Anjinglah Anakmu, Ibu

Posted: Jumat, 18 April 2008 by Divan Semesta in Label: ,
0


Sekelebat, di bulan purnama Januari, Lintang pergi menuju masa lalu, menggunakan mesin teleportasi yang ada di dalam hati dan fikirannya. Di paha ibundanya yang empuk ia menerawang, ketika --setahun yang lalu--, novel, essay dan kumpulan cerpen perdananya menjadi best seller. Di lembut, usapan jemari ibundanya, ia teringat --ketika usianya beranjak kepala dua-- seorang wartawan Koran nasional menuliskan kekaguman pada pemikiran orisinilnya yang dikemas menggunakan bahasa yang menggerakan fikiran dan rasa.


Kini, menjelang novel susulan yang akan diterbitkan, Lintang diganggu oleh bayang-bayang dosa yang menghantui dirinya. Setahun lalu, ia menganggap, tak ada orang lain yang ada dibelakang layar prestasinya. Semuanya, merupakan hasil dari pengasahan disiplin dan intelektualnya. Sepenuhnya, merupakan hasil dari kaidah kausalitas yang di jalaninya.

Pada satu waktu, saat matahari undur diri meninggalkan senja yang kemerahan, seorang pedagang ayam, alumni SMA Lintang, bernama Sandi, datang menginap di kosannya. Temannya itu sedang jenuh melakukan bisnis yang sudah lima tahun dirintisnya. Sandi merasa dunia bisnis yang digelutinya mulai membosankan. Ia ingin kembali merasakan dunia pendidikan; dunia tempat orang-orang memenuhi dan mengembangkan atau bahkan, mencari teori baru dalam otaknya. Ia mendamba dunia yang sarat dengan kegiatan berfikir. Tapi, di malam ketika Sandi harus mempersiapkan test masuk S-2 ITB (keesokan harinya), Lintang malah mengajak berbincang mengenai pengalaman yang dilakoninya selama beberapa tahun kebelakang. Melalui pembicaraan --yang berakhir ketika adzan subuh berkumandang-- perubahan pemikiran terjadi.


Satu pemahaman datang, saat malam itu, Sandi mulai berfilsafat: “Manusia itu bukanlah mahluk yang memiliki kekuatan untuk mengukuhkan dirinya. Manusia adalah mahluk yang tak mungkin memiliki eksistensi tanpa bantuan dari sekitarnya.”

Ungkapan Sandi menusuk kemapanan pemahaman yang ada dalam diri Lintang. “Bagaimana mungkin seperti itu, bukankah seseorang bisa “menjadi” jika dia berusaha mewujudkannya. Jika kita ingin kaya maka kita akan berusaha menjalani arah menuju keinginan kita. Jika kita sudah kaya maka itulah keberhasilan yang nyata. Keberhasilan yang kita dapatkan karena jerih payah kita, bukan jerih payah orang lain. Jika kita ingin menjadi terkenal secara intelektual maka kita meski merancang bangunan menuju puncak pencapaiannya. Hal itu merupakan hasil pencapaian kita seutuhnya. Bukankah suatu kaum tidak mungkin bisa berubah jika kaum tersebut tidak mau merubahnya?. Termasuk kita. Orang yang ada disekitar kita terkadang bukannya mendukung, malah melecehkan. Menghina angan-angan kita untuk maju kedepan mewujudkannya”.

“Semua merupakan jerih payah diri kita. Hm...” Sandi mengambil mug yang baru saja diberikan Lintang untuk menghangatkan tubuhnya seusai mandi. “Peperangan yang dilakukan oleh seorang jenderal bukanlah kemenangan dirinya Disamping didukung oleh mariner, pasukan infanteri, atau yang sering dianggap sepele saja tanpa ada peran juru masak yang sering dianggap sepele karena tidak ikut terjunlangsung di kancah pertempuran, bagaimana mungkin perang dimenangkan?. Seorang jenderal setegap apapun membutuhkan suplai makanan untuk diri dan pasukan tempurnya. Seandainya tidak ada yang menyuplai makanan jederal yang tegap itu akan kelaparan hingga tidak kuat berperang, bahkan mengacungkan tongkat komandonya. Setiap manusia selalu membutuhka orang lain dalam kehidupannya. Cotoh kecil saja, kalau gatal dipunggung kita sukar digaruk, dengan cara apa kita meredakan gatalnya?. Kita membutuhkan orang lain untuk menggaruknya. Atau kalau ada orang yang menjawab, hal itu bisa dilakukan menggunakan alat penggaruk yang terbuat dari tempurung kura-kura maka kita pun tidak bisa mengatakan hal itu terjadi atas jerih payah kita. Siapa yang membuat garukan dari tempurung kura-kura itu?. Orang lain kan. Oke, kalau dia mengatakan yang membuat alat tempurung kura-kura untuk menggaruk punggunya, kita tidak bisa menafika peran kura-kura dalam membuat alat penggaruk itu. Sukses yang kita lakukan, sesungguhnya merupakan sukses kolektif yang dilakukan orang banyak untuk diri kita”.

Sandi kemudian bersandar pada bantal yang diletakkannya pada dinding tengah jendela. “Dengan memahami hal itu, kita akan lebih menghargai orang-orang yang ada disekitar kita. Orang-orang yang mungkin tidak terlihat nyata membantu diri kita tetapi sesungguhnya ia mengangkat tangannya tinggi-tinggi untuk keberhasilan kita. Mereka mendoakan kesuksesan kita”.

Menyimak pemaparannya Lintang tiba-tiba merasa diselimuti kekelaman. Ia merasa ucapan Sandi benar adanya. Ia merasa berdosa pada ibunya yang pada suatu saat memintanya untuk menerangkan makna tulisan-tulisan yang dia terbitkan. Ia merasa telah menganggap sepele ibunya karena ia menganggap ibunya tak akan mungkin memahami tulisannya. Ia merasa berdosa karena pernah merasa bahwa apa yang dilakukannya tidak ada campur tangan orang termasuk ibundanya. Padahal, jika ia berfikir dalam, segala kreatifitas menulisnya berawal dari runtutan pelajaran membaca yang dengan sabar silakukan ibunda untuk menuntunnya. Agar anaknya itu menjadi anak yang bisa mengembangkan jelajah intelektualnya di masa yang akan datang.

Lintang tak bisa membantah apa yang diutarakan Sandi, sebab pemahamana ke-aku-an itu, belum mengarat dalam hatinya. Ia bersyukur sifat-sifat kejahalan dan kelahaban belum sempat mendidiknya untuk melakukan bantahan-bantahan yang sengit. Ia bersyukur karat itu segera ditemukan.

Ingatannya akan dialog yang dilakukan itulah yang datang kembali ketika Lintang berada di pangkuan Ibundanya. Ketika api ke-aku-an datang kembali menjelang penerbitan novel keduanya, Lintang berupaya memadamkannya dengan mengingat kerja keras bunda saat menjajakan kain perca, demi menafkahi dan menyekolahkannya. Ia berusaha mengingat, bagaimana bunda yang mulai merenta, bersimbah peluh ketika menawarkan kelom geulis buatan Tasikmalaya untuk membiayainya di Perguruan Tinggi Negeri; untuk membeli baju; kaus kaki dan sepatu; untuk membeli computer bekas yang ditawarkan kerabat dekatnya. Ia berusaha mengingat ketika dua tahun lalu, pamannya datang menceritakan bagaimana bunda menabung, agar tunggakan uang praktikum komputernya bisa segera dilunasi; bagaimana bunda rela makan seadanya, agar asupan gizi yang masuk ke tubuh anaknya terpenuhi (sehingga, anak satu-satunya itu dapat mengikuti pelajaran dengan baik).

Menyadari itu, keringat Lintang menetes didahi. Tetes keringat itu merupakan penjelmaan ketakutan dirinya akan belenggu kedurhakaan yang akan memasunggnya di hari kebangkitan kelak. Ia teringat ketika seorang sahabat Rasulullah datang menanyakan siapa yang paling harus dihormati didunia ini. Dan beliau mengatakan : ibundamu, ibundamu ibundamu hingga tiga kali. Ketakutan memelintir hatinya ketika ia teringat sebuah peringatan bahwa surga yang menakjubkan; surga yang dihiasi pohon-pohon cedar; surga yang dialiri oleh madu dan susu itu, berada di bawah kaku ibundanya. Tetapi, bagaimana bisa masuk kedalamnya, jika ia pernah menginjak kepala ibunda dengan kaki yang pernah keluar dari rahimnya yang suci?; bagaimana mungkin ia dapat masuk kedalamnya jika kepala bunda pernah ia jejakkan dengan sepatu kets yang dihadiahkan bunda di hari ulang tahunnya yang keduapuluh?; bagaimana mungkin ia dapat masuk kedalamannya jika ia pernah menyuntrungkan kepala ibundanya meski hanya dihadapan ke-akua-an dirinya.

Hati Lintang terserpih. Focus matanyapun meluber. Air yang bermuara di ceruk matanya, mulai mengalirkan pengakuan dosa. Air matanya merembesi daster coklat yang dikenakan ibunda yang melahirkannya. Wanita tua itu terkejut ketika ia melihat anaknya tersedu sedan sendiri. Ia tidak mengetahui bahwa saat itu, dihati anaknya tengah berkecamuk ketakutan yang berat. Ia tidak mengetahui bahwa anaknya sedang meratap; melantunkan elegi kematian “keakuan-dirinya”. Ia tak menyadari bahwa anak yang pernah ditimangnya itu, sedang menyuarakan syair pengampunan di dalam hatinya :

Ibu, adakah aku menelantarkanmu
Setelah kau besarkan jiwaku melalui air ketubanmu?
Ibu adakah aku menyiakanmu setelah tergadai ranah airmata
untuk membesarkanku?,
Ibu …
Setetes keringatmu adalah keagunganmu
Senyum-mu adalah kedamaianku
Maka ANJINGLAH anakmu
Maka BANGSATLAH anakmu
jika … mendurhakaimu!

Dan tangis yang tertahanpun meledak, mensucikan diri Lintang. Tanpa berbicara sepatah katapun, wanita mulia itu, meletakan jemari pada dahi anak yang disayanginya semenjak dahulu. Ia mengelus-elus kepala permata hatinya, sembari mengepakkan lantunan doa, yang langsung terbang, menembus arasy angkasa.

Rintik-rintik hujan turun. Langit berbahagia. Dan disebuah singgasana yang mulia, sesuatu yang sangat indah tersenyum jenaka. Ia menangkap kupu-kupu doa dengan uluran tangan-Nya yang mempesona.

0 komentar:

be responsible with your comment