Menuju Muara

Posted: Selasa, 15 April 2008 by Divan Semesta in
0

Akhir-akhir ini cuaca Bandung sepanas hawa penggorengan. Jika berjalan di siang bolong, para pejalan kaki harus berkelit menghindari cahaya mentari yang menonjok ubun-ubun kepala, mencari perlindungan di bawah bayang-bayang bangunan.

Setelah kebijakan mengenai pembuatan jalan tol --sebagai solusi kemacetan-- digulirkan, pemerintah kota mencacag pepohonan besar yang membutuhkan puluhan tahun untuk tumbuh dan berkembang. Mereka yang rindang di bacok! Mereka yang memberi keteduhan dibantai semena-mena tanpa pengacara ataupun pembela. Mengapa pemerintah tidak mencari alternatif lain semisal membatasi hoby "beternakmobil" keluarga kaya? Atau setidaknya menghentikan izin trayek angkutan umum yang jumlahnya sudah tidak proporsional jika dibandingkan dengan panjang dan lebar jalan. Mengapa begitu kejam memperlakukan paru-paru bumi?

Saya marah, meranggas! Argggh! Grrrrh! Ngiung-Ngiung! Terlampau banyak pertanyaan yang patut disemburkan. Tapi sudahlah, pembicaraan dicukupkan saja. Tidak bijak berkeluh kesah di sini padahal saya hanya ingin mengisahkan sekelumit pengalaman --empat tahun belakangan—ketika berperan sebagai anak kost di kota Bandung.

Beberapa tahun lalu saya menetap di sebuah kampung, daerah Jatinangor yang lokasinya berada di antara kota Bandung dan Sumedang (anak-anak gaul menyebutnya Bandung coret). Menurut teteh pemilik warung --tempatku mengutang--, Jatinangor adalah tempat dimana "nu gelo ge cageur mun cicing di dieu mah" artinya orang gila pun sembuh kalau tingal disini. Ya! teteh bener sebulat-bulatnya. Dulu aku gila. Sekarang? Gilaku hampir sembuh.

Mengutip judul novel kawanku di fakultas sastra, saya kost di kamar paling belakang. Dekat hutan bambu yang gemerisik daunnya membuat khayal sampai ke laut. Saya memiliki induk semang yang akrab dipanggil Emak. Umurnya 60 tahun-an, mukanya seram karena keriput, tetapi --biar bagaimanapun seramnya—beliau terlampau baik. Suatu saat ketika saya jatuh sakit selama seminggu, subuh-subuh buta Emak membuat keributan di dapur. Saya baru dapat menyimpulkan penyebab keributan itu ketika bangun. Ternyata, subuh itu emak membuat telur dadar dan sayur sup gratis untuk anak kostnya yang sedang sakit. Menakjubkan! Emak masih berfikir tentang kesusahan orang lain padahal bagi kebanyakan orang yang biasa melihat segala sesuatu dari kemegahan materi, Emak itu susah. Emak itu miskin! Rumahnya terbuat dari bilik rapuh yang sudah lama tak diperbaiki. Barang-barang yang ada di dalam rumahnya-pun teramat sederhana.

Menyadari itu, aku merenung di dalam kamar sambil mengambil kesimpulan: "memang benar Emak miskin, tetapi biar miskin, Emak tetap gagah. Kemiskinan tidak membuat kemanusiaan wanita tua itu luntur. Bagiku Emak adalah orang terkaya di dunia. Aku sirik ia menjadi milyuner pahala. Oh Emak! engkau idolaku. Oh Emak! engkau jagoanku. Emaaaaaak engkau pujaanku!. Emaaaaaak! jangan tinggalkan aku.

Disamping hidup bersama Emak (tentu bukan tidur bersama), ada satu hal lagi yang membuat saya betah tinggal di Jatinangor: kebersahajaan alamnya. Ditengah-tengah Jatinangor yang tandus, saya menemukan sebuah danau buatan yang dapat membuat jiwa tentram jika memandangnya. Sebab itulah, --hampir setiap saat-- ketika kepala ini pusing maka saya tinggal melangkahkan kaki di jalan setapak –menuju danau-- yang di pinggirannya menyembul rumput-rumput berwarna merah marun. Di sana saya bersila di atas rakit bambu sambil memperhatikan milyaran riak yang tempias di tempa sinar matahari dan mengudap penganan yang dibawa dari kosan. Saya masukan telapak kaki hingga lutut ke permukaan air danau. Cesss! dingin menyusup ke kepala. Pusing pun reda. Jika tak reda juga? saya buka baju dan berenang di
sana.

Suatu waktu, saya harus pindah dari Bandung coret menuju Bandung sesungguhnya. Menjelang kepindahan itu saya pesimis jika Bandung kota dapat memberi pengalaman berharga bagi kehidupan saya. Setelah dijalani selama satu tahun, ternyata dugaan saya salah.

Selama kuliah di Bandung kota, saya banyak meluangkan waktu berkeliling mencari bursa buku murah. Salah satu tempat penjualan buku yang saya sukai, berlokasi di dekat alun-alun kota, --nama daerahnya Banceuy--. Mahasiswa, pelajar, dan kolektor buku hunting di sana. Mereka berharap menemukan buku kuno untuk dijual kembali dengan harga yang mahal. Jika berjalan-jalan lagi ke Banceuy, saya sering tertawa mengingat kejadian yang pernah saya alami di sana.
Siang itu, tepat di bawah pepohonan yang batangnya menyembul dari balik trotoar, seorang lelaki berkumis tipis berjaket kulit hitam mendatangi. Sejajaran dengan kuping saya, ia menyetel volume bass-nya serendah mungkin.

"Cari buku apa Dik?"

"Nggak, cuma liat-liat. Siapa tau ada barang bagus!"

"Ada-ada!. Play boy, Penthouse, semua lengkap Dik. Barang baru nih!" Antusias.

Saya ketawa "Henteu, doraka, ah! " (terjemahannya : tidak mau ah, dosa!).

Lalu, penjual buku itu marah-marah dan berteriak "Dosa... Neraka? Bukan neraka tapi syorgaaaa!"

Sepulangnya dari Banceuy, saya susuri rel kereta, --demi mencari jalan pintas menuju satu tempat--. Saya melihat satu-satunya orang di sana. Siul-siul. Tendang-tendang kerikil. Saya tegur orang yang sedang jongkok di pinggir rel itu. "Kang, keur naon?" (mas, lagi ngapain?) Ia balik, menghadap. Badannya macho. Mukanya cengengesan

"Ih, Yey yang mau kemana? kok tanya-tanya?"’.

Lho kok suaranya mirip wadam?!. Bisik saya dalam hati.

"Mau kemana? udah di sini aja!" Centil lelaki jadi-jadian itu mengoda. Suaranya menggeledek! Dia berdiri! Ya ampun, ia benar-benar wadam". Saya terhempas. Darah tersirap. Panas dan dingin berganti. Bulu kuduk meremang ketika ia mengulangi seruannya

"Mas, di sini aja!" Lidahnya melilit-lilit dipermainkan.

Saya gemetar. Saya takut. Tanpa menghiraukan permintaanya. Tanpa melihat, apalagi mempertimbangkan tawaran yang benar-benar aje gile nauzubillahi min zalik, saya berbalik. Ilmu kaki seribu dikeluarkan. Selagi berlari saya berfikir "mending ditusuk preman daripada dijahilin wadam.

Bukan-hanya pengalaman-pengalaman lucu saja yang saya alami di Bandung, yang serius-pun ada. Ceritanya begini: di Bandung saya memiliki forum diskusi. Rotasinya seminggu sekali. Anggota forum berasal dari kampus yang berbeda. Empat orang ITB, yang lainnya Itenas. Perwakilan UNPAD? saya pribadi. Bukan hanya berbeda kampus, kami-pun berbeda umur, culture, kebiasaan, gaya bicara, bahkan berbeda dalam tataran ideologi yang diyakini. Maka, wajar saja jika setiap forum diskusi berlangsung, masing-masing mahasiswa mengeluarkan "senjata tajam" pemikirannya.

Pertempuran Kurusetra antar saudara terjadi. Pada awalnya, kami melancarkan transfer pemikiran dengan tidak mengatakan: "kamu salah, kamu harus begini" tetapi kami semua saling berusaha mempengaruhi fikiran seseorang dengan halus. Lama-kelamaan urat leher setiap orang mengawat kencang. Debat dan tuding menuding terjadi sampai kami kecapaian. Di akhir pertempuran --yang nampak bagai pertempuran penghabisan-nya Ernest Hemigway--, semua pusing, semua miring, --namun hebatnya-- tidak ada lagi musuh-musuhan. Tidak tersisa lagi kebencian. Semua duduk sederajat. Minum cup of coffe, dan melahap penganan yang sama. Bersama.

Perang reda. Hikmah yang dilontarkan, berceceran. Muntahannya menjadi barang berharga yang dapat dipungut gratis tanpa biaya. Kami semua jadi pemulung.. Memunguti satu-persatu makanan jiwa yang kelezatannya sukar dicari taranya. Dalam pada itu, --di sela kesenangan memunguti barang berharga--, kami menyimpulkan bahwa hikmah adalah kebaikan yang bersembunyi di setiap kejadian. Dan hikmah bukanlah jawaban Tuhan.

Kelezatan hikmah bukan segalanya, karenanya kami tidak menjadikan hikmah sebagai landasan dan tujuan dalam melaksanakan aktivitas. Khusus untuk saya, hikmah hanya penguat saja. Yang lebih berharga dari hikmah adalah proses pencarian terhadapnya. Proses itulah yang menjadikan saya semakin mempercayai adanya mutiara kebahagiaan ketika saya berusaha melakukan penyelaman di samudera ketaatan.

Saya terlalu banyak bicara! Sebelum mengakhiri tulisan ini, saya harus mengatakan bahwa hidup di Bandung itu, mengasyikan! Banyak alternatif yang sama menarik untuk dipilih. Bandung adalah kota musik, drugs, dugem --yang konon-- perbandingan wanita cantik dan tidaknya 8 berbanding 2. Jika ingin menjadi penjahat atau playboy (girl), di sinilah sarangnya. Jika ingin seratus delapanpuluh derajat sebaliknya, di lokasi ini pula tempatnya.
Saat ini, puluhan ribu manusia seusia kita, sedang memilih melakukan perenungan, menjungkalkan diri, tunduk dan menjura pada kebenaran. Mereka memilih opsi kedua. Memutuskan untuk berenang di tengah luberan harta karun ilmu. Mereka tersentak ketika memikirkan, apakah hidup akan selamanya seperti ini. Mereka menangis manakala meyadari bahwa plang petunjuk arah tempat manusia kembali hanya ada dua yaitu : surga dan neraka.
Diri yang cela ini akan terus berusaha dan berharap, agar dapat mengikuti jejak mereka --karena pengembalian jiwa dan jasad manusia adalah suatu kepastian! Manusia akan dimatikan! Manusia akan dikebumikan! Manusia akan dikembalikan! Manusia akan dimintai pertanggung-jawaban atas segala perbuatan yang telah dilakukan di hadapan Tuhan.

Lantas, apa yang akan kalian lakukan?

0 komentar:

be responsible with your comment