Neumena di Balik Tabir Fenomena

Posted: Selasa, 15 April 2008 by Divan Semesta in Label:
4

Pernahkan kamu bertemu dengan sesorang yang memiliki kharisma tinggi luar biasa, seolah-olah ia memiliki sebuah keajaiban tingkat tinggi yang mampu melihat apa yang tersembunyi di dalam hati dan fikiran manusia?. Ketika kita bicara sepatah kata, ia menyimpulkan senyumnya yang dalam, memandangmu dengan simpatik kemudian menguraikan dengan tepat, seluruh rasa yang ternyata sesuai dengan perjalanan, perasaan hati, kegelisahan, ketakutan, kegalauan, kebanggaan, kebahagiaan dan kegundah gulanaan yang ada di dalam diri kita.

Setelah pembicaraan selesai, kamu mulai terkagum-kagum dengan performanya, dengan keanggunan serta segala sesuatu tentangnya. Sebuah ikatan kepercayaan --yang anak-anak muda sekarang lazim mengatakan sebagai sandaran curhatan-- mulai terjalin secara alamiah. O1), apa yang menyebabkan mereka mampu melakukan itu. Apa yang menyebabkan mereka mampu bicara tanpa harus dibicarakan?

Mari kita bahas tentang neumena di balik fenomena itu. Jika orang membahasnya menggunakan pendekatan mistik, saya akan membahasnya menggunakan pendekatan pengalaman real, yang saya alami dalam keseharian hidup saya. Kunci untuk menjawabnya adalah persahabatan yang pernah, sedang dan akan terus saya jalani.

Sebelum membahas lebih lanjut tentang hal ini, saya terpaksa membedakan antara teman dan sahabat dari sudut pandang saya. Mungkin kalian menganggap saya kejam, naif, tak berbudaya2) karena berusaha membeda-bedakan orang-orang disekitar. Mungkin diantara kalian ada yang bersuara, bahwa seluruh orang yang saya kenal sesungguhnya adalah sahabat. Saya malah bersyukur jika kalian mampu menjadikan seluruh orang sebagai sahabat. Silahkan saja, kalian bebas bersuara. Tapi saya pun bebas bersuara untuk menjabarkan apa makna sahabat teman dan sahabat bagi saya.

Begini, saya banyak mengenal orang; saya memiliki banyak teman saya taruh nama-namanya di list kontak handphone atau sekedar di dalam memori saja. Saya berusaha untuk bersikap baik pada mereka yang saya kasihi karena ajaran yang saya yakini, mengajarkan tentang bagaimana memperlakukan manusia. Bagi saya, teman adalah orang yang mengenal, tetapi ia tidak mengenal saya dalam. Ia mengenal saya dari penampakan luar, karena penampakan di dalam, hanya saya perkenankan untuk dilihat beberapa orang, dan orang itu adalah sahabat-sahabat saya. Jika tubuh diibaratkan sebagai rumah, maka teman adalah halamannya dan sahabat adalah ruang dalam dari rumahnya.

Setiap orang bebas untuk memasuki pekarangan diri saya. Setiap orang bebas untuk menyapa, berbincang. Tapi ketika ingin memasuki ruang di dalam rumah saya, maka sesorang harus mengetuk pintu dan meminta izin terlebih dahulu3). Kemudian muncul lagi pertanyaan. ”Apakah ketika memilah-milah kedua hal itu, saya melakukan diskriminasi?” Tidak! Saya selalu menerima siapa saja untuk menjadi sahabat. Saya membuka pintu persahabatan lebar-lebar, tetapi bukan berarti saya langsung begitu saja menerimanya. Jika beberapa waktu lalu saya pernah katakan, bahwa sahabat adalah orang yang benar-benar mengerti pendalaman diri kita, maka yang menjadi pertanyaan, apakah pendalaman diri saya diketahui oleh seseorang, yang hanya datang dan pergi hanya untuk menyapa?; apakah pendalaman diri saya hanya bisa didapatkan dari pertemuan-pertemuan sekelumit, atau pertemuan yang dihitung dari kuantitas, bukannya kualitas?

Saya fikir tidak. Pendalaman diri seorang manusia tidak mudah diselami (seperti halnya pendalaman diri saya). Untuk mengetahui pendalaman diri seseorang memerlukan waktu yang intens serta obrolan yang panjang.

Apakah setelah memulai obrolan dan perjalanan yang panjang, seseorang lantas bisa disebut sebagai sahabat?. Ya belum tentu, karena orang yang mendalami dapat memilih opsi untuk menggugurkan diri secara alami, atau terus melanjutkan persahabatan ini. Jika orang telah mengetahui pendalaman diri saya dan dia melanjutkannya, --setelah sebelumnya mengetahui konsekuensi persahabatan yang akan kita jalin bersama-- maka saya persilahkan dia untuk memasuki rumah jiwa saya.

Ketika seseorang telah masuk kedalam rumah jiwa saya. Maka rumah jiwanya pun menjadi rumah jiwa saya4). Secara berangsur-angsur saya dan dia berubah. Secara kasat mata, saya dan dia memiliki tubuh yang berbeda tetapi memiliki jiwa yang sama5). Dan saat persahabatan berlangsung kita akan merasakan, bahwa ketika saya mengalami satu masalah maka sahabat saya itu dapat langsung menangkap apa yang terjadi dengan diri saya. Hanya dengan menatap ia mengetahui bahwa saya sedang bermasalah, dan ia mengulurkan tangan dan hatinya, menawarkan bantuan.

Nah, seperti yang semula kita bahas, hanya dengan sedikit kata, sahabat sudah dapat merumuskan apa yang ada didalam hati kita. Begitu pula dengan orang yang saya bilang memiliki kharisma; seperti yang saya bilang mengenai orang yang mampu bicara tanpa harus dibicarakan?

Saya menemukan jawaban, bahwa kemampuan seseorang untuk memasuki pendalaman jiwa, berawal dari pengalaman. Jika saya menemukan orang seperti itu, saya tidak akan menganggapnya sebagai manusia yang ahli dalam masalah prana atau aura. Saya hanya akan lihat dia sebagai seorang pembelajar --yang mungkin tidak dianugerahi ijazah dan gelar--, tetapi memiliki sejuta pengalaman mengenai kehidupan. Saya akan melihat orang yang bisa menangkap isi hati dan merumuskannya, untuk kita petakan ketika menemukan permasalahan, adalah orang yang telah melihat dunia manusia dengan matanya, dan mengunyahnya dengan hatinya.

Kemudian muncul pertanyaan6)
Lantas, kenapa orang yang sudah melihat dunia manusia selama bertahun tahun; berpuluh tahun, tetapi tidak sampai ke taraf pencapaian seperti dia?
Mungkin ada banyak jawaban mengenai hal ini, tetapi saya berusaha memecahkan, bahwa hal itu terjadi karena, banyak dari kita yang melihat fenomena dunia manusia sebatas fenomena saja. Apakah menjadi masalah ketika melihat fenomena sebatas fenomena?. Itu tidak masalah buat orang, tapi itu menjadi masalah untuk diri saya pribadi7). Mengapa? Karena seringkali, ketika saya melihat fenomena dunia manusia, acapkali saya tertipu. Berbeda kejadiannya, ketika saya berusaha merenungkan ”Mengapa ada fenomena?  Apa yang menyebabkan saya tertipu?.” Dan saat berusaha menggali pendalaman diri maka saya menemukan jawabannya. Saya membuka tirai kegaiban, dan saya menemukan neumena.
Apa itu neumena? Bagi saya neumena adalah hikmah, adalah irfan, adalah essensi dari sebuah fenomena!. Apa guna neumena yang saya temukan? Gunanya untuk berbagai macam hal; untuk penambahan intelektualitas mengenai kejiwaan; mengenai penambahan kebijaksanaan, yang sedang dan berusaha saya capai di akhir kehidupan saya; dan yang lebih utama adalah untuk mengarahkan, agar saya tidak serampangan melihat suatu kejadian kemudian sembarangan memvonisnya.

Apakah sebatas itu fungsinya? Tidak juga. Ketidakserampangan saat melihat kejadian, terkait dengan dengan hubungan kemanusiaan yang kita buat dengan teman-teman, dengan sahabat-sahabat kita secara luas. Supaya kita tidak serta merta mengejek dan merendahkan. Banyak hal yang dapat dijadikan contoh mengenai hal ini, dan salah satunya ialah sebuah kisah nyata yang akan saya paparkan dibawah ini.

Beberapa bulan lalu, seorang sahabat bercerita tentang nasib sahabat wanitanya yang berasal dari kota di bawah Gunung Papandayan (untuk menutupi identitas dia, kita namai dia Helena8) saja. Sahabat saya itu memberitahu bahwa Helena akan menikah dan ingin melaksanakan pernikahannya sesuai dengan aturan Islam. Helena dan calon suaminya, menginginkan, antara mempelai pria dan wanita dipisahkan (dan mereka sudah membicarakan hal ini lama dengan orang tuanya). Tapi, orang tuanya tidak menyetujui cara-cara seperti itu. Helena tidak tahu harus bagaimana. Setelah mendiskusikan itu sejak lama ia dan calon suaminya menyerah! Helena terpaksa mengikuti kemauan orangtuanya.

Sejak keputusan orangtuanya dijatuhkan, permasalahan baru yang menambah kalut suasana hatinya muncul. Pasalnya, saat teman-teman Helena mengetahui, bahwa resepsi pernikahan tersebut tidak dipisah, teman-teman yang beraktifitas di pengajian yang sama mengejek dia. Mereka mengatakan bahwa Helena bukan muslimah yang tangguh. Dan muncullah bermacam vonis lainnya. Kemudian saya bertanya pada sahabat saya.

Apa yang kau sarankan pada Helena!?
Sahabat saya hanya memberikan sms yang disampaikannya pada Helena. Di layar handphonenya tertera tulisan: ”Di saat-saat kamu membutuhkan seseorang untuk berbagi, teman-teman kamu malah melemparimu dengan vonis!. Tidak apa-apa. Biarkan saja. Dan saksikan bahwa sayalah, yang menjadi orang pertama, mengajukan simpati atas permasalahan yang kamu hadapi. Bersabarlah.”

Saya nyeletuk sembari tertawa.
Keren juga, omongan macam ini!
Dia kemudian diam.

Saya tahu, dia dan istrinya pernah mengalami hal yang serupa. Bahkan, apa yang terjadi keatasnya lebih parah dibandingkan dengan yang dialami Helena9). Saya mengerti pendalaman sahabat itu. Iya memahami apa yang terjadi dengan sahabatnya. Ia memahami, bahwa kebanyakan orang yang menyepelekan Helena hanya karena, melihat fenomena: tidak dipisahnya pernikahan mereka. Teman-teman Helena tidak melihat tabir dibalik fenomena.

Tabir apa?. Tabir bahwa dia telah berusaha untuk menyampaikan pada orang tuanya sampai keluar air mata; tabir bahwa Helena dan calon suaminya sudah merasakan penderitaan, untuk membayangkan bahwa pernikahan mereka keluar dari hukum syara; tabir bahwa pernikahan kedua anak manusia ini, sebagian besarnya dibiyayai oleh orang tuanya (dan seperti halnya pemegang saham maka pengambil kepurtusan tertinggi adalah pemilik saham terbanyak).

Mereka --teman-teman Helena tidak melihat tabir--, tetapi sahabat saya melihat itu. Ia berhusnudzan bahwa apa yang terjadi pada sahabatnya, pasti bukan atas kemauan Helena dan calon suaminya. Ia melihat bahwa sahabatnya sedang dizalimi oleh lingkungannya, dan baginya, orang yang dizalimi harus di kasihani dan dikuatkan. Saya berbangga, disaat Helena membutuhkan kekuatan; disaat teman-temannya malah melemparinya dengan vonis dan cacian, hal itu tidak berlaku bagi sahabat saya 10). Sahabat saya telah memanusiakan manusia. Ia berhasil menempatkan manusia yang dizalimi selayaknya manusia yang patut dikasihani.

Apa yang menyebabkan sahabat saya mampu bersikap seperti itu?. Penyebabnya karena ia berusaha melihat sesuatu di balik fenomena. Pengalaman yang sudah dijalaninya, membuat dia mampu menahan diri, demi melihat keadaan yang sebenarnya terjadi. Itulah sebabnya hubungan dia dengan dengan orang-orang disekitarnya awet.

Apakah yang menjadi standar sebuah kebenaran adalah awetnya hubungan seseorang dengan manusia lainnya?

Orang-orang yang benar-benar konsisten untuk menjalani idealismenya, memang jarang memiliki hubungan yang awet. Tetapi apakah mutlak orang-orang yang ’benar’, memang selalu dijauhi dan dianggap aneh? Bukankah hubungan Rasulullah dengan keluarganya tidak awet?. Rasulullah dulu diasingkan karena menyuarakan kebenaran?

Lagi-lagi ada yang bertanya

Berarti menjadi wajar dong, kalau hubungan antara seseorang yang menjalani idealisme dengan orang disekelilingnya menjadi tidak awet, karena sandarannya adalah perilaku Rasulullah?
Menurut saya tidak mutlak seperti itu. Apa yang dikatakan mengenai diasingkannnya Rasulullah, karena menyuarakan kebenaran adalah kecenderungan. Kecenderungan ketika orang mengungkap kebenaran, memang bakal diasingkan, tetapi kecenderungan bukan berarti kepastian. Rasulullah diansingkan oleh keluarga Quraisy-­nya, tetapi apakah dia diasingkan ketika Negara Islam sudah berdiri?. Apakah ia diasingkan oleh komunitasnya? Tidak kan? Jadi itu kecendrungan saja. Lagipula, terkadang diasingkan atau tidak adalah: pilihan.
 
Kadang-kadang kita mencari pembenaran atas buruknya hubungan sosial kita dengan orang lain, dengan mengutarakan bahwa itu konsekuensi penyampaian kebenaran. Padahal, dalam menyampaikan kebenaran itu ada adabnya. Adab untuk memanusiakan manusia; adab untuk melihat seluruh fenomena dan menggali neumena sebelum menjatuhkan keputusan. Apakah kita sudah menjalani penyampaian kebenaran menggunakan adab? Kalau belum, jangan menyalahkan orang lain dulu. Kemudian, mengatakan bahwa itu konsekuensi penyampaian kebenaran. Karena, beberapa orang yang saya kenal mampu menyampaikan kebenaran tanpa merusak hubungan sosialnya dengan orang lain (ya karena mereka menjalani adabnya terlebih dahulu).

Ah, jika sudah menjalani adabnya tapi dimusuhi juga, barulah kita bisa bilang, kalau konsekuensi dalam menyampaikan kebenaran –salah satunya— adalah buruknya hubungan sosial. Dan buruknya hubungan sosial dalam hal ini bukan kita yang bertanggung jawab kita, tetapi mereka.

Ups! Sampai dimana saya?. Wah udah terlalu jauh pembahasannya ya. Kita udah bicarakan teman dan menyinggung bagaimana menyampaikan kebenaran, tetapi kita belum tuntas bicarakan tentang orang yang mengetahui pendalaman jiwa manusia tanpa manusia itu membicarakannya. Karena tulisan ini hampir sampai pada tahap penyelesaiannya maka saya hanya mengungkap sensifitas rabaan saya, mengenai pengawalan yang menyebabkan seseorang sampai pada derajat seperti itu.

Saya meraba bahwa, awalan untuk menjadi orang yang tidak tuntas kita bicarakan di paragraf-paragraf awal adalah, keinginan untuk selalu mengekplorasi diri. Keinginan untuk mau merenung dan melakukan pembelajaran untuk mencari jawaban permasalahan di dalam diri. Dan hal yang sama, ini bisa kita lakukan juga.

Saat kita konsisten untuk menjalani eksplorasi dan perenungan diri, suatu saat nanti kita akan berhadapan dengan orang lain yang berusaha curhat curhat dengan kita. Saat permasalahan datang, serta merta kita akan menggunakan pembelajaran yang telah kita lakukan atas perenungan dan eksplorasi diri, kemudian membuka folder pribadi mengenai permasalahan yang pernah kita alami. Kita akan memasuki ke kedalaman diri kita yang pernah dijelajahi; mencari-cari sebuah masa, dimana kita pernah mengalami segala macam kegembiraan ataupun kegalauan. Saat folder ditemukan. Terbukalah esensi pengalaman pribadi kita yang kemudian disarikan dan disajikan kehadapan orang yang mencurahkan hatinya pada kita.

Kita akan memahami apa yang terjadi dan dialami seseorang –yang mencurahkan hatinya pada kita-- dari sisi mental, dari sisi psikologi. Orang yang belum terbiasa mengenai hal ini –mengenai adanya neumena yang menyebabkan kita mampu memetakan fenomena-- pasti akan terkejut. Dari keterkejutan yang nyaman itu, secara alamiah orang akan berusaha mengikatkan dirinya dengan diri kita.

Ketika sesorang sudah dekat dengan kita, maka kita akan lebih mudah untuk berbagi tentang segala macam yang terjadi di dunia manusia serta kompleksitas –keindahan, kebahagiaan, kejahatan, dan tujuan penciptaan-- yang ada di dalamnya.

Akhirnya hanya pertanyaanlah yang tersisa.
Maukah kita mencoba untuk memahami manusia dan neumenanya? Maukah kita bersahabat dan memahami ketidak sempurnaan dunia manusia? Saya rasa, jawabannya hanya ada di dalam diri kita.

--------------------------------------------------------------------
Kibarkan bendera kemanusiaan di bawah langit Islam!
Berdialektikalah untuk sebuah pencapaian
Pergi dan kembalilah demi sebuah kebenaran!

4 komentar:

  1. Anonim says:

    Wah kamu sahabatku.
    Dunia emang aneh sobat :-)

  1. :)REM bilang, the outsider gathering a new day born... terima kasih untuk mengakui sy sbg sahabat :).

  1. Mudah2an sy nggak ke gr-an hihi

  1. Anonim says:

    Bagi saya distingsi Nomena-Fenomena, terjadi ketika Kant mewarisi dosa warisan yang diwariskan Aristoteles menenai relasi antara realitas dan ide.

    Aristoteles mengatakan: "idem est et intellectus et intellectum"; yang-difahami dengan pemahaman itu sendiri adalah identik.

    tapi menurut Kant, mengatakan hal seperti itu hanya akan mengakibatkan kontradiksi yang nyata antara ide dengan realitas.

    Oleh karen itu Kant mempermasalahkan "Das Ding an Sich"--sesuatu-pada-dirinya-sendiri. yng menurut Kant tidak dapat kita ketahui. das Ding an Sich adalah Noumena yg watak dasar akal manusia (12 kategori+ruang dan waktu) tidak dapat menyingkapnya. Dan sekali lagi, jika manusia dapat menyingkap Das Ding an Sich (The Thing as Such), hal itu hanya akan berakibat pada terjadinya kontardiksi yang nyata.

    Seperti yang udah disebutin tadi, pemahaman tsb terjadi karena Kant mewarisi dosa dari Aristoteles yg menyirtkan doktrinya ttg konformitas (idem et est intellectus et intellectum) sbg suatu identitas yang bersifat eksistensial.

    ***

    Lalu apakah kita akan menyerah dan ikut saja dengan pendapat Kant? Menurut saya itu gak pelu terjadi jik kita menafsirkan doktrin konformitas Aristoteles tsb sbg suatu relasi yang bersifat korespondensial.

    A = A

    kita tafsirkan, ide 'A' adalah MIRIP dengan realitas 'A'--bukan identik secara eksistensial.

    Sehingga tidak perlu adalagi distingsi nomena-fenomena. Hhehehehe

be responsible with your comment