Kemuliaan
Posted: Rabu, 18 Agustus 2010 by Divan Semesta in
Buku itu telah terbakar. Atau lebih tepatnya kubakar bersama buku-buku yang lain di sebuah air terjun. Meski telah menjadi abu, tapi beberapa buah pikirannya masih mencantol di kepala.
Seingatku, dalam Materialisme Dialektika dan Logika, Tan Malaka pernah bercerita mengenai Badar. Bukan peperangan yang ia garis bawahi, tetapi dialektika peperangan. Rumit? Tidak juga.
Jika kuantitas atau jumlah adalah syarat kemenangan, pastilah Muhammad Rasulullah SAW dan para pengikutnya akan mengalami kekalahan di Badar --karena jumlah pasukan beliau yang tidak berimbang 1 : 3 atau 300 : 1000 orang. Kenyataannya? Doa Rasulullah untuk keberlangsungan masa depan kaum muslimin diijabah.
Kemenangan itu Tan katakan sebagai hasil dialektika. Bahwa orang yang sedikit bisa mengalahkan yang banyak jika sekumpulan orang itu memenuhi persyaratan, yakni kemampuan berperang, senjata dan lain sebagainya.
Ada benarnya yang dikatakan Tan Malaka. Ia memang mengulik berbagai macam prasyarat. Ia sudah sampai pada pemikiran bahwa sebab-akibat tidak sesederhana itu, tidak melulu sehitam-putih itu. Dan kutambahkan pada Tan, bahwa kalaupun hidup sehitam putih yang di bayangkan pastilah hitam dan putih dalam masalah determinisme itu sangat luas, hingga hampir mustahil kita menguasai sepenuhnya. Bukan begitu Datuk? Tentu Datuk Tan tak akan menjawab karena ia sudah terkubur, bahkan tulang-tulangnya pun belum tentu masih ada.
Hidup tak sesederhana itu. Dalam peperangan, para ahli bolehlah menyusun strategi. Itu bagus. Tapi, tetap saja. Ranah sosial, ekonomi, militer berbeda dengan ranah ilmu pasti!
Ilmu pasti bisa diukur dan hasilnya, Charles Lindberg melakukan penerbangan spektakuler lintas atlantik. Laika, si anjing imut juga pernah ke luar angkasa. Si Cenghos pedagang batik dari Porong bisa melihat trilyunan bintang atau gugusan galaksi melalui teleskop Hublle. Ranah sosial berbeda. Ranahnya sangat tidak pasti. Labil seperti saat Caterpillar seorang surveyor menginjak lahan gambut. Yah, kalaupun terkesan pasti, itu dipasti-pastikan karena yang diurus adalah manusia. Bukan benda mati. Manusia memiliki akal dan jiwa.
Itu sebabnya, peperangan tidak melulu bisa dideterminiskan dari strategi, dari dialektika, tetapi dari semangat pula. Dihadapan seorang pemberani, ahli silat Cikalong Wetan, Cicaheum-Ciroyom, Maenpo atau Kuntaow akan mengkeret, kehilangan kembangan dan jurus-jurusnya.
Dalam perang Surabaya, Inggris keteteran. Ada banyak personil muslim Gurkha yang desertir saat mendengar suara takbir. Legiun Romawi yang menyerap keefektifan pasukan Sparta pun berputus asa dihadapan kenekatan suku-suku pengelana atau clan-clan barbar.
Itulah. Untuk memenangkan peperangan salah satu dari seribu satu macam syaratnya ialah bagaimana memotivasi. Bagaimana membuat jiwa manusia tidak gentar terhadap kekalahan, terhadap kematian.
Dihadapan sekelompok manusia yang memeiliki motivasi, memiliki energi gigantik, strategi bisa rontok.
Dan sebaliknya pun demikian. Sejarah, lagi lagi membuktikan hal itu.
Dalam perang dunia pertama Putaka Time Life mengisahkan deretan pasukan yang menggunakan baju zirah, kuda yang gagah, dengan pedang yang memukau dibantai oleh tank baja, yang mereka sangka terbuat dari kardus dan triplek.
Motivasi, hanya mengandalkan energy belum tentu juga bisa menjadi penentu kemenangan. Ada banyak factor yang tidak bisa dikendalikan. Ada banyak x x x.
Jika peperangan seperti itu bagaimana dengan bisnis?
Bisnispun pun sama. Pada kenyataannya ketika strategi di keluarkan, kebanyannya kita melakukan eksekusi aksi dengan menggunakan instink. Dengan strategi apapun kita tetap tidak bisa menentukan masa depan bisnis. Kita hanya bisa memprediksi.
Kita memang bisa menemukan ceruk pasar. Ok. Tapi siapa yang bisa mengendalikan hati si ceruk pasar? Kita hanya bisa mengulik strategi dan beraksi, selebihnya alam yang bekerja. Muslim bisa mengatakan hal itu sebagai campur tangan alam gaib : The Invicible Hand.
Ini hidup bung! Bukan permainan hitung menghitung ala matematika 1+5 = 6 dan 6 + 660 = 666.
Inti kaidah kausalitas dalam masalah sosial ekonomi militer atau yang lebih luasnya humaniora, sebenarnya berbunyi: siapa yang paling memenuhi syarat, mengetahui prasyarat maka dia memiliki kemungkinan paling besar. Kemungkinan… saya garis bawahi… kemungkinan… itu hanya kemungkinan. Seperti halnya permainan judi yang mengawali munculnya statistika.
Manusia membutuhkan kepastian meski kepastian itu masih meragukan. Dan bagi muslim, hal ini sudah diketahui jauh-jauh hari. Determinisme yang sombong bisa meracuni hati, menimbulkan penghormatan berlebih hingga mencapai derajat pemujaan pada manusia.
Secara kasar sang Pemilik Segala Kemungkinan dan Kepastian, berbicara: Berusahalah, berstratgilah, berkeringatlah, selebihnya, biarkan Aku yang bertindak!
Allah akan menghinakan ketika kita tidak mau berusaha. Apapun hasilnya, kemuliaan (mau kalah mau menang mau kaya mau miskin) hanya dimiliki oleh orang yang mau melakukan aksi dan mendekatkan diri padanya! Demikianlah hidup. Sudah sepatutnya seperti itu. Seize The Day!
tulisannya sangat menarik mas :D