Mutlaknya Relativitas

Posted: Jumat, 18 April 2008 by Divan Semesta in Label:
1

Banyak manusia yang tidak memiliki agama, tapi mempercayai keberadaan Tuhan (deisme). Banyak yang tengah memikirkan sejuta milyar rahasia kehidupan dan menyayangkan ketiadaan material Tuhan dihadapan manusia.
Mereka berkeluh kesah.

“Tuhan? O Tuhan. Mengapa kau tidak datang dan tampak setiap saat. Mengapa kau tidak duduk dan bertahta dalam sebuah sebuah kerajaan besar di dunia manusia sehingga kami bisa melayangkan sejuta milyar macam pertanyaan yang membingungkan mengenai kehidupan dan rahasia kematian yang akan kami alami?”

Bagi mereka, bagi penganut Deisme, Tuhan dan benak-Nya adalah sesuatu yang membingungkan. Menurut mereka, “Benak Tuhan, termasuk keinginanya tidak bisa diketahui oleh manusia." Kemudian terbanglah sebuah kesimpulan

"Jika Tuhan tidak memberitahu keinginannya apa, lantas mengapa setiap orang berebut mengatakan apa yang dikatakannya adalah juga yang dikatakan Tuhan?" kemudian ditambahkan lagi ungkapan:

“Kata orang Kristen milyaran manusia yang menyebut diri Islam adalah orang-orang sesat yang harus di gembalakan. Dimasukan ke dalam kandang domba hihi! Kata orang Islam, orang Kristen kafir! Mereka orang yang hilang arah. Karenanya harus ditunjukkan mana jalan yang benar dan mana yang salah! Dan orang yang memiliki agama diluar kedua agama besar itu, bicara kedua agama itu aneh, dan yang aneh-aneh dalam masalah keyakinan pasti bakal di siksa di neraka dingin yang temperaturnya ratusan selsius di bawah nol derajat selsius."

"Waks! Kalau semua mengklaim si anu kafir! Dan yang kafir pasti bakal masuk neraka, kalau masih mengigit kekafiran atau kesesatan saat ajal tiba. Wack! Jika semua mengklaim pemilik kebenaran, apa mereka benar-benar pernah bertemu Tuhan sehingga mengetahui apa yang ada di balik benak Dia yang sesungguhnya? Ah, bertemu pun belum pernah! Kenapa lantas mengkafirkan satu sama lainnya."

“Jika semua manusia memiliki anggapan bahwa apa yang dikatakannya mengenai vonis kekafiran dan vonis masuknya manusia ke surga atau neraka merupakan hal yang relative maka dunia akan menjadi damai. Tidak akan ada inkuisisi gereja yang menganggap pemikir-pemikir yang tidak sejalan dengan pemikiran gereja sebagai bid’ah. Tidak akan ada perang Salib, tidak akan ada perang antara Suni dan Syiah. Tidak akan ada perang-perang lainnya yang mengatasnamakan kebenaran agama!"

Hal tersebut merupakan pertanyaan dasar yang kemudian menguatkan keyakinan kalangan Deisme, bahwa perdamaian akan muncul seandainya klaim kebenaran agama musnah. Bahwa perdamaian akan hadir di dunia seandainnya semua orang memahami bahwa kebenaran itu relative. Akan tetapi, topik mengenai kedamaian yang disandarkan pada pemahaman mengenai relativitas kebenaran ini sebenarnya bukan hanya monopoli mereka saja.

Topik tersebut, pun dimiliki oleh orang-orang yang menyakini ajaran sebuah agama. Mohandas Karamchand Ghandi adalah salah satu contoh diantaranya. Dalam buku On Christianity jelas digambarkan, bagaimana Ghandi memandang bahwa klaim kebenaran membuat manusia angkat senjata, untuk berseteru.

Di zamannya, Ghandi menyaksikan bagaimana, orang Hindu menjagal dan mementung orang Islam, orang Islam mementungi orang Hindu sampai koit. Misionaris Kristen mengkafir dan membodoh-bodohkan orang Hindu karena ajaran agama dan kehidupannya yang jorok. Semuanya konflik!

Ghandi berfikir bahwa semua itu harus diakhiri. Dia menelaah agama, membaca beragam kitab suci, hingga pada akhirnya, mengambil kesimpulan bahwa kebenaran itu relative. Bahwa kebenaran itu tidak mutlak dimiliki oleh sebuah agama, karenanya setiap pemeluk agama harus mau terbuka menerima ajaran agama lainnya.

Semua agama itu benar karena menuju satu muara yang sama, yakni Tuhan. Jika semua penganut agama memahami itu, maka kedamaian di negeri India dan dunia akan tercipta.
Hingga hayatnya dicabut peluru seorang Hindu ortodoks, Ghandi tetap meyakini Hindu (menurut versinya) sebagai ajaran agamanya.

Ajaran Ghandi mengenai relativitas dan semua agama meski berbeda menuju satu muara, menyebar ke seluruh dunia. Di Indonesia relativitas agama ala Ghandi --dengan asumsi yang tak jauh beda dengan ajaran Deisme-- di pelajari, di hayati dan dijadikan keyakinan yang menggerakan Ashram (padepokan spiritual) Adnan Krisna.

“Berkah” keyakinan akan adanya relatifitas menumbuhkan ajaran pluralisme yang damai di tengah kerusuhan agama yang terjadi di Indonesia.

"Dalam pluralisme, setiap agama bisa saling duduk bersama, saling mengasihi sebagai sesama manusia karena kesadaran bahwa tafsir keberagamaan itu relative. Jadi hancurkanlah kebenaran mutlak, dan yakinilah bahwa kebenaran itu relative"

Benarkah hanya dengan mengakui pluralisme (bukan pluralitas) manusia bisa duduk bersama untuk saling mengasihi? Apa orang yang tidak mengakui pluralisme (mengakui kebenaran mutlak sebuah agama) tidak bisa duduk bersama untuk saling mengasihi? Apa orang yang mengakui kebenaran mutlak sebuah agama bukan manusia hingga dianggap tidak bisa duduk bersama, baik dengan orang yang berpemahaman pluralisme, atheis, deis, atau agnostic? Lah, kenapa orang yang memiliki keyakinan pluralisme tidak mau duduk bersama dengan orang yang memiliki keyakinan mutlak terhadap sebuah agama? Dasar anoa!

Kalau menganggap bahwa orang yang memiliki keyakinan mutlak terhadap sebuah agama sebagai sumber perusak kedamaian karena dianggap biang pertengkaran, kenaapa seorang Deisme malah menjelekan dan menyalahkan orang yang menganggap bahwa kebenaran itu mutlak, padahal menjelekan, menyalahkan, menganggap rendah pemahaman seperti itu, dan merasa sebagai “superior”, merusak kedamaian adalah benih konflik juga? (nanti hal ini saya ulang, maaf!)

Ternyata masalahnya jadi rumit. Karena rumitnya saya tidak yakin bisa membuatnya menjadi mudah, tapi kita akan tetap mencoba mempretelinya. Mari kita uji asumsinya0)

Asumsi yang paling utama: Manusia di katakan belum pernah bertemu Tuhan, sehingga diambil sebuah kesimpulan, bahwa manusia tidak bisa mengetahui benak dan keinginan Tuhan seperti apa? oleh karenanya manusia tidak berhak untuk mengklaim bahwa yang itu benar, sementara yang ini salah karena kebenaran di dalam benak dan keinginan Tuhan itu relative.

Jika kita tidak mungkin mengetahui benak dan keinginan Tuhan, kita tidak berhak mengklaim kebenaran itu seperti apa, karena anggapan bahwa kebenaran itu relative maka maka jika seandainya penganut paham relatifitas memiliki anak lelaki kemudian anak lelakinya diculik, disodomi lima orang pedohopilia sampai lubang anusnya yang semula mungil jadi sebesar lubang paralon, apakah dia akan menyalahkan kelakuan pedhophilia?

Harusnya tidak sebab asumsinya pemahaman tentang benar dan salah itu relatif. Sodomi dalam pandangan pedhophilia itu benar. Dengan asumsi seperti itu, maka kita tidak bisa menyalahkan seorang pedhopil karena siapa tahu di dalam benak Tuhan, penculikan atas dasar pemuasan nafsu pedophilia dibenarkan. Siapa tahu Tuhan itu raja diraja pedophilia. Kan kita tidak mengetahui benak dan keinginan-Nya seperti apa. Yoa'!

Munculnya kesimpulan bahwa manusia bisa mengetahui benak dan keinginan Tuhan, merupakan asumsi yang bisa dipertentangkan dengan asumsi lain, yakni bahwa kita bisa mengetahui sedikit benak dan sedikit keinginan Tuhan.

Asumsi ini muncul dikarenakan sebuah perenungan berkenaan, pemahaman “Jika ada Tuhan yang menciptakan alam semesta dan manusia di dalamnya, masak sih Dia tidak memberikan aturan-Nya, untuk memanage kehidupan alam semesta dan manusia? Masak sih Tuhan cuma sekedar memberikan hukum alam pada semesta sementara pengaturan untuk manusia dia tidak punya?”

Perenungan itu memunculkan pertanyaan lanjutan, “Bagaimana cara Tuhan memberikan aturan-Nya? Apakah Tuhan kemudian membangun kerajaan yang dapat diindera dimuka bumi, hingga manusia bisa bertanya pada Dia secara langsung mengenai penerapan aturan di dalam kehidupan?”

Pada kenyatannya kerajaan Tuhan di muka bumi –secara material—tidak nampak. Kita tidak bisa bertanya langsung pada Tuhan setelah sebelumnya mengetuk pintu gerbang (kuno sekali masih diketuk), dan malaikat mempersilahkan manusia untuk menghadap-Nya.
Lantas Tuhan menggunakan apa untuk membimbing manusia? Inilah yang harus dicari.

Orang yang memiliki keyakinan Deisme mungkin menganggap bahwa Tuhan memberikan manusia akal kecerdasan untuk membedakan baik dan buruk dan dari vonis baik dan buruk itu, manusia bisa membuat sebuah aturan sendiri. Aturan yang baik baginya.

Tetapi, mengapa aturan di benak manusia berbeda dengan manusia lainnya?

Ya tentu saja berbeda! karena perbedaan itu maka kebenaran membutuhkan alat uji yakni aturan yang paling memuaskan atau paling logis dan argumentative ketika di benturkan.

Jika begini kasusnya, bahwa kebenaran itu adalah aturan yang paling memuaskan atau paling logis dan argumentative untuk di benturkan, maka orang-orang Deis sudah tidak memiliki keyakinan bahwa kebenaran itu relative.

Baginya kebenaran adalah aturan yang paling memuaskan atau paling logis dan argumentative ketika di benturkan. Berarti relativitas kebenaran itu sebenarnya tidak ada. Kebenaran itu tidak relative. Kebenaran Tuhan mutlak itu pasti ada, meski dalam benak manusia kebenaran itu relative.

Dari sini, seorang Deis seharusnya menanjak untuk meneruskan petualangan melakukan pencarian terhadap kebenaran mutlak. Ia harus mau menjelajah berbagai macam klaim. Dan klaim kebenaran mutlak itu salah satunya dimiliki oleh agama.

Masalahnya apakah per individu penganut Deisme, pernah membandingkan kitab suci agama-agama? Kalau pernah membandingkan, sejauh mana? Apakah sekedar aturan cabang atau fundamentalnya?

Kalau belum, maka kesalahan terbesar penganut Deisme ada disana, yakni menyimpulkan bahwa kebenaran itu relative, sebelum melakukan pencarian terhadap otentisitas kitab suci, sebelum melakukan alternative penyelidikan material yang dianggap sebagai kitab yang diklaim pengikut agama sebagai petunjuk untuk mengetahui sedikit benak dan keinginan Tuhan.
Pencarian terhadap otentisitas kitab suci ini sangat penting dalam pencarian kebenaran mutlak. Pertanyaan yang nantinya muncul.

“Apakah benar kitab suci itu buatan Tuhan atau jangan-jangan malah buatan manusia. Buatan abah-abah atau nenek moyang manusia di sebuah masa.”

Bagaimana cara membedakan sebuah kitab itu otentik atau tidak?

Salah satu cara yang paling sederhana (bukan yang paling mutakhir) ialah dengan meneliti sejarah bagaimana kitab suci itu di bukukan. Apakah pencatatan kitab suci tersebut dilakukan ketika Nabi --yang dianggap pembawa kabar ayat-ayat Tuhan-- masih hidup (dalam artian, pencatatannya langsung dilakukan ketika nabi mendapatkan wahyu. Nabi-lah yang mendikte pencatatan kitab suci tesebut) atau malah penulisannya dilakukan jauh-jauh hari setelah zamannya.

Perbedaan waktu antara pencatat dengan orang yang dicatat ucapannya, tentu mempengaruhi kepercayaan akan otentisitas (keaslian) kitab suci tersebut1). Tentu, untuk membandingkan membandingkan kitab suci mana yang diklaim sebagai ayat-ayat yang berisi sedikit benak dan keinginan Tuhan, membutuhkan space yang panjang melebihi panjang coki-coki atau tubuh ular boa---). Namun setidaknya kita sudah memahami kronologis, bagaimana melakukan pencarian terhadap keinginan Tuhan. Dan kalaupun ternyata endingnya disimpulkan, bahwa tidak ada kitab suci yang otentik, yang disimpulkan melalui serangkaian alat uji (bahwa kitab suci itu berisi ayat-ayat yang dibuat manusia), maka setidaknya si pencari kebenaran telah berusaha melakukan pencarian. Setidaknya dia mau menapaki alternative lain di luar usaha dia meggodok asumsi yang hanya di dasarkan pada permainan logika belaka bukan berdasarkan fakta (yakni asumsi bahwa kebenaran itu relative)

Pencarian kebenaran mengenai usaha mencari informasi tentang sedikit benak dan keinginan Tuhan, harus benar-benar dilakukan menggunakan cara dengan kronologis seperti itu. Kalau belum melakukannya, tampaknya penganut relativitas kebenaran hanya merupakan korban perang pemikiran sahaja.

Perang pemikiran menimbulkan begitu banyak korban, memunculkan manusia rumput yang tidak memiliki akar yang kuat. Manusia-manusia yang menganggap bahwa ia telah menemukan kebenaran mengenai relativitas kebenaran, padahal dia hanya sebagai posser saja.
Posser ini mengikuti pendapat-pendapat kalangan yang dianggap agamawan namun memiliki keyakinan relativitas kebenaran (meski sebenarnya keagamawanannya dipertanyakan). Salah satu kalangan agamawan yang diikuti pandangan relativitas kebenarannya adalah Ghandi (mungkin pula Anand Khrisna atau JIL)

Ghandi mungkin manusia yang meyakini relativitas agama yang paling terkenal. Dia merupakan penganut keyakinan relativitas agama yang memiliki dasar yang dianggap kuat (karena telah mengklaim melakukan perbandingan sebelum memutuskan keyakinannya (meski harus dipertanyakan perbandingannya sampai sejauh mana).

Keimanan Ghandi akan relativitas agama diperkuat oleh keberadaan konflik agama di tempat kelahirannya. Ghandi melihat bahwa, orang-orang yang menganggap bahwa kebenaran agamanya mutlak, akan berusaha menghantam orang-orang lain diluar agamanya.
Ghandi ogah melihat ini. Demi kedamaian dan kebaikan manusia ia kemudian berusaha menyatukan semua agama, dengan menyatakan bahwa semua agama itu sama. Bahwa yang membedakan antara agama satu dengan yang lainnya hanya jalannya. Asalkan tujuan sampan sama meski jalan berbeda, hal itu tidak menjadi masalah. Toh kita tetap menuju muara yang sama.

Ghandi itu baik. Dia ingin pemeluk antar agama hidup dengan damai. Tapi, ia salah dalam menyimpulkan fakta ketika menyimpulkan, bahwa orang-orang yang meyakini kebenaran mutlak ajaran agama akan berusaha menghantam orang-orang lain diluar agamanya.

Apakah memang benar selalu begitu?

Apakah pemutlakan terhadap kebenaran ajaran agama akan selalu menimbulkan konflik (baca konflik hubungan kemanusiaan) dengan orang di luar agamanya?
Pernyataan seperti itu bisa dikembalikan
“Apakah dengan meyakini relativitas kebenaran agama maka otomatis di dunia ini tidak akan terjadi konflik?”

Pada kenyataannya bukan sebuah rahasia jika penganut relativitas agama, konflik dengan penganut kemutlakan ajaran agama. Penganut relativitas agama sebal dengan kepala batunya penganut kemutlakan ajaran agama kemudian mengancam penganut kebenaran mutlak melalui fasilitas sms di telepon selularnya.

Penganut relativitas kebenaran agama mengatakan penganut kebenaran mutlak sebagai kepala batu! Fundamentalis! Padahal dia juga kepala batu dan fundamentalis relativitas kebenaran (jika seperti itu terus, saya fikir tinggal menunggu waktu datangnya perkelahian massal mirip gangster seperti yang sering kita lihat dalam film-film Cina. Sama saja)

Lantas, benarkah dengan meyakini kebenaran mutlak sebuah agama, seseorang akan selalu berusaha menghantam penganut kebenaran keyakinan lainnya?
Pada kenyataannya, di dunia ini orang yang memutlakan kebenaran ajaran agamanya namun memiliki hubungan yang baik dengan orang diluar ajaran agamanya, masih ada. Setidaknya saya!

Saya yang muslim memiliki hubungan yang baik dengan orang yang meyakini agama lain, bahkan orang atheis dan agnostic sekalipun. Ini Cuma masalah penghayatan saja. Saya yakin konflik kemanusian mengenai hubungan kemanusiaan antar umat beragama, tidak akan menjadi permasalahan jika umat Islam sendiri memahami ajaran agamanya dengan baik (saya heibat. Saya emang macho)

Jika umat Islam mau dewasa, mencontoh rasulullah dalam bertenggang rasa, maka tidak ada alasan bagi pengusung relativitas kebenaran untuk menyudutkan Islam sebagai ajaran agama yang biang konflik meski Islam mewajibkan pemeluknya untuk meyakini dan mengatakan bahwa Islam merupakan jalan hidup terbaik dan terbenar. Meski Islam mempersilahkan mempersilahkan mengatakan kafir (karena kafir memiliki definisinya) pada orang diluar Islam, dan sebaliknya mempersilahkan orang diluar Islam mengatakan bahwa umat Islam adalah umat yang tersesat selama pernyataan itu tidak mengganggu hubungan antar umat beragama dan umat manusia.

Justru dengan adanya statement bahwa sesungguhnya “kamu kafir (tersesat)” maka umat beragama yang dewasa mau mendiskusikan “mengapa aku disebut kafir sedangkan kamu tidak?” Dan ketika “Aku pun menganggap diriku benar sedangkan kamu kafir apakah kita akan berjibaku?”

“Tentu saja tidak! Keimanan tidak akan di dapatkan dengan pukulan dan pedang. Keimanan hanya akan di dapatkan melalui pembuktian yang baik. Oleh karenanya mari kita buktikan dengan baik, klaim kebenaran menggunakan kitab suci dan logika mengenai fundamen agama yang kita miliki.

Dengan diskusi yang baik dan argumentative, mudah-mudahan kita mampu menemukan titik terang kebenaran.” Ini cuma masalah kedewasaan saja.

Selanjutnya, apakah benar semua agama itu sama, --seperti yang dikatakan Ghandi--, bahwa yang membedakan antara agama satu dengan yang lainnya hanya jalannya? Asalkan tujuan sampan sama, --meski jalan berbeda-- tidak menjadi masalah karena kita tetap menuju muara yang sama. Benarkah?

I think in the soy soy, if all ajaran agama benar sama meski jalannya berbeda, maukah penganut ajaran relativitas agama konsisten dengan ucapannya? Maukah penganut ajaran ini mengatakan, bahwa agama penduduk Teotihuakan dan Aztec merupakan agama yang benar karena tujuannya sama dengan agama lainnya, yakni kebaikan untuk umat manusia.
Dalam ensiklopedia Amerika Kuno, Pustaka Life Time dikatakan bahwa penduduk Teotihuakan dewa musim semi bernama Xipe Totec.

Agar musim semi –(yang merupakan berkah untuk manusia) berlangsung dengan baik, para imam Teotihuakan melakukan serangkaian upacara keagamaan menggunakan pengurbanan. Kurbannya acapkali wanita muda, tubuhnya dikuliti menggunakan pisau batu dan dikelupas utuh. Seorang imam menggunakan kulit kurban yang malang, kemudian menari mengelilingi altar dengan khidmat sebagai simbolisasi sambutan, manakala alam menggunakan “kemeja emo” dan “celana jeans” baru berupa tetumbuhan muda dan segar.

Di ensiklopedia yang sama, dijelaskan pula, bahwa bangsa Aztec memiliki dewa rakus darah manusia, bahkan pernah dalam satu upaya penyucian, seorang raja membunuh 20.000-80000 manusia untuk dikurbankan2). Nama dewanya Huitzilopochtli.

Kalau agama, Tuhan atau Dewanya seberingas itu, apakah Ghandi bakal mengatakan agama bangsa Amerika Kuno, apakah itu agama bangsa Aztec atau agama bangsa yang tinggal di Teotihuakan merupakan agama yang benar? Kalau dikatakan bahwa agama mereka bukan agama yang benar. Lantas dimanakah relativitas kebenaran sebuah agama? Lantas kenapa agama mereka dikecualikan? Lantas kenapa sebelumnya Ghandi mengatakan, bahwa setiap agama itu benar sebab muara nya menuju satu kesamaan yakni kebaikan, hanya jalannya saja yang berbeda. Dan itu bukanlah sebuah permasalahan? Lagipula, bukankah setiap manusia dikatakan tidak mengetahui benak dan keinginan Tuhan? Bisa jadi Tuhan menginginkan pengurbanan itu. Jadi, apa maksudnya kita menyalahkan ritual pengurbanan mereka?
Disinilah letak masalahnya. Ghandi melupakan sesuatu yang penting, yakni perbandingan fundamental antar agama, berkenaan pembuktian konsep ketuhanan, otentisitas kitab suci dan kenabian mana yang paling benar. Kalaupun dikatakan bahwa Ghandi pernah membandingkannnya, dalam berbagai buku dan tulisannya, saya hanya menemukan, bahwa Ghandi hanya membandingkan cabang-cabang aturan keagamaan, bukan membandingkan sesuatu yang fundamental seperti yang saya katakan.

Padahal, itulah yang sangat penting. Hal itulah yang akan menjawab apakah benar semua jenis sampan agama, akan membawa manusia menuju Tuhan alam semesta yang sesungguhnya? Jangan jangan, beberapa sampan malah menuju ke mulut Iblis?

Sebagai seorang yang telah meyakini kebenaran melalui pembuktian fundamental, dan memilih Islam sebagai keyakinannya maka sudah seharusnya kita tidak serta merta boleh latah, mengatakan bahwa ajaran Islam itu relative. Sebab, hal itu bertentangan dengan kesaksian kita terhadap penafikan pemilik semesta selain Allah (di dalam syahadat), juga bertentangan dengan informasi yang termuat di dalam kitab suci Quran yang mengatakan bahwa setelah Islam diturunkan, maka hanya Islamlah yang merupakan satu satunya agama yang diterima disisi-Nya. Agama lainnya tidak.

Tentu, itu selama sesorang masih beriman dengan meyakini Islam. Jika dia sudah tidak meyakini kebenaran Islam lagi, jika ia sudah menganggap bahwa agama lain yang meski konsep ketuhanannya absurd, kitab sucinya tidak otentik dan kenabiannya tidak bisa dipertanggungjawabkan, tetapi masih mengatakan bahwa kebenaran itu relative, maka lagi urusannya.

Urusan apa? Urusan kepaantasan untuk mengatakan bahwa kebenaran itu relative. Mereka pantas! Kalau kita?
Pantaskah mengatakannya?

1 komentar:

  1. Anonim says:

    udah kang, kamu suruh pindah aja tu orang jil buat cobak agama lain..mau gak ya wakakakaka..kang nulis lagi donk..

be responsible with your comment