O Dhaneeta

Posted: Kamis, 24 April 2008 by Divan Semesta in Label:
2

Di naungan angkasa biru, sebuah balon gas besar hasil kretivitas departement advertising sebuah perusahaan rokok menyemarakkan langit kota yang di zaman kolonial disebut Paris van Java. Balon itu mengingatkanku pada balon impian Hindenburg yang jauh terbang menuju angkasa namun akhirnya terbakar, menghancurkan popularitas Zeppelin sang penciptanya. Begitupun dengan diriku yang menciptakan balon impian. O’ betapa malangnya ia yang kubawa terbang tinggi menggunakan mimpi-mimpi kini selalu kupergoki termenung setelah masa pernikahan kami mulai beranjak menuju tahun yang kedua.

Uang tabungan kami semakin menipis, kini bahkan untuk membeli keperluan sehari-hari pun aku tak mampu membantunya. Pekerjaanku sepenuhnya bergantung pada harapan, menunggu-nunggu datangnya honor dari tulisan-tulisan yang sebulan sekali belum tentu dimuat oleh media masa nasional bahkan lokal. Mengharap-harap datangnya keajaiban ketika sebuah penerbitan mengirimkan draft kerjasama untuk meroketkan kumpulan novel dan essai yang akan membantu keuangan keluargaku.

Uh, tidak bisa seperti ini terus. Aku harus berusaha, setidaknya bekerja dengan keahlian kasar fikirku. Aku menscan poster lowongan perkerjaan yang menempel di kampus. Ada lowongan menjadi dentist, memegang kepala divisi informatika sebuah rumah sakit besar, menjadi surveyor geologi sebuah perusahaan perminyakan, atau calon peneliti di lembaga penelitian yang paling diminati di Indonesia. Uh, tak ada satu pun yang memerlukan sarjana humaniora terlebih bagi lulusan D3 yang bidang studinya relative aneh dan pendiriannya berawal pada tahun ketika aku masuk kedalamnya.

Aku menepis nafas, berat dan ada kekecewaan yang mengendap. Aku mulai mengalami delusi yang mengatakan, menyalahkan, menyudutkan bahwa aku sebagai seorang kepala rumah tangga, adalah lelaki ringkih yang tak mungkin mampu menanggung beban keluarga. Kalsium keyakinanku mulai menipis, rapuh dan menunggu ambrukan rangkanya.

“Maafkan aku De,” aku tak tega memandang wajahnya.

Ia nampak berusaha mengalihkan, “Maafkan untuk apa?” sahutnya. Aku tahu ia berusaha menampar kekecewaannya.

Aku menghela nafas, “Uh, seandainya ada lowongan jadi pasukan kuning, mungkin aku akan melamarnya.”

Ia menatapku sayu, menadah daguku menggunakan sepuluh jari-jemarinya yang lembut, “Jangan terlalu difikirkan. Hidup ini kadang naik kadang turun. Aku yakin, nanti akan ada sebuah keajaiban.” Digamitnya tanganku, “Yuk!” katanya mengajakku meninggalkan poser-poster yang menjadi sandaran harapan itu.

Sebelum kami benar-benar melangkah, aku menarik tangannya. Ia menoleh.

“Ada apa?”

“Aku memohon, untuk yang kedua kali semenjak pernikahan Kita. Seandainya suatu saat nanti Kita benar-benar kekurangan, bahkan lebih dari kekurangan yang Kita alami saat ini, jangan mengajukan tuntutan perceraian ya?”

De tertegun, dirinya menjadi patung kriya, hanya matanya yang berkata-kata, berkaca-kace, membulir, lalu jatuh di atas conblock berwarna abu. Tak kuasa, aku melihatnya begitu, selalu tak tega maka tak kulanjutkan perkataan itu. Ku ajak dia pergi. Sayup-sayup kudengar suaranya, yang kurasa, berubah menjadi basah, “Aku wanita yang setia dalam suka dan dukamu! Jangan pernah lagi Aa’ berkata seperti itu.”

Aku sungguh mempercayai kata-katanya. Aku mengangguk.

***

Ia datang begitu saja, seperti berkah dari langit. Dia datang saat aku menyelesaikan lembaran akhir Monte Christo, terlihat di antara sela-sela jemari kaki yang kutaruh di atas meja. Kulihat ia menggunakan baju longgar merah marun, baju yang cocok dengan rok hitam bertekstur yang dikenakannya. Menghisap air dari botol kaca bersoda, ia mengelilingi meja besar yang ada di toko bukuku. Menelisik satu persatu, mebolak-balik buku-buku yang nampaknya menarik perhatiannya.

Aku melemparkan buku di meja tempat kakiku bersandar. Perhatiannya pada buku terusik. Ia menoleh. Sebuah ekspresi murni terproyeksi di wajahnya.

“Oalah,” serunya. “Mas kan!? Benar kan?”

Aku pura-pura tak pernah mengenalnya, “Lho mas yang mana? Benar yang seperti apa?” tapi dia tahu kalau aku mencandainya, lalu kami tertawa.

Sebenarnya perkenalanku dengannya, jauh-jauh hari sebelum dia datang ke toko ini. Sewaktu menyeberangi zebra cross alun-alun kota, aku melihatnya dikemas kaca, duduk di bangku mobil yang entah mereknya apa. Waktu itu, ia kulihat membuka mulutnya lebar-lebar. Matanya sedikit terpejam. Ia menguap cukup panjang. Radiasinya menyeruak dan tanpa sadar aku ikut menguap.

Di balik kemudi, seorang bapak disampingya tertawa kemudian menepuk bahunya dan menunjukku menggunakan gerak kepalanya. Sewaktu melihatku menguap wanita ini tertawa. Kami sama-sama tertawa. Dan sore itu menjadi salah satu sore terindah dalam hidupku.

“Senang bertemu Kau kembali. Sudah berapa lama di kota ini?”

Keningnya berkerenyit, “Lho, bisa tahu kalau aku bukan orang sini?”

“Ya tahu, plat nomor mobilmu F. Bogor?”

“Ya,” Ia tersenyum.

Aku mengulurkan tangan. “Oh ya, namaku Dhani? Nama mu?”

“Sama!”

“Oh Sama!”

Setelah perkenalan itu Kami mulai membuka-buka satu topik. Ia bertanya tentang buku yang kubaca. Aku menceritakan hikmah yang dikandung bukunya, bertutur panjang lebar tentang Alexandre Dumas. Lalu obrolan berkembang menjadi berpanjang-panjang: menyinggung musik, membahas dan memberi saran film apa yang haram jika tidak diapresiasi, juga berbincang tentang impiannya menjadi penulis ternama.

Di dalam toko dengan dia sebagai pengunjungnya, dua jam setengah dipress menjadi pertemuan singkat yang tak terasa lama. Meski masih ingin berbincang denganku ia mengharuskan untuk unjuk diri.

“Dhani, terima kasih pembicaraan penuh maknanya!”

“Terimakasih tak terkira juga. Kalau ke kota ini lagi jangan lupa singgah!”

Ia tersenyum, “Aku takkan kembali ke Bogor. Kami sekeluarga baru saja pindah. Mungkin kedepannya, seminggu tiga kali aku akan ke sini, bertukar fikiran karena Aku adalah manusia sesat yang butuh bimbingan seorang sahabat.”

“Kalau begitu kutunggu kedatanganmu!”

Ia kemudian melipat kertas pembungkus buku yang baru di belinya. Sebelum ia benar-benar menghilang ditelan arus kendaraan, aku memanggilnya, “Hei Sama!”

Ia berbalik, kemudian menunjuk dadanya dengan telunjuk, “Namaku bukan Sama!”

“Tadi Kau bilang namamu Sama?”

“Maksudnya sama, namaku sama dengan namamu. Namaku Dhani, ditambah embel-embel Nita. Dha..nee..ta!” ia mengeja.

Aku menepuk jidatku. Kami tertawa lagi.

Tertawa memang sebuah awalan yang baik dalam sebuah perkenalan. Tertawa akan menjadi prasasti terkuat sebuah perkenalan, lebih dari itu ternyata waktu merekatkan tawa kami dalam hubungan yang lebih dari sekedar persahabatan.

***

Dalam bincang-bincang tiga kali seminggu yang dijanjikannya, hubungan kami tak terasa semakin dekat dan semakin dekat, hingga akhirnya kami merasa sulit dipisahkan satu sama lainnya. Sama sama merindu, sepakat untuk mengangeni dan tersiksa apabila tak bersua. Roman-roman mulai terbentuk dan mimpi-mimpi Dhanita berkembang untuk terbang. Kemudian pada satu waktu, menjelang tokoku tutup, kukatakan padanya, “Aku ingin bertanggung jawab! Aku ingin menjadikanmu hanya satu-satunya kamu dalam hidupku! Aku mencintaimu dan ingin membahagiakanmu! Menikahlah denganku, hanya dengaku, sebab Kau tak mungkin, mutlak tak akan hidup berlimpah kebahagian jika menafikan untuk hidup bersamaku!”

Tak perlu kujelaskan bagaimana cara dia menjawab lamaranku yang aneh itu. Yang pasti, sebulan kemudian tanpa persiapan kami lantas menikah, dan hengkang menuju sebuah kota di ujung timur Pulau Jawa. Kami membuka sebuah toko buku di kota Malang. Menjalani kehidupan pernikahan dengan aku sebagai seorang lelaki, yang terus menerus menjadi mentor Dhaneeta dalam menemukan makna kebahagiaan. Dan indikasi keberhasilan itu semakin dekat ketika, satu saat aku mengetengahkan sebuah percakapan, “De seandainya Kita memiliki ribuan keping uang emas, kemudian Kita pergi menggembol kepingan-kepingannya ke dalam hutan, sementara Kita tidak membawa makanan. Lantas, apa Kita bakal memakannya seandainya Kita lapar?.”

“Mana mungkin? Kita tak mungkin memakannya!”

Kemudian aku bertanya pada Dhaneeta, “Lalu kebahagiaan itu apa? Jangan-jangan kebahagiaan itu, punya banyak makanan. Ternyata tidak juga kan? Banyak orang yang memiliki makanan, tapi hidupnya resah, gelisah. Jiwanya seperti berada di balik jeruji. Hidupnya seperti terpenjara. Sebenarnya, aku sendiri bingung untuk mendefinisikan kebahagiaan itu apa. Tapi, aku pernah membaca lirik-liriknya penyair Persia bernama Sa’adi. Dia berkata: Aku menangis karena aku tak memiliki sepatu dan aku berhenti menangis saat aku melihat orang yang tak memiliki kaki.”

“Kebahagiaan itu ada manakala kita menggunakan kaus kaki dan memiliki sepatu atau manakala kita memiliki kaki!” ia menjawabnya tetapi kemudian, langsung membatahnya, “Rasanya tidak. Banyak orang yang punya kaki tapi tidak bahagia. Ia kemudian tertawa.

“Apa yang De tertawakan?”

“Dulu, aku sering sekali naik mobil pribadi meski mobil pribadi itu milik Bapakku. Sekarang waktu Mas Dhani mengajakku mengembara, Kita tidak memiliki kendaraan pribadi. Motor tidak, sepeda tidak, bahkan kuda pun tidak,” humornya. Ia kemudian melanjutkan.

“Sekarang seringnya jalan kaki dari kontrakan menuju toko buku tempat Mas kerja. Dan satu waktu Aku pernah merasa capai, tak kuat untuk jalan jauh lagi. Akhirnya, waktu toko tutup, kita menyetop angkot. Dan di dalam kendaraan yang mirip box itu aku merasa gembira. Ah, nggak jalan kaki itu enak juga rupanya.” Ia tertawa, setelah tawanya sirna, di dalam angkutan kota itu Dhaneeta menyimpulkan kebahagiaan dalam versinya. Setelahnya, angkutan kota menjadi sunyi dan aku bahagia karena merasa berhasil membimbingnya.

***

Tapi, kebahagiaan di dalam hatiku perlahan pudar. Usaha toko bukuku gagal. Kesalahan analisis minat baca di kota ini membuat usahaku terpuruk. Kota tempat Kami tinggal memang bukan kota dengan budaya wacana filsafat yang kental seperti Yogyakarta. Kota tempat kami tinggal lebih kental dengan budaya baca yang terkait dengan wacana pop. Itulah sebabnya, setelah dirata-rata selama tujuh bulan, penghasilan kotor tokoku hanya berada dalam kisaran ratusan ribu per bulan. Itupun belum dikurangi uang yang harus kusetorkan pada penerbit setiap bulannya. Penghasilan seminim itu tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan kami, sementara penghasilan Dhaneeta sebagai guru tidak tetap (GTT) tidak begitu bisa diharapkan.

Ada keinginan untuk mengganti dan sedikit kompromi dengan segment toko bukuku ini, tapi rasanya aku kesulitan. Penerbit buku-buku popular hampir semuanya tidak berkenan melakukan kerjasama dengan sistem konsinyasi. Sistem beli putus dan kredit membuatku kehilangan nyali. Oke sebaiknya aku hentikan saja usaha ini, banting setir! Tapi kearah mana setir ini akan kubanting? Aku kebingungan.

Uh aku stress dengan permasalahan ini. Semakin jauh dari pernikahan kami kebahagiaan seolah-olah menjadi pudar. Mengapa? O’ Aku tak ingin membuat Dhaneeta menyesal telah memilihku. Aku tak ingin memergokinya termangu. Tapi apa yang bisa kulakukan? Kegelisahan membuatku hilang kebahagiaan, Lalu kemana konsep kebahagiaan yang berusaha kuajarkan berbuih-buih padanya?”

***

Langit masih biru, sementara hatiku disepuhi kelabu. Kami kembali berjalan, melangkah, menapaki trotoar jalanan, melewati jajar pepohonan di pinggir jalan. Tukang tahu petis, buah seribu tiga, pedagang rokok asongan. Uh, berjayalah kalian yang telah berusaha. Berjayalah kalian yang tak mengenal kata malu, menundukkan ego dalam menyambung hidup! Melihat mereka kekagumanku muncul meski bisa jadi mereka melakukannya hanya karena tidak mempunyai pilihan. Satu saat, waktu bisa membuatku seperti mereka. Dan aku nampaknya harus menyiapkan diri.

Kami meniti tangga, memegangi stainless steel, memasuki sebuah bangunan yang menyediakan mimpi. Swalayan yang selalu membuat gelisah jika berada di dalamnya. Bangunan yang selalu membuatku berfikir, berhitung, berapa sisa uang tabungan kami.

Kami diantarkan escalator menuju lantai kedua. Aku masuk dan meringkuk di dalam diriku. Dalam pada itu, Dhaneeta tak mengatakan apa-apa. perkataanku tadi nampaknya masih berbekas di hatinya. Beberapa saat kemudian, bunyi yang khas, tiba-tiba mengejutkannya. Telepon selularku berbunyi. Kutekan tombol pembicaraan. Di seberang sana seorang wanita menanyakan Dhaneeta. Kutanya dari siapa? Dia menjelaskannya dan aku terkejut. Manakala handphone kuberikan padanya aku mulai berdoa. Wajah Dhaneeta kelihatan tegang. Aku terus berdoa. Semakin doaku panjang semakin wajahnya berubah: menjadi merah, menjadi semakin ekspresif. Matanya membesar, dan mulai berkaca-kaca. Hampir-hampir kaca-kacanya pecah. Aku mendengar Ia mengatakan: oh iya, kalau boleh tahu yang keberapa Mbak? tanggal berapa penyerahannya? nanti nomernya akan kami kirimkan. Telepon ditutup. Dhani memandang diriku. Nampaknya ia diselimuti kebahagiaan yang akan ia tularkan.

“A’ kita diundang ke Jogja!”

“Untuk apa?”

“Novelku menang. Juara dua!” Ia kemudian memelukku. Aku pun memeluknya di tengah keramaian, mengangkat tubuh mungilnya, memutarkannya beberapa kali. Orang-orang melihat kami keheranan. Mereka tahu kalau kami bahagia. Kami langsung keluar dari swalayan, menuju ATM terdekat. Wah betapa bahagianya. untuk sementara kami bisa berbelanja barang kebutuhan yang diinginkan.

Langit masih membiru, balon gas yang mengiklankan rokok merek terbaru masih menggantung di atas sana. Aku melihatnya dan Dhaneeta balas melihatku, “A?”

“Ya?”

“Allah memang maha Aneh ya?” Ia melihat angkasa.

Aku tersenyum, “Mungkin ia mengintip di batas atmosfer sana.” Aku menunjuk angkasa, berteriak pada-Nya “Hei, sebaiknya asmaul husna Kau tambah jadi seratus saja!” beberapa detik aku terdiam, kemudian takzim kuucapkan, “Terima kasih ya Tuhan!” Dhani mengangguk menyetujui apa yang kuungkapkan. Ia kemudian merangkul tanganku. Kami keluar dari swalayan, dan akan kembali berbelanja beberapa menit kemudian.

Ah aku mendapat pelajaran berharga. Nampaknya kali ini akulah yang tidak benar-benar memahami arti kebahagiaan. Nampaknya, sore ini ego masa laluku sebagai seorang lelaki yang ingin membimbing untuk menyelami makna kebahagiaan, ingin menjadi tonggak selamanya, ingin meluruskan seolah-olah Dhaneeta adalah tulang bengkok yang harus diluruskan nampaknya sirna.. Berharganya O Dia. Betapa berharganya O Dhaneeta.

Kami memang ditakdirkan untuk menjalani hidup bersama, bergandengan tangan. Aku, sang lelaki hadir bukan untuk membimbingnya. Aku sang lelaki harus sama-sama belajar untuk saling mengisi, saling membimbing ketika salah seorang di antara kami bimbang. Secara formal laki-lakilah yang memimpin kehidupan keluarga, namun saat berjalan maka tidak ada yang memimpin dan wanita yang dipimpin, jika kepemimpinan itu dilakukan untuk memperbudak salah satu pihak. Yang ada hanya manusia yang sama! Manusia yang terus menerus belajar untuk menyempurnakan dirinya, menggapai impian-impian yang ternyata ada di dalam hati dan dadanya. Menggapai kedamaian jiwa

Sore hari ini kebahagiaan kembali datang saat aku mengingat kesungguhan ucapan yang diperdengarkannya di dalam sebuah angkutan kota,

“Aku tau kebahagiaan itu apa!.”

“Ya apa?”

“Kebahagiaan itu bukan sesuatu yang dapat didefinisikan. Kebahagiaan itu ada di kedalaman hati!?”

Aku tunjuk dadanya. “Berdomisili di sana?”

Dan dengan mantap Dhaneeta mengatakan, “Ya!”

2 komentar:

  1. Anonim says:

    saya jadi binggung ne tulisan fiksi pa fakta...
    manis...
    semanis pengalaman...
    tidak hanya pemikiran tapi juga perasaan...

    kang divan sudah punya karya seperti novel yang di jual di publik?

  1. Kalau dipikirin piksi atau pakta kaya mikirin Ridho atau kak Rhoma Irama. Jangan kebanyakan mikir ah.

    Belum ada. Belum beruntung haha. Kamu dong ngerancang jadi penulis best seller

be responsible with your comment