Yang harus disamakan dalam perseteruan antara pro Dem dan an Dem sebenarnya
adalah penyamaan persepsi melalui pertanyaan:
1. Wajibkah syariat Islam ditegakkan?
2. Wajibkah kita, manusia, muslim diatur oleh hukum yang
sudah Allah turunkan.
Jika Pro Istilah Demokrasi, mengatakan tidak wajib, maka permasalahannya adalah
di akidah rububiahnya.
Dan ini menjadikan keislaman pihak yang setuju istilah Demokrasi Islam,
batal.
Sama seperti wudu, shalat, zakat dan shaum, yang memiliki syarat sah-nya,
maka keimananpun memiliki syarat sah.
Menjadi muslim pun ada syarat sahnya, jika satu syarat tidak dipenuhi maka
kemuslimannya, keimanannya batal.
Nah selanjutnya bagaimana jika ketika pihak/muslim yang pro istilah
Demokrasi menyatakan bahwa syariat Islam wajib ditegakan dan menjadi tujuan
pergerakan yang ia berkecimpung didalamnya, dan ia sangat meyakini bahwa
setiapa muslim dan manusia wajib diatur oleh hukum yang sudah Allah turunkan?
Jika seperti itu, maka insya Allah tidak setitik keimanan-pun yang menjadi
batal.
Hanya saja, saya menilai bahwa yang pro istilah Demokrasi tidak memahami
definisi Demokrasi itu sendiri.
Silahkan dilihat, dipelajari dari literature Barat manapun, semenjak zaman
Yunani, Revolusi Prancis, hingga saat dimana Amerika menjadi simbol kekuatan
terbesar saat ini.
Silahkan dilihat, dikaji bagaimana penelitian itu akan menghasilkan
kesimpulan bahwa di dalam Demokrasi, rakyatlah yang berdaulat atas hukum. Yang
dimaksud berdaulat atas hukum adalah, rakyat mayoritaslah yang berhak membuat
sebuah hukum. Sehingga seringkalai –dari hal ini—kita melihat bahwa hukum di
Amerika contohnya, berubah-rubah.
Di masa lalu, di bawah tahun 1970 Amerika itu sangat rasialis (sekarang
wallahu alam), dan hukum sangat berpihak kepada kulit putih. Akan tetapi
setelah muncul perjuangan, penyadaran, maka kemudian mayoritas masyarakat
Amerika kemudian mendukung penyamarataan hak antara setiap ras. Kemudian dari
dukungan minoritas ini menghasilkan kesepakatan mengenai penyetaraan.
Ini bagus tetapi bukan itu intinya. Inti buruk, karena akhirnya dibuat
berdasar desakan dan inspirasi mayoritas masyarakat.
Di masa lalu juga, masyarakat Amerika anti terhadap homoseksual atau orientasi
sex menyimpang kaum Sodom. Akan tetapi saat ini karena mayoritas masyarakat
tidak mempermasalahkan maka kemudian kaum Soddom abad ini di’halal’kan oleh
negara.
Sama halnya dengan kasus lain, seperti minuman keras, hubungan bebas yang
diperbolehkan atas dasar kesepakatan atau konsensus mayoritas masyarakat.
Disinilah kita masuk kedalam inti Demokrasi.
Term Demokrasi
Jika kita kembalikan secara pendefinisian bahasa pun term Demokrasi pun
akan menghasilkan hal yang serupa.
Demokrasi berasal dari dua suku kata. Demos rakyat dan cratos/cratein,
pemerintahan. Ada pula yang menyatakan bahwa Demokrasi itu pemerintahan dari
rakyat untuk rakyat kepada rakyat. Kemudian terus berkembang dengan berbagai
macam teknik penyempurnaan sehingga demokrasi menjadi seperti saat ini.
Kalian bisa saja menyatakan bahwa Demokrasi sudah berkembang dan akan terus
berkembang dengan trias politikanya: eksekutif, yudikatif, legislatif.
Tapi, ah, apapun itu perkembangannya, tetap saja bahwa di dalam Demokrasi yang
membuat/menentukan hukum atas manusia bukanlah Allah, melainkan manusia.
Uji Konsistensi
Bagaimana kasusnya jika yang pro Dem tetapi mereka sepakat penegakan
syariat Islam, bahwa Allah memiliki hak untuk mengatur hukum sebagai bukti
penyembahan, menyatakan bahwa.
1. Siapa yang mendefinisikan Demokrasi ini dan itu? toh
itu kan yang membuat manusia? Jadi jika yang membuat manusia, gak papa dong
kami membuat definisi Demokrasi sendiri, dengan substansi yang berbeda dari
makna yang berjalan hingga saat ini.
2. Kok term dipermasalahkan, toh substansinya sama kan? Kami
ini ingin menegakan syariat Islam.
Nah, jika kasusnya seperti ini, sebenarnya kita tidak saling bermusuhan
secara radikal karena fundamentalnya berbeda. Tidak. Kita tidak saling
bermusuhan karena tauhid kita masih sama, insya Allah
Akan tetapi, coba pertimbangkan argumen yang akan menguji kekonsistenan
saudara yang insya Allah saya cintai.
Jika kita saudara, meminta untuk dimaklumkan akan penggunaan Demokrasi
dengan alasan Anda membuat definisi Demokrasi sendiri maka, mampukan Anda tidak
mempermasalahkan jika saya yang setuju penegakan syariat Islam mengatakan, dan
meredefinisi term sebagai berikut:
1. Komunis Islam?
2. Liberal Islam/Islam Liberal?
3. Kejawen Islam?
4. Hindu Islam
5. Kristen Islam
Dengan alasan kebaikan dakwah yang substansinya adalah
penegakan syariat Islam di China yang berpaham komunis, di masyarakat Prancis
yang liberal, di pelosok-pelosok pedesaan pulau Jawa, di Vatikan yang
mayoritasnya adalah Kristen, dimuka bumi?
Dan jika Anda mempermasalahkan hal tersebut, maka Anda
akan kami bantah dengan mengatakan bahwa “Komunis, Liberal, Kejawen, Hindu
Kristen Budha adalah istilah yang dibuat manusia, maka tidak masalah jika kami
mendefinisi ulang. So What! Jangan mempermasalahkan hal yang nggak substansial!!?”
Apa jawaban Anda?
Atau bagaimana jika saya tambahkan lagi kata yang
lain, mohon maaf:
1. Tai (Islam)
2. Dubur (Islam)
Itu memang keterlaluan, tapi sekali lagi saya hanya
ingin menguji konsistensi. Bagaimana jika Anda menuntut orang yang mengatakan
itu, kemudian orang itu mengatakan bahwa
“Kata tai, dubur itu yang mendefinisikan adalah
manusia. Saat ini memang manusia memiliki pemahaman yang sama mengenai tai itu
apa, dan dubur itu apa. Akan tetapi, sekali lagi bahwa itu kata hanya buatan
manusia. Dan saya yang manusia ini bisa merubahnya dong. Tai dan Dubur yang
kami maksudkan adalah sesuatu yang suci yakni Islam Islam, bahwa kata itu
adalah kata ajakan juga bagi muslim untuk menegakan syariat Islam.”
Bagaimana jika seperti itu?
Inilah risalah konsistensi dalam sebuah definisi.
Jika Anda konsisten, Anda luar biasa mengerikan, meski
saya pun masih tidak berani mengatakan anda sesat.
Tapi, jika Anda tidak konsisten atau mengatakan tidak
boleh (penggunaan kata-kata yang mengerikan tersebut) maka ada baiknya kita tidak
mengutak-atik sebuah definisi berdasarkan urgensi: menyelamatkan tauhid
saudara-saudara kita di luar sana.
Mengerti maksud saya? Maksud saya, hati-hati dalam menggunakan term untuk di redefinisi. Kita bisa menggunakan term dari luar rahim peradaban Islam, apabila term tersebut tidak bermasalah secara bahasa, definisi awal dan sejarahnya. Wallahualam. Hm, hati-hati ya. (Bersambung)
Oiya, kang. Sebenernya ada pertanyaan yang selama ini menghantui saya: Kan demokrasi itu haram karena adanya fungsi legislatif yang berijtihad berdasarkan hawa nafsu masing-masing individu di parlemen itu sendiri.
Nah, gimana kalo semua "legislator" di parlemen itu dikondisikan agar melakukan ijtihad berdasarkan Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah; menurunkan semua UU yang dibuatnya dari Hukum Allah? Gimana, kang?