“Ya
Rasulullah,” kata Umar perlahan, “aku mencintaimu melebihi cinta pada segala
sesuatu, kecuali diriku.”
Rasulullah
Saw tersenyum.
“Tidak, wahai Umar. Engkau harus mencintaiku melebihi cinta pada dirimu.”
“Ya
Rasulullah,” sahut Umar kemudian, “mulai saat ini, demi Allah, engkau lebih
kucintai melebihi cintaku pada diriku sendiri.”
“Nah,
begitu wahai Umar.”
***
Umar
bin Khaththab r.a, manusia yang secara bengis pernah mengubur anak perempuannya
hidup-hidup. Dikisahkannya di samping Rasulullah Saw, saat hendak ia mengubur
anaknya, putri kecilnya itupun dengan polos ikut membantu melubangi tanah yang,
tak tahunya, untuk mengubur dirinya.
Rasulullah
menitikkan air mata.
Kita
tak pernah sesadis itu. Tetapi mengapa Umar bin Khaththab mampu menggeser
cintanya ke dalam ruang yang lebih besar? Dalam waktu teramat singkat, tanpa
setitik ego yang berkarat. Salim A. Fillah membahasakannya dengan sederhana.
Adalah bagi Umar, cinta tak lebih dari sebuah kata kerja, bukan kata benda.
Maka menata ulang cinta hanyalah menata ulang kata kerja dan amalnya dalam
mencintai. Tak serumit apa yang dipahami oleh hati, tak sekolot apa yang
dimengerti oleh nafsu naluri, sebab mereka hanyalah makmum bagi kerja-kerja
cinta yang dilakukan oleh amal shalihnya.
Islam,
sebagaimana maknanya, menggariskan pemeluknya pada penyerahan diri yang
menyeluruh, ketaatan secara mutlak, dan dijalankan dengan penuh ketulusan.
Allah Swt berfirman,
“Maka apakah mereka mencari
agama yang lain dari agama Allah, padahal kepadaNya-lah menyerahkan diri
(aslama) segala apa yang di langit dan di bumi, baik suka maupun terpaksa, dan
hanya kepada Allahlah mereka dikembalikan.” (QS. Ali Imran: 83)
Otoriter?
Seandainya
Islam adalah agama otoriter –sebagaimana kekhawatiran banyak pihak terhadap
nasib non-muslim jika Islam diberlakukan dalam institusi negara-, mana mungkin
Allah menurunkan ayat ini,
“Tidak ada paksaan dalam
agama.” (QS.
Al-Baqarah: 256)
Ayat di atas dapat dimengerti bahwa agama sejati
tidak harus ada paksaan. Islam tak pernah menghendaki pemaksaan keyakinan-agama
terhadap non-muslim. Sebabnya, penyerahan diri dalam Islam mengharuskan
ketulusan sepenuh hati, dengan kesadaran, dengan kemauan. Tetapi di pihak lain,
ketika seseorang memutuskan untuk berada pada posisi memeluk Islam, ia harus
menyerahkan diri untuk taat kepada Allah Swt, dengan ketaatan yang menyeluruh,
tanpa adanya penentangan dan pemberontakan. Di sinilah perbedaannya. Sehingga
tak perlu ada lagi tafsir “Jalanlain” yang menyatakan bahwa tidak ada [pula]
pemaksaan syariat terhadap pemeluknya (muslim).
Singkat
kata, umat muslim sewajarnya tak perlu banyak ‘cingcong’ untuk bersegera
melaksanakan perintah yang tertera dalam agamanya (Ali Imran, 133).
Tetapi
manusia memang sangat intelektual, bagi yang merasa intelektual. Sehingga
gugatan-gugatan syariat dilancarkan dengan kekritisan yang mengagumkan. Jika
pada abad pertengahan di Eropa doktrin-doktrin keagamaan gereja berusaha
diaborsi oleh para pemikir filusuf –yang sebetulnya tidak memiliki otoritas
bicara agama-, maka kini, tukang politik yang baru belajar a-ba-ta sudah
pandai “berijtihad” melebihi ulama’ yang faqih agama.
Saya
pun banyak menjumpai mahasiswa kampus Agama, memiliki kemampuan bicara di atas
rata-rata untuk mengutak-atik dalil-dalil agama. Mereka begitu kritis terhadap
keshahihan sanad
dan matan
sumber-sumber hukum Islam, meski secara tragis, hal yang sama tidak
diberlakukan dalam menerima matan
argumentasi filsafat, serta meneliti kualitas tokoh-tokohnya untuk
mempertimbangkan keshahihan sanad.
Saya
percaya mereka memiliki pengetahuan Islam cukup luas. Namun mengapa
pengetahuannya tersebut justru seringkali dibuat untuk membikin huru-hara?
Jawabannya, tak lain dan tak bukan persis seperti apa yang dikatakan Sayyid
Quthb dalam bukunya, Ma’alim
Fie ath-Thariq,
“Sejatinya,
Al-Qur’an tidak akan membeberkan rahasia-rahasianya kecuali terhadap pribadi
yang bisa diterimanya karena memiliki sebuah mentalitas, yaitu mentalitas
intelektual yang berinisiatif pada pengamalan. Al-Qur’an tidaklah hadir sebagai
sebuah kitab yang memperkaya akal, tidak pula rujukan sastra dan seni, apalagi
kitab dongeng dan sejarah, meskipun semua itu tercakup di dalamnya. Akan
tetapi, Al-Qur’an turun untuk menjadi jalan hidup dan petunjuk yang suci.”
Sekian
lama saya mengamati kehidupan mereka, pada akhirnya saya dapat menyimpulkan
bahwa mereka yang menentang agama dengan banyak bicara, pada intinya cuma satu:
malas sholat. Ditambah pergaulan yang kurang sehat, baik pergaulan dalam
komunitas maupun pergaulan laki-laki perempuan.
Sementara
tukang politik seringkali berkelit dan berbelit, menyatakan syariat tidak cocok
diberlakukan di negeri ini, pantasnya hanya di Arab. Agak lucu, karena main
cocok-cocokan.
Islam
bukan tidak cocok berlaku di sini. Tetapi sebaliknya, sistem negeri ini yang
tidak cocok dengan Islam. Karena, sistem yang sedang dijalankan adalah thaghut,
sementara Islam diturunkan untuk memberantas thaghut. Di sisi lain, kita semua
tahu Islam adalah agama rahmatan
lil ‘alamin, bukan rahmatan
lil ‘arabiyah. Jadi jangan dibalik-balik.
Kritis
dalam Islam dibolehkan, sebab tidak sebagaimana agama lain, Islam bukan agama
dogmatis. Namun kekritisan yang dimaksud bertolak dari mentalitas yang
berorientasi pada ketaatan, bukan pembangkangan. Inilah yang dimaksud dengan
penyerahan diri yang disertai ketulusan (aslama).
Malaikat
tak kurang kritis ketika mempertanyakan penciptaan manusia, mereka bahkan
membeberkan betapa manusia merusak dan menumpahkan darah (Al-Baqarah, 30).
Tetapi Malaikat memiliki mentalitas ketaatan, sehingga dengan lapang dada pada
akhirnya mengatakan, “Mahasuci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain apa
yang telah Engkau ajarkan kepada kami. Sungguh, Engkau Maha Mengetahui, lagi
Maha Bijaksana.” (Al-Baqarah, 32).
Berbeda
halnya dengan Iblis. Kekritisan Iblis tegak di atas kecongkakan, di ubun-ubun
kebencian. Maka ia berakhir dengan pembangkangan. Prof. Naquib al-Attas dalam Islam and Secularism menjelaskan
bahwa Iblislah contoh utama dari penyerahan diri yang terpaksa. Sementara
penyerahan diri yang terpaksa menunjukkan keangkuhan, penentangan,
pemberontakan, kesalahpercayaan (misbelief),
dan ketidakpercayaan (kufr).
Karenanya kafir dapat pula jatuh kepada orang yang menganut kepercayaan Tuhan
yang Esa, tetapi tidak berserah diri dalam penyerahan diri yang sesungguhnya.
Di
sisi lain…
Di
sisi lain kita patut memiliki kekhawatiran, adakah –na’udzubiLlah- aktivis dakwah yang
secara diam-diam telah memperalat kekayaan intelektual untuk mengukuhkan
eksistensinya. Memperalat Islam untuk membesarkan namanya. Lebih lanjut apakah
aktivis dakwah yang mencintai dakwah, juga mencintai Allah? Mencintai keluarga
serta orang-orang terdekatnya? Artinya, jangan sampai –tsumma na’udzubiLlah- orang-orang
yang bersemangat menyebarkan risalah agama, menjadi “tak memiliki waktu” untuk
menjaga kewajiban dan memperbanyak kesunnahan dalam beribadah (mahdhah)
kepada-Nya. Juga jangan sampai orang-orang yang gigih dalam dakwahnya, tetapi
bermasalah di kehidupan keluarga serta lingkungan terdekatnya. Wal-‘iyadzubiLah.
Berkaca
pada kehidupan Sahabat r.a, Sayyid Quthb berkata,
“Tak
seorangpun Sahabat mempelajari al-Qur’an untuk memperkaya perbendaharaan
tradisi semata. Tidak pula hanya bertujuan menggabungkan dalil-dalil ilmiah dan
fiqhiyah pada konklusi al-Qur’an yang disimpulkan berdasarkan pendapat
pribadinya. Akan tetapi, para Sahabat mempelajari al-Qur’an untuk mendalami firman
Allah, mereka mengkaji firman-Nya untuk dipraktikkan seketika mendengarnya
sebagaimana pasukan di medan
perang menerima instruksi untuk dilaksanakan seketika itu pula.”
Kawan,
betapa bergidik saya menuliskan risalah ini. Kita mungkin tak sadar bahwa
intelektual boleh jadi merupakan cobaan. Dikatakan cobaan sebab dalam diri kita
senantiasa berperang antara kesadaran dan nafsu setan. Akhirnya semoga kita
paham bahwa retorika intelektual sejatinya adalah omong kosong, adalah bullshit, jika
tidak disertai dengan pengamalan (ketaatan), juga ketulusan. [Ahsan Hakim]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
be responsible with your comment