Usai mengajakku shalat, tiba-tiba
Nyawa, anakku yang cantik itu memandang wajahku. Tatap matanya serius.
“Panda?” tanyanya. “Kenapa Allah
menciptakan kejahatan?”
Pertanyaan seperti itu sudah sering
kuhadapi, tapi rasanya beda ketika anakku sendiri, dan pastinya anakmu sendiri
menanyakan hal itu.
Bagaimana menyederhanakan jawaban atas pertanyaan berpola seperti itu
tentu menyulitkan.
Aku diam, berpikir. Lalu kubilang pada
Nyawa, bahwa aku hendak menambahkan shalat sunnah dahulu. Aku mengangkat
tangan, melakukan rukun-rukun yang sudah kujalani selama puluhan tahun. Dia,
Nyawa tidak tahu bahwa pada saat aku shalat, aku tengah berpikir,
menimbang-nimbang, mencermati masak-masak apa yang mesti kujawab.
Shalat selesai, Nyawa kembali melihat
ke arahku.
“Apa manusia ketika dilahirkan oleh
orang tuanya menjadi jahat? Apa Nyawa jahat pada waktu masih bayi?”
“Nggak,” ia menjawab sambil ngoceh
kesana-kemari yang kadang tidak nyambung, atau sebenarnya nyambung tapi belum
bisa ia komunikasikan dengan baik.
“Setiap manusia lahir dalam fitrah,
diciptakan tidak memiliki kejahatan. Manusialah yang memilih.”
“Milih apa?”
“Memilih apakah dia mau melakukan
kejahatan atau tidak.”
“Allah, Tuhan hanya menciptakan kita
saja. Kitalah yang memilih perbuatan kita sendiri. Kitalah yang bertanggung
jawab atas kebaikan atau kejahatan yang kita lakukan.”
Aku senantiasa khawatir dengan anakku
yang satu ini. Kata orang tuaku, pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkannya
mirip dengan pertanyaan pamanku yang pernah kuliah di jurusan Sejarah UI,
seorang paman yang di masa kecilnya senantiasa mempertanyakan banyak hal.
Aku
khawatir, sungguh khawatir. Aku takut sungguh takut jika Nyawa tidak bisa menemukan
bagaimana memuaskan dirinya dengan pertanyaan itu.
Aku senantiasa berharap buku-buku yang
pernah kutulis bisa menjadi penawarnya. Tapi apakah itu cukup, aku tidak tahu.
Aku hanya berusaha agar anak-anakku itu memiliki keyakinan yang rasional,
memiliki pengetahuan, kebijaksanaan akan keterbatasan manusia.
Aku dan Mandanya, tidak pernah
mengajarkan bahwa Allah adalah rasionalisasi segala macam hal kemudian kami memisahkan
antara Allah dengan keajaiban hukum alam yang dibuat-Nya.
Tentang hal itu suatu waktu Nyawa
pernah bertanya, mengapa manusia bisa berbeda-beda. “Kenapa hidung ada yang pesek
ada yang mancung kaya pinokio, kenapa bola mata ada yang biru ada yang coklat? Kenapa?”
Ibunya menjelaskan hikmah agar
perbedaan itu bisa menjadikan manusia saling mengenal satu sama lainnya.
“Gimana Nyawa kenal Panda, kalau wajah
Panda sama dengan wajah Manda.”
Ia mengerti hikmah sederhana itu,
meski suatu saat aku harus menjelaskan bagaimana DNA dan aneka jenis unsur kimia
lainnya yang membuat manusia berbeda penampakkannya satu sama lainnya.
Aku harus menyampaikannya bahwa alam
yang indah, yang ajaib, yang rumit, kompleks ini ada yang menciptakan. Allah
lah yang menciptakan hukum alam.
Mencari rahasia hukum alam, tidak ada
kaitannya dengan keharusan menafikan Tuhan, menafikan Allah. Mempercayai Allah
bukan pula berarti meniadakan ekplorasi dan menafikan keinginan untuk meneliti
segalanya. Itu kepercayaan keliru dari banyaknya orang yang menjadi atheis.
Aku tidak ingin dalam alam pikirannya
Nyawa menjadi manja seperti Alexandre Aan, seorang pria yang menjadi atheis
karena sikap manjanya, yang mengawali menafikan tuhan, karena ia melihat
kejahatan-karena ia melihat korupsi yang memiskinkan, kalangan marjinal yang
dieksploitasi besar-besarn dan Tuhan tak kunjung datang untuk membereskan
permasalahan.
Allah, Tuhan haruslah sesuai dengan
cara pikirnya. Allah harus menyelesaikan permasalahan jika tidak, ia merajuk
dan kemudian memaklumatkan ketiadaan Tuhan. God
doesn’t exist!
Aku menginginkan Nyawa mengetahui
bahwa level berpikir yang diciptakan tentu berbeda yang menciptakan. Ini sama
halnya dengan pertanyaan kocak, jika surga dan neraka kekal, berarti surge dan
neraka itu seperti Allah. Padahal kekekalan yang diciptakan berbeda dengan
kekekalan yang Menciptakan.
Aku menginginkan Nyawa memahami bahwa pola
fikir Pencipta, adalah kemerdekaan-bagi-Nya. Pola pikir Pencipta adalah otonom,
tak didikte oleh yang diciptakan olehnya dan aku menginginkan Nyawa memahami
bahwa Allah ada bukan untuk memanjakan dirinya.
Dalam kehidupan anak-anakku harus
memahami jika ia ingin kemiskinan dihilangkan, atau jika tidak diminimalisir,
jika mereka anak-anakku ingin kejahatan direpresi dari bumi, ingin
kesejahteraan merata maka dia harus menjadi agennya. Bahwa mereka harus melakukannya
untuk mewujudkan, bukannya menyalahkan Allah, seolah-olah Allah tempatnya
bermanja-manja.
Tidak. Annakku bukan yang seperti itu.
Dalam segala kekhawatiran dan
ketakutan, aku berharap Allah mengaruniakan anak-anakku keimanan akan Islam
yang kuat, kebijaksanaan yang baik. Aku berdoa agar anak-anak kalian pun tegak,
menjalin tangan --dengan tangan anak-anakku-- untuk meminimalisir kemiskinan dan
kejahatan sebagai sebuah tugas yang akan membawanya pada keabadian yang
dijanjikan: tempat dimana manusia baru bisa bermanja ria.
Mudah2an, kaliber anak2 macam begini menjadikan mereka, anak2 kita, sebagai pengganti umat yang seharusnya seperti -kami berharap pada Allah, amin- masa depan mereka. Anak2 kitalah yang insya Allah akan menciptakan dunia di mana mereka baru bisa bermanja ria.
BalasHapusInsya Allah
BalasHapus