Frustasi 1 - Goda Kehampaan

Posted: Selasa, 15 Februari 2011 by Divan Semesta in
4

Di penghujung malam, ia mengajakku berbincang. Tentang cinta? Tidak. Bukan itu. ini mengenai alam semesta yang seolah tak terbatas.

Sebuah penelaahan anak bangsa ini mengungkapkan. Melalui teleskop canggih, anak bangsa itu menemukan ratusan planet seperti bumi dari ribuan galaksi yang ada, dan mungkin akan bertambah.

“Apa planet seperti bumi itu dihuni oleh manusia seperti kita?”
Aku mengangkat bahu. “Mungkin saja.”
“Islam adalah untuk rahmat sekalian alam. Apa di planet-planet itu Al Quran diturunkan?”

Ia bertamasya. Kami bertamasya pikiran. Kami tau, tak ada kepastian atas jawaban yang berusaha kami temukan di malam itu.

“Apakah planet-planet seperti bumi itu menjadi tempat tinggal mahluk halus, semisal jin. Atau mungkin alien?”

Mungkin saja. Kita tidak pernah tahu mengenai hal itu. Jin mungkin memiliki kecepatan berpindah menyerupai mesin teleportasi seperti dalam film star trex karena di katakan quran mereka mampu mencuri dengar perbincangan di langit, lalu menyampaikan perbincangan itu ke bumi dan meletakkan bisikkan-bisikan kepada para cenayang, shaman atau dukun-dukun kampung yang acapkali berhasil menebak angka dadu yang keluar dalam ajang perjudian. Dan jarak antara bumi dan lapisan-lapisan langit tinggi itu tak terbayangkan. Manusia masa kini hanya sanggup mengukurnya menggunakan ukuran tahun cahaya. Mungkin jaraknya seperti itu, atau bahkan mungkin. Kita tak tahu.

Lalu, hati ini seperti disiram air yang membuat gigil. Ada goda kehampaan.

“Manusia,” ujarnya mengutip seorang ilmuwan. “Adalah replica alam semesta. Sosok atom, dengan pasangan proton dan neutronnya, dengan sel dan serat-serat di kulitnya, dengan jaringan sarafnya itu seperti alam semesta. Tubuh manusia adalah proyeksi keagungan alam semesta.”

Dan hal itu kadang membuat kami bimbang. Ada bisikan, ada godaan kehampaan yang tercampur oleh keimanan mengenai keagungan Allah sang pencipta dan keterbatasan kami selaku manusia. “Bisa saja ternyata bumi, matahari hanyalah sel-sel atau atom-atom yang merupakan salah satu bahan penyusun sebuah tubuh maha raksasa. Dan manusia?”
“Apalah artinya,” sambung dia.

Ia bernafas seolah-olah alam semesta hendak dihirup olehnya. “Apa mungkin planet planet seperti bumi itu adalah surga? Bukankah Rasulullah mengatakan bahwa jarak antara satu surge dengan surge yang lain adalah seperti halnya jarak ketika kita menatap bintang-bintang?”

Sebuah hela nafas eksistensial sekali lagi terdengar.

Aku pun pernah memikirkan hal yang sama. Dulu, dia pun demikian. Kamu? Mungkin saja. Aku tak tahu sampai kapan pertanyaan ini akaan menghilang. Kami hanya berharap suatu saat kami bisa dipertemukan di surganya, menuju arrasy-singgasana dan memandang wajah pemilik misteri alam, dan mengunduh jawaban dari lisan-Nya, langsung tanpa perantara.

Jika Rapid Eye Movement (REM) bernyanyi “If you believe there's nothing up my sleeve, then nothing is cool.” Yang dikutip oleh para atheis mengenai tidak ada sesuatu yang cool dari penciptaan, maka. “Otak orang atheis pasti ada dilututnya,” ucap dia sinis. “Mungkin ada di lubang pantatnya.”

Aku tak tertawa. Tak ada yang perlu ditertawakan dari gurauan itu.

***
Memikirkan alam semesta,
jika tak dilandasi oleh keimanan yang berpangkal pada sebuah keyakinan
bisa menimbulkan frustasi.
Allah, sang Pencipta adalah satu-satunya pengharapan.

4 komentar:

  1. fajar rase says:

    menarik.. pas bgt, tema yg akhir2 ini selalu saya pikirin pas lg ee, sebelum tidur n klo lg ga ada kerjaan.. hehe

    ttg pernyataan terakhirmu, kang, bukankah 'keimanan yg berpangkal pada sebuah keyakinan' juga bisa muncul dr hasil 'memikirkan alam semesta'? contohnya Nabi Ibrahim.. gmn tah kang?

  1. Anonim says:

    "Memikirkan alam semesta,
    jika tak dilandasi oleh keimanan yang berpangkal pada sebuah keyakinan
    bisa menimbulkan frustasi."
    ***

    "... jika tak dilandasi oleh keimanan yang berpangkal pada sebuah keyakinan ..." Apakah dalam setiap proses berpikir yang kita lakuin itu berati harus diawali dengan berbagai asumsi? Asumsi-asumsi seperti "...keimanan yang berpangkal pada sebuah keyakinan ...". Haruskah? Apakah itu berarti seperti yang dikatakan oleh iman katolik, misalnya, ... "[kamu harus] beriman dulu [sama trinitas], baru kamu akan mengerti [hakikat trinitas]"?

    Apakah tidak terbalik?
    Kita berpikir lalu kemudian, dari proses itu, menumbuhkan keimanan?

    Ah bingung ah... gimana dong?

  1. menarik.. pas bgt, tema yg akhir2 ini selalu saya pikirin pas lg ee, sebelum tidur n klo lg ga ada kerjaan.. hehe

    ttg pernyataan terakhirmu, kang, bukankah 'keimanan yg berpangkal pada sebuah keyakinan' juga bisa muncul dr hasil 'memikirkan alam semesta'? contohnya Nabi Ibrahim.. gmn tah kang?

    Fajar Rocketse :
    Bisa tuh, saya juga, kita juga gitu. Emang kerennya ky gitu.

    Anonim:
    Gak usah bingung dong cruy.

    “Apakah tidak terbalik?
    Kita berpikir lalu kemudian, dari proses itu, menumbuhkan keimanan?”

    Kalau menurut saya, berpikir dulu kemudian beriman itu oke juga. Beriman baru berpikir juga nggak papa. Yang penting mikir. Lagipula konteks tulisan saya, terutama yang diakhir itu konteksnya tidak seperti tulisan saya sebelumnya : Beriman dengan Pikiran (nah di tulisan itu cara pandang kamu mengenai : berpikir dulu kemudian menumbuhkan keimanan, punya irisan yang sama dengan cara pandang saya)

    Saya ulangi, tulisan ini –sedikit banyaknya—bisa dimengerti dari konteks tulisannya sendiri (saya buat batasan). Sebenernya paragraph terakhir itu bahasa ‘batin’ saya ketika saya melakukan tamasya pikiran, ketika saya dan seseorang sampai pada sebuah kerumitan (mungkin sampai pada batasan berpikir) makanya dikatakanlah : jika tak dilandasi oleh keimanan yang berpangkal pada sebuah keyakinan bisa menimbulkan frustasi.

    Bagaimana ngelesnya? Sudah keren kan bung Fajar dan Anonim?

  1. Anonim says:

    Mungkin sebenernya efasis dari apa yang saya tanyain itu ada di:

    Apakah dalam setiap proses berpikir yang kita lakuin itu berati harus diawali dengan berbagai asumsi? Asumsi-asumsi seperti "...keimanan yang berpangkal pada sebuah keyakinan ...". Haruskah? Apakah itu berarti seperti yang dikatakan oleh iman katolik, misalnya, ... "[kamu harus] beriman dulu [sama trinitas], baru kamu akan mengerti [hakikat trinitas]"?

    Soalnya kayak gini, K'. saya pernah ditanya: sebenernya kamu iman dulu sama Alquran terus beriman sama Allah atau kamu beriman dulu sama Allah dan sebagai konsekuensinya kamu juga beriman sama Alquran. Hayo, apakah dalam setiap proses berpikir yang kita lakuin itu berati harus diawali dengan berbagai asumsi? Asumsi-asumsi seperti "...keimanan yang berpangkal pada sebuah keyakinan ...". Atau kita mulai dulu dari teks sebagai dasar asumsi terus kita berpikir... atau sebaliknya?

    "Beriman baru berpikir juga nggak papa. Yang penting mikir." Gimana jika dalam keimanan itu justru aktivitas kita untuk berpikir malah dimatikan (bukan dibatasi ya, k'. Soalnya berpikir juga ada batasnya)... seperti dalam kasus "credo quia absurdum"; beriman itu justru karena gak masuk akal (absurd)!

be responsible with your comment