Batas

Posted: Rabu, 17 Februari 2010 by Divan Semesta in
3

Rasa sayang orang tua untuk anak tidak memiliki batas,

Dan sebaliknya: rasa sayang anak terhadap orangtua itu memiliki batas: sejauh kepentingannya.



Jangan berfilsafat, sayang. Jangan mengkaitkan tiada batas itu dengan ke-maha-an, dengan akidah. Jangan dipahami dengan pikiran, pahami dengan rasa.



Saya merasakannya. Ira, pernah menganggukkan kepala setelah ia memiliki anak. Karena anak Ira adalah anak saya juga, saya pun memahaminya benar.



Kemarin sy di beri coklat oleh seorang teman kantor. Ketika hendak mengunyahnya, saya tiba-tiba teringat Nyawa. Urunglah niatan saya menghabiskan coklat itu. walhasil, sy menceritakan urungnya niat saya, dan akhirnya, teman kantor yang bernama Marina itu member sy dua coklat. Satu untuk saya, satu lagi untuk: saya! Haha. Tentu untuk Nyawa dong.

Lain waktu lagi, seorang teman kantor, bernama Resti menawari saya makanan. Karna memang lapar, ya saya mau.

Sy diberi wafer nabati olehnya, dan tiba-tiba sy teringat Nyawa yang seminggu lalu sy bawa ke curug Nangka.



Selain coklat, jelly dan susu kedelai Nyawa suka sekali dengan yang namanya Nabati.

Yah, wafer itu saya kantongi saja, untuknya.

Dengan seribu satu macam contoh Ira pun selalu melakukan seperti yang sy lakukan.

Rasa sayang orang tua untuk anak tidak memiliki batas,

Dan sebaliknya: rasa sayang anak terhadap orangtua itu memiliki batas: sejauh kepentingannya.



Jika Nyawa sakit, untuk mengeluarkan Nyala dari perut ibunya, saya berani menomboki tiga juta, karena jatah reimburst operasi sesar saya Cuma delapan juta. Ira berani, membeli baju yang bagus-bagus untuk Nyawa, meski keuangan keluarga sedang kempis, dan untuk anak-anak, mana saya bisa memarahi ibunya? Kalau anak sakit, kami berdua rela untuk pergi berhujan-hujan, searching di google dan bertanya kesana kemari mengenai penanganan apa yang maksimal dan baik untuk mereka. Saya, Ira rela melakukan apa yang anak kami butuhkan.

Sementara untuk orang tua? Kadang, untuk mengeluarkan barang seratus atau duaratus ribu? Kami harus berpikir, membandingkan dengan budget yang kami miliki. Kadang untuk membelikan martabak atau mengajak mereka makan di sebuah restoran, saya pun kadang berpikir-pikir ulang. Padahal, saya tahu, jika di kalkulasi sudah milaran yang mereka keluarkan untuk kebutuhan hidup sy dari kecil, baju, kesehatan, kuliah, tamasya, hiburan, --bahkan-- hingga saya sebesar ini.

Belum lagi, hal-hal yang tak mungkin dikalkulasikan: kehangatan, kasih sayang, cinta.

Saya, kamu, tak mungkin bisa membalas mereka. Membalas kebesaran, keagungan orang tua.

Allah, memang maha adil. Super adil, ketika dia memfasihkan lisan Muhammad sang guru manusia, untuk mengatakan bahwa: salah satu dosa terbesar adalah mendurhakai orang tua. Karena memang:

Rasa sayang orang tua untuk anak tidak memiliki batas, sebaliknya, rasa sayang anak terhadap orangtua itu memiliki batas: sejauh kepentingannya.

Saya sudah menjadi orang tua, Ira juga. Kami sekarang mengerti. Sangat-sangat mengerti.

Membalas kebaikan Mamah Lily dan Bapak Kosim, membalas kebaikan bapak Pitono dan Ibu Sumarmi hanya bisa dengan satu cara: membesarkan anak kami dengan nilai yang terbaik --sekurang-kurangnya-- seperti kala kedua orang tua membesarkan kami dengan baik. (Divan Semesta)

3 komentar:

  1. TFS,...
    Pagi-pagi sudah mencerahkan saya.
    Dengan mempunyai anak maka segala kebaikan orangtua akan terefleksikan dengan baik.
    Perasaan-perasaan terhadap anak kita menyadarkan saya pasti orang tua saya juga mempunyai perasaan-perasaan yang sama.

    Sebenarnya dah dari dulu pengen postingan kayak begini, ternyata ada yang lebih master he2...dicopas ya.

  1. Kadang emang ky gt. sy pernah ngerasa keduluan juga. co kasus waktu dewi lestari nerbitin buku tentang si Bodhi, ada beberapa alur cerita dan metafora yang pernah terfikirkan juga.

    Sayangnya ya sama dengan Kang Hasan. Sudah nasib di dahului orang.

    Saya jadi menyadari, sebenarnya di dunia ini ada yang bener-bener plagiat (co kasus profesor yang ngejiplak), ada pula yang orisinil tetapi sayang idenya sudah lebih dulu dituangkan oleh orang lain.

    Kebijaksanaan Rasulullah, kadang bisa kita temukan dalam master-master kebijaksanaan di China yang hidupnya ratusan tahun sebelum rasul. Kadang kita menemukan penulis mahsyur di era ini, ternyata perkataannya/perenungannya mirip dengan Ali Ra, dan para sahabat yang mulia.

    Saya nggak hendak menyamakan Rasulullah dan para sahabat dengan master-master kebijaksanaan karena yang menuntunnya berbeda. Tapi saya lebih fokus/kepikiran lagi bahwa sebenernya permasalahan manusia itu 'mulikbek'/disitu-situ aja.

    Zaman, dan teknik tetap berubah tapi manusia yang yang itu-itu aja.

    Nggak heran, Allah mengatakan Muhammad, Islam itu berlaku hingga akhir zaman. Karena?

    Orang sepintar Kang Hasan pasti bisa menjawabnya. :)

    Best Regard. Salam takzim untuk keluarga Akang.

    Jazakallah.

  1. adieu says:

    heuh............. matak ceurik euy.

be responsible with your comment