Kamis, 08 Desember 2011

Tumbuh Bersama Hingga Tua


Kudedikasikan tulisan ini, bagi siapapun, yang telah memulai untuk ‘berhenti bicara’ dan mulai bekerja. Bagi yang mulai mempertimbangkan untuk berhenti mengeluh, untuk kemudian: berusaha.

***

Apa yang membuat aku begitu mencintainya?

Ia tak segan mengatakan ia salah ketika ia bicara, ia tahu jarak karenanya ia mengetahui bagaimana harus berbuat adil. Namanya manusia kadang kami tergelincir, memvonis orang dengan mudah, dan menganggap diri kami benar. Tapi itu untuk sementara.

Ada alarm dalam diri kami yang menyala, yang tak membiarkan kami untuk terus mapan dalam kondisi yang salah.

Aku beruntung memilikinya, memiliki dia yang mau tumbuh bersama denganku. Mau, belajar.

Ada hal lain yang kusuka pula tentang hubungan yang sudah kami jalani selama enam tahun belakangan ini. Bahwa ia sekarang sudah mulai jarang mengeluh, bahwa dirinya jarang terlibat hiruk pikuk bicara tentang kekesalan, bicara mengenai pemerintah bangsat, pemerintah goblog atau apalah.

Kami sama-sama tahu. Untuk apa mengkritik pemerintah?

Capai bicara pemerintah ini dan itu, demo sudah dilakukan, kritikan media masa terus dijalankan. Tetap saja kan, tidak ada perubahan. Lantas siapa yang harus berubah? Ya diri kita sendiri. Memutar cara itu kunci, mempertahankan kewarasan ketika kita tergoda untuk mengeluhkan betapa babinya pemerintah, anjing-ngepet-nya birokrasi yang diada-adakan, atau apalah. Lagipula, selain tidak baik untuk kondisi jiwa, mengeluh itu tidak baik untuk wibawa. Oke, bolehlah orang mengeluh, karena itu wajar, tapi jangan terlalu sering, karena kalau makan makanan yang enak terlalu banyak juga bosan, demikian orang juga kalau terlalu sering mendengar kita mengeluh, mereka pasti bosan juga. Awalnya, mengeluh, mengkritik itu terkesan keren dan mungkin terlihat intelek, tapi kalau keseringan jadi seperti suara berisik radio butut.

Aku menyayanginya, karena dia, wanita itu tidak hanya berhenti mengeluh, lalu memendam keluhannya hingga keluhannya menjelma jadi penyakit batu ginjal atau penyakit gila. Ia tidak hanya berhenti sampai mengatur nafas, meredam kekesalah. Tidak, ia tidak berhenti disana.

Akan kuberikan bukti:

Beberapa tahun lalu, aku masih mengingat ia banyak bicara tentang pendidikan yang mahalnya amit-amit. Ia tak beda dengan orang lain yang sudah tercerahkan, yang kemudian diam-diam menjadi penghasut. Yeah, memang tak masalah menjadi penghasut, tapi apa yang akan kita lakukan ketika orang lain menodong kita, “oke,” katanya, “apa yang kamu katakana sudah benar. Tapi apa yang sudah kamu lakukan?”

Jika kita hanya berhenti jadi tukang hasut, rasanya ada sesuatu yang kurang.

Kita memang harus bisa mengkritik, bisa marah, tetapi kalau kita tidak bisa menjelmakan kemarahan itu kedalam realitas, wibawa kita dipertaruhkan. Sasaran yang dihasut pun, akan menganggapnya. “Alah, biarin aja, ngomong doang, nggak akan bahaya. Yuk, kita lanjutin mabok riba, yuk kita lanjutin mabok Malinda Dee. Yuk kita ngebacot lagi, kita tipu rakyat yang emang pada goblog.”

Wanita yang kucintai ini perlahan mengurangi hasutannya, Karena seperti yang kubicarakan diatas –masyarakat saat ini tak usah dihasut, tanyakan saja pendapat mereka tentang pemerintah seperti apa--.

Dan malam tadi, wanita itu bicara padaku. “Pantas saja anak-anak yang kehidupan pas-pas-an kebanyakan kualitas kecerdasan anaknya pun pas-pas-an juga. Mau dimasukan ke Taman Kanak-Kanak, biayanya mahal. Taruhlah minimal 150 ribu sebulan. Mana kuat bayar uang iuran sekolah, supaya anaknya belajar baca tulis?”

Dan kupikir, malam ini, ia sudah memantapkan pukulannya, memantapkan hasutannya, karena telah enam bulan-an ini ia sudah merealisasikan kemarahannya.

Ia bergabung dengan kumpulan orang yang sudah merealisasikan alternative pendidikan kedalam dunia praksis.

Malam ini, dan malam-malam sebelumnya, ketika aku melihatnya berbaring disampingku karena kecapaian, aku melihat pancaran wajahnya yang bahagia.

Aku tahu, ia tahu, kami sama-sama tahu, bahwa yang dilakukannya hanyalah sesuatu yang mungil jika dibandingkan tubuh permasalahan yang me-rahwana, permasalahan yang sebesar kapal tangker. Aku tahu, ia tahu, kami sama-sama tahu, itu tak cukup. Tapi bukankah hal itu yang membedakan ia dari penghasut yang usai menghasut kemudian nongkrong di pinggir jalan, di depan rumah sakit Marzuki Mahdi, menunggu godot.

Itu yang membuatku bangga padanya. Aku terus berharap kami bisa tumbuh bersama, hingga kami tua, hingga kami melihat system thogut ini, system yang menjadi pelumas selangkangan dajjal ini tumbang.

……

Pertanyaan untuk diriku sendiri, apalagi yang harus kuperbuat? Apa yang sudah Kamu perbuat untuk membuat pasangan kita bangga.

4 komentar:

  1. nice share mas divan.... semoga dikemudian hari saya mendapatkan pasangan yg juga bisa mengarahkan saya untuk menjadi manusia yg lebih baik. Amin :)

    BalasHapus
  2. Siapa yang bisa mengelak, meng-amini, kebaikan macam itu. Matahari untukmu, Syam.

    BalasHapus
  3. Terkadang ketika dalam semangat-semangatnya mengkritik, pada saat itu sy merasa (jangan-jangan) diri sy munafik. Parahnya adalah ketika sy tahu bahwa kritik sy itu sebetulnya sulit untuk sy buktikan sendiri, nah, memang pada dasarnya ludah tak bertulang, masih saja mudah tergelincir oleh hasrat melesatkan komentar yg entah sudah bercampur 'kotoran setan' seberapa banyak. Sehingga saat penyakit ini kumat, logat dan dialek sok kritis sy itu, semakin membuat sy mudah gusar, feel guilty..

    Maghrib tadi sy membaca kitab Shahih Bukhari, mendapati hadits berikut: Dari Ibnu Mas'ud r.a, beliau berkata, "Nabi Saw tidak terus-menerus dalam menyampaikan nasihat (ajaran Islam) kepada kami, agar kami tidak merasa bosan."

    Dulu, sy pernah merasa geregetan dg orang Tianshi yg tidak berhenti bicara di kontrakan sy. Sy juga pernah justru "lari" ketika seorang da'i terlihat bernafsu berceramah kepada sy. Nah, kembali kepada hadits di atas, lalu bagaimana dg mereka yg terlalu sering mendengar kritikan kita (bukan nasehat), celaan kita (bukan nasehat), dan hasutan kita (bukan nasehat)? Itupun belum lagi ketika dihadapkan dg masalah diri kita yg tak juga menunjukkan produktifitas yg setara muluknya dg komentar tentang kekurangan pihak lain.

    BalasHapus
  4. “Pantas saja anak-anak yang kehidupan pas-pas-an kebanyakan kualitas kecerdasan anaknya pun pas-pas-an juga. Mau dimasukan ke Taman Kanak-Kanak, biayanya mahal. Taruhlah minimal 150 ribu sebulan. Mana kuat bayar uang iuran sekolah, supaya anaknya belajar baca tulis?”

    ***
    Damn! Saya memang harus berhenti menjadi orang egois dan mulai memikirkan orang-orang di sekitar saya.

    And I need more...

    Oh, no. Just one: JIDDIYAH (see al-Tafkir [Indosesian ver pp. 130--137]).

    BalasHapus

be responsible with your comment