Selasa, 05 Juni 2012

Begidig


“Ya Rasulullah,” kata Umar perlahan, “aku mencintaimu melebihi cinta pada segala sesuatu, kecuali diriku.”
 Rasulullah Saw tersenyum. “Tidak, wahai Umar. Engkau harus mencintaiku melebihi cinta pada dirimu.”
 “Ya Rasulullah,” sahut Umar kemudian, “mulai saat ini, demi Allah, engkau lebih kucintai melebihi cintaku pada diriku sendiri.”
 “Nah, begitu wahai Umar.”
 ***
 Umar bin Khaththab r.a, manusia yang secara bengis pernah mengubur anak perempuannya hidup-hidup. Dikisahkannya di samping Rasulullah Saw, saat hendak ia mengubur anaknya, putri kecilnya itupun dengan polos ikut membantu melubangi tanah yang, tak tahunya, untuk mengubur dirinya.

Rasulullah menitikkan air mata.

 Kita tak pernah sesadis itu. Tetapi mengapa Umar bin Khaththab mampu menggeser cintanya ke dalam ruang yang lebih besar? Dalam waktu teramat singkat, tanpa setitik ego yang berkarat. Salim A. Fillah membahasakannya dengan sederhana. Adalah bagi Umar, cinta tak lebih dari sebuah kata kerja, bukan kata benda. Maka menata ulang cinta hanyalah menata ulang kata kerja dan amalnya dalam mencintai. Tak serumit apa yang dipahami oleh hati, tak sekolot apa yang dimengerti oleh nafsu naluri, sebab mereka hanyalah makmum bagi kerja-kerja cinta yang dilakukan oleh amal shalihnya.

 Islam, sebagaimana maknanya, menggariskan pemeluknya pada penyerahan diri yang menyeluruh, ketaatan secara mutlak, dan dijalankan dengan penuh ketulusan. Allah Swt berfirman,

 “Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal kepadaNya-lah menyerahkan diri (aslama) segala apa yang di langit dan di bumi, baik suka maupun terpaksa, dan hanya kepada Allahlah mereka dikembalikan.” (QS. Ali Imran: 83)
  
Otoriter?

 Seandainya Islam adalah agama otoriter –sebagaimana kekhawatiran banyak pihak terhadap nasib non-muslim jika Islam diberlakukan dalam institusi negara-, mana mungkin Allah menurunkan ayat ini,

 “Tidak ada paksaan dalam agama.” (QS. Al-Baqarah: 256)

 Ayat di atas dapat dimengerti bahwa agama sejati tidak harus ada paksaan. Islam tak pernah menghendaki pemaksaan keyakinan-agama terhadap non-muslim. Sebabnya, penyerahan diri dalam Islam mengharuskan ketulusan sepenuh hati, dengan kesadaran, dengan kemauan. Tetapi di pihak lain, ketika seseorang memutuskan untuk berada pada posisi memeluk Islam, ia harus menyerahkan diri untuk taat kepada Allah Swt, dengan ketaatan yang menyeluruh, tanpa adanya penentangan dan pemberontakan. Di sinilah perbedaannya. Sehingga tak perlu ada lagi tafsir “Jalanlain” yang menyatakan bahwa tidak ada [pula] pemaksaan syariat terhadap pemeluknya (muslim).

 Singkat kata, umat muslim sewajarnya tak perlu banyak ‘cingcong’ untuk bersegera melaksanakan perintah yang tertera dalam agamanya (Ali Imran, 133).

 Tetapi manusia memang sangat intelektual, bagi yang merasa intelektual. Sehingga gugatan-gugatan syariat dilancarkan dengan kekritisan yang mengagumkan. Jika pada abad pertengahan di Eropa doktrin-doktrin keagamaan gereja berusaha diaborsi oleh para pemikir filusuf –yang sebetulnya tidak memiliki otoritas bicara agama-, maka kini, tukang politik yang baru belajar a-ba-ta sudah pandai “berijtihad” melebihi ulama’ yang faqih agama.

 Saya pun banyak menjumpai mahasiswa kampus Agama, memiliki kemampuan bicara di atas rata-rata untuk mengutak-atik dalil-dalil agama. Mereka begitu kritis terhadap keshahihan sanad dan matan sumber-sumber hukum Islam, meski secara tragis, hal yang sama tidak diberlakukan dalam menerima matan argumentasi filsafat, serta meneliti kualitas tokoh-tokohnya untuk mempertimbangkan keshahihan sanad.

 Saya percaya mereka memiliki pengetahuan Islam cukup luas. Namun mengapa pengetahuannya tersebut justru seringkali dibuat untuk membikin huru-hara? Jawabannya, tak lain dan tak bukan persis seperti apa yang dikatakan Sayyid Quthb dalam bukunya, Ma’alim Fie ath-Thariq,

 “Sejatinya, Al-Qur’an tidak akan membeberkan rahasia-rahasianya kecuali terhadap pribadi yang bisa diterimanya karena memiliki sebuah mentalitas, yaitu mentalitas intelektual yang berinisiatif pada pengamalan. Al-Qur’an tidaklah hadir sebagai sebuah kitab yang memperkaya akal, tidak pula rujukan sastra dan seni, apalagi kitab dongeng dan sejarah, meskipun semua itu tercakup di dalamnya. Akan tetapi, Al-Qur’an turun untuk menjadi jalan hidup dan petunjuk yang suci.”

 Sekian lama saya mengamati kehidupan mereka, pada akhirnya saya dapat menyimpulkan bahwa mereka yang menentang agama dengan banyak bicara, pada intinya cuma satu: malas sholat. Ditambah pergaulan yang kurang sehat, baik pergaulan dalam komunitas maupun pergaulan laki-laki perempuan.

 Sementara tukang politik seringkali berkelit dan berbelit, menyatakan syariat tidak cocok diberlakukan di negeri ini, pantasnya hanya di Arab. Agak lucu, karena main cocok-cocokan.

 Islam bukan tidak cocok berlaku di sini. Tetapi sebaliknya, sistem negeri ini yang tidak cocok dengan Islam. Karena, sistem yang sedang dijalankan adalah thaghut, sementara Islam diturunkan untuk memberantas thaghut. Di sisi lain, kita semua tahu Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin, bukan rahmatan lil ‘arabiyah. Jadi jangan dibalik-balik.

 Kritis dalam Islam dibolehkan, sebab tidak sebagaimana agama lain, Islam bukan agama dogmatis. Namun kekritisan yang dimaksud bertolak dari mentalitas yang berorientasi pada ketaatan, bukan pembangkangan. Inilah yang dimaksud dengan penyerahan diri yang disertai ketulusan (aslama).

 Malaikat tak kurang kritis ketika mempertanyakan penciptaan manusia, mereka bahkan membeberkan betapa manusia merusak dan menumpahkan darah (Al-Baqarah, 30). Tetapi Malaikat memiliki mentalitas ketaatan, sehingga dengan lapang dada pada akhirnya mengatakan, “Mahasuci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami. Sungguh, Engkau Maha Mengetahui, lagi Maha Bijaksana.” (Al-Baqarah, 32).

 Berbeda halnya dengan Iblis. Kekritisan Iblis tegak di atas kecongkakan, di ubun-ubun kebencian. Maka ia berakhir dengan pembangkangan. Prof. Naquib al-Attas dalam Islam and Secularism menjelaskan bahwa Iblislah contoh utama dari penyerahan diri yang terpaksa. Sementara penyerahan diri yang terpaksa menunjukkan keangkuhan, penentangan, pemberontakan, kesalahpercayaan (misbelief), dan ketidakpercayaan (kufr). Karenanya kafir dapat pula jatuh kepada orang yang menganut kepercayaan Tuhan yang Esa, tetapi tidak berserah diri dalam penyerahan diri yang sesungguhnya.

 Di sisi lain…

 Di sisi lain kita patut memiliki kekhawatiran, adakah –na’udzubiLlah- aktivis dakwah yang secara diam-diam telah memperalat kekayaan intelektual untuk mengukuhkan eksistensinya. Memperalat Islam untuk membesarkan namanya. Lebih lanjut apakah aktivis dakwah yang mencintai dakwah, juga mencintai Allah? Mencintai keluarga serta orang-orang terdekatnya? Artinya, jangan sampai –tsumma na’udzubiLlah- orang-orang yang bersemangat menyebarkan risalah agama, menjadi “tak memiliki waktu” untuk menjaga kewajiban dan memperbanyak kesunnahan dalam beribadah (mahdhah) kepada-Nya. Juga jangan sampai orang-orang yang gigih dalam dakwahnya, tetapi bermasalah di kehidupan keluarga serta lingkungan terdekatnya. Wal-‘iyadzubiLah.

 Berkaca pada kehidupan Sahabat r.a, Sayyid Quthb berkata,

 “Tak seorangpun Sahabat mempelajari al-Qur’an untuk memperkaya perbendaharaan tradisi semata. Tidak pula hanya bertujuan menggabungkan dalil-dalil ilmiah dan fiqhiyah pada konklusi al-Qur’an yang disimpulkan berdasarkan pendapat pribadinya. Akan tetapi, para Sahabat mempelajari al-Qur’an untuk mendalami firman Allah, mereka mengkaji firman-Nya untuk dipraktikkan seketika mendengarnya sebagaimana pasukan di medan perang menerima instruksi untuk dilaksanakan seketika itu pula.”

 Kawan, betapa bergidik saya menuliskan risalah ini. Kita mungkin tak sadar bahwa intelektual boleh jadi merupakan cobaan. Dikatakan cobaan sebab dalam diri kita senantiasa berperang antara kesadaran dan nafsu setan. Akhirnya semoga kita paham bahwa retorika intelektual sejatinya adalah omong kosong, adalah bullshit, jika tidak disertai dengan pengamalan (ketaatan), juga ketulusan. [Ahsan Hakim]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

be responsible with your comment