Selasa, 31 Mei 2011

Yang Tua Seharusnya Mengalah

Ada banyak hal yang saya lakukan di masa lalu. Karenanya, ada banyak hal yang bisa saya ceritakan. Termasuk cerita nyata yang satu ini.

Saya memiliki seorang adik (dan seorak kakak). Kuliahnya di ITB dan semenjak dulu selalu dibanggakan, dari segi kecerdasan oleh orang tua saya. Teman-temannya memanggil dia Ebol. Konon singkatannya itu dari ewe bo’ol atau kalau dibahasa Indonesia, penetrasi dengan anus/dubur.

Beruntunglah, karena nama panggilan saya bukan yang aneh-aneh tapi nama asli saya yang dibolak-balik saja. Berbeda teman yang lainnya, yang satu dipanggil Surili karena mukanya mirip monyet kecil khas sebuah daerah. Ada lagi yang dipanggil oray, yakni istilah sunda untuk ular. Mungkin diantara kalian ada juga yang dipanggil Beler, karena sukanya mabok atau teller. Yang jelas, penamaan itu berasal dari kemiripan seseorang entah dengan binatang, artis, atau kegiatan aneh yang suka dilakukan. Nah, perihal ewe bool itu, hingga saat ini saya tidak mau membayangkan jenis kegiatan apa yang dialakukan sehingga nama itu masih saja melekat sampai sekarang.

Ebol alias Haidir Akbar. Tidaklah begitu dekat –saat ini—dengan saya. Kalau dulu zaman-zaman SMA lumayan dekat. Tapi kami punya cerita di masa kost-an dulu, karena kami satu kost-an (ow so sweet).

Dikosan itu ada dua kamar mandi, untuk empat kamar, 7 penghuni tetap. Sudah menjadi rahasia besar, jika adik saya itu beberapa kali kepergok buang air sambil baca Koran. Ketika Ugan, salah seorang penghuni kosan, yang terobsesi Ariel Peterpan berkehendak untuk menyalurkan bakat bernanyinya di kamar mandi, maka terbukalah pintu.

Dengan santainya adik saya berkata. “Tutup pintunya.” Sambil membolak-balikan Koran.
Hebat.
Lain waktu saya kebelet berak, sementara adik saya ada di kamar mandi.
“Dir! Udah belum!?” Tanya saya memaksa.
“sebentar lagi,” ujar dia.

Karena tak kuat, saya membuka kamar mandi, yang sekali lagi saudara-saudara, tidak terkunci. Dan saya melihat adik saya belum selesai berak. Entah setan apa yang merasupi, sampai saya tega menggeser pantat adik saya. Kami berdua pun dorong-dorongan tanpa menggunakan celana.

“Geser sana!” maksud saya biar bisa berak berdua.

Tapi adik saya yang otaknya encer, tahu kalau closet jongkok itu nggak bisa dipakai berak berdua. Dan terjadilah geser-geseran pantat terliar dan terbodoh dalam sejarah kehidupan saya.

***
Seumur hidup, saya belum pernah cepirit, kababayan atau keceret-ceret alias mencret/be’ol dicelana. Kebanyakan teman-teman saya pernah melakukannya. Kalau saya, sungguh tak pernah.

Tapi masa ketika perut merilit dating membuat bulu kuduk meremang, panas dingin terasa, dan keringar sebesar jagung keluar pernah saya rasakan entah di sekolah, di kuliahan atau sewaktu di Malang.

***
Multatuli revolutionaire book store, demikian gagahnya nama toko buku kami, tetpi berapa kerennya sebuah tempat, jika tak memiliki wc atau jamban ya, podo ‘ae. Yang ada di Multatuli hanya saluran pembuangan untuk cuci piring.

Pada satu malam, menjelang tutup toko, perut saya mengamuk!
“de pengen buang aer nih!” ujarku pada ira.
“tunggu dulu!” katanya. “Ira dulu A’.”
maka larilah itu anak mertua saya sambil mengambil uang dua ribu. Pura pura kewarnet padahal mau ke toilet. Tapi ira saya cegah.

“de, duluan ogut!”
“ira dulu!”
Entah bagaimana keadaannya kami tarik-tarikan.
Saya marah, tapi entah bagaimana ada sesuatu dikepala saya yang mempersilahkan dia untuk duluan, dan saya menanggung beban.
“ya udahlah!” bentak saya kalap. “Mana kunci toko?”

Ira memberikan kunci.
Setelah terkunci semua saya segera membuka celana, hendak berak di saluran pembuangan tempat mencuci gelas dan piring.

Entah dimana otak saya waktu itu, masakan saluran sekecil itu mau digunakan buang air besar? Apa kata dunia? Bagaimana dengan kemahsyuran Divan Semesta?

***

Saat ini, sudah beberapa tahun saya jarang mengalami kejadian yang aneh-aneh lagi. Bukan karena saya sekarang sudah keren, tetapi masalah kesempatan yang belum mengemuka. Yang saya tahu, saat kemaren ketika anak saya si Nyawa merengek karena ditakol pake sendok sama Nyala adiknya, saya memberi nasihat padanya.

“Nyawa ma Ade, gedean siapa?”
“Gedean Nyawa.” Jawabnya.
“Kalau gedean Nyawa, Nyawa ngalah ma Nyala.”
“Trus panda ngalah ma siapa?”
“Gini,” ujar saya member jeda. “Di rumah ini, Panda yang paling tua, jadi Panda harus ngalah ma Manda. Manda ngalah ma Nyawa. Dan Nyawa ngalah sama?”
“Sama siapa?”
“Sama yang lebih muda dari Nyawa. Siapa coba?”
“Nyala.”

Saya tersenyum gembira. Rasanya saya sudah memiliki jargon keluarga. Mungkin satu saat nanti kata-kata itu bakal saya pigura, saya pamerkan di tengah ruangan, menjadi code of conduct, our greatest value di keluarga kecil kami.

2 komentar:

  1. Kang, ceritanya gue lagi mau berlagak sok tua nih. Jadi gapapa ya kalau komentar gue di bawah ini bikin mual ^_^

    Oke, komentar dimulai!

    Kebanyakan orangtua tanpa sadar lebih mengistimewakan sang adik ketimbang sang kakak. Sang kakak selalu dituntut mengalah. Apabila terjadi pertengkaran, selalu yang dibenarkan adalah sang adik padahal sang kakak tidak bersalah. Jika ada makanan, yang lebih dulu diberikan selalu sang adik, dan lain semacamnya. Padahal, selaku orangtua, kita harus bisa mengarahkan anak-anak kita bahwa berbagi adalah hal yang menyenangkan. Bukan hanya sang kakak saja yang harus dituntut berbagi kepada sang adik, melainkan juga sebaliknya. Kita harus mengajarkan sang adik bahwa balaslah kebaikan sang kakak, berilah sang kakak jika sang adik memiliki makanan. Jika mendapat satu roti, maka potonglah roti itu menjadi dua. Itu juga bukan berlaku untuk kakak dan adik saja, melainkan ajarkanlah anak-anak mereka untuk mau berbagi dengan orangtuanya. Dalam keluarga, semuanya harus berbagi. Sehingga tak ada lagi yang merasa dengki dan iri hati, dan tidak ada juga yang merasa pongah dan besar kepala karena selalu dibela.

    Untuk masalah pakaian juga seperti itu. Orangtua kadang seenaknya saja memberikan pakaian bekas sang kakak untuk diberikan kepada sang adik. Setiap orang tentu tidak ingin haknya dirampas begitu saja. Seorang anak pun berhak memiliki hartanya sendiri. Ada baiknya, jika orangtua ingin memberikan pakaian bekas sang kakak, minta izinlah terlebih dahulu kepada sang kakak. Sebab, pakaian itu memang miliknya. “Dul, baju yang ini kayaknya sudah tidak muat lagi ya sama kamu. Bagaimana kalau kamu berikan baju ini untuk adikmu? Pasti adikmu senang sekali.” Jika seperti itu, tentu sang kakak merasa dihargai dan senang diperlakukan seperti itu. Ia dianggap “ada”. Namun bukan berarti kita tidak pernah membelikan baju baru untuk sang adik. Bagaimana pun juga, sang adik tentu memiliki keinginan untuk memiliki baju yang baru. Jangan kasih yang bekas terus. ^_^

    Sekian dan terima kasih :P

    BalasHapus
  2. Nggak ada salahnya sih, secara general apa yang disampaikan benar kok, cuma kalau mau sih dispesifikan kapan saat yang tepat kakak tidak selalu mengalah sama sang adik (ketika si kakak memang di pihak yang benar), dan kapan saat yangtepat ketika kakak selalu mengalah dengan adik. Nah untuk yang terakhir itu, kalau adiknya benar-benar masih kecil misalnya umur 1 hari-1,5 bulan.

    "Jangan marah, tolong dimaklumi, adik kan masih kecil."

    Beda kasusnya, kalau adiknya sudah umur 3 tahun. Apapun yang dilakukan selalu dibela, padahal umur segitu sudah bisa mengerti banyak hal. Atau dalam kasus tertentu, umur dua tahun pun si kakak tidak harus mengalah ketika dia merasa benar.

    Btw nanti kalau sudah punya anak mungkin bisa lebih mempertajam kapan saatnya pembelaan terus dilakukan kapan saatnya 'keadilan' ditegakkan.

    Saya tunggu.

    Thx

    BalasHapus

be responsible with your comment