemudian berbelok menuju sebuah bangunan besar pemikiran bangsa yang darahnya campuran antara bangsa Dravida --penghuni Mohenjo Darro dan Harappa-- dengan bangsa Aria. Ya, kita sampai di India. Sampai di zaman, ketika agama Hindu telah didialektikakan oleh Sidharta. Kita turun di Kapilavastu, di bawah pohon Zaitun saat Sidharta menjadi Budha. Menjadi orang yang dicerahkan.

Di tengah kerumunan peserta tour, saya bertanya bertanya tentang Budha.

“Kalian percaya Sidharta adalah nabi yang diturunkan oleh Allah?.”

Sementara yang lain masih berfikir seorang lelaki berkata.

“Tidak.”

“Mengapa tidak?.”

“Sebab, ajaran langit tidak pernah mengajarkan konsep reinkarnasi.”

“Apa itu konsep reinkarnasi?.”


“Konsep yang mengajarkan bahwa jika manusia melakukan sebuah perbuatan maka ia akan mendapatkan ganjaran berupa perubahan wujud yang membahagiakan atau menyiksa. Sebagai contoh, seandainya di dunia ini, manusia memiliki kedengkian yang besar, dia rakus harta kemudian melakukan tindakan amoral, melakukan korupsi, mencuri dan memperkosa hak-hak orang tertindas maka di masa depan dia, di dunia mendatang dia akan menjadi babi, musang, atau binatang yang identik dengan sifat-sifat yang pernah dilakukannya di dunia. Jadi tidak mungkin Sidharta itu nabi, sebab ajaran Islam dan ajaran langit yang murni tidak pernah mengajarkan bahwa setelah manusia mati, maka manusia akan kembali ke dunia dan disiksa di dunia selamanya. Satu-satunya jalan pembebasan agar manusia masuk Nirwana atau menjadi Budha adalah adalah meniti jalan pencerahan.”

“Jelas!. Tapi, siapa yang bisa memastikan bahwa Budha mengajarkan reinkarnasi seperti dalam penuturan-penuturan yang sering kita dengar?. Siapa yang bisa memastikan Budha berkata seperti itu? (bahwa manusia akan berubah bentuk dan mengalami keabadian siksa di dunia). Dalam sejarah pelisanan ada yang disebut dengan distorsi ucapan. Sebagai contoh kecil, saya pernah mengatakan kalau saya pernah menyempatkan diri, orasi di dalam bis. Orasi hanya sekali, itu pun sporadis (menjelang serangan Amerika ke Iraq) dan distorsi penyampaian terjadi.

Beberapa bulan kemudian berkembang berita sampai ke Sumedang, bahwa saya sering melakukan orasi di bis. Sering!. Padahal, hanya sekali. Ini yang disebut distorsi. Dalam awal pernyataannya, mungkin konsep reinkarnasi adalah pelisanan yang menggunakan bahasa sastra. Pelisanan seperti ini sangat mudah terkena distorsi. Mungkin pada awalnya, Sidharta memaksudkan reinkarnasi adalah perubahan wujud manusia saat berada di alam akhirat setelah tercerabutnya ruh dari jasad manusia, setelah manusia mengalami kematiannya. Perubahan wujud ini bukan terjadi di dunia, melainkan di akhirat. Seandainya maksud pelisanannya seperti itu, ini berarti apa yang diuraikan Sidharta terkait dengan hadist yang pernah saya baca, berkenaan dengan manusia yang melakukan kejahatan di dunia akan dibangkitkan dalam rupa binatang. Seandainya seperti itu, dan banyaknya konsep-konsep dalam ajaran kasih Budha, yang –sedikitnya-- selaras dengan Islam, maka bisa jadi Budha adalah nabi juga.”

“Bisa jadi bukan berarti pasti!”

“Itulah masalahnya. Bisa jadi bukan berarti pasti. Kita tidak bisa memastikan bahwa Budha adalah nabi, dan kita tidak bisa memastikan bahwa Budha bukanlah nabi. Sebab, jumlah nabi yang diriwayatkan pada kita selain yang namanya kita kenal (ada 25 kan?) ternyata jumlahnya sangat banyak. Dan bisa jadi Budha salah satu diantaranya. Itu bisa jadi. Jadi, ketika ada orang yang mengatakan “Mungkin Budha adalah nabi yang ajarannya didistorsi seperti halnya ajaran Musa dan Isa,” dan hal itu menjadi sah. Sebab, dia mengatakan bisa jadi. Bisa jadi itu bukanlah kepastian melainkan sebuah kesadaran bahwa manusia memiliki keterbatasan dalam memastikan kehidupan dan ajaran Sidharta.”

Untuk semestara tour dihentikan. Tentu ada yang mempertanyakan, untuk apa kita membicarakan hal-hal seperti itu?. Bukankah membicarakan sesuatu tanpa fakta adalah sesuatu yang sia-sia dan tak memiliki guna?. Mungkin di hadapan orang lain, hal seperti itu tak memiliki guna, karena standar guna dan kesia-siaan kita berbeda.

Seperti yang saya bilang sebelumnya, sebelum menaiki bus DAMRI, bahwa apa yang kita lakukan adalah tamasya. Tamasya adalah usaha untuk melepaskan kepenatan. Tamasya pemikiran adalah usaha saya untuk melepaskan ketegangan dan menambah kekuatan intelektual saya dalam berargumentasi dan berbahasa.

Saya dan sahabat-sahabat saya senantiasa melakukan tamasya pemikiran, tidak dengan kekhawatiran bahwa kami akan terjebak pada lembah keingkaran. Secara pribadi saya melakukan tamasya fikiran untuk menambah akselerasi berfikir untuk berargumentasi dengan teman-teman dari kalangan Liberal atau kalangan yang hidup di wilayah “tanpa Tuhan”. Apakah yang seperti itu menjadi tidak berguna?. Bagi saya, tamasya seperti ini berguna untuk berhadapan dengan teman-teman yang fikirannya terbiasa melanglang buana.

Bagi orang-orang tertentu, tamasya seperti ini mungkin teramat menakutkan. Tetapi bagi saya dan sahabat-sahabat lainnya, tidak!. Karena –di samping—memahami memiliki guna, tamasya intelektual dan bahasa tersebut, diikat oleh metode berfikir yang seharusnya seorang muslim ambil. Kami diikat oleh keimanan terhadap Islam. Kami mengetahui di mana bus pemberangkatan kami diparkir. Kami mengetahui jalan kami pulang5)).
Kembali ke pembahasan bahasa tadi, bahwa bahasa sastra adalah bahasa yang berbeda dengan bahasa ilmiah yang sering kita gunakan. Bahasa sastra mengharuskan kematangan persepsi saat menyikapi.

Bagi kita yang seringkali menggunakan bahasa sastra dalam menyampaikan makna kebenaran, maka seharusnya dia belajar untuk memetakan kematangan emosi subjek yang ada dihadapannya.

Bagi yang belum terbiasa menggunakan bahasa ini, sebaiknya kita mulai mengakses kembali perbendaharaan bahasa sastra, untuk mengasah kecerdasan emosi kita. Sebab, bukan saja dalam keseharian kita menggunakan bahasa sastra melainkan Qur’an dan hadis (baik hadist) juga menggunakannya sebagai cara untuk mengungkapkan keindahan bahasanya.

Tulisan ini adalah isi hati yang berusaha saya bagi agar untuk meminimalisir kontroversi.

Seandainya kontroversi tetap ada, saya tetap akan belajar dan menjalaninya sebagai sebuah konsekuensi.

Doakan saya?


Wallahualambissawab.

1 komentar:

  1. Anonim says:

    ikutan bikin tamasya ah...tapi tamasya semiotik...moga sempet, he he
    Rain'd

be responsible with your comment