Menjadi Taiko?

Posted: Senin, 30 Mei 2011 by Divan Semesta in
1


Seperti awan namanya. Mega.

Ia pernah bertanya padaku mengenai Divan Semesta, lantaran ia mengetahui aku pernah mengaji disebuah partai politik. Kubilang padanya, aku mengetahui si cecurut Divan. Dia juga bicara tentang PYTM dan Ali Openmind. Aku juga tahu keduanya, ucapku.

“Dulu,” ia melanjutkan, “saya pernah liat Divan merokok di sekolahku, make jaket hijau tentara, rambutnya panjang. Tampangnya aktivis abis.”
Aku tertawa.
“Rambut dia masih panjang ya mas?”
“Udah pendek,” jawabku.

***

Kami memang cukup dekat. Jika sudah bertemu, ada banyak topic yang bisa kami bicarakan. Tentu saja, selain bola (karena aku tidak suka bola). Kami acapkali melakukan korespondensi, saling bicara mengenai pengharapan, cita-cita, impian maupun hasrat. Membicarakan banyak hal terutama buku.

Orang-orang menganggap dia masih kecil. Tapi, aku ingin tahu apa sebab dia disebut anak kecil, maka beberapa orang mengatakan bahwa bacaan Mega bukan bacaan seperti halnya seorang pekerja.

Bagi orang-orang tersebut, bacaan para pekerja terutama sales adalah buku-buku penjualan macam buku Tung Dasem, James Gwee atau Ippo Santosa, atau buku-buku pengembangan diri lainnya.

Novel, buku sejarah yang Mega baca, apalagi komik adalah buku-buku remaja, bagi mereka adalah buku para mahasiswa. Mereka? Buka lagi mahasiswa.
Aku lagi-lagi tertawa. Banyak orang yang tak paham akan sang awan, karena dimanapun awan sukar sekali diprediksi. Banyak orang yang tak paham Mega. Apa yang ada dipikirannya.

***

Dua tahun yang lalu aku bertemu dengannya, memperhatikan detil apa yang kukatakan. Matanya mematuk mataku, matanya detail melihat slide presentasiku, dan sesekali bertanya.

Aku bicara tentang impian, bicara bagaimana menembok dinding kepercayaan diri menggunakan batu-bata keberanian, aku bicara tentang keberanian Don Corleone hingga Taiko dan Musashi, bagaimana Dantes dalam Count of Monte Christo menajamkan dendam, menunggu kesempatan dengan kesadaran yang militant seperti bangsa Afghan hingga kesempatan menimpakan dendam itu datang. Aku, tak menyadari hal itu begitu membekas padanya. Aku hanya menebar. Aku bukan evaluator akademisi yang menggunakan teknik pretraining untuk melihat sejauh mana training itu membekas di sisi partisipan.
Yang kutahu saat itu, hingga saat ini bahwa Mega adalah sosok yang ambisius. Seorang pemuda yang dikisaran dua tahun lalu kutemui bekerja sebagai penjaga turnstall: menjaga gerbang sebagai pekerjaan harian. Tapi, --harap diingat—ia menjalaninya tidak dengan setengah, atau seperempat hati. Ia menjalaninya dengan passion, sementara orang-orang sebaya dirinya di tempat itu tak berani bermimpi dan menjalani sesuatu apa adanya.

Di kala Mega menjadi penjaga turnstall, ia sudah bermimpi dan berani mengatakan impiannya. “Suatu saat nanti saya akan bekerja di kantor pusat!” Ya, di gedung marketing office kami yang cukup megah.

Ia mengatakan itu tanpa keraguan, sementara orang-orang lainnya meragukan dia.
Dia terus menjalani pekerjaannya, sesekali berbincang dengan atasannya, dan terus membaca buku, membaca novel,. Berbincang dan menyerap sebanyak mungkin ilmu dari siapa saja dengan kapasitas di dalam kepalanya. Ia terus membaca buku, novel, membaca ensiklopedia yang terkait dengan peperangan dan kisah-kisah sejarah.

***

Banyak orang yang tak memahami sejarah. Apa yang bisa mereka ambil selain angka dan hafalan-hafalan tak bermakna?

Mega? Lain lagi. Ia menyerap dan mulai tergugah dengan sikap-sikap ksatria.
Dari gaji pertama sewaktu ia menjadi petugas harian ia membeli Taiko. Ia menyerap semangat Taiko. Ia menganggap pekerjaannya berharga sehingga ia tidak main-main dalam menjalaninya, sementara teman-teman kerja seusianya, teman-teman yang berada di turnstall pernah sekali duakali kupergoki menggunakan telepon gengam bahkan ketika pengunjung datang.

Mega menyerap penghargaan akan kerja dari Hideyoshi kala masih menjadi pesuruh di dalam istal kuda. Ia melakukan itu, dan yakin betul keajaiban akan datang. Passion yang ada, menyebabkannya tampak lebih bersinar daripada orang disekelilingnya. Passion itu menjadikan seseorang sigap, dan ketika sebuah kesempatan itu datang, Mega pun mengulurkan tangan karena sudah mempersiapkan, melatih dirinya untuk meraih kesempatan itu. Dan teman-temannya hanya bias mengigit jemari.

***

Mega masuk kedalam departemen Sales sebuah wahana wisata air. Di sana ilmunya semakin bertambah, kehausan akan buku membantunya.

Kurang setahun berselang, seorang atasan, dari atasan bosnya di wahana wisata di pindahkan ke kantor pusat. Dan kalian pasti tahu siapa yang dibawa oleh bos itu.
Pastinya Mega.

Dalam satu tahun lebih sedikit ia bergerak menuju fase yang semakin baik. Dengan kalkulasi gaji dan tunjangan yang jauh meninggalkan pendapatan yang dirasakan oleh rekan kerjanya di Turnstall bahkan di sebuah wahana wisata air.

Dalam satu bulan ini, yang kuketahui ia menggolkan penjualan dua buah Condotel dengan total kurang lebih 1,6 M. Dengan komisi bulanan kurang lebih 18 jutaan ia tentu telah memantapkan posisinya sebagai orang yang mau belajar dan benar-benar menghargai dan tentu saja mempraktikan sikap ksatria dan itegritas.

Sikap itulah yang dilihat oleh atasannya. Dan sialnya, sikap itu muncul karena ia membaca komik dan novel yang bagi sebagian orang adalah bacaan kanak-kanak.

Hm, biarlah orang lain berkata itu. Aku –dan mungkin Mega—tidak begitu tertarik untuk menjebol persepktif mereka. Aku hanya bersyukur atas kesempatan yang diraihnya. Dan aku tak sabar, melihat apalagi yang bakal ia capai satu atau dua tahun kedepan.

Menjadi Taiko? Hm, tak usahlah.

Aku berharap satu saat ia berhasil mengumpulkan modal dan membuka usaha sendiri, kemudian menolong orang dan membantu anak-anak muda seperti dirinya untuk mengembangkan dan percaya terhadap diri dan kemampuannya sendiri!.

1 komentar:

  1. Anonim says:

    Kang Divan mah soleh n ideologis hehehe
    sueer saya gak bohong


    someone You Know-lah

be responsible with your comment