Selasa, 12 Juni 2012

Tempat Nyawa Bermanja


Usai mengajakku shalat, tiba-tiba Nyawa, anakku yang cantik itu memandang wajahku. Tatap matanya serius.

“Panda?” tanyanya. “Kenapa Allah menciptakan kejahatan?”

Pertanyaan seperti itu sudah sering kuhadapi, tapi rasanya beda ketika anakku sendiri, dan pastinya anakmu sendiri menanyakan hal itu. 

Bagaimana menyederhanakan jawaban atas pertanyaan  berpola seperti itu tentu menyulitkan.

Aku diam, berpikir. Lalu kubilang pada Nyawa, bahwa aku hendak menambahkan shalat sunnah dahulu. Aku mengangkat tangan, melakukan rukun-rukun yang sudah kujalani selama puluhan tahun. Dia, Nyawa tidak tahu bahwa pada saat aku shalat, aku tengah berpikir, menimbang-nimbang, mencermati masak-masak apa yang mesti kujawab.

Shalat selesai, Nyawa kembali melihat ke arahku.

“Apa manusia ketika dilahirkan oleh orang tuanya menjadi jahat? Apa Nyawa jahat pada waktu masih bayi?”

“Nggak,” ia menjawab sambil ngoceh kesana-kemari yang kadang tidak nyambung, atau sebenarnya nyambung tapi belum bisa ia komunikasikan dengan baik.

“Setiap manusia lahir dalam fitrah, diciptakan tidak memiliki kejahatan. Manusialah yang memilih.”

“Milih apa?”

“Memilih apakah dia mau melakukan kejahatan atau tidak.”

“Allah, Tuhan hanya menciptakan kita saja. Kitalah yang memilih perbuatan kita sendiri. Kitalah yang bertanggung jawab atas kebaikan atau kejahatan yang kita lakukan.”

Aku senantiasa khawatir dengan anakku yang satu ini. Kata orang tuaku, pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkannya mirip dengan pertanyaan pamanku yang pernah kuliah di jurusan Sejarah UI, seorang paman yang di masa kecilnya senantiasa mempertanyakan banyak hal. 

Aku khawatir, sungguh khawatir. Aku takut sungguh takut jika Nyawa tidak bisa menemukan bagaimana memuaskan dirinya dengan pertanyaan itu.

Aku senantiasa berharap buku-buku yang pernah kutulis bisa menjadi penawarnya. Tapi apakah itu cukup, aku tidak tahu. Aku hanya berusaha agar anak-anakku itu memiliki keyakinan yang rasional, memiliki pengetahuan, kebijaksanaan akan keterbatasan manusia.

Aku dan Mandanya, tidak pernah mengajarkan bahwa Allah adalah rasionalisasi segala macam hal kemudian kami memisahkan antara Allah dengan keajaiban hukum alam yang dibuat-Nya.

Tentang hal itu suatu waktu Nyawa pernah bertanya, mengapa manusia bisa berbeda-beda. “Kenapa hidung ada yang pesek ada yang mancung kaya pinokio, kenapa bola mata ada yang biru ada yang coklat? Kenapa?”

Ibunya menjelaskan hikmah agar perbedaan itu bisa menjadikan manusia saling mengenal satu sama lainnya.

“Gimana Nyawa kenal Panda, kalau wajah Panda sama dengan wajah Manda.”

Ia mengerti hikmah sederhana itu, meski suatu saat aku harus menjelaskan bagaimana DNA dan aneka jenis unsur kimia lainnya yang membuat manusia berbeda penampakkannya satu sama lainnya.

Aku harus menyampaikannya bahwa alam yang indah, yang ajaib, yang rumit, kompleks ini ada yang menciptakan. Allah lah yang menciptakan hukum alam.

Mencari rahasia hukum alam, tidak ada kaitannya dengan keharusan menafikan Tuhan, menafikan Allah. Mempercayai Allah bukan pula berarti meniadakan ekplorasi dan menafikan keinginan untuk meneliti segalanya. Itu kepercayaan keliru dari banyaknya orang yang menjadi atheis.

Aku tidak ingin dalam alam pikirannya Nyawa menjadi manja seperti Alexandre Aan, seorang pria yang menjadi atheis karena sikap manjanya, yang mengawali menafikan tuhan, karena ia melihat kejahatan-karena ia melihat korupsi yang memiskinkan, kalangan marjinal yang dieksploitasi besar-besarn dan Tuhan tak kunjung datang untuk membereskan permasalahan.

Allah, Tuhan haruslah sesuai dengan cara pikirnya. Allah harus menyelesaikan permasalahan jika tidak, ia merajuk dan kemudian memaklumatkan ketiadaan Tuhan. God doesn’t exist!

Aku menginginkan Nyawa mengetahui bahwa level berpikir yang diciptakan tentu berbeda yang menciptakan. Ini sama halnya dengan pertanyaan kocak, jika surga dan neraka kekal, berarti surge dan neraka itu seperti Allah. Padahal kekekalan yang diciptakan berbeda dengan kekekalan yang Menciptakan.

Aku menginginkan Nyawa memahami bahwa pola fikir Pencipta, adalah kemerdekaan-bagi-Nya. Pola pikir Pencipta adalah otonom, tak didikte oleh yang diciptakan olehnya dan aku menginginkan Nyawa memahami bahwa Allah ada bukan untuk memanjakan dirinya.

Dalam kehidupan anak-anakku harus memahami jika ia ingin kemiskinan dihilangkan, atau jika tidak diminimalisir, jika mereka anak-anakku ingin kejahatan direpresi dari bumi, ingin kesejahteraan merata maka dia harus menjadi agennya. Bahwa mereka harus melakukannya untuk mewujudkan, bukannya menyalahkan Allah, seolah-olah Allah tempatnya bermanja-manja.

Tidak. Annakku bukan yang seperti itu.

Dalam segala kekhawatiran dan ketakutan, aku berharap Allah mengaruniakan anak-anakku keimanan akan Islam yang kuat, kebijaksanaan yang baik. Aku berdoa agar anak-anak kalian pun tegak, menjalin tangan --dengan tangan anak-anakku-- untuk meminimalisir kemiskinan dan kejahatan sebagai sebuah tugas yang akan membawanya pada keabadian yang dijanjikan: tempat dimana manusia baru bisa bermanja ria.

2 komentar:

  1. Mudah2an, kaliber anak2 macam begini menjadikan mereka, anak2 kita, sebagai pengganti umat yang seharusnya seperti -kami berharap pada Allah, amin- masa depan mereka. Anak2 kitalah yang insya Allah akan menciptakan dunia di mana mereka baru bisa bermanja ria.

    BalasHapus
  2. xyz_hti@yahoo.comAgustus 02, 2012 2:19 AM

    Insya Allah

    BalasHapus

be responsible with your comment