Fiqh itu Rigid

Posted: Jumat, 18 April 2008 by Divan Semesta in Label:
2

“Psicho!.” Kata sahabat saya, mendengar temannya yang masih muda, di katakan tidak menyuarakan ide Islam, oleh mentornya saat membuat sebuah tulisan.

“Apanya yang psicho?.”

“Apanya-apanya!? Gimana sih, itu orang? Emang Islam itu apa? Ngomongin masalah politik doang! Masalah konspirasi doang. Hancurkan!, rubuhkan!, hantam Kapitalisme!. Saya disalahin karna gak bahas tema perlawanan,. Apa salah ngomong tentang kejiwaan manusia, pendalamannya, eksistensinya?”

“Mungkin mereka anggap, apa yang kamu tulis nggak nyambung ama ide penyatuan umat Islam dan manusia, di bawah teritori yang sama, Khilafah!.”

“Tuh, kamu jadi kayak mereka. Sama!”

“Saya kan bilang mungkin. Kamu bilang psicho-psicho, jangan-jangan kamu sendiri psicho, kena syakwasangka bilang saya sama dengan mereka? J.”

Dia terdiam sejenak, anggukan kepala, mengakui kesalahan tuduhannya pada saya.
Saya tersenyum, saya mengetahui mengapa sedemikian marahnya sahabat saya. Awalnya dia tidak seperti itu, tapi lama kelamaan tuduhan-tuduhan yang menumpuk membuat dia kesal. Sepertinya, kebencian yang hampir melalap hatinya, berawal dari sindiran-sindiran, yang dialamatkan orang ke arah tulisannya. Bagaimana tidak, setiap kali ia membuat tulisan, setiap kali mempostkan ke media masa, kerap kali itu pula orang-orang mengkritik dia: “Tulisan kamu terlalu universal, nggak ngarah ke Islam, nggak ada nyala apinya, nggak ada pemberontakannya. Lemes!. Yang kayak gitu nggak mungkin bisa merubah ketertindasan yang terjadi di dunia Islam!” Ia disalahkan. Masih untung belum dikatai memandulkan umat Islam, dikatai tulisannya membuat masyarakat semakin dinina bobokan oleh eksistensi Kapitalisme, dikatai tulisannya berpotensi membuat masyarakat --yang nantinya bersinggungan dengan Sosialisme-- berbalik arah mengangkat pacul, karena menganggap, bahwa Islam dijadikan candu bagi Kapitalisme untuk memeras dan melindas kaum buruh dan petani.

Ia merasa mentornya, menganggap dia penjahat yang patut dibekuk, sebab penjelasan mengenai tulisan-tulisannya selalu dimentahkan oleh pertanyaan, “Emangnya devinisi ruhiyah itu apa?. Kamu yang sudah lama ngaji seharusnya tahu, ruhiyah itu hubungan antara individu dengan Tuhannya. Apa dengan membicarakan politik, bukan berarti tidak membicarakan spiritual?. Apa dengan menuliskan tema-tema perlawanan berarti tidak membicarakan ruhiyah? Ruhiyah atau spiritual, tidak sesempit bayangan kamu. Ruhiyah spiritual tidak melulu membicarakan bagaimana memanage hati seperti yang sering kamu tulisanmu itu.”

Hal itu membuatnya bungkam, namun ia tetap merasa benar. “Apa salahnya membicarakan jiwa, membicarakan pendalaman manusia?. Apa salahnya?” demikian berulang-ulang pada saya. Dia merasa, bahwa ditengah-tengah kekacauan sistem global yang bangsat, seseorang tidak cukup dibekali wawasan tentang politik. Jika seseorang hanya mengisi kepalanya, dengan politik saja, --ia beranggapan-- akan ada kekacauan di dalam jiwa masyarakat.

Baginya, politik memang penting untuk disampaikan, tetapi harus tetap diseimbangkan dengan bahasan-bahasan yang terkait dengan pendalaman jiwa manusia. Saat seseorang mengeksplorasi dirinya, dan menjabarkan penemuannyanya ke dalam bentuk tulisan, itu bukanlah sebuah kesalahan. “Biarlah seseorang berjalan dan berusaha untuk terus menerus menemukan dirinya sendiri, di saat kebanyakan orang tengah lupa,” pintanya.

Kalau saya sih mengabulkannya, toh, pemikiran dari sisi keberpihakannya terhadap sistem politik Islam, tidak pernah berubah. Sepanjang perjalanan terakhir yang saya lakukan dengannya, ia masih meng-goblok-gobloki kebijakan pemerintah Amerika, saat menguasai dunia; ia masih murka mendengar terbongkarnya kepremanan busuk negara adidaya. Lebih dari itu, di dalam hardisk komputernya, tulisan-tulisan yang berujung pangkal pada konsep pemerintahan Islam, masih saya temukan, saat saya melakukan search enggine di komputernya. Jumlahnya puluhan.

Yang berubah hanya satu. Dulu ketika menyampaikan ide dalam bentuk tulisan caranya memang brangasan, tidak jauh beda dengan majalah sabili yang mungkin sering ia konsumsi. Pokoknya langsung memukul Kapitalisme, Sosialisme, dan berujung pada solusi yang harus diwujudkan Kekhilafahan. Sekarang lain lagi, tulisannya melembut.

Apakah kelembutan yang saya dapatkan merupakan indikasi jika dia mulai melemah?. Tidak. Hal itu tidak mengindikasikan bahwa ia lemah. Ia berusaha memadukan seni dengan perlawanan ideologi yang diperjuangkannnya. Dulu ia menjadi Mike Tyson yang langsung me-mampus-kan lawannya. Sekarang ia ingin menjadi Muhammad Ali, dengan gaya bertinjunya yang memukau, dibawa berputar-putar lawan tandingnya, di buat lemas sebelum di KO-kan1)1). Ya, caranya melawan dunia memang berubah tapi substansi perlawanannya, tidak. Sekali Khilafah tetap khilafah.

Dalam kasus tesebut, saya melihat, adanya miskomunikasi antara sahabat saya dengan orang-orang pergerakan, yang ia pun menjadi bagiannya. Pola komunikasi itu, diperburuk oleh penekanan orang disekitar dia, terhadap tulisannya. Diperburuk oleh stigma teman-teman yang melecehkannya. Tampaknya, seseorang telah mencapai titik kulminasinya dan saat ini, ia sudah mengalami puncaknya. Wajar saja jika sikapnya seperti itu.

Untuk sementara tidak apa-apa. Saya berharap, dalam menjalani proses pencariannya, ia tidak begitu terpengaruh oleh ucapan orang, sebab apa yang ia lakukan benar adanya. Politik hanyalah salah satu pembahasan di dalam Islam yang mampu membangkitkan manusia. Karena salah satu diantaranya, maka ada diantara lainnya, yang memiliki kemampuan untuk membangkitkan pula, yakni penelaahan tentang pendalaman jiwa manusia.

Politik adalah penejawantahan bentuk fikh oleh karenanya tak salah ketika saya dan dia, merumuskan sebuah manivesto bersama untuk mengumpulkan orang-orang terserak, yang mempercayai bahwa pendalaman jiwa, serta penemuan atas keunikannya, merupakan keagungan yang membuat kami sadar diri, dihadapan Tuhan pemilik semesta dan dunia manusia.

Jiwa itu menyamudera.
Banyak yang belum tergali disana.
Penulisan tentang kemanusiaan; tentang jiwa manusia
membuka kesempatan lebih luas bagi orisinalitas berfikir sedangkan fiqh tidak.
Fiqh itu rigid, kaku atau beku
(21 mei 2005)


***

Selamat datang di dunia manusia. Dunia yang dikatakan seluas samudera. Dunia yang dikatakan tidak memiliki batas untuk diseksplorasi, bahkan oleh manusia itu sendiri. “Kalau tidak memiliki batas, berarti dunia manusia setara dengan ketidak terbatasan ilmu Pencipta?”

“Bukan! Bukan seperti itu honey. Jangan, jangan salah sangka begitu. Tidak memiliki batas di sini, bukan berarti tidak memiliki batasan seperti halnya keluasan ilmu Pencipta. Tidak memiliki batas disini, berarti apa yang terkait dengan permasalahan manusia, belumlah fix, belumlah selesai, kecuali hanya beberapa bagian saja. Dan beberapa bagian itu, dituangkan di dalam hukum syara. Hukum syara adalah sesuatu yang sudah baku. Hukum yang baku tersebut, menyangkut kepercayaan seorang muslim terhadap ibadah ritual di dalam Islam, hingga sistem apa yang berhak mengatur seluruh umat manusia di dunia. Dalam artian, semua yang baku, adalah sesatu yang sudah menjadi “garis-garis besar” pengaturan. Apa yang harus dilakukan manusia agar perjalanannya menuju Tuhan berlangsung dengan baik, sudah dimuat di dalam garis-garis besarnya. Dunia manusia tidak dijelaskan secara detail oleh garis-garis besar tersebut, karenanya seorang muslim harus mengeksplore kedalamannya”.

Fiqh itu baku, rigid, kaku!. Pada faktanya memang demikian. Ketika seseorang ditanya bagaimana hukuman bagi pezina yang sudah menikah?, maka sesuai dengan yang dituntunkan Islam, hukuman yang layak diterapkan adalah rajam. Dilempari batu, sampai si pelaku wafat. Menakutkan memang, tetapi sesuatu yang menakutkan itu ditujukan bukan saja sebagai pencegah patologi (penyakit) penyakit sosial melainkan juga memiliki dampak penghapusan dosa, bagi orang yang melakukannya.

Hukum yang baku sudah tertera di dalam pengaturan garis-garis besar pengaturan, yang termuat di dalam Al-Quran dan Assunnah. Hukum-hukum tersebut tidak bisa diganggu gugat. Karenanya, jika ditanya mengenai pentingnya penegakan Syariat Islam, maka seorang muslim harus menjawab, bahwa penegakan Syariat Islam dalam sistem Khilafah, adalah sebuah keharusan, yang sudah masuk kedalam garis-garis besar pengaturannya. Jadi, pendiriannya tidak mungkin digugat. Khilafah mutlak harus ada, karena Syariat Islam yang sempurna tidak bisa ditegakan, di dalam sistem Demokrasi, Pancasila, dan lain sebagainya; Ketika seseorang ditanya tata cara shalat, bisakah shalat dilakukan dengan menggabungkan teknik-teknik yoga, supaya canggih kelihatannya, maka seorang muslim akan menjawab, bahwa shalat adalah shalat yang gerakan dan jumlah rakaatnya sudah dicontohkan Muhammad. Tidak bisa, seseorang shalat mahghrib 10 rakaat meski itu dilakukan atas dasar luapan cinta terhadap Rabbnya. Puasa pun demikian halnya, sudah ditentukan waktu dan caranya; cocain, heroin, ganja, minuman keras, pelacur, dan anal seks itu haram dikonsumsi. Semuanya sudah pasti kepastiannya, sudah dibakukan dan tidak bisa di preteli untuk dikurangi atau dikembangkan.

Hal-hal tersebut pada faktanya baku, artinya kaku!. Jika kita mengatakan tidak kaku atau dinamis maka benarlah apa yang dilakukan segolongan orang, ketika mereka mengatakan bahwa hukum harus disesuaikan dengan zaman, karenanya hukum Islam harus berubah. Siapa yang mau mengatakan demikian. Orang Liberal? Islam protestan? Tentu saja!, tetapi saya dan sahabat-sahabat saya, tidak!.

Fiqh adalah sesuatu yang rigid!. Karena kebakuannya, Fiqh merupakan sesuatu yang tidak usah dibahas lagi.

“Kalau tidak usah dibahas lagi, berarti tidak usah diajarkan lagi.”

“Tentu tidak seperti itu hongky tongky!. Tidak usah dibahas disini, bukan berarti tidak usah diajarkan lagi, melainkan tidak usah diperdebatkan lagi.”

Tidak usah dibahas lagi, merupakan sebuah penyandaran kepercayaan kepada kebakuan hukum Islam, untuk kemanusiaan. Tidak usah dibahas lagi, bisa jadi sebagai sebuah ajakan, untuk melakukan pembacaan terhadap alam semesta, membuat replika alam yang dapat dipergunakan, untuk memudahkan kerja manusia2). Tidak usah dibahas lagi, adalah juga sebuah ajakan untuk melakukan eksplorasi, terhadap sesuatu yang masih gelap di dalam pencarian diri manusia, terhadap pendalaman sisi kemanusiaan kita. Terhadap apa yang saya dan sahabat saya katakan diawal-awal, sebagai jiwa. Terhadap sesuatu, yang jika dieksplorasi, tidak akan habis-habisnya karena menyamudera.

Kepercayan terhadap hal inilah, yang saya fikir bakal merangsang munculnya kedewasaan berfikir umat Islam, yang saat ini, terlihat banyak mevonis, suka melakukan doktrinasi, dan lebih sering menggunakan otot ketimbang argumentasi. Karenanya, umat Islam tidak boleh puas dengan sesuatu yang baku. Kita harus terus menerus menyelami diri, agar perkembangan emosi kita, tidak mengalami stagnasi.

Nahjul Balagah merupakan contoh sebuah naskah mengenai esksplorasi, kejiwaan manusia, yang dilakukan oleh Ali bin Abi Thalib Karamallahu Wajha. Nahjul Balagah adalah naskah indah yang menentramkan, yang muncul dari menantu manusia sempurna (Muhammad SAW), manusia yang mengerti dan mengerjakan sesuatu yang rigid (fiqh), tetapi tidak meninggalkan eksplorasi terhadap kejiwaan demi mencapai inti kebijaksanaan.

Yang saat ini tersisa dalam benak saya. Akankah muncul kembali Nahjul Balagah lainnya, di kalangan kaum muslimin?. Akankah muncul kembali manusia yang memiliki keluasan ilmu yang rigid, menjalankan tata cara wudlu, memperjuangkan tegaknya syariat Islam, tetapi dia memiliki telaah pendalaman jiwa yang orisinil, serta penguasaan ilmu eksakta yang dahsyat?.
Pastinya ya!. Sebab, di setiap zaman akan selalu muncul segelintir orang yang berjuang untuk mewujudkan kepercayaannya. Ya! kalian dan sayalah yang akan menjadi garda terdepannya!. Ya! Saya dan kalianlah yang akan mengikuti, dan menjalani hukum alamnya!.


--------------------------
Kaki Ku

1)Kenapa dia, si cecunguk Divan, lebih mengedepankan seni, ketimbang meng-KO-kan Kapitalisme, padahal kaum muslimin banyak dibunuhi di mana-mana.” Ya ampun, itu analogi semata. Tidakkah kita cukup mengerti dengan makna yang ada dibalik perkataan saya?. Ah, tidak apa, sayapun berusaha mengerti, kalau pembahasaan saya tidak akan bisa sampai pada pemaknaan yang sama, dalam diri kalian semua. Silahkan saja. Yang mengerti maksud saya, pasti melanjutkan tulisan ini. yang tidak, mungkin sudah mencaci maki, dan mengatakan tulisan saya sudah terbantahkan, dan lemah jika dilihat dari logika. Huahaha!.

2) Replika-replika alam dalam hal ini adalah teknologi!. Bayangkan apa yang terjadi, jika umat Islam hanya berkecimpung di dalam Fiqh. Jika yang terjadi seperti itu, maka peradaban akan mengalami kemunduran secara material. Padahal, kita tidak menginginkan hal itu sebab Allah sendiri mengajarkan manusia untuk membaca alam dan melakukan inovasi baru demi kepentingan manusia sendiri.

2 komentar:

  1. Anonim says:

    Bagaimana kalo saya katakan bahwa aturan itu hanya membuat kita kehilangan spontanitas diri kita.

    ketika berbuat baik. perbuatan baik kita, kita lakukan karena aturan menyuruh kita berbuat baik bukan lagi karena memang perbuatan itu memang perbuatan baik dan saya berhasrat untuk melakukan perbuatan baik itu.

    Hm ...

  1. Hm, sayangnya nggak ada yang bisa mengklaim perbuatan ini baik atau buruk. memperkosa kamu itu buruk? kata siapa? hati nurani? dimana hati nurani?

    Kalau sy berpihak pada konsep darwin, sy katakan nggak masalah memperkosa kamu. Hidup sudah merupakan kutukan perjuangan untuk mempertahankan dan memuaskan diri. Tidak ada yang bisa mengklaim, sebotak apapun profesor.

    Sy fikir letak pilihan kita terhadap suatu sistem etika, harus melalui uji otentisitas kitab suci beserta pembuktian/malah penafikan kitab suci berasal dari tuhan atau tidak.

    Baru setelah itu menjadi relevan ketika kita saling membantah: yang ini menghalangi spontanitas atau tidak.

    Bagi sy, spontanitas kontra 'mejen', proletar vs borjuis, berbudaya atau uncivilized, itu tidak relevan untuk dijadikan dasar pertimbangan baik/benar. dasar pertimbangan sy hukum syara (sec konseptual) mengenai mengerjakan atau tidak itu lain soal.

    Masuk ke inti masalah, kalau kamu menemukan landasan/hikmah bahwa perbuatan tertentu baik, maka kamu bisa menenangkan diri kamu untuk melakukan sebuah kegiatan dengan nyaman. Namun tetap sj, perbuatan di dalam konsepsi y sy yakini harus merangkum dua hal: 1) ikhlas 2) sesuai dengan syara...

    Kalau kamu memiliki pendapat demikian (spt dlm komen), tidak apa-apa. Tapi sy nggak mau, karena sy berusaha untuk melibatkan prasyarat supaya perbuatan sy tidak hanya berharga di mata manusia tapi di hadapan sesuatu yang menciptakan 'tanah liat' seperti kita, dan alam semesta.

    Hm....

be responsible with your comment