Shamballa

Posted: Kamis, 29 April 2010 by Divan Semesta in
3



Dulu, saya pernah keranjingan buku bertema spiritual ‘universal’. Buku-buku Redfield, Celestine Prophecy hingga Secret of Shambala menghiasi rak buku dan menjadi bahan diskusi. Buku-buku Anand Khrisna, serta filsafat ketimuran lainnya pun sy lalap.

Pada fase tersebut, sy pernah merasa begitu dekat dengan alam. Saya selalu tersenyum, sepanjang jalan, mempertahankan kondisi hati dalam kedaan stabil, bukan hanya senyum terhadap manusia, sy mendengar tetesan hujan berkata-kata, menyengaja memperhatikan pepohonan sebagai latihan untuk melihat aura. Demikian damai saat itu.


Tepat malam lalu, sy menonton seorang pria, yang baru menuntaskan pencariannya akan 80 taman terbaik diseluruh dunia,. Saat menutup perjalanan terakhirnya di Bali pria itu berkata, manusia selalu mencari taman-taman, membentuk taman-taman sesuai dengan imajinasi surga, shangrilla, tetapi sesungguhnya Shangrilla itu adanya di hati.

Saya pernah menulis tentang rumah kebahagiaan yang alamatnya ada di hati. Tak jauh-jauh dengan tulisan Gde Prama atau lelaki yang di dapuk BBC Knowledge untuk melakukan pencarian taman terbaik tadi. Tapi, apakah surga, nirwana, shangrilla, jannah itu memang hanya di dalam hati?

Sejak dulu manusia tertarik dengan gambaran/situasi damai tanpa batas. Dengan hasratnya, dengan gairahnya manusia melakukan perjalanan ke tempat-tempat yang indah dan di anggap agung. Manusia gurun yang belum pernah melihat air yang begitu melimpah melihat air terjun sebagai gambaran keajaiban dan kedamaian, oase sebagai sebuah perumpamaan istrirahat yang agung. Hasrat mencari tempat tersebut, hampir sama dengan hasrat manusia mencari obat-obatan, bahan herbal dan kimia untuk mencari keabadian.

Kaum Marxis, orang Komunis menganggap dirinya telah memiliki semacam astrolabe. Ketika Marx mengatakan bahwa fakta mendahului ide, maka sesungguhnya harapan akan surga di muka bumi tersebut adalah ide yang mendahului materi, apapun pembenarannya. Annabhani pemikir sekaligus salah satu mujtahid terbesar abad 20 menyataka, kita jangan dibentuk oleh fakta kitalah yang membentuk fakta. Mengapa harus seperti itu? karena kaum muslimin disamping sudah memiliki idenya, kita memiliki prototype negara surga yang pernah dijalankan Rasulullah dan para Khalifah terbaik, sedangkan kaum Marxis dan komunis belum pernah memilikinya.

Ketika beberapa kaum, individu mempercayai bahwa surga hanyalah di dalam hati, surga ada dalam situasi komunis ketika keadilan terjaga, dan distribusi ekonomi berjalan dengan baik, ketika sebuah masyarakat naik kualitasnya karena keberanian mengkritisi muncul sebagai sebuah kesadaran massa, dan secara general manusia memiliki kepekaan untuk saling menolong dan menempatkan solidaritas sebagai sebuah nilai kebajikan, maka Islam merangkum semuanya.

Kedamaian jiwa/’surga’ bisa ditemukan di dalam kekayaan materi, bisa kita temukan dalam tokoh-tokoh islam, mulai dari zaman rasul hingga saat ini. Kedamaian jiwa pun bisa ditemukan di dalam figur-figur yang papa, yang menolak kekufuran dalam kemiskinan. ‘Surga’ yang merupakan situasi pemerintahan yang adil pun pernah ada di jazirah Arabia, hingga Granada. Dan ‘surga’ di muka bumi setelah kehancurannya, --karena kesalahan kita juga—sedang kita rancang untuk kita tampakkan di muka bumi: penampakan yang mungkin untuk terakhir kali setelah kedatangan Al Mahdi dan Al Masih.

Islam melintas batas, imaginasi manusia: memberikan kabar bahwa surga, shangrilla, nirwana, jannah itu bukan hanya di hati, dan semata mata usaha menggeret situasi tersebut ke muka bumi, akan tetapi lebih dari itu…:

Sebuah alam, sebuah situasi sedang menunggu bagi pria dan wanita terpuji, sungai-sungai susu, sungai anggur, sungai madu yang berlimpah, kastil-kastil yang anggung dan elok yang terbuat dari bebatuan yang kerlingan cahayanya di luar nalar, istana-istana yang dikelilingi taman-taman yang menenangkan dan agung, paras-paras cantik dan gagah yang mengagumnkan, kasih sayang dan cinta yang melimpah.

Sebuah situasi material dan immaterial mengenai keindahan, kelezatan, kerendahan hati, kesucian, keagungan yang melebihi pagar imaginasi manusia. Sebuah situasi yang membuat mabuk tetapi dalam kesadaran paripurna, menjadi 'hancur lebur, luluh, menjadi nol' tatkala kita melihat punya keindahan menatap wajah-Nya, menatap ....Allah....Allah....Allah....Allah....Allah....Allah....Allah....Allah....
Allah....Allah....Allah....Allah....Allah....Allah....Allah....Allah....
Allah....Allah....Allah....Allah....Allah....Allah....Allah....Allah....
Allah....Allah....Allah....Allah....Allah....Allah....Allah....Allah....
Allah....Allah....Allah....Allah....Allah....Allah....Allah....Allah....
Allah....Allah....Allah....Allah....Allah....Allah....Allah....Allah....
Allah....Allah....Allah....Allah....Allah....Allah....Allah....Allah....
Allah....Allah....

3 komentar:

  1. Sundawi says:

    Eden itu kan sebenernya suatu kondisi Gaia ketika belum disentuh oleh peradaban. Tidak ada polusi. Keanekaragama hayati. Tidak ada dominasi. Kesetaraan. dsb. dsb.

    Dan semua berubah ketika manusia "memakan" buah terlarang: teknologi. Berawal dari agrikultur yang mendesak pemburu-peramu untuk hengkang dari Eden. Itulah peristiwa kejatuhan Adam. Para petani yang membutuhkan lahan yang lebih banyak untuk meningkatkan produksi dan surplus panen, tentu saja, pada akhirnya melahirkan apa yang kita sebut sebagai private propety. Pemburu peramu sebagian mengambil peran sebagai gembala. Tapi sekarang para gembala tidak lagi mendapat tempat untuk membiarkan ternaknya berkeliaran untuk mencari makan. Lahan milik bersama semakin sempit karena terus diklaim sebagai tanah milik petani. Tapi para gembala tak mau menyerah... dia membiarkan saja hewan ternaknya memasuki area yang diklaim oleh para petani. Peristiwa itu terus berlangsung. Membuat kesal para petani. Hingga terakumulasi pada peristiwa pembunuhan Abel yang gembala oleh Cain yang petani.

    Maka terciptalah neraka dominasi, ketidaksetaraan, hilangnya keanekaragaman hayati, dsb, dsb.

    Heuheuheu... ngarang nih. Jangan dianggap serius, K'.

  1. Ya, eden dalam rekonstruksi untuk membenarkan konsepsi perang melawan dominasi, ketidak setaraan kan emang gitu. Manusia yang tidak beragama, masih membutuhkan dongeng-dongeng untuk membenarkan konsepsinya, bukang begitu arus hidup? :). Sy pernah baca itu dengan versi yang berbeda, Atlantis... yang juga identik dengan eden. Yang mengalami kejatuhan yang sama. Btw, thx u informasinya.

  1. Sundawi says:

    Gak juga. Cuman ada sesuatu yang menarik ketika orang-orang yang memiliki latar belakang antropologi--atau yang mendalami antropologi--melihat kisah Kejatuhan Adam, kisah pembunuhan Abel oleh Cain.

    ya... gitu. Kisah itu dilihat sebagai sebuah mitologi yang sebenernya memiliki bahasa simbol--simbol yang harus kita baca dalam konteks historis waktu itu.

be responsible with your comment