Janganlah kau bicara tentang bagaimana meruntuhkan singgasana Dajjal, kerajaan thagut,
jika di dalam lingkup rumah-tangga, Engkau malah menjelma menjadi Firaun.
jika di dalam lingkup rumah-tangga, Engkau malah menjelma menjadi Firaun.
Acapkali, hampir setiap saya bertemu dengan teman-teman, para sahabat, ketika malam tiba, dan orang-orang hendak menginap saya saya selalu mencitrakan diri sebagai suami yang takut akan istri. Bahasa saat ininya, tentu sudah pada tahu, alias susis. Saya pasti mengatakan takut di gamparlah, takut dicambuklah sama Ira.
Terus terang saja, saya memang takut sama Ira, istri saya itu.
Dia memang sudah saya jinakkan, tapi ampun deh, kalau Jawa Timurnya keluar. Bisa-bisa saya direbus di dalam kuali, dijadikan tongseng.
Saya memang takut, kadang kalau saya lagi malas sholat jamaah ke masjid ia menyindir. Dan itu membuat saya malu. Lekas-lekaslah saya mengambil wudhu, lalu berangkat ke kecamatan.
Satu contoh lagi, di pagi hari saya pernah di jutekin karena satu hari sebelumnya saya membawa uang lima puluh ribu, tapi di pagi hari itu di dompet saya hanya tersisa uang dua ribu rupiah.
“Kok tinggal dua ribu?” tanyanya, terkesan menuduh. Dan saya menjawab seolah saya sebagai terdakwa, dan dia sebagai interrogator.
Dan sewaktu saya ceritakan kepada teman-teman wanita di kantor mereka pada tertawa.
“Mba?” awalan saya kepada Mba Nanin, yang hampir saya anggap sebagai kakak sendiri.
“Iya Divan?”
Lalu saya ceritakan tentang Ira. Dan saya sampaikan pula.
“Feminis itu selalu menganggap lelaki memegang dominasi karena mereka memegang peran sebagai penyokong perekonomian keluarga. Padahal, banyak laki-laki yang jadi tulang punggung keluarga, dia malah takut sama istrinya. Contohnya saya.”
Banyak orang bilang jika Big Boss, bos of the bos saya juga takut sama istrinya. Padahal gajinya sudah ratusan juta.
Luar biasa, orang yang tiap bulan bisa membeli rumah itu, yang bisa membeli motor belasan itu, yang bisa membeli satu unit mobil setiap tanggal dua puluh delapan itu, takut istrinya. Haha, hancurlah itu yang namanya hipotesis feminis.
Tapi, entah, motif takutnya Big Bos itu mirip ketakutan saya atau tidak. Karena, sebenarnya saya bukan takut dengan istri, entahlah, mungkin saya segan dengan Ira. Banyak hal yang telah ia berikan pada saya, banyak yang ia korbankan untuk saya, mungkin hal itu yang membuat saya juga tidak berani terlalu jahat, terlalu kasar sama dia.
Yah, untuk kasar-kasar sedikit bolehlah, tapi jangan banyak-banyak. Dia pun boleh saja mengasari saya, tapi jangan banyak banyak pula.
Yah, saya tidak halus-halus amat. Baik seperti Rasulullah memperlakukan istrinya, nggak. Jahat sejahat-jahatnya sampai suka menggampar istrinya, menendang istri, menjambak, baik untuk sado masokis atau tidak, itu sudi najis saya lakukan.
Nggak level lah laki-laki menjahati istrinya seperti itu, kecuali kasusnya sudah ekstrim sekali. Kalau istri salah-salah dikit ya diemin saja. Cemberutin. Marahin.
Setahu saya, marah pada istripun pernah saya lakukan. Tapi dalam kasus tertentu, saat Ira diwisuda dia mengenakan lipstick. Saya tidak suka, saya memarahi dia. Dan setahu saya dia tidak pernah pake lipstick lagi. Kalau lipgloss saya tidak masalah.
Sayapun sering memarahi Ira, karena dia tidak tahan jika Nyawa tiba-tiba mengambil Milkuat. Karena Milkuat itu diproduksi Danone, dan Danone termasuk daftar boikot keluarga kami, saya pun marah sampai-sampai ketika Nyawa mau Milkuat lagi, ia selalu menakut-nakuti Nyawa dengan mengatakan “Nanti Panda marah lho!” dan itupun sama, kalau saya menakut-nakuti Nyawa kalau dia menonton film anak-anak diluar jam menontonnya, sementara Ira sedang tak ada. “Nanti Panda kasih tau ke Manda lho!” dan Nyawa pun mengurungkan niatnya.
Jadi apakah saya takut dengan istri saya, jujur saja kadang-kadang iya. Dan dia pun kadang-kadang takut sama saya. Jadi seri saja. Impas. Kami oke-oke saja dimarahin, apalagi kalau dimarahinnya itu karena apa yang kami lakukan memang sudah melanggar batas syari.
Itulah, kalau di perusahaan ada code of conduct, ada corporate value, dikeluargapun harus ada value yang dijunjung. Dan value apa yang bisa kita junjung, patut kita tinggikan selain value yang Allah turunkan melalui lisan Rasulullah tercinta yang mulia itu?
Kalau nilai itu kita junjung, tak usahlah laki-laki sok berkuasa atas istri, karena yang berkuasa itu bukan suami (atau istri), yang berkuasa itu nilai yang diturunkan Allah, untuk memperindah, menentramkan kehidupan rumah tangga kita.
Kalau tetap sok berkuasa, nggak terima di marahin istri padahal istri sudah benar, ya berarti kita para lelaki tidak ubahnya seperti Firaun, rezim fasis, rezim ontohod oblokotok.
Aih aih... keren ah mas divan ini. ngomong2 dua postingan berturut2 bahas soal hubgungan dengan istri nih, ada yg specialkah :)
BalasHapuswkwkwkwk..pdo mas, kita senasib..
BalasHapuskok begini sih ceritanya????
BalasHapus