STPDN Bigest Fans

Posted: Selasa, 15 April 2008 by Divan Semesta in Label:
0

Gedung bertingkat tempat sebuah surat kabar harian di Bandung sedang di renovasi. Dindingnya belum diplester, tukang bangunan masih mengetuk-ngetuk dinding dengan martilnya, suara bising mengepak udara di antara partikel-partikel debu yang mempersempit kapasitas oksigen. Saya duduk di sebuah sofa berwarna krem, di samping seorang wanita berjilbab yang sedang khusyuk membaca Quran. Saya ganggu dia dengan mengajaknya bicara. Kebetulan, topik yang waktu itu sedang ramai-ramai dibahas mengenai pertistiwa meninggalnya seorang murid STPDN akibat pemukulan yang dilakukan seniornya.

“Eh, Mbak nonton liputan khusus mengenai STPDN gak?”.

“Nonton.” sahutnya super kalem.

“Brutal banget ya?! kasian anak-anak baru di sana. Brengsek banget senior-seniornya”, saya tersenyum menyamarkan kekesalan yang hari itu belum tertumpahkan”. Eh, disangka dapet satu pendukung, ternyata wanita berjilbab itu bilang begini:

“Ah nggak juga, biasa aja. Sebenarnya itu terlalu didramatisir, biasalah media…,” ia meletakan Quran kemudian melanjutkan ucapannya

“Kenapa sih yang diberitakan yang jelek-jelek aja?! padahal yang terjadi di STPDN itu banyak yang positif. Penggunaan fisik dalam mendidik itu perlu!!!, fungsinya untuk menjaga kedisiplinan, memperkuat mental. Mahasiswa yang keluar dari STPDN --kebanyakan-- karena tidak kuat menjalani pendidikan itu, mentalnya lemah”. Wah!, wah emosi saya mulai terpancing ditohok kenyataan bahwa wanita berjilbab --yang seharusnya memiliki kelembutan-- ternyata ada yang memiliki jiwa fasis (kalau tidak bisa tahan emosi, saya gaplokin gak berenti-berenti sampai kiamat, tuh anak).

Saya mulai mengatur nafas, kemudian mengunyah-unyah kata-kata supaya emosi tidak keluar dari intonasi suara. “Mbak, ini berani juga”, saya berusaha menyanjung-nyanjung sebelum membantingnya. “Mbak ini hebat karena punya pendapat yang berbeda dengan pendapat kebanyakan, dan Mbak berani mengemukakannya.”

“Nggak juga!” dia senyum-senyum sendiri. (pancingan saya mulai berhasil, dia mulai gede rasa).

“Tapi saya punya pandangan sendiri mengenai peristiwa itu. Gak apa-apa kan kalo pandangan kita sedikit berbeda?”

“Iya, boleh saja, coba apa bedanya?. Mari saya dengarkan!”

“Mengenai –kenapa-- media tidak menayangkan yang sisi positif dari STPDN, saya punya pertanyaan balik untuk Mbak”.

“Bagaimana pertanyaannya?”

“Begini …. (sepi… biar terkesan dramatis). Mbak, apa dengan menayangkan hal-hal yang positif. kita harus menutup mata terhadap kematian yunior yang diakibatkan kesalahan senior STPDN?. Sisi positif tidak berarti menghilangkan kekritisan kita kan?”.

]“Benar…”

“Pasti ada tapinya nih?”

”Ya, tapi masalahnya media terlalu menderamatisir.”

“Gini deh mbak!, apa salah media ketika mereka memberitakan, bahwa ada beberapa orang senior yang memukuli yuniornya sampai organ dalamnya rusak hingga si yunior mengalami kematian?”

“…”, dia tersenyum sinis. “Lho penyebab kematian kan bukan karena kesalahan senior, itu karena yuniornya saja yang lemah. Buktinya kakak saya saja yang lulus dari STPDN tidak apa-apa, masih sehat walafiat,!” nafasnya menderu, kemudian si Mbak melanjutkan
“Fakta membuktikan kalau yang mati itu lebih sedikit dari yang tidak mati. Kita harus melihat sisi positifnya. Semua yang dilakukan termasuk kekerasan itu: untuk mendidik mental dan fisik”.

“Ya, fakta membuktikan demikian! tetapi fakta senegatif itu … kok! dijadikan sandaran dalam menentukan hukum. Jangan-jangan pembelaan Mbak terhadap STPDN dikarenakan ada kakak Mbak disana?”

“Bukan begitu maksudnya, saya cuma menjabarkan fakta saja!”

“Ya fakta menggunakan otoritas1) kakak Mbak. Bukan begitu?”

“…”

“Mbak harus tahu (saya mulai mendikte), kekerasan seperti itu tidak bisa dijadikan alat bagi pembinaan mental. Seandainya kekerasan dijadikan alat bagi pembinaan mental, kenapa tidak melakukan tindakan yang lebih hebat lagi, misalkan melakukan kekerasan seksual --karena trauma kejahatan seksual biasanya merusak mental lebih lama jika dibandingkan dengan kekerasan fisik—,” saya memandang air mukanya yang mulai keruh.

“Posisikanlah begini, seandainya saya senior Mbak maka saya akan memperkosa Mbak sampe teriak-teriak. Pokoknya supaya perkosaan itu tidak akan Mbak lupakan seumur hidup, saya akan membawa tujuh orang teman-teman saya untuk menggilir Mbak. Selaku senior, saya yakin Mbak akan trauma!. Lantas dimana ukuran keberhasilan bagi pembinaan mental dalam peristiwa penggojlogan atau pendidikan tersebut?. Ukuran keberhasilannya adalah, ketika Mbak berhasil menghilangkan dan melupakan kekerasan seksual yang dilakukan saya dan teman-teman saya.”

“Apa yang dilakukan senior STPDN kan bukan perkosaan!!!”

“Intinya bukan disana, yang kita bicarakan dari awal adalah: benarkah kekerasan akan menumbuhkan kekuatan mental? Intinya: jika pemikiran saya seperti pemikiran Mbak, saya tidak akan tanggung-tanggung memukuli orang supaya mereka memiliki kekuatan fisik dan mental. Untuk itu, saya fikir, Mbak harus mengusulkan pemerkosaan dilakukan Senior laki-laki kepada yunior yang perempuan, --atau bahkan-- yang laki-laki di perkosa dengan kohkol atau dihomoin! dan yang perempuan dilesbiin atau disuruh bersetubuh sama kuda!. Jika kekerasan pukulan dan tendangan dijadikan alat bagi ujian mental, maka kita tidak boleh menutup mata bahwa yang lebih hebat dari kedua hal itu adalah pemerkosaan!”

“…”

“Saya tahu pembinaan mental penting, tapi tidak boleh menghalalkan segala cara!. Pembinaan mental harus dilakukan, tapi apakah harus melanggar nilai-nilai keyakinan?. Apa Mbak yakin, penindasan menggunakan kekerasan, akan menghasilkan kader-kader yang hebat?. Apakah Muhammad yang dikatakan Carlyl seperti petir yang membakar dari Delhi hingga Granada dididik dengan kekerasan? Apakah Mohandas Kharamchand Ghandi, Sartre, Taqiyudin Annabhaniy, Tolstoi, Einstein, Alfred Nobel, yang termahsyur itu dididik menggunakan otot tangan?. Apakah think-thank revolusi Iran, Khomaini dan Muthhari yang menggetarkan peradaban dididik oleh tendangan?. Mbak!, pemimpin-pemimpin besar yang dibentuk dari kelembutan akan menghasilkan kelembutan. Jika pemimpin-pemimpin di didik dengan disiplin ala Sparta maka pendidikan itu akan menghasilkan pemimpin yang tangguh dalam keberingasan seperti hal-nya Caligula, Clovis, atau Adolf Hitler.

“Anda menggunakan otoritas!”

“Ya, sebab Mbakpun menggunakan otoritas kakak Mbak. Dan, saya menggunakan otoritas yang tak tanggung-tanggung besarnya!”

“Ah, jangan tuduh STPDN, kampus-kampus lain pun seperti itu!”

“Nah, nah! Mbak mulai berlari dari titik permasalahan. Saya tidak menuduh STPDN, saya hanya menjabarkan kebobrokan STPDN. Mengenai terjadinya penindasan senior yang dilakukan terhadap yuniornya di kampus lain, ya … sama brengseknya!!!. Saya tahu-setahu-tahunya, di masa OSPEK banyak mahasiswa baru yang ditindas menggunakan suara dan fisik seniornya. Di UNPAD pas Ospek tiba, banyak senior-senior cewek dan cowok yang sebenernya gak serem tiba-tiba jadi garang memarahi mahasiswa baru. Ini pun kesalahan yang harus diluruskan!”.
“Kamu ini, keras kepala ya?, orang yang keras kepala, biasanya tidak bisa melihat sisi positif dari suatu perbuatan”

“Biasanya, pelaku --kekerasan fisik-- dan para pendukungnya akan mengatakan: lihatlah sisi positifnya, ... jangan lihat sisi negatifnya saja!. Ah … pernyataan Mbak kok standar sekali!. Jika memang benar ada sisi positif, apa sisi negatifnya harus dimaafkan?. Seandainya sisi positif terus dijadikan alasan untuk lari dari tanggung jawab, maka penjagalan yang dilakukan Polpot terhadap bangsa Kamboja, pembunuhan yang dialamatkan Bush pada orang Afghan, pengkremasian 6 juta Yahudi pasca PD 2 oleh Hitler, dimatikannya ribuan orang Palestina di Sabra Shatilla, hingga penggorokan seorang anak oleh Tommy Buntung, harus dimaafkan juga dong?!. Bukankah tindakan mereka –positif-- untuk mengurangi kepadatan dunia?”. Jangan meremehkan sekecil apapun bentuk penindasan, karena penindasan kecil merupakan awal dari penindasan besar!”

“Ah kamu!”

“Kenapa Mbak?  Saya salah?. Nggak ah!, saya yakin benar!. Mbak harus malu sama jilbab.”

“Jangan salahkan jilbab dong!”

“He... he…he… kalau begitu saya menyalahkan mbak saja”.

“Kayaknya anda sentiment sama orang yang menggunakan jilbab ya!”

“Ya ampuuun, kok arah pembicaraannya jadi kesana. Mbak, saya ini pengagum wanita berjilbab. Saya mau punya isteri yang berjilbab. Kalau isteri saya gak make jilbab, saya beri dia pengertian supaya punya kesadaran untuk mengenakan jilbab. Saya bukan melakukan pembenaran bahwa wanita yang belum “benar” jangan dulu memakai jilbab --sebelum perilakunya benar--, karena saya tahu, jilbab itu –sebenernya tidak nyambung sama perilaku. Mau pelacur kek, cewek tukang minum vodka kek, pokoknya kalau muslimah yang sudah dewasa harus pake jilbab. Kalau ada cewek melacur dan minum vodka --tetapi memakai jilbab-- yang salah bukan mengenakan jilbabnya. Yang harus diluruskan itu melacur dan minumnya. Kalau gak make jilbab dan melacur juga minum vodka, kesalahannya ada tiga. Kalau make jilbab, plus melacur dan minum vodka, kesalahannya ada dua”. Idealnya memang jilbab iya, melacur dan minum vodka berhenti.

“Ini kan masalah image!”

“Terserah!. yang harus dicermati sebenarnya adalah: memikirkan image atau terus melakukan kesalahan besar secara sukarela?!!!”. (Kriwing-kriwing…)

Seorang lelaki --humas dari surat kabar harian-- yang sofanya kami duduki datang. Ia memanggil si Mbak. Saya ditinggalkannya sendirian. Dalam angan-angan yang berputar ambang mengambang, saya kembali teringat puisi mbeling Jujun Suria Sumantri, yang bunyinya :

“Inilah (negeri) purgatory, dimana mulut manusia diubah menjadi mulut beo!”

0 komentar:

be responsible with your comment