Ora Et Labora

Posted: Selasa, 15 April 2008 by Divan Semesta in Label:
0

Di sebuah toko buku, saya bertemu sorang mahasiswi yang lucu. Dia selampaikannya tangan.
Cengar-cengir saya menolaknya. Dia kebingungan dan merajuk.
Kok nggak mau calaman?. Kenapa?.
Nggak mau aja, kan saya fundamentalis. Dan saya tertawa lebar-lebar.


Keliatannya emang sok-sokan kalau ngaku kesetiap orang “Hei saya fundamentalis!” (kaya saya tadi). Kan sama jijiknya dengan mengatakan pada sang hyang Lyra Vyrna, Hei diperut saya ada six pack lho? Atau mengatakan “Hei cinta!, bulu idung saya udah bisa dikepang nich!, ke pengkhianatyangtelahincestsamaadiknya1).

Menjadi fundamentalis, sebenarnya tidak seseram yang dibayangkan (buktinya saya yang ngaku sama Roro)), tapi kenapa begitu banyak orang yang malu-malu --atau bahkan—takut untuk mengakui atau menunjukkan pondasi yang dimilikinya --padahal kontrol rezim saat ini, tidak sekuat rezim di masa lalu? Mengapa ya? (apa yang menyebabkan hal itu terjadi o Zes Mia dan Eva; om Giri atau Diki?. Pastinya banyak faktor. Bisa karena rendah diri atau mungkin juga, untuk berjaga-jaga seperti orang Islam Amerika yang menyembunyikan identitas kemuslimannya, setelah menara kembar siam WTC luruh! (kalau kejadiannya seperti itu, ya jangan).

Ngomong-ngomong, Apa itu Fundamentalis?


Akar kata fundamentalis itu fundamen. Fundamen itu pondasi. Ini memaknakan, bahwa orang yang memiliki pondasi adalah orang yang berkarakter; orang yang --kata anak-anak psikologi--, sulit dihipnotis; orang yang katanya, mengetahui mana jalan yang harus dan tidak ditempuh, atas dasar akal sehatnya, atas nama nuraninya. Atau, analogi yang lebih membumi –untuk menjelaskan apa itu fundamentalis-- bisa diawali dari pertanyaan: bagaimana kondisi rumah yang tak memiliki pondasi dari adukan semen dan batu?. Pastinya, gampang dipreteli angin ribut. Gimana dengan kondisi jiwa yang di dalamnya tidak ditanam pondasi berfikir?. Tentu jiwa itu, bakal gampang diombang-ambing oleh angin isme dan puting beliung ideologi Ya!. Orang fundamentalis memiliki karakter yang tidak bisa di pengaruhi orang, kecuali atas dasar: keinginan merubah karakter yang muncul dari dirinya.

Melalui perjalanan saya menemukan bahwa setiap nilai yang ada, memiliki fundamentalis yang bisa dibagi menjadi dua. Satu fundamentalis batu, yang ke dua, fundamentalis proporsional.
Fundamentalis batu itu gimana yah?

Fundamentalis batu itu, fundamentalis --yang dengan kebatuannya itu--, ia tidak pernah bisa ‘duduk’2), berada dalam satu forum dengan orang-orang yang memiliki pemikiran yang berbeda. Fundamentalis batu macam ini ada dimana-mana. Kesaksian keimanan baginya menjadi bermakna: tidak ada Tuhan selain syak wasangka!

Sekarang saya tidak akan memberikan beberapa contoh syak wasangka dengan menjelek-jelekan orang lain disekitar saya. Saya akan memperlihatkan kefundamentalisan batu saya --yang mungkin akan menjadi bahan pertimbangan-- untuk teman-teman pelajari. Begini, dahulu kala, saudara yang masih SMA datang ke rumah saya untuk bicarakan bla .. bla tentang sejarah atheisme… bla bla … dan kapitalisme. Setelah lama bicara, saya masuki kesimpulan, saya bilang pada saudara saya itu bahwa orang-orang atheis sesungguhnya adalah orang-orang tak bermoral tak beretika ”Mereka tak tak memiliki jiwa kemanusiaan!,” Koak saya ”lihat pembantaian lebih dari empat juta orang oleh Polpot; catat kelakuan jelek si Starik Lenin; perhatikan kelakuan Stalin gila; ingat G/30S/PKI yang memakan korban para jenderal. Ayo catat korban perang dunia dan pemerasan manusia, serta korban Kapitalis di negara-negara dunia ketiga. Lihat Itulah orang atheis dan Kapitalis!. Orang-orang diluar Islam pasti seperti itu!.” Dan, proses memasukan ide pun selesai.

Setahun kemudian, saudara saya kuliah di institut --paling terkemuka-- di negeri ini --dan dia mengikuti aktivitas salah satu organisasi kampusnya. Sialnya, --di dalam organisasi itu--, dia menemukan banyak orang atheis dan pengagum kapitalis yang baik hati. Lama-kelamaan dia berbalik arah dari yang semula memuja kini balik melawan.

Saya ajak dia diskusi, tapi dia bilang, apa yang saya lakukan bukan diskusi melainkan doktrinasi!. Karena tidak berhasil ‘menyadarkannya’ saya bawa dia ke teman-teman, --yang sering tinggal di ‘rumah Allah’.

Makin sial!, teman-teman yang saya kenalkan –supaya dia sadar—itu, hampir semuanya kayak saya (pendoktrin dan agitator!). Dia jadi antipati.

Lebaran tiba. Saat itulah, ketika orang mengikrarkan diri menjadi fitrah, dia ikrarkan dirinya menjadi agnostic! (entah sekarang) Saya terguncang!

Selama beberapa minggu setelah bertatap muka dengannya, saya mulai menutup diri dari segala macam diskusi (karena pukulan itu memang membuat saya benar-benar knock out! Keok!).
Kegelisahan datang, apa yang salah dengan diri saya?. Apa memang benar, yang saya jalankan bukan diskusi, menjalankan melainkan doktrinasi?

Setahun perenungan berjalan, kesadaran baru terbuka. Saya mulai menyadari, apa yang dikatakannya itu benar adanya!. Ternyata apa yang saya jalankan bukanlah diskusi (yang memberi kebebasan seseorang untuk bicara). Apa yang saya lakukan tak lain merupakan sebentuk monopoli, dominasi, dan arogansi!.

Saya berusaha memahat saudara saya, seolah-olah dia hanyalah batu yang tak memiliki kehendak. Saya memahat dan membentuknya menjadi arca, seolah-oleh dia tak memiliki jiwa. Hingga pada akhirnya, ketika ‘sang pencipta’ datang dan meniupkan nafas padanya, arca itu tiba-tiba bangkit, dan menggaplok saya!

Sekarang saya sudah berubah. Saya yakin banyak diantara kita yang melakukan pembelajaran seperti yang saya lakukan.
Bagaimana dengan yang tidak melakukan pembelajaran, mengenai diskusi yang sebenarnya doktrinasi? Gimana, kalau kita --yang katanya punya ‘tugas mulia’--, ternyata ditinggalkan orang-orang pintar semacam teman saya --yang kritis- itu?. Gimana?
Mau buat pembenaran, kalau mereka emang udah tertutup hatinya dengan mengutap-utip ayat? Ya iya lah mereka tertutup hatinya. Orang yang nutup hatinya itu kita. Kita yang ngehalangin datangnya kaidah kausalitas kok.

”Ah, itu mah pengalaman kamu aja. Kita mah nggak gitu!”

”Hei, gak percaya kalau kita sering melakukan doktrinasi ya?”

“Oke sekarang anggap saya ini orang yang cerdas dan kamu yang fundamentalis batu --kayak saya dulu.

Hah?”

“Kenapa geleng-geleng. Gak mau berperan jadi batu? Maunya saya yang batu? Kamu yang cerdas? Maunya, kamu yang datangkan kaidah kausalitas?. Okey, saya jadi batu dan saya mulai bicara ya?”

… bla … bla … nah saya mulai to the point-nya nih. Saya pura-pura kejut-kejut dan terjengkang.
“Masya Allah!!! kamu tahu kalau coca cola yang setiap hari kita minum, ternyata membahayakan tubuh. Di Amerika, ada orang yang mencuci mobilnya dengan coca cola, eu … cat mobilnya ngelotok!. Kamu tau nggak, kalau air coca cola dimasukin paku selama seminggu nanti pakunya ilang. Paku aja sampai gitu, gimana badan manusia?”

Dan kamu yang cerdas bilang.

“Saya belum nyoba masukin paku ke coca-cola!. Saya nggak tahu, dan saya nggak mau berbuih bicarakan sesuatu tanpa melakukan penelitian terlebih dulu. Kamu udah neliti?”

Walah apa jawaban saya? (neliti aja belum). Tapi terus membombardir.

”Setau saya, nggak semua bahan kimia, memiliki reaksi yang sama antara satu benda dengan benda lainnya. Reaksi kimia antara manusia dan besi, terkadang beda. Terkadang, kita nggak bisa pukul rata. Yang jelek buat besi, belum tentu jelek buat manusia. Contoh air laut yang ngandung garam, kan bisa buat besi-besi kapal berkarat, tapi kalau garam dikonsumsi manusia ya nggak apa-apa, asal jangan berlebihan ajah.”

“O gitu ya?” (Jreng! Apa yang bakal saya bilang?). ”Nanti saya teliti dulu deh. Sambil berkobar-kobar, saya ngomong. Kalau kamu baru percaya penelitian, ada informasi akurat berdasar penelitian nih. Ternyata punya ternyata, ada orang bule yang buat penelitian, tentang salah satu jaringan fast food terbesar di dunia. Nah, si peneliti makan di Mc Donald selama sebulan. Hasilnya apa? Tekanan darah dia naek! Darah tinggi! Pokoknya penyakitnya jadi numpuk. Kolesterolnya jadi tinggi. Mc Donald emang brengsek! Amerika itu emang jahat! Mereka mu ngerusak tubuh manusia secara masal!”
Triling-triling!. Tiba-tiba kamu menemukan pemahaman yang di search result oleh hardisk otakmu.

“Apa? Merusak tubuh secara masal dengan menjual makanan fast food?. Kalo gitu, pas buat ayam crispy, ibu kamu berniat merusak tubuh kamu juga?. Kan ayam crispy bisa buat darah tinggi!? Jangan syakwasangka dulu kalau Mc Donald mau merusak tubuh manusia. Siapa tau, dalam hatinya mereka, nggak kayak gitu. Siapa tau mereka cuma mau jualan doang, kayak penjual Kanayakan Pred Ciken yang suka saya beli!. Mengenai penelitian yang dilakukan entah oleh siapa itu, yang jelas, dalam kamus kehidupan ‘kuliner’ saya (niye), kita nggak boleh makan terlalu berlebih!. Makan sate kambing kebanyakan bisa pusing, makan duren sepuluh biji bisa mabok, makan jengkol sepiring bisa jengkoleun!. Biasa-biasa aja lah. Seimbang!. Makanya kalau nggak seimbang, wajar aja badan orang yang buat penelitian di Mc Donald jadi sarang penyakit”.
Walah, gimana ini? Apa lagi yang harus saya jawab? Bilang kalau hati kamu sudah tertutup oleh penderitaan manusia, karena produk --yang katanyanya-- ngasih peluru, buat matiin anak Palestina?

Kalau begitu apa yang ingin saya bagi dalam tulisan ini?

Hm … sayangku, saya tahu kamu prihatin atas kezaliman pemerintah Amerika dan sekutunya, berkenaan dengan kezaliman yang mereka lakukan terhadap saudara kita di Palestina, tapi caranya yang ELEGAN4) Nggak usah ditambah cuci mobil, atau paku ilang karena Coca Cola.
Boikot sih boikot aja! 5) tapi kita harus tetap elegan dalam menyampaikan warta mengenai kezaliman. Kita tetap harus berusaha jujur, untuk tidak memanipulasi fakta sebab –terkadang-- kita tidak mengetahui realita mengenai zat kimia coca cola yang sebenarnya.

Kejujuran itu gampang-gampang susah, jika kita tahu DITIDAK TAHUNYA dan menyadari tidak memiliki bukti, maka seharusnya kita tidak mengungkapkan apa yang tidak kita tahu.
Kita harus jujur. Jika tidak mau maka kaum intelektual yang kebanyakan TAHU DITAHUNYA dan TAHU DI TIDAK TAHUNYA akan menjauhi aktivis yang merespon segala sesuatu dengan ‘otak miring’ konspirasi, sedangkan kita tidak memiliki bukti.

”Tapi kan mereka nggak fair ma umat Islam. Banyak bisa informasi yang mereka sebarkan tentang Islam”.

”Iya saya tau, tapi apa rasulullah mengajarkan ketidak fairan dibalas ketidak fairan. Rasulullah mengajarkan perang yang elegan, Thariq bin Ziyad juga, Shalahudin juga. Mereka berperang tetapi nggak membuat management syak wasangka!. Kita? Mu nurutin Rasulullah atau ngehalalin segala macam cara?”

Saya sepakat kalau kaum muslimin harus unite! Karena kaum muslimin have the energy, have power untuk mengajarkan keadilan Islam dalam segala bidang. Tapi, seandainya penyatuan kaum muslimin, reaktif dengan jiwa revolusi Islam yang sesuai dengan nafas kehidupan Muhammad, maka lebih baik, saya menunggu 300 tahun lagi menuju Kekhilafahan.

Tapi, itu kalau nggak ada proses pembelajaran dari kalangan aktivisnya. Saya yakin kita mau terus belajar memperbaiki diri. Dan saya pun, jauh-jauh hari sudah menyadari, bahwa manusia bukan malaikat yang tidak mungkin melakukan kesalahan.

Saya tahu, dalam proses mentoring yang salah, biasanya mentor menanamkan ajaran syakwasangka. Kalau anggota mentoring nggak menyaring informasi maka menjelmalah anggota-anggotanya menjadi download ajaran syak wasangka --kemudian buat jaringan dan menggurita.

Kalau sudah menggurita begini sangat sulit untuk dibasmi. Tapi, seperti yang saya fahami, bahwa setiap waktu setiap manusia bisa saja berubah, begitu pula anggota mentoringnya.
Saya yakin, kalau diantara anggota mentoring terus melakukan pembelajaran dan jujur mengakui kesalahan ajaran syakwasangka (yang tak bakal mungkin dihilangkan) dapat diminimalisir!.

Anggota yang terus melakukan pembelajaran pun, harus menjalankan fungsi, menularkan semangat untuk bertindak elegan di dalam menyampaikan. Kalau nggak, “Gerakan gerakan Islam6) … gerakan Islam … tak ubahnya seperti Nazi! … tidak ubahnya seperti Fasis di Itali!.

***

Di samping jalan, di atas trotoar, seorang yang pernah berdiskusi dengan saya, melakukan penghakiman.

“Sebenarnya kamu pengen ngasih tau ke orang-orang, kalau kamu adalah fundamentalis proporsional. Kamu ingin memberikan satu gambaran, betapa kamu memang telah keluar dari jalur syak wasangka, kamu benar-benar pandai menyembunyikan kesombongan di balik gemerlapnya kata!”

”Tuh kan syak wasangka lagi!. . Kamu pemilik hati saya ya?. Tau dari mana saya punya niatan seperti itu?”

”Dari tulisan yang dijabarkan!”

”Apa yang saya tulis di Open Mind merupakan cermin kesombongan?”.

”Iya!”

”Oh kalau ditanggapinnya gitu, maaf aja. Yang jelas, saya cuma berusaha jujur pada diri sendiri. Saya hanyalah orang bodoh yang berusaha untuk tidak --terus menerus-- terjebak dalam kebodohan!. Saya hanyalah orang bodoh yang harus mengakui bahwa saya adalah fundamentalis batu tapi saya sedang berusaha untuk menjadi fundamentalis proporsional! Jalan itu masih panjang, tapi saya sudah melihat titik tujuan. Dan saya sedang merasakan perubahan!”

Sebuah angkutan kota melewati saya. Pada kaca mobilnya tertera tulisan yang dulu saya anggap norak kini berubah disarati makna.

Ora et Labora! Jangan lupa bekerja dan berusaha!.
Maukah kita? Horas bah!

0 komentar:

be responsible with your comment