Bagaimana
kabar keimananmu sahabat?
Entah
sudah berapa lama aku tidak memperbaharui blog ini. Ada banyak hal yang
kutelantarkan: sosial network, hubungan dengan sahabat-sahabatku pun berkurang.
Aku merasa hidupku semakin ketat. Tentu, jangan kau artikan keketatan itu macam-macam.
Berbahaya, ini bulan puasa Bung!
Waktu,
waktu, waktu. Semakin umurku bertambah semakin sibuk hidupku. Dan itu
mengerikan. Pernah pada satu waktu aku membawa pulang pekerjaanku ke rumah.
Anak-anak, Nyala dan Nyawa sudah tertidur, aku masuk ke ruang tamu, ruang yang
biasa dipakai untuk sahabat-sahabatku berkumpul. Aku nyalakan laptop. Saat itu
kondisi tubuhku, otakku sudah panas. Aku mengerjakan pekerjaan kantor dengan
terpaksa. Ada sesuatu yang ingin menyeruak, keluar dari hatiku. Aku terus
memperhatikan dan mengetikkan sesuatu di layarnya. Pikiranku resah, dan dengan
tiba-tiba aku membenci diriku sendiri, rasanya capai seluruh tubuh, seluruh
pikiran, aku tutup monitor laptop ku. “Dunia…dunia!”
Aku
hampir menangis. Apa yang sudah kulakukan dengan dunia ini? Tanpa sadar aku
mengucapkan hal itu. Alam bawah sadarku bermain. Masya Allah apa yang aku
lakukan sebulan belakangan ini? Aku focus pada dunia, kenapa tidak aku matikan
saja seluruh pekerjaan kantor ketika aku berada di rumah? Aku kemudian teringat
kembali atas apa yang disampaikan oleh Abdurrahman al Baghdady, salah seorang
guruku.
Ketika
itu kami berkumpul di sebuah majlis, beliau kemudian mengingatkan.
“Jangan
serta merta kita merasa sudah menunaikan kewajiban, mencurahkan diri untuk
menyampaikan.”
Aku
tersindir, ya mencurahkan tentu berbeda dengan menyempatkan. Aku tidak
mencurahkan, saat ini aku menyempatkan. Ya hanya menyempatkan. Fokus
kehidupanku hanyalah bekerja dan bekerja, sementara dulu ketika masuk ke dalam
dunia kerja, aku berfikir bahwa aku bisa melakukan banyak hal di sini. Tapi kenyatannya
aku malah terbenam dalam pekerjaan. Memang, aku masih menyempatkan diri untuk
berbicara mengenai keyakinanku, mengenai idealisme ku akan Islam, mengenai
tauhid, mengenai al Qaida, mengenai hebatnya mujahideen, mengenai bahwa kita
harus kembali pada Islam. Menggunakan pekerjaan ini, aku mengundang beberapa
orang teman yang memiliki kesamaan dengan diriku untuk berbicara mengenai Islam
selama empat tahun belakangan ini. Tapi rasanya berbeda.
Ada
banyak hal yang harus ditahan-tahan ketika harus berhadapan dengan perusahaan. Bahkan
aku seringkali menemukan beberapa yang kuundang tidak berani berbicara mengenai
yang seharusnya ia sampaikan. Aku kadang hampir muak dengan ucapan-ucapan
trainer yang seringkali kami undang kemudian mengutip kisah sejarah para
sahabat bahkan rasul sendiri dalam performance-nya.
“Kita
harus kaya,” katanya berapi-api pada Sales. “Kita tidak boleh menjadi miskin.
Coba perhatikan Abdurrahman bin Auf beliau kaya maka kita pun harus kaya. Jangan
mau miskin!” di sisi lain seorang
trainer bicara tentang kehebatan Abdurrahman bin Auf dalam bersedekah. Dan sedekah
itu dapat melipatgandakan kekayaan.
Ya
ampun, yang kudengar dari mulut mereka hanya kata-kata kaya! Kaya! Kaya! Kaya! Kamu
harus jadi individu yang luar biasa! Pegang janji! Disiplin! Komitmen! Ujungnya
kaya! Bicara rasulullah supaya bisa kaya! Kaya! Harta segunung!
Bahkan,
engkau tidak akan menduga bahwa seorang trainer yang sangat terkenal, yang
sangat bijak mengungkapkan hal yang bagiku terlihat rendah.
Dalam
sebuah meeting di Jakarta, di ballroom tepat disamping land mark Rasuna
Episentrum, pria yang hebat itu bertanya pada orang banyak. “Impian kalian apa?
Coba bermimpi yang tinggi-tinggi, ingin mobil bermerk apa.”
Semua
orang berpikir, dan pada sesi jawaban seorang mengatakan bahwa impiannya adalah
Honda CRV. Lelaki itu ditertawakan oleh sang trainer. “Masa bermimpi mobil CRV!
Mimpilah yang tinggi. Jaguar misalnya, Humvee.” Hadirin tertawa.
Aku?
Tidak. Aku tidak tertawa.
Ku
acungkan tangan. Aku ingin mengetahui apa jawabannya. “Impian saya sederhana
sekali Pak. Saya hanya ingin menjadi orang yang bijak. Dalam hal kekayaan ya
saya tidak menginginkan kekayaan yang bagaimana. Saya hanya menginginkan saya pension
di umur 40. Kemudian memiliki pesantren, memiliki rumah sederhana dan mobil
sederhana untuk mengajak anak-anak saya jalan-jalan dan melanjutkan impian saya
untuk menjadi penulis. Sesederhana itu.”
Dan
ia menyalahkan impian saya. Senyum yang bijak itu, senyum yang acapkali saya
lihat di televisi itu jatuh dihadapan dihadapanku. Ungkapan-ungkapannya yang
kemudian membuatku menjadi skeptis. Ya, skeptic terhadap dirinya.
Inilah
dunia, ketika kekayaan di jadikan tujuan dan aku saat ini tengah berjuang
berenang agar diriku tidak tenggelam.
***
Bagi
kamu, yang masih membaca keluhanku.
Tahukah
kamu? Bahwa trainer-trainer yang ada, apapun itu entah yang mulutnya berbusa
bicara mengenai uang atau bicara mengenai agama untuk mencari uang adalah para
pecinta harta? Mereka menggunakan ayat-ayat Allah untuk mencari keuntungan
pribadi. Menggunakan kisah para sahabat untuk memperkaya diri. Bagaimana tidak?
Islam memerintahkan orang yang memiliki ilmu agama untuk mengajarkan ajaran
agama, menceritakan kisah para sahabat yang mulia bukan untuk ditarif. Kalau dibayar
tidak apa-apa, tetapi menentukan tarif itu tidak diperbolehkan.
Ayo
bicaralah bahwa engkau akan merubah suatu bangsa menjadi bangsa yang Islami,
ayo bicaralah, dan apakah engkau akan bicara jika perusahaan tidak memberikan
uang sesuai dengan yang kalian tarifkan? Apakah mereka mau melakukan hal itu? Tidak.
Kebanyakannya tidak. Karena modusnya bukan membangkitka sebuah bangsa, modus
utamanya hanya kepentingan pribadi. Modus kejayaan bangsa, kejayaan ummat
hanyalah motif sampingan. Tanpa uang maukah berjalan?
Bicara
kebangkitan Islam, bicara tentang bahwa manusia harus kembali pada syariah
tetapi memberi motivasi pada karyawan lembaga ribawi. Ya, memberi motivasi agar
mereka giat bekerja, amanah, dan lain sebagainya sementara tidak ada satupun
motivasi yang diberikan agar seseorang keluar dari institusi ribawi.
Bicara
tentang para sahabat kaya, kaya, kaya, kaya! Kaya terus menerus di lafadzkan,
didzikirkan, tapi tanpa melihat perilaku sahabat di sisi lainnya sebagai orang
kaya. Yang dikejar hanya kayanya. Tapi tahukan kita bahwa para sahabat,
taruhlah Abdurrahman bin Auf, bahwa dengan kekayaannya ia tidak berat, tidak
takut, tidak khawatir untuk berperang dengan membela agamanya. Bahwa dengan
kekayaannya ia tidak takut mati. Mereka tidak takut meninggalkan kekayaannya. Pengennya
hanya kaya-kaya kaya saja. Mencemooh kemiskinan saja, padahal Allah mencoba
Qarun dengan kekayaan, mencoba anak-anak Suharto dengan kekayaan, mencoba Firaun
dengan kekayaan.
Dan
bagaimana dengan diriku?
Aku
takut dengan waktuku yang semakin sedikit ini. Aku diuji oleh pekerjaanku sendiri. Aku khawatir dengan nasihat yang
disampaikan Abdurrahman al Baghdady, nasihat yang seolah menjelma menjadi
sekawanan debt collector Ambon yang datang ke kediamanku lalu memukuliku sampai
hatiku, sampai leverku bengkak-bengkak.
Aku
mulai belajar kembali, aku mulai memfokuskan hidupku kembali dan aku telah
menemukan jalan. Aku harus tega dengan hal-hal yang kupikir hanya membuatku
terlena. Hal-hal membuat waktu ku hilang sementara waktu terus berjalan.
Ya,
aku harus tega agar aku fokus terhadap prioritas, ya bahkan terhadap salah satu
ujian terbesar yang kini menjelma menjadi sahabat-sahabatku sendiri.
Assalamu 'alaikum
BalasHapus1. Saya setuju, jangan pernah percaya sama trainer. Apalagi trainer motivasi. Di pabrik saya bekerja, kita sudah kapok cari ustadz yang jadi motivator. Kita cari ustadz yang zuhud, padat ilmunya kalau pun tertawa masih ada hubungannya dengan isi ceramahnya.
2. Impian saya cuma jadi orang baik, selamat dunia akhirat, jadi penulis dan bekerja dari rumah.
3. Mungkin kita perlu diskusi lagi. Bekerja "mati - matian" pun bisa bernilai ibadah asalkan tidak hanya "berani membela yang bayar saja." Ada seorang pengusaha yang ingin terus mengembangkan usahanya. Semua untungnya dikembalikan menjadi modal. Sebagian untungnya diberikan untuk SPP anak - anak karyawannya, membuat pabrik baru agar semakin banyak orang yang bekerja, memberi beasiswa untuk para mahasiswa, dll. Dan pada titik itu saya bekerja sampai larut malam, semata - mata saya setuju dengan ide ide di atas.
Hatur nuhun
hasan
Assalamu 'alaikum
BalasHapus1. Saya setuju, jangan pernah percaya sama trainer. Apalagi trainer motivasi. Di pabrik saya bekerja, kita sudah kapok cari ustadz yang jadi motivator. Kita cari ustadz yang zuhud, padat ilmunya kalau pun tertawa masih ada hubungannya dengan isi ceramahnya.
-------------------------------------------------------------------
1. Sebenernya kata-kata Ustad Abdurrahman itu nonjok juga untuk saya, karena saya pernah narif untuk isi training di tempat teman bekerja. Meski nggak jadi, tapi pernah melakukan itu (narip) meskipun nggak jadi (alhamdulillah), menghantui dan menghakimi saya. Saya sadar benar bahwa apa yang saya bawakan itu kebanyakannya kutap kutip ayat quran atau hadist, meski di mix sama materi keduniawian tetep aja ya Kang. Quran dan Hadist nggak bisa dihargain. Transaksinya langsung sama Allah. Para sahabat Rasulullah nggak pernah menjadikan upaya mereka memotivasi menggunakan ayat quran, hadist dan pengalaman pribadinya sebagai sumber nafkah. Mereka punya profesi untuk ngebulin dapur pribadinya, entah jadi kuli batu, tukang kayu bakar, bisnis man.
Eh, tapi untuk masalah narip itu pernah saya lakukan untuk isi training ya bukan kajian keislaman. Kalau kajian keislaman sampe narip, najis banget saya. :D
Dan pernah memberikan tarip training itu, pembelajaran buat saya juga. Saya tobat deh. Ampun-ampunan.
----------------------------------------------------------------
2. Impian saya cuma jadi orang baik, selamat dunia akhirat, jadi penulis dan bekerja dari rumah.
3. Mungkin kita perlu diskusi lagi. Bekerja "mati - matian" pun bisa bernilai ibadah asalkan tidak hanya "berani membela yang bayar saja." Ada seorang pengusaha yang ingin terus mengembangkan usahanya. Semua untungnya dikembalikan menjadi modal. Sebagian untungnya diberikan untuk SPP anak - anak karyawannya, membuat pabrik baru agar semakin banyak orang yang bekerja, memberi beasiswa untuk para mahasiswa, dll. Dan pada titik itu saya bekerja sampai larut malam, semata - mata saya setuju dengan ide ide di atas.
-------------------------------------------------------------------
Saya sepakat dengan pemilik-pemilik usaha yang Kang Hasan sampaikan. Subhanallah, memang seperti itu seharusnya Kang. Dan menjadi pekerja pun sebenarnya bisa saja menjadi ibadah, tapi harus benar-benar paham hukum syara, benar-benar ikhlas dan diniatkan untuk ibadah memenuhi kebutuhan keluarga, dan tentunya membayar zakat dan tidak lupa sedekah. Tapi ada orang yang tidak menyadari hal itu.
Mungkin lebih jelasnya begini kali Kang.
Bekerja yang halal adalah ibadah asalkan ikhlas juga, tapi saya tetep nggak mau menghabiskan hidup untuk mengejar karier meski dengan ibadah semacam itu. Dan orang-orang pun --mungkin nggak sadar-- bahwa sangat tipis batasan antara ibadah dengan hasrat tersembunyi mengejar jabatan dan karier.
Waktu ibadah kerja itu saya cukupkan dari jam 9-5 saja. Sisanya bisa saya perbuat untuk memperbaiki banyak hal. Yah, kalau sekali-kali kerja di luar jam kerja sih oke-oke aja, nggak apa-apa. Itu mah pengecualian.
Dan itu rumusan saya, bukan rumusan untuk kebanyakan orang, makanya nice juga kalau Kang Hasan kasih tanggapan bahwa saat ini bekerja sampai malam untuk mengejar sesuatu yang mulia.
Kang Hasan, insya Allah masuk dalam pengecualian.... :)Insya Allah. Hayo atuh sy dukung.
--------------------------------
Hatur nuhun
--------------------------------
Sami-sami
DS
saya masih iri dengan apa yang saya baca di media dakwah...
BalasHapusberikut ini kutipannya...
Dakwah adalah pilihan hidup. Berkaitan dengan masalah ini, saya punya pengalaman pribadi yang tidak terlupakan. Pernah saya mengisi sebuah acara temu tokoh di Sulawesi Tengah. Banyak yang hadir ketika itu, sekitar 100 orang. Yang menarik, ada seorang tokoh yang hadir dalam pertemuan tersebut. Padahal beliau dalam keadaan sakit cukup parah. Jalannya pun harus dipapah. Hal ini mengundang ketertarikan saya sehingga saya ikut mengantarkan beliau sampai ke rumahnya. Dalam perjalanan, saya bertanya kepada beliau. “Pak Kiai, bolehkah saya bertanya tentang sesuatu yang sangat pribadi?” tanya saya.
Beliau menjawab pendek, “Silakan!”
Saya melanjutkan, “Kalau boleh saya tahu, apakah gerangan yang mendorong Pak Kiai hadir dalam acara ini sekalipun dalam kondisi sakit cukup parah seperti ini?”
Jawab beliau, “Saya melihat pertemuan ini penting. Jarang sekali pertemuan tokoh semacam ini.”
“Saya yakin ada dorongan tertentu yang membimbing pak Kiai datang,” ujar saya.
Beliau diam sejenak. Tidak lama kemudian beliau berkata lagi, “Saya terpanggil untuk terus membangkitkan umat Islam. Saya sudah berjual-beli dengan Allah SWT.”
Begitu perkataan beliau. Lalu sambil mata berkaca-kaca beliau membaca ayat yang maknanya: Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang Mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil, dan al-Quran. Siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka dari itu, bergembiralah dengan jual-beli yang telah kamu lakukan itu. Itulah kemenangan yang besar (TQS at-Taubah [9]: 111).
Anonim: terimakasih nasehatnya, entah kenapa belakangan ini saya gampang tersentuh sekali ayat-ayat Quran, apalagi jika dikaitkan dengan bagaimana ayat Quran menghidupi banyak jiwa, termasuk kiai tua yang kamu ceritakan. Terimakasih nasihatnya, sangat berharga.
BalasHapusDS
“Jangan serta merta kita merasa sudah menunaikan kewajiban, mencurahkan diri untuk menyampaikan.”
BalasHapusmencurahkan jelas berbeda dari menyempatkan.
bulan lalu saya di PHK tempat ngajar saya bang. bukan, bukan karena saya aktif gerakan dakwah (karena emang tu institusi benci banget ama gerakan dakwah), tapi karena prestasi. kini terkadang saya merenung, kenapa dulu gak dakwah aja sekalian, menyampaikan semua-muanya toh ujung2nya dipecat juga. inilah yg masih membuat dada ini nyesek, qt lebih sering hanya sekedar "menyempatkan" bukan "mencurahkan"
Kok karena prestasi dipecat? mungkin prestasi nt nggilani? seengganya kita udah nggak buat pembenaran. Kalaupun nanti masih bekerja seengganya kita, nt, saya gampang rogoh kantong untuk infak. Kalau sahabat saya bilang, udah kalah sama dunia, nggak dakwah, nggak jihad, nggak infak, jadi batu aja sekalian. :D
BalasHapusklo kata ust.Faqih orang model gituan mending ditakbirkan 4 kali rame2
BalasHapuspara ustadz abal abal yang mematok tarif 30juta / 15menit dan ngga mau ceramah kalo bayarannya kurang bagi saya amat sangat f*cking sh*t!
BalasHapusYa Allah, janganlah kau berikan
BalasHapusnikmat dunia terlalu banyak......hingga aku terlena.
Jangan juga terlalu sedikit
hingga aku melupakannya.
Sesungguhnya yang sedikit lagi
cukup lebih baik untukku.
-Umar bin Khatab-