“Semua berawal saat aku berusia 17 tahun,” pria
asal Australia itu mengawali ceritanya. Ditemui di sebuah rumah makan
franchise di kawasan Pondok Cabe Tangerang, Hugh Lloyd Roydon Elliott
tampak begitu bersemangat membagi pengalamannya.
Hugh tak perlu waktu bertahun-tahun untuk mengenal Islam. Ia menerima
Islam dalam kurun waktu yang terbilang singkat; dua minggu. “Aku sangat
beruntung karena Allah teramat menyayangiku. Ia memudahkan segalanya
bagiku,” ujarnya kepada reporter .... , Devi A. Oktavika, beberapa waktu lalu.
***
Hugh lahir di Adelaide dan dibesarkan di Victoria, di tengah
lingkungan Kristen tentunya. Beruntung, kedua orang tuanya yang beragama
Protestan tak pernah memaksanya memeluk agama tertentu.
“Terutama ibuku, ia percaya agama apapun yang kupilih adalah yang
terbaik bagiku. Aku sangat beruntung memiliki ibu sepertinya,” kata pria
kelahiran 30 September itu.
Sementara itu, ayah Hugh adalah pemilik perusahaan besar dengan
sejumlah kantor perwakilan di luar Australia, termasuk di Indonesia.
Karena itu, Hugh telah mengenal Indonesia sejak lama.
Saat ia berusia 13 tahun, sang ayah membawanya untuk tinggal
bersamanya di Indonesia selama enam bulan. Sementara ayahnya mengurus
perusahaan, Hugh sibuk dengan home schooling dan pertemanan barunya
dengan sejumlah anak Indonesia. Indah, seorang perempuan Muslim yang
kini menjadi istrinya, adalah satu diantaranya.
Pada usia itu, Hugh tak meyakini agama apapun, termasuk agama kedua
orang tuanya. Ketidakyakinan itu telah muncul sejak bungsu dari empat
bersaudara ini duduk di bangku sekolah dasar. “Pada masa itu, aku merasa
berhadapan dengan hal-hal yang tidak masuk akal setiap kali membaca
Bibel. Terakhir, Kitab itu kuberikan pada salah seorang teman.”
Bagi Hugh kala itu, Bibel tidak memuat kesepakatan antara ayat yang
satu dengan lainnya. “Itu membuatku berpikir bahwa ia adalah kitab yang
dibuat atau direvisi oleh manusia. Semakin aku membacanya, semakin aku
menemukan kebingungan-kebingungan baru,” katanya.
Saat berusia 17 tahun, dalam sebuah liburan, Hugh kembali
berkesempatan mengunjungi Indonesia selama sebulan. Dalam kesempatan
itu, ia mengunjungi Indah dan keluarganya. Bersama mereka, Hugh berlibur
di Majalengka, kota asal Indah dan keluarganya.
Dalam sebuah kesempatan, Ayah Indah mendapati Hugh sedang mengamati
putrinya shalat. Ia lalu menawarkan diri untuk menjelaskan beberapa hal
tentang Islam, yang diterima Hugh dengan senang hati. “Ia menjelaskan
tentang shalat, wudhu, juga satu hal yang membuatku sangat shock,
khitan,” ujarnya sambil tertawa kecil.
Saat itu, Hugh yang tak mengenal apapun tentang Islam kecuali azan
menemui kakak laki-laki Indah yang bertanya padanya tentang Bibel. Hugh
menjawabnya dengan mengatakan bahwa kitab tersebut tidak orisinil.
Hugh lalu disodori Alquran. Setelah mendapat penjelasan bahwa Alquran
adalah kitab orisinil yang diturunkan Allah kata demi kata kepada Nabi
Muhammad saw 1.400 tahun yang lalu, Hugh berjanji pada dirinya untuk
mencari tahu isi kitab tersebut di Australia.
***
Hugh pergi ke sebuah toko buku dan membeli sebuah Alquran terjemah
sekembalinya dari Indonesia. Sampai rumah, ia membuka halaman pertama
dan membacanya.
“Tak ada yang istimewa. Kata-kata ini sangat mudah dibuat oleh manusia,” gumamnya kala itu.
Hugh lalu tersadar dan memutuskan bahwa mengkritisi Alquran bukanlah cara terbaik memahami kitab tersebut.
“Lalu aku mengatakan pada diriku sendiri, ‘Aku harus membuka
pikiranku untuk ini’,” ujarnya. Hugh mulai membacanya di rumah, kereta,
dan bus. Kemanapun ia pergi, Hugh membawa serta buku barunya itu.
Hugh sampai pada pertengahan kitab tersebut dua minggu kemudian. Ia
takjub karena tak menemukan sedikitpun kontradiksi di dalamnya. “Tidak
ada pertentangan, dan tidak ada kebingungan saat membacanya. Semuanya
sangat jelas dan sederhana,” katanya. Ia tertarik pada ayat-ayat yang
diawali kata-kata wahai orang-orang yang beriman, dan melihatnya sebagai
perintah untuk berkontemplasi.
Satu waktu, Hugh menemukan sebuah ayat dalam surah An-Nisa yang
dinilainya kontradiktif. Ayat itu memerintahkan seorang suami memukul
istrinya saat sang istri melakukan kesalahan.
Hugh tak terima. Ia menelusuri internet untuk menemukan tafsir dari
ayat tersebut. “Dari penjelasan beberapa mufassir, barulah aku tahu
bahwa pukulan itu dimaksudkan sebagai teguran. Itupun hanya untuk
dilakukan menggunakan benda-benda kecil seperti saputangan.
Subhanallah,” tuturnya.
Kesempurnaan Alquran memantapkan hati Hugh. Tanpa merasa perlu
menghabiskan isi Alquran, ia meyakini kebenaran Islam dalam separuh
bagian yang telah dibacanya. Ia segera mencari tahu tentang syahadat
dari internet dan beberapa teman Muslimnya di Indonesia.
Hanya saja, Hugh tak mengenal seorang Muslim pun di Australia. Hingga
akhirnya, ia menghampiri seorang perempuan berkerudung di sekolahnya.
Berbekal informasi dari perempuan tersebut, Hugh mendatangi seorang
syeikh untuk berkonsultasi tentang syahadat. Sayangnya, berkaitan dengan
hukum yang berlaku di Australia, mereka menyarankan Hugh bersyahadat
setelah genap berusia 18 tahun.
Hugh menolak. “Bagaimana jika aku tertabrak bus besok pagi dan
kemudian meninggal sebelum sempat bersyahadat?” katanya. Melihat Hugh
berkeras masuk Islam, sang syeikh menyarankannya untuk hadir dalam
sebuah kajian dan ceramah rutin di sebuah masjid kota di Melbourne.
Syeikh itu mengatakan, Hugh bisa bersyahadat pada imam di masjid
tersebut setelah ceramah selesai.
***
Hugh mengikuti saran itu. Ditemani sang syeikh, Hugh menghampiri imam
masjid tersebut setelah acara kajian selesai. Ia menanyaiku beberapa
hal terkait kesiapan dan kesungguhanku memeluk Islam,” kata Hugh.
Setelah meyakinkan sang imam tentang kesungguhannya, Hugh bersyahadat.
Hugh kemudian diminta tidak terburu-buru mengamalkan Islam secara
penuh. “Imam itu memintaku belajar terlebih dahulu, termasuk untuk
shalat.” Lagi-lagi, Hugh merasa tak perlu menundanya. “Bagaimanapun juga
aku harus shalat, karena aku adalah seorang Muslim.”
Sampai di rumah, dengan berpedoman sebuah buku panduan kecil, Hugh
shalat. Ia memegang buku itu di salah satu tangannya dan terus
membawanya sepanjang shalat. “Aku shalat sambil membaca, termasuk saat
sujud sekalipun, karena aku belum menghafal bacaan-bacaannya,” katanya.
Saat itulah perasaan yang disebut Hugh ‘ajaib’ menyergapnya. “Aku
merasa berdiri langsung di hadapan Tuhan. Dinding-dinding kamar dan
semua benda di sekelilingku seolah hilang. Hanya aku dan Allah,” ujarnya
dengan nada takjub.
Tahun 2007, usai menamatkan kuliahnya di Teach International di
Melbourne, Hugh kembali ke Indonesia. Ia menjadi guru bahasa Inggris dan
menikahi Indah empat tahun kemudian. Kini Hugh sibuk menjadi pengajar
sekaligus konsultan pendidikan bahasa Inggris di sebuah sekolah Islam
internasional di Jakarta.
“Seperti telah kukatakan, Allah memudahkan segalanya bagiku. Kini,
selain diberi kesempatan untuk mengamalkan ilmuku bagi Muslim, aku
memiliki lingkungan yang luar biasa untuk memperluas pemahamanku tentang
Islam. Alhamdulillah,” ujar pria yang mengaku memiliki nickname islami
Abdullah al-Faruq. (Di padok ti mana weh, kumaha uing weh, tong protes, bising dikepret ku almarhum Suharto)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
be responsible with your comment